Sabtu, 29 Mei 2010

China Ditengah Kebersamaan Asean

Oleh :  Rakaryan sukarjaputra

Perkembangan pesat ekonomi China yang menjadikan negara itu sebagai kekuatan terpenting ekonomi dunia saat ini membuat siapa pun patut iri sekaligus khawatir. Dengan kekuatan ekonominya itu, China menjadi negara yang sangat berpengaruh, termasuk terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Pengaruh China yang semakin kuat terhadap sejumlah negara anggota ASEAN, khususnya Kamboja, Laos, dan Myanmar, memang belum sampai tahap ”mengganggu” hubungan di antara negara-negara ASEAN sendiri. China pun sejauh ini lebih banyak menanamkan pengaruhnya dalam bidang ekonomi ketimbang politik dan militer.
Akan tetapi, munculnya China sebagai ”model” bagi sejumlah negara anggota ASEAN membuat ASEAN tidak gampang menanamkan nilai-nilai yang saat ini dianggap sebagai ukuran ”ideal”, yaitu demokrasi, penghormatan, dan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM).
Meski ASEAN telah melahirkan piagam yang di dalamnya mengakui demokrasi dan HAM sebagai prinsip-prinsip ideal, model pemerintahan China yang sentralistik dan meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan rakyat menjadi ”cermin” bagi beberapa negara anggota ASEAN yang melihat China sebagai contoh baik untuk mereka. Akibatnya, jalan ASEAN untuk mewujudkan nilai-nilai ”ideal” itu masih sangat panjang dan berliku.
Faktor sejarah
Sejarah mencatat kedekatan hubungan China dengan Kamboja, Laos, dan Myanmar pada masa lalu. Kedekatan itu pulalah yang terus dipertahankan China dengan banyak menawarkan kerja sama di bidang ekonomi kepada ketiga negara itu. Pendekatan dilakukan China dengan cara bilateral maupun melalui forum multilateral, antara lain forum negara-negara di sekitar Sungai Mekong.
Selain ketiga negara itu, China pun cukup aktif memperkuat hubungan bilateral dengan sejumlah negara anggota ASEAN lainnya, yaitu Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei, dan juga Indonesia.
Bagi negara-negara mitra ASEAN, khususnya negara-negara Barat di bawah kepemimpinan AS, kedekatan negara-negara Asia Tenggara dengan China tentu mengkhawatirkan karena itu bisa berarti semakin surutnya pamor AS di kawasan ini.

Akan tetapi, bagi sejumlah negara ASEAN sendiri, hampir bisa dipastikan bahwa kedekatan dengan China tidak berarti menjauhkan diri dari kekuatan-kekuatan dunia lain dalam poros yang dipimpin AS.
Ketujuh negara ASEAN yang disebut belakangan setidaknya telah menunjukkan diri sebagai negara-negara yang terbuka, berhubungan dengan semua negara.
Lantas perlukah ASEAN membendung pengaruh China? Pertanyaan itu ada di benak banyak diplomat ASEAN.
Beberapa pihak mengasumsikan potensi dominasi China di masa datang sehingga perlu dipikirkan suatu cara untuk membendung pengaruh China itu. Faktanya, sejumlah negara ASEAN kini mempunyai sengketa perbatasan dengan China, yaitu Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Bangkitnya kekuatan militer China jelas akan mengkhawatirkan dalam konteks sengketa perbatasan, apalagi China akhir-akhir ini cukup sering menunjukkan klaim mereka terhadap wilayah yang disengketakan dengan cara yang mencolok.
Di forum negara-negara di sepanjang Sungai Mekong, China dengan kekuatan ekonomi bisa membangun sejumlah bendungan untuk pembangkit tenaga listrik walau berpengaruh pada minimnya debit air di negara-negara di bagian hilir Sungai Mekong itu, yaitu Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Meski forum Mekong bukan di bawah bendera ASEAN, potensi munculnya permasalahan antara negara-negara ASEAN dan China tidak bisa ditepis.
China yang semakin kuat berpotensi membentuk blok baru di bawah kepemimpinannya. Tiga negara anggota ASEAN yang secara historis mempunyai hubungan dekat dengan China bisa jadi kemudian menggabungkan diri ke blok pimpinan China itu.
Indikasi itu disampaikan beberapa diplomat ASEAN. Sengketa Kamboja dengan Thailand, baik dalam urusan yang terkait dengan mantan Perdana menteri Thaksin Shinawatra maupun wilayah sekitar candi Preah Vihear, adalah salah satunya.
Myanmar yang tampaknya akan menjalankan pemilu menurut caranya sendiri, dan mengabaikan saran-saran ASEAN. Ini juga sebuah indikasi lagi.
Posisi Laos agak unik. Negara ini sangat dekat dengan Vietnam dan juga berhaluan komunis. Posisi geografisnya yang berada di selatan China dengan ekonomi yang masih relatif tertinggal membuat negara ini sangat membutuhkan bantuan ekonomi, dan China mengulurkan tangan untuk Kamboja.          ( Kompas, 6/4/2010 )

Minggu, 23 Mei 2010

Militer, Polisi Mustahil Bersama Tangani Operasi Antiteror


Oleh : Dinny Mutiah
Militer dan polisi mustahil bergabung untuk menangani operasi antiteror secara bersamaan. Pasalnya, operasi terorisme di Indonesia dilakukan bersifat sel dan bisa terjadi bersamaan di beberapa tempat di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Dosen FISIP UI Andi Widjajanto dalam diskusi bertajuk Kerjasama Polisi dan Militer dalam Operasi Antiterorisme di Jakarta, Senin (29/3).
"Saya pernah bertanya apakah bisa terjadi kerjasama operasi antara militer dan polisi? Mereka menyatakan pada saya agar jangan naif," kata Andi.
Ia beralasan bahwa paradigma antara polisi dan militer sekaligus kapasitas kedua institusi yang berbeda. Dalam perspektif militer, terorisme merupakan ancaman yang harus dihabisi tanpa melihat akar permasalahan. Sebaliknya, perspektif polisi sebagai penegak hukum akan melihat bahwa terorisme merupakan tindakan melawan hukum yang harus ditelisik jejaknya serta dilucuti kemampuannya. Pemerintah bisa menggunakan kedua kapasitas ini untuk menangani hal yang berbeda, tidak bisa digabungkan dalam satu operasi.
"Jadi, pemerintah itu memecah kekuatan jika situasinya semakin memburuk. Misalnya, polisi menangani dua hal di sini, gultor (penanggulangan teror) menangani 3 kelompok di sana. Tidak bisa digabungkan dalam  satu operasi," jelasnya.
Pengamat militer UI Edy Prasetyono mengungkapkan bahwa untuk mendukung operasi kedua institusi diperlukan aturan baku perbantuan. Kedua institusi selama ini hanya mengandalkan hasil praktek lapangan yang tidak mengontrol peminjaman sumber daya antar institusi.
Padahal, aset yang dipinjamkan bisa saja sensitif sehingga perlu pihak yang bisa bertanggung jawab atas itu. "Regulasi bisa hanya di tingkat kepmen, tak perlu sampai UU. Yang sekarang berjalan diantara kedua institusi adalah karena ada praktek, tapi tidak ada sistem yang mapan. Bahayanya kalau tidak ada itu, kalau ada material sensitif siapa yang mau bertanggungjawab," ujarnya.
Mantan menhan Juwono Sudarsono memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, semakin sedikit perundang-undangan, semakin baik. Apalagi, ada kesepakatan antara TNI-Polri terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme di tingkat lapangan.
"Yang penting kemampuan efektifnya. Kalau di lapangan kan sudah ada kesepakatan. Terlalu banyak UU yang terjadi malah hukum rimba karena ada yang harus disinergikan satu sama lain. Sementara itu di lapangan, mereka tidak begitu peduli tentang payung hukum," tandasnya. (Sumber; Media Indonesia,DM/OL-03/29/3/ 2010) 

Selasa, 11 Mei 2010

Memperkuat Kemampuan Industri Pertahanan Nasional


Kenaikan alokasi anggaran belanja pertahanan diproyeksikan menjadi 1,2 persen-1,5 persen dari pendapatan domestik bruto Indonesia dalam kurun 2010-2014 diyakini juga meningkatkan kemampuan alokasi anggaran pengadaan, pemeliharaan, dan perawatan senjata.

 

Besaran kenaikan itu, ungkap Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, bisa mencapai 50 persen dari yang biasa dianggarkan dan diterima selama ini. Kondisi seperti itu bisa memberikan keleluasaan bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pertahanan, untuk makin memfokuskan pengadaan dari produsen dalam negeri.

 

Apalagi, selain mampu menghasilkan produk persenjataan yang berkualitas dengan harga kompetitif, sejumlah industri pertahanan dalam negeri, semacam PT Pindad, mempunyai kemampuan menerima pesanan dan memasok sesuai kebutuhan TNI. Hal itu dikatakan Sjafrie, Sabtu (8/5), seusai berkunjung ke pabrik munisi PT Pindad di Turen, Malang, Jawa Timur.

 

”Selama ini produk munisi kaliber kecil (MKK) untuk TNI sudah mengambil dari PT Pindad. Sekarang tinggal kami jajaki apakah mereka mampu memenuhi produk jenis munisi kaliber besar (MKB) yang masih diimpor. Memang kebutuhannya tak banyak. Namun, ada banyak keuntungan jika industri pertahanan dalam negeri kita bisa memenuhinya juga,” ungkap Sjafrie.

 

Jika dibandingkan dengan produsen luar negeri, industri pertahanan dalam negeri diketahui punya kemampuan teknologi pula. ”Kalau bisa pesan dari industri strategis dalam negeri, jauh lebih murah dan juga menguntungkan untuk perekonomian kita. Kebutuhan rutin kan ada, anggaran sudah dinaikkan. Lebih baik jika uang berputar dalam negeri saja. Itu bagus buat perekonomian kita,” ujarnya.

 

Apalagi yang disesalkan, menurut Sjafrie, dalam kondisi tertentu, PT Pindad menganggur (idle capacity) lantaran tak ada pemesanan. Padahal, secara teknologi dan infrastruktur, mereka mempunyai kemampuan membuat senjata tertentu. Kapasitas menganggur itu termasuk kemampuannya memproduksi MKB.

 

”Kami sekarang mau melihat seperti apa idle capacity-nya itu. Kalau pengadaan (MKB) tahun 2010 belum dipesan dari luar, tentu akan kami arahkan ke PT Pindad saja. Kalau untuk pengadaan tahun 2011 ke atas sudah pasti pesan ke sini (PT Pindad) saja,” ujar Sjafrie.

 

Seusai kunjungan, Direktur Utama PT Pindad Adik Avianto Sudarsono membenarkan, PT Pindad memang memiliki kemampuan memproduksi MKB. Sayang belum berproduksi karena TNI tidak memesannya. Fasilitas untuk memproduksi MKB sudah didirikan sejak 1992.

 

”Kami sudah meng-invest mesin yang harganya tinggi sebagai bentuk komitmen atas kualitas produk. Sampai ada alat yang kami beli dari Swedia tahun 1997 untuk memproduksi MKB, tetapi belum terpakai sampai sekarang karena order tidak pernah turun. Kalau ada pesanan peluru mortir, jumlahnya kecil, hanya 6.000 butir per tahun,” ujar Adik.

 

Ia mengakui, kebijakan pemerintah menggenjot anggaran belanja pertahanan hingga 2014 adalah peluang bagi PT Pindad. Apalagi Pindad bisa memproduksi MKB. (Kompas,dwa, 10 Mei 2010).

)