Senin, 10 Oktober 2016

Mensinergikan Peran Pemda dan TNI Untuk Kesejahteraan Rakyat


Sebanyak 236 perwira siswa (pasis) peserta Pendidikan Reguler (Dikreg) LIV Seskoad TA 2016 mengikuti Seminar Nasional Studi Wilayah Pertahanan di Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Kamis 22 September 2016. Seminar tersebut mengusung tema “Membangun Sinergi TNI AD dengan Pemerintah Guna Mengakselerasi Pembangunan Daerah dalam Rangka Memperkuat Ketahanan Nasional”. Selain pasis Dikreg, seminar tersebut dihadiri perwakilan dari sejumlah perguruan tinggi, serta tamu undangan. Beberapa pembicara yang menyampaikan materi di antaranya, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas Uke Muhammad Husen, Direktur Organisasi Kemasyarakatan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri La Ode Ahmad, serta perwakilan Pasis Dikreg Wisnu Joko Saputro.
Ada kebutuhan untuk saling memperkuat peran antara Pemda dan TNI guna lebih mengoptimalkan peningkatan kesejahteraan Rakyat.  Disadari para pihak bahwa “Terwujudnya sinergitas antara TNI AD dan pemerintah perlu diwujudkan.  Mengingat keberadaan satuan TNI AD yang berada di seluruh wilayah Indonesia, serta pemerintah yang melaksanakan program pembangunan di wilayah yang sama, perlu pengoptimalan pencapaian hasil, yang merata, dan khususnya dapat menyentuh langsung terhadap kesulitan masyarakat,” ujar Asisten Territorial Kasad, Mayor Jenderal TNI Komaruddin, dalam sambutan yang dibacakan Komandan Seskoad, Mayor Jenderal TNI Pratimun. Lebih lanjut Komaruddin menuturkan, keselarasan ini perlu dibangun, sebagai bentuk upaya menyikapi perkembangan lingkungan strategis, baik di lingkup international, regional maupun nasional. Perkembangan yang dinamis itu berpotensi menimbulkan berbagai ancaman militer dan nirmiliter. Maka diperlukan keterpaduan pertahanan yang baik.

Sinergitas Pemda-TNI dan Sikap Teritorial
Selama ini TNI selalu berupaya menyatu dengan berbagai dinamika kehidupan warga di mana para prajurit TNI itu berada. Ada semacam upaya sungguh-sungguh agar kedekatan dengan rakyat itu tetap terjaga dengan baik. Hanya saja  adanya pembagian tugas yang jelas antara pertahanan dan keamanan, membuat pola pendekatannya disesuaikan dengan dinamika yang ada. TNI tetap bersama rakyat tetapi tidak lagi ikut “mengatur” dalam hal Kamtibmas (hal yang jadi ranah Kepolisian),melainkan bagaimana bisa bersinergi dalam hal saling tolong menolong dan bahu membahu agar  kehidupan warga di wilayah bersama bisa lebih baik dan sejahtera. Semua even-even yang memungkinkan adanya kerja sama seperti dalam memperingat hari hari keramat, hari hari kemerdekaan, hari hari keagamaan dll akan selalu dimanfaatkan demi terjadinya interaksi dalam kehidupan bersama. Pada masa lalu hal seperti ini disebut juga dengan Sikap Teritorial.
TNI Angkatan 1945 sangat konsern dan memberikan perhatian besar kepada Sikap Territorial. Hal itu terlihat dalam isi Sapta Marga.  Sikap Territorial dianggap penting dan menjadi salah satu hasil Perang Kemerdekaan, serta menguat setelah berbagai pengalaman TNI setelah 1950 serta memperhatikan pengalaman bangsa lain.Sikap Territorial adalah sikap yang berupa kedekatan tentara dengan Rakyat dan Masyarakat, terutama di daerah tentara itu berada. Kedekatan itu mengandung makna kedekatan fisik dan psikis serta berusaha memahami pikiran dan perasaan Rakyat.Seperti berbicara dengan Rakyat dalam bahasa daerahnya amat mendekatkan tentara kepada Rakyat. Lebih-lebih lagi sikap perbuatan yang mendekatkan kepada Rakyat. Dengan memahami dan menunjukkan perhatian kepada Rakyat, maka Rakyat pun merasa dekat dengan tentara dan cenderung mendukung apa yang dilakukan dan diperjuangkannya.
Menurut Sayidiman[1], pengalaman membuktikan bahwa hasil Sikap Territorial yang baik tidak kalah artinya bagi pencapaian tugas tentara dibandingkan dengan senjata serta peralatan yang dimiliki tentara. Bahkan kalau menghadapi kekuatan militer asing yang menyerang bangsa kita dan mempunyai keunggulan alutsista, Sikap Territorial dapat menetralisasi keunggulan musuh itu. Hal itu terbukti jelas dalam perjuangan kita melawan Belanda dalam Perang Kemerdekaan,juga dalam perlawanan bangsa Vietnam terhadap tentara AS dan belakangan ini dalam perlawanan orang Irak dan Afganistan terhadap AS dan sekutunya. Terbukti bahwa perlawanan non-fisik terhadap pihak yang memaksakan kehendaknya dengan kekerasan fisik dan senjata dapat berhasil efektif, sehingga pemaksaan kehendak dapat dipatahkan.
Sekarang ada kebutuhan nyata untuk meningkatkan peran serta TNI secara informal dalam berbagai program yang di gelar oleh Pemda sejauh itu diperbolehkan UU demi mengoptimalkan manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal itu sebenarnya sudah berjalan dan sebagian besar telah memberikan kontribusi nyata. Khususnya dalam hal penanggulangan bencana alam, dalam hal TNI membangun Desa, dalam hal TNI membangun Infrastruktur, dalam hal operasi Bhakti TNI dll.
[1] http://opinikompas.blogspot.co.id/2013/09/sikap-teritorial-tni.html

 Tulisan ini dikopi dari www.wilayahpertahanan.com atas seizin pemilik blog nya

Senin, 05 September 2016

Pengamanan Ekonomi Maritim Negara Kepulauan Nusantara

     


Seirama dengan potensi ekonomi maritime. Pemerintah juga di tuntut untuk membangun kemampuan TNI khususnya TNI AL yang jadi penangung jawab pengamanan Poros Maritim. Bisa dimaklumi. Membangun TNI AL yang kuat bukan berarti dengan membeli Alut Sista yang banyak, terlebih lagi orang sering menghitung kebutuhan itu atas dasar luasnya laut dan jumlah KRI. Para ahli menyebut Indonesia membutuhkan 500 KRI kalau ingin melihat negara kepulauan ini aman di laut. Suatu jumlah yang kadang tidak masuk akal.  Hal seperti itu bisa kita lihat dari Konsep Pengamanan Pangmabar dalam mengamankan wilayahnya.
Kita tahu bahwa wilayah Armabar meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Selat Karimata dan Pantai Barat Sumatera. Secara fakta Kondisi kemampuan pertahanan AL di perairan kepulauan Natuna dan sekitarnya, masih sangat jauh dari yang sepantasnya. Wilayah ini masih bagian tanggung jawab Armada Barat, yang mempunyai Pangkalann utama di Tanjung Pinang dan Belawan. Ditambah dengan pangkalan pendukung Dumai, Batam, Natuna, Lhok Seumawe, Sabang, Padang, Mempawah serta diperkuat dengan 3 Brigade Marinir.  Jumlah KRI berkisar 80-85 KRI dari berbagai jenis (Fregat, Korvet, KCR, LPD, LST).  Dihadapkan dengan luasnya wilayah dan ketersediaan Alut Sista tentu hasilnya akan sangat tidak memadai. Tetapi ternyata wilayah ini masih tergolong aman dan kondisinya masih sangat kondusif untuk pembangunan ekonomi maritime.
Sebagai gambaran kita bisa lihat strategi yang dilakukan oleh Koarmabar untuk mengamankan wilayahnya. Salah satu yang dilakukan oleh Koarmabar dalam mengamankan laut di wilayahnya adalah dengan melaksanakan gelar kekuatan SISTEM SENJATA ARMADA TERPADU (SSAT) seperti Pangkalan TNI Angkatan Laut, KRI, Pesawat udara maritim dan Pasukan Marinir yang saling bersinergi dalam melaksanakan tugasnya. Untuk kegiatan operasionalnya Koarmabar juga mengelola Tim Western Fleet Quick Response (WFQR) di setiap Lantamal yang dikenal cepat dalam menindak para pelaku kejahatan di wilayah penugasannya. Hasilnya sungguh nyata, minimal berita tentang prompakan di selat Malaka itu menghilang dengan sendirinya. Kita percaya Koarmatim juga sudah pasti punya strategi tertentu dalam mengamankan wilayahnya. Hal seperti itulah yang ingin kita apresiasi. Taktik dan Strategi atau sebaliknya, sering lebih hebat hasilnya dari pada hanya mengandalkan pada ketersediaan Alut Sista semata.
Pembangunan Infrastruktur Pelabuhan Nusantara
Untuk pengembangan potensi ekonomi maritime nusantara, pemerintah Jokowi membuat program Tol Laut atau sering juga disebut dengan ‘Pendulum Nusantara’. Konsep ini memungkinkan Kapal-kapal besar bolak-balik membawa logistik dari barat ke timur atau sebaliknya. Untuk itu pemerintah telah membangun 5 pelabuhan dengan kategori deep sea port di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pendulum nusantara yakni :  Kuala Tanjung Medan;  Tanjung Priok Jakarta;  Tanjung Perak Surabaya;  Makassar;  dan  Sorong.
Progres pekerjaan pembangunan pelabuhan tersebut pada bulan Mei 2015, Presiden Joko Widodo telah meresmikan penyelesaian proyek revitalisasi alur pelayaran Barat dan pengembangan terminal Teluk Lamong di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pada bulan Juli 2015, progress pembangunan Kuala Tanjung (Sumut) sudah tercapai 7%. Pelabuhan Kuala Tanjung (2200ha) di Sumatera Utara diprediksi akan selesai pada akhir 2016  atau lebih cepat dibanding perencanaan awal yaitu kuartal I 2017. Pada bulan Mei 2015 Peresmian Proyek pembangunan Makassar New Port oleh Presiden Joko Widodo. Kondisi selama ini, pelabuhan Makassar hanya baru bisa menampung kapal-kapal yang berukuran tidak terlalu besar atau kapal kapasitas kecil. Proyek New Port Makassar akan dibangun diatas lahan 300 hektar. Pada tahap pertama, pelabuhan Makasar akan dibangun memiliki kedalaman hingga 14 meter, panjang 320 meter dengan luas mencapai 16 hektar akan dapat menampung kapal yang berukuran 10.000 Gross Ton (GT ) yang menngangkut 4.000 peti. Dengan perluasan pelabuhan ini, perseroan akan menggenjot kapasitas hingga 500 ribu TEUs per tahun.
Pemerintah juga membangun pelabuhan Terpadu raksasa di Sorong (Papua) diatas lahan 7.000 Ha.Konsep Pengembangan pelabuhan Sorong adalah pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus berorientasi peti kemas yang akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan Timur Indonesia. Pengembangan pelabuhan Sorong akan diikuti dengan pembangunan galangan kapal, pembangkit listrik, dan kawasan industri. Termasuk pengembangan industri perikanan dan pariwisata bahari di kawasan Raja Ampat. Pada Oktober 2015 telah direalisasikan pelabuhan New Mutiara Jati (Cirebon) dan ditargetkan selesai pada Agustus 2017. Pelabuhan New Mutiara Jati dipersiapkan menjadi alternatif selain pelabuhan Tanjung Priok ini merupakan pintu gerbang kegiatan usaha bagi hinterland yang luas yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada bulan Mei 2015, Kapal ‘Tol Laut’ pertama di Indonesia yaitu Mutiara Persada (MP) III telah dioperasikan oleh PT Atosim Lampung Pelayaran (ALP). Kapal Tol Laut ini memiliki panjang (Lenght of All/LOA) 151 meter dan berat 15.000 Gross Tonage (GT) akan beroperasi PP rute Lampung – Surabaya. Kapasitas kapal ini dapat memuat 600 orang penumpang, 150 unit truk, dan 50 kendaraan pribadi. Armada ini adalah kapal RoRo pertama yang melayani pelayaran logistik berjadwal dan tetap dari Dermaga Pelabuhan Panjang, Lampung ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada kenyataanya kehadiran kapal tol laut ini dapat menurunkan biaya logistic hingga 30% dari beban jalur darat Pantura dan juga efisiensi waktu lama perjalan. Kalau menggunakan jalur darat dengan kendaraan truk, jarak tempuh antara Lampung ke Surabaya bisa memakan waktu antara 90 sampai 100 jam. Tapi bila menggunakan kapal, jarak tempuhnya hanya sekitar 39 jam
Pada bulan Juni 2015, Presiden Joko Widodo) meresmikan beroperasinya 3 buah kapal motor penyeberangan (KMP) dan Dermaga VI Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Ketiga kapal roll on roll off (roro) berbobot 5,000 GT yang diresmikan pengoperasiannya adalah seluruhnya merupakan hasil produksi galangan kapal nasional. Dengan dimensi panjang 109,40 meter, lebar 19,60 meter dan tinggi 5,60 meter, kapal roro ini mampu mengangkut 812 penumpang dan 142 unit kendaraan.Dengan tambahan 3 armada kapal roro dan satu dermaga baru yang semuanya dikerjakan anak bangsa sendiri ini, terbukti mampu mengatasi kemacetan dan antrean panjang di Pelabuhan Merak
Potensi Ekonomi Maritim
Karen Mingst (Mingst,199:120) mengatakan, realitas geografi bukan sekedar penghias peta, dan konfigurasi fisik bukan sekedar data. Memiliki letak geografi yang strategis tidak cukup menjadikan suatu negara berpengaruh, tapi yang lebih utama lagi adalah bagaimana negara itu memanfaatkan elemen geografic yang strategis ini secara efektif dalam mencapai kepentingan nasionalnya, adalah yang terpenting. Jika tidak, ini hanya akan menjadi sebatas fakta saja.
Indonesia sebagai negara kepulauan, Negara yang berada di pertemuan dua samudra (Hindia dan Fasifik) dan dua benua ( Asia dan Australia). Untuk mengamankan negara kepulauan ini; diperlukan strategi pertahanan NKRI minimal, harus mampu memperhatikan realita geografi; bahwa (i) wilayah negeri ini terdiri dari rangkaian pulau besar dan kecil, dengan luas perairan 5 juta km², termasuk ZEEI serta daratan 2 juta km² (ii) ada tiga perbatasan darat, da nada 10 perbatasan laut dengan negara tetangga; dengan seluruh rangkaian pulau dan kepulauan negeri yang terbuka dan berbatasan dengan sepuluh negara yang memiliki FIRE POWER yang berbeda beda, (iii) negeri dengan kewajiban menyiapkan 3 ALKI bagi dunia.
Untuk dapat memanfaatkan potensi maritime guna menggerakkan perekonomian nasional, agar dapat meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat perlu pembangunan infrastruktur pelabuhan dan konektivitasnya baik darat maupun udara di sepanjang Poros Maritim Nusantara. Pembangunan pertumbuhan ekonomi maritime akan selalu sejalan dengan peningkatan kekuatan Angkatan Lautnya. Sangatlah mustahil mengembangkan perekonomian maritim tanpa adanya kemampuan untuk mengamankan wilayah perairannya, jalur perdagangannya, rangkaian pelabuhannya serta semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Indonesia juga perlu mengawasi perairannya dan menyelesaikan berbagai persoalan penegasan perbatasannya.


Selasa, 23 Agustus 2016

Perbatasan RI-RDTL Bertahan Dengan Hukum Adat




Masalah perbatasan negara di darat dan di laut dengan 10 negara tetangga sampai saat ini belum ada satupun yang sudah selesai. Kalaupun sudah ada, misalnya dengan Australia tetapi hasilnya belum diratifikasi karena Indonesia merasa sangat merugikan warga nelayan tradisional Indonesia. Kali ini mari kita lihat perbatasan RI-RDTL (Timor Leste) seperti apa masalahnya dan seperti apa solusinya, semoga bisa bermanfaat bagi para pemerhati perbatasan kedua negara.
Masalah perbatasan antara RI-RDTL memang masih menyisakan permasalahan di dua lokasi yakni wilayah “unresolved area” dan “unsurveyed area”. Meski hubungan baik antar kedua negara tetap terjaga dengan baik. Tetapi permasalahan di tingkat akar rumput tetap saja ada. Sejak awal kedua belah pihak sebenarnya saling percaya, bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan batas di dua lokasi tersebut, sesungguhnya tidaklah susah. Selama ini yang jadi masalah adalah pola pendekatan penyelesaian yang di ketengahkan masing-masing pihak. Di satu sisi pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEAD (waktu itu) menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika “adat istiadat “ yang berkembang di wilayah tersebut (Hukum Adat)
Sementara dari pihak Indonesia menginginkan disamping berpegang pada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 juga agar memperhatikan berbagai kesepakatan warga adat yang sudah pernah ada diantara kedua belah pihak. Karena itu pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ini ikut dipertimbangkan. Maka tentu saja terjadilah “jalan Buntu”. Kalau kedua belah pihak, sama-sama berpegang pada “kepentingannya” masing-masing, maka sampai kapanpun akan sulit mencarikan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena itu harus ada pendekatan baru, mencari “win-win solution” dengan catatan warga setempat tidak dirugikan tetapi sebaliknya di untungkan. Kalau hal seperti itu bisa diterima, maka batas itu bisa dicarikan posisinya yang bisa diterima para pihak.

Kebetulan saya kembali lagi ke daerah sengketa ini pada tanggal 9-13 Agustus 2016, dalam rangka mencari data terkait “jalur-jalur” illegal di sepanjang perbatasan antara Distrik Oecusee dengan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara. Penulis lalu menyempatkan diri untuk menemui tokoh-tokoh formal terkait perbatasan kedua negara di wilayah tersebut- yakni BNPP Dearah di Kafemenanu (Fransiskus Ilis) dan Pam Tas Perbatasan RI-RDTL YonIf Raider 321/GT (Galuh Taruna) khususnya Perwira Topografi Letda CTP Suyadi sebagai personil yang diperbantukan pada PamTas terkait batas kedua negara.

Dari beberapa kali pertemuan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh tersebut, terkait dua area bermasalah yakni pada “unresolved area” (Manusasi-Bijael Sunan) dan “unsurveyed area” ( Bikome Nilulat ada 4 lokasi dan Naibenu 1 lokasi), memang belum ada perubahan atau perkembangan baru. Malah untuk wilayah “unresolved area” terkesan malah mengendor. Mengendor dalam artian, sebagai daerah “unresolved area” daerah itu statusnya masih harus “steril” dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Padahal dari kedua Pam Tas (TNI-UPF) sampai saat ini belum bisa melakukan Patroli bersama di wilayah tersebut. Kedua Pam Tas saat ini tengah melakukan berbagai upaya koordinasi, agar patrol bersama bisa dilakukan oleh kedua Pam Tas perbatasan tersebut.

Cerita Lama Yang Tidak di Tuntaskan Noel Besi / Citrana. Saya kembali membuka arsip terkait masalah ini.  Dalam data saya, pada tahun 2010, daerah sengketa terletak di dusun Naktuka, dengan luas + 1.069 Ha, Warga yang berada di wilayah tersebut berasal dari Kec. Citrana Distrik Oecusee (Timor Leste) dan ber KTP Timor Leste; masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat RI yang berada di Desa Natemnanu Utara Kec. Amfoang Timur Kab. TTU-NTT.jumlah warga yang tinggal di Dusun Naktuka sebanyak 44 KK terdiri atas 36 KK beragama Katholik dan 8 KK beragama Protestan dengan jumlah  200 jiwa dengan Kepala dusun Sdr. Ignasius Lake.
Terdapat bangunan baru yaitu Balai Pertanahan dan Perkebunan (Balai Pertanian, Perkebunan, Rumah Dinas, Aula Pertemuan dan gudang) yang berjarak ± 2 Km dad Pos Pamtas Yonif 744/SYB yang terletak di Oepoil Sungai; di daerah tersebut juga terdapat LSM OACP (Oecusssee Ambono Community Programme).
Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos Imigrasi RDTL di daerah Unresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat. Tetapi kemudian telah ditemukan adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan tempat penggilingan padi di  area yang sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009. Pada minggu ke empat bulan April 2010 ditemukan pemasangan  nama Gedung  yang bertuliskan “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA“ dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).

Pada 15 Agustus 2012 Tim terpadu yang diketuai T.H Susetyo (Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara) bersama 17 anggotanya melakukan peninjauan ke lokasi konflik perbatasan di Desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nailulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), selama dua hari. Ketua Tim Terpadu dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), T.H. Susetyo, mengatakan perbatasan di wilayah “Unresolved dan Unsurveyed area” masih belum bisa ditemukan solusinya.

Pada awal 2016 Wilayah perbatasan antara Republik Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste kembali memanas. Timor Leste melakukan pembangunan di daerah yang selama ini masih bersengketa. Sengketa batas kedua negara itu berada di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, meminta pemerintah bertindak tegas. “Jika dugaan tersebut benar maka pemerintah harus melakukan nota protes resmi,” kata Mahfudz kepada VIVA.co.id, Selasa, 19 Januari 2016. Selain itu menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, pemerintah Indonesia harus mendesak pembentukan tim investigasi bersama Timor Leste. “Jika hasil temuan tim ini membuktikan dugaan tersebut maka pihak Timor Leste punya kewajiban mengosongkan daerah tersebut,” ujarnya menambahkan. Sebelumnya, Panglima Kodam IX Udayana, Mayor Jenderal TNI M Setyo Sularso mengatakan., kedua negara masih bersengketa terkait klaim wilayah tersebut. Sehingga, wilayahnya masih berstatus steril, tak boleh dimanfaatkan oleh kedua negara.
“Jadi, kita menghendaki garis batas negara pada sebelah barat sungai kecil dan status tanah masih merupakan daerah steril, tidak boleh dikelola kedua negara,” kata Setyo saat memberi keterangan resmi di Markas Kodam IX Udayana, Senin, 18 Januari 2016. Namun, fakta di lapangan, Timor Leste telah membangun secara permanen sejumlah bangunan di wilayah tersebut, seperti kantor pertanian, balai pertemuan, gudang dolog, tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan diperkeras.(viva co.id 19 jan 2016)

Penyelesaian Dengan Cara Baru

Dalam berbagai diskusi selama kunjungan saya terahir seperti yang diutarakan oleh ketua BNPP Kafemenanu (Fransiskus Ilis) ada ketidak jelasan antara “kebijakan Penegasan Batas” antara Pusat dan Daerah dalam artian mereka kesulitan untuk berkunsultasi dengan “siapa”? Hal ini memang ada juga benarnya. Karena setiap para petugas Survei batas negara yang datang dari Pusat (BNPP atau BIG) ke lapangan, mereka selalu mengutarakan bahwa mereka hanya bicara soal teknis. Karena sesungguhnya tadinya pada level kebijakan terkait batas negara dan daerah masih berada di tangan Kemdagri (dahulu dikelola Dit Jen PUM) tetapi kemudian berubah jadi Dit Jen Bid Admin Kewilayahan) tentu ada perubahan lagi. Sementara yang menangani perbatasan darat dan laut negara itu sendiri ada pada panitia Adhoq yang tidak punya Sekretariat yang bisa dihubungi. Jadi wajar saja kalau BNPP di daerah tidak tahu harus menghubungi siapa? Jadilah masalah perbatasan itu, masalah gelap yang tidak bisa dikomunikasikan  oleh siapapun.
Kendala masalah pengorganisasian perbatasan ini sudah ada sejak perbatasan itu mulai akan ditegaskan lagi pada tahun tahun 60 sampai 70 an atau tepatnya  sejak MOU perbatasan dengan negara tetangga di tanda tangani. Sejak dari awal perbatasan ini memang ditangani secara adhoq (kepanitiaan dan keanggotaannya terdiri dari berbagai K/L) yang setiap tahunnya diperbaharui. Jadi secara organisasi orang tidak punya alamat untuk membicarakan masalah perbatasan ini. Jadi seperti kata Fransiskus Ilis kalau terjadi bentrok antar warga maka BNPP daerah ya otomatis “memihak” pada kepentingan yang diinginkan oleh warga dan hal itu sering malah tidak menyelesaikan masalah.
Solusi Masalah Wilayah “Unsurveyed Area”
Secara sederhana masalah unsurveyed area ini, muncul karena warga tidak mau wilayahnya diukur oleh Tim Tegas Batas kedua negara. Mereka beranggapan Tugu-tugu Batas yang ada di wilayah mereka itu sebenarnya sangat merugikan warga. Padahal sesungguhnya Tugu Batas yang ada di daerah mereka itu adalah tugu-tugu batas yang dipasang pada saat Timor Leste dan Indonesia masih jadi satu negara. Sehingga penempatan tugu-tugu batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan posisi batas antar negara yang sebenarnya (karena masih dalam satu NKRI). Karena batas negara itu sesuai Traktat 1904 umumnya ada di punggung gunung (Watershed) atau di tengah-tengah Sungai. Kesalahan persepsi ini tidak bisa di konfirmasi karena warga tidak mau wilayahnya di survey.
Idealnya kalau masalah ini bisa disosialisasikan dengan warga, tentu masyalahnya akan berbeda. Bisa di diduga siapa yang akan mensosialisasikannya adalah suatu masalah sebab yang bertanggung jawab dan tahu persoalannya adalah para “Working Group” batas yang menangani perbatasan itu. Padahal mereka baru berkumpul atau bekerja kalau sudah ada kegiatan baru sesuai program tahunan mareka (sifatnya kepanitiaan). Di luar itu ya tidak ada “person” yang tahu persis masalah batas tersebut. Kalaupun secara perseorangan mereka tahu dan mengerti, tetapi informasi mereka jelas hanya sekedar atas nama pendapat peribadi. Memang sangat nelongso, negara sebesar NKRI tidak punya Badan yang menjadi penanggung jawab perbatasan negaranya. Hal itu sudah berjalan selama rentang sejak kemerdekaan hingga saat ini. Banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang menangani perbatasan tetapi tidak satupun dari K/L itu yang mempunyai Tupoksi untuk menangani perbatasan. Kalau kebijakan seperti ini masih berlanjut. Ya perbatasan itu hanya akan menjadi bagian dari permasalahan bangsa dengan negara tetangga.




Minggu, 07 Agustus 2016

Pertahanan Indonesia Di Tengah Perubahan Lingkungan Strategis



Kekuatan asing selalu akan menguji kesiapan negara dalam menjaga kedaultan bangsa. Kita masih ingat insiden masuknya lima pesawat F-18 dalam formasi tempur milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pulau Bawean. Peristiwa tanggal 3 Juli 2003 bisa disebut sebagai titik nadir bagi TNI dalam menjaga kedaulatan Tanah Air dari infiltrasi asing. Bukti bahwa pertahanan Indonesia pada saat itu sangat mudah ditembus oleh militer asing. Insiden Bawean terjadi karena Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri terlalu sibuk untuk mereformasi Fungsi TNI secara kelembagaan. Ada anggapan pembangunan kekuatan militer akan memperlambat proses reformasi TNI menjadi tentara profesional. Ada kesan pembiaran, meski untuk alasan yang juga sangat penting.

Kebijakan Pemerintah di bidang pertahanan periode 1999-2004 pada saat negara-negara seperti Singapura, Malaysia, China, Australia, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan India tengah membangun kapabilitas militer melalui peningkatan anggaran pertahanan dan modernisasi alutsista khususnya matra laut dan udara. Indonesia malah tidak mempertimbangkan perkembangan geopolitik di kawasan Asia Pasifik dan malah  menurunkan kemampuan postur, anggaran, dan strategi pertahanan sehingga melemahkan kapabilitas TNI mengamankan dan menjaga wilayah kedaulatan Tanah Air dari ancaman eksternal.

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dalam bentuk peningkatan anggaran pertahanan, modernisasi alutsista, pengembangan postur pertahanan, serta rencana pembentukan komponen cadangan. Kebijakan ini fokus untuk membangun kekuatan militer untuk mengimbangi kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Pasifik mengingat Indonesia telah tertinggal jauh. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Minimum Essential Force (MEF) pada tahun 2010. Kebijakan MEF tertuang dalam dokumen Postur Pertahanan Indonesia Periode 2009-2029 yang disesuaikan dengan rencana strategis Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008.
MEF terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap pertama (2010-2014), tahap kedua (2015-2019), tahap ketiga (2020-2024), dan tahap keempat (2025-2029). MEF tahap pertama diberikan alokasi anggaran berkisar 1,8% hingga 2,1% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 32%. MEF tahap kedua diberikan alokasi anggaran berkisar 2,2% hingga 2,61% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap ketiga diberikan alokasi anggaran berkisar 2,74% hingga 3,14% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap keempat diberikan alokasi anggaran berkisar 3,28 hingga 3,9% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 30%.

Akan tetapi, realisasi anggaran pertahanan dalam empat tahun MEF tahap pertama hanya mencapai persentase maksimal 0,9% dari PDB. Indonesia menjadi negara dengan persentase anggaran pertahanan terkecil di kawasan Asia Pasifik. Kondisi ini membuat pembangunan postur pertahanan tidak mampu mengimbangi pembangunan postur pertahanan negara-negara di Kawasan Asia Pasifik yang memiliki persentase anggaran pertahanan yang lebih tinggi.
Perubahan Lingkungan Strategis
Namun, beberapa tahun terakhir, empat perubahan arus strategis di kawasan mengharuskan kita mengkaji ulang asumsi yang kita amini selama ini. Pertama, kembalinya pertarungan politik negara-negara besar di tengah melemahnya berbagai institusi kawasan. Perang Amerika Serikat di Irak, Libya, Afganistan, serta keterlibatan Rusia di Suriah, dan kemudian bekerja sama menghancurkan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), telah menggoyahkan stabilitas sistem internasional dan mendorong berbagai kekuatan kawasan, seperti Tiongkok dan Rusia, untuk membentuk aliansi baru baik formal maupun tidak formal sebagai perimbangan. Menguatnya peran ekonomi dan militer Tiongkok juga mendorong “normalisasi” Jepang sebagai kekuatan militer dan peningkatan peran keamanan dan politik India dan Australia di kawasan.
Pada saat yang sama, peran ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang keamanan regional makin menurun dan sebagaian anggotanya seolah terkooptasi di tengah berbagai persoalan sengketa wilayah dan kegagalan menyelesaikan berbagai krisis, seperti pengungsi Rohingya, konflik perbatasan dan prompak laut. Belum lagi tajamnya perbedaan politik dan ekonomi antar negara Asia Tenggara maritim (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura) dan daratan (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand) yang dimanfaatkan Tiongkok untuk memecah-belah ASEAN.
Berbagai ancaman militer itu dapat muncul terutama dari kawasan sengketa, seperti Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, yang kian memanas. Saat ini, rivalitas antara AS dan Tiongkok tengah mencari bentuk format baru yang akan menentukan arah strategis rivalitas antara Tiongkok dan Jepang atau India dan Tiongkok dan berikutnya antara Tiongkok dengan anggota Asean ( Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunai Darussalam.

Eskalasi ketegangan di Kawasan Asia Pasifik diisebabkan oleh munculnya kekuatan baru Tiongkok baik secara ekonomi, politik, dan militer. Modernisasi militer yang dilakukan Tiongkok dengan visi BLUE WATER NAVY seolah menganggu eksistensi Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan baru telah direspon oleh Amerika Serikat. Pada tahun 2011, Amerika dibawah kepemimpinan Obama tidak punya pilihan dan meningkatkan kekuatannya di kawasan Asia Pasifik. Dalam dua puluh tahun kedepan, 2/3 kekuatan Amerika Serikat akan dikonsentrasikan di kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat mulai membangun pangkalan-pangkalan militer baru di Darwin dan Pulau Cocos, Australia.  Artinya, kepentingan dua negara besar di kawasan ini, sepenuhnya dikendalikan Washington DC dan Beijing yang mempunyai berbagai kepentingan yang berseberangan. Tetapi masalahnya kian mengkristal dan dipercaya penyelesaian sengketa wilayah makin menitikberatkan peran kekuatan militer.
Melihat konstelasi kekuatan militer yang terdapat di Kawasan Asia Pasifik dan potensi konflik di Laut China Selatan, Indonesia seperti terjebak di antara kekuatan besar. Jika Indonesia tidak mempersiapkan pembangunan kekuatan militer dengan baik dan terukur, maka besar kemungkinan Indonesia akan menjadi arena konflik diantara kekuatan-kekuatan besar. Untuk menghindari hal tersebut Indonesia wajib meningkatkan kapasitas pertahanan dengan melakukan modernisasi alutsista dan memaksimalkan strategi pertahanan rakyat semesta.
Kekuatan TNI di Sekitar Laut China Selatan
Untuk saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dengan tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat, bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Kita bersukur, karena kegiatan ILLEGAL FISHING Tiongkok ini telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus diubah jadi tipe B Plus. Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan pesawat tempur,  jadi pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.
Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat.  Saat ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Saat ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV). Rencananya ( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI itu masih bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi.TNI yang kuat adalah TNI yang tidak terpapar Korupsi. Kalau korupsi sudah ada di institusi ini, maka sebesar apapun anggarannya tidak akan membuatnya menjadi kekuatan apa apa.
Catatan-tulisan ini pernah dimuat di www.wilayahpertahanan.com yang menjadi affiliasi blog ini


Selasa, 19 Juli 2016

Pertahanan-Operasi Pembebasan Sandra Abu Sayyaf dan Daya Tempur TNI


Oleh Kiki Syahnakri

Saat TNI akan maju ke Filipina untuk membebaskan Sandra Abu Sayyaf, banyak kalangan yang jadi hawatir. Hawatir terkait medan operasi yang berbeda, dan kesiapan TNI itu sendiri. Hal ini tentu bukan berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan berbagai hal yang tidak meyakinkan terkait keberhasilan Operasi tempur yang dilakukan oleh TNI. Ungkapan ini sering juga dilontarkan para pihak sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Begitu juga dengan berbagai operasi lawan saparatis di Papua. Begitu juga dengan  Operasi Tinombala, hasilnya juga jauh dari signifikan. Karena itu ada baiknya kita membaca kembali tulisan Kiki Syahnakri Terkait Membangun Daya Tempur TNI ini.

RANGKAIAN acara Hari Ulang Tahun Ke-69 TNI usai dilaksanakan dengan acara parade, defile, serta demonstrasi yang amat membanggakan dan mengesankan di Pangkalan TNI AL Ujung Surabaya. Dalam acara ini ditampilkan sejumlah alutsista baru matra darat, laut, dan udara yang diadakan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk mesin perang dalam kategori tercanggih saat ini, seperti helikopter serang Apache dan peluncur roket multilaras Astros. Alutsista yang ditampilkan merupakan bagian dari pengadaan dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan minimum essential force (MEF) TNI. Program ini dilakukan secara bertahap dan menurut rencana akan terwujud 100 persen pada tahun 2024.

Kemampuan Daya tempur

Program MEF tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan daya tempur TNI. Dalam terminologi militer secara universal, daya tempur (combat capability) mempunyai pengertian ”perpaduan antara faktor fisik dan nonfisik dari suatu satuan militer dalam pertempuran”. Faktor fisik terdiri dari: pertama, kemampuan manuver atau daya gerak/mobilitas secara terpadu dan sinergi dari unsur-unsur tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi/logistik. Kedua, daya tembak, yaitu kapasitas tembakan untuk mendisorganisasi dan menghancurkan musuh. Adapun faktor nonfisik merupakan kualitas keprajuritan dari para prajuritnya, terdiri atas aspek kejiwaan terutama daya juang, disiplin, militansi, loyalitas, jiwa korsa, dan kerelaan berkorban.
Faktor nonfisik jauh lebih penting dari faktor fisik, merupakan faktor utama dari daya tempur. Prajurit Gurkha dikenal sebagai tentara kelas wahid di dunia karena keunggulan faktor nonfisiknya. Demikian pula kemenangan Vietnam atas AS serta Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas tentara Belanda dalam perang kemerdekaan. Dengan demikian, faktor nonfisik merupakan kualitas sumber daya manusia dari suatu organisasi tentara yang harus selalu dibina, diaktualisasikan secara berkesinambungan lewat pendidikan-latihan-penugasan. Harus selalu menjadi prioritas teratas, tidak boleh ditempatkan sebagai prioritas kedua, apalagi keempat.
Operasionalisasi daya tempur dipengaruhi oleh kemampuan/ penguasaan teknologi serta faktor lingkungan daerah operasi, seperti medan, cuaca, termasuk dukungan rakyat. Dituntun dan digerakkan oleh doktrin yang dianut. Pembinaan daya tempur harus mencakup semua aspek terkait di atas. Ketersediaan alutsista canggih hanya bagian kecil dari pembinaan, belum mencerminkan dimilikinya daya tempur yang andal. Tingginya daya tempur TNI merupakan jaminan akan keberhasilan tugas pokoknya sekaligus menjadi kekuatan tangkal dalam menghadapi setiap ancaman.

Postur dan Gelar TNI

Daya tempur TNI diwujudkan dalam suatu postur yang unsurnya terdiri dari kekuatan, kemampuan, dan gelar. Kekuatan dapat diukur dari jumlah divisi, satuan kapal perang, dan skuadron udara yang dimiliki. Kemampuan merupakan kualitas SDM sesuai uraian di atas, sedangkan gelar merupakan penyebaran taktis yang bertujuan memperoleh daya gerak dan daya tembak yang maksimal. Pembinaan postur TNI harus dilakukan secara berimbang terhadap ketiga unsurnya dan harus bertitik berat pada pembinaan unsur kemampuan/SDM.
Program MEF TNI pada praktiknya mengesankan terlalu bertumpu pada aspek kekuatan, aspek kemampuan, dan gelar kurang mendapat perhatian secara proporsional. Bahkan dalam amanatnya pada acara HUT TNI lalu, Presiden SBY tidak mengucapkan satu kata pun tentang aspek kemampuan.Memang, Buku Putih Pertahanan kita telah membahas aspek kemampuan dan gelar, tetapi masalahnya apakah pembahasan tersebut telah memadai sesuai kebutuhan? Dalam konteks kemampuan, TNI sangat relevan untuk menyimak dengan jernih pernyataan Jenderal Benny Moerdani. Ia mengatakan bahwa ”setelah memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, TNI seperti kehilangan momentum meningkatkan kemampuannya” (Tempo, 2/10/2014).
Ungkapan ini dilontarkan sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Tentu ia membandingkannya dengan kemampuan prajurit TNI dalam operasi militer yang dilakukannya sendiri sebelumnya. Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam operasi militer di Timtim ataupun dalam pembinaan pendidikan dan latihan, saya sendiri menangkap kesan terjadinya penurunan kualitas SDM atau aspek kemampuan tersebut.
Kemampuan militer terutama dibentuk lewat pendidikan spesialisasi. Sayangnya, kuantitas dan kualitas pendidikan spesialisasi di lingkungan TNI cenderung menurun pasca era Jenderal M Jusuf sebagai panglima. Penurunan ini tak terhindarkan karena masalah keterbatasan anggaran. Namun, saat ini, ketika program MEF bergulir, ketersediaan anggaran sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi pembinaan aspek kemampuan/ SDM justru jauh dari memadai, prioritasnya jauh di belakang pengadaan alutsista.
Hal ini dapat dilihat dari belum bergeraknya kualitas dan kuantitas pendidikan spesialisasi. Seharusnya perlu ada penelitian obyektif dan mendalam akan sinyalemen Pak Benny tadi dengan melibatkan para pelaku sejarah yang masih ada, untuk dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan. Gelar TNI yang mencerminkan daya tempur tinggi harus didukung oleh sarana dan prasarana militer yang memadai. Matra darat membutuhkan jaring-jaring jalan raya (jalan pendekat dalam istilah taktis) dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan untuk manuver pasukan ataupun kendaraan tempur yang dimilikinya.
Matra laut dan udara membutuhkan ketersediaan sejumlah pangkalan dalam rangka pengamanan wilayah Nusantara serta pengawalan kedaulatan. Dalam konteks gelar TNI, kelemahan paling menonjol ada pada matra laut. Pangkalan TNI AL peninggalan Belanda di Surabaya merupakan satu-satunya pangkalan yang agak memenuhi syarat karena dilengkapi dengan fasilitas sandar kapal yang cukup luas, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan, serta fasilitas logistik dan arsenal. Apabila TNI akan menggerakkan pasukan lewat laut dari berbagai tempat di Indonesia, kapalnya harus didatangkan dari Surabaya. Selain tidak efisien, kini keberadaan pangkalan Surabaya terancam oleh pendangkalan Selat Madura, padatnya lalu lintas kapal dagang serta yang paling rawan adalah hanya dengan satu peluru kendali atau satu sorti serangan udara, sebagian besar kekuatan TNI AL akan mengalami kehancuran.
Perlu menjadi perhatian adagium; ”Sangat berbahaya bagi suatu bangsa jika memiliki kekuatan tentara yang besar tanpa didukung kemampuan dan kesejahteraan yang memadai, potensial untuk menjadi bom waktu”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menyempurnakan atau bahkan meluruskan kembali program pembangunan daya tempur TNI ke depan.

Kiki Syahnakri; Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) (sumber Kompas 20 Oktober 2014)

Jumat, 08 Juli 2016

Pertahanan, Menjadikan Natuna Kapal Induk Armabar


           
Tiongkok tidak main-main, niatnya untuk menjadikan Kepulauan Spratly dan Pracel jadi “Kapal Induk” sudah jadi kenyataan. Sengketa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan telah menjadikan wilayah tersebut jadi ajang rebutan wilayah dari empat negara Asean (Malaysia, Vietnam, Pilifina dan Brunei), Taiwan dan Tiongkok.  Tiongkok juga ingin memperkuat klaimnya lewat “Nine Dash Line” dengan mengklaim perairan Natuna sebagai kawasan “Traditional Fishing Ground” nya. Semua ini membuat Indonesia sadar bahwa pada suatu saat akan terjadi “perang terbatas” di wilayah tersebut. Indonesia harus dengan cepat mempersiapkan pertahanan kedaulatan di wilayah tersebut sesuai amanat UU.

Kondisi itu pulalah yang menyadarkan kita, bahwa selama ini ternyata kekuatan Pertahanan kita di kepulauan Natuna dan sekitarnya, masih sangat jauh dari yang sepantasnya. Wilayah ini masih bagian tanggung jawab Armada Barat, yang mempunyai Pangkalann utama di Tanjung Pinang dan Belawan. Ditambah dengan pangkalan pendukung Dumai, Batam, Natuna, Lhok Seumawe, Sabang, Padang, Mempawah serta diperkuat dengan 3 Brigade Marinir.  Jumlah KRI berkisar 80-85 KRI dari berbagai jenis (Fregat, Korvet, KCR, LPD, LST).  Wilayah pengawasan Armada barat meliputi  Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Selat Karimata dan Pantai Barat Sumatera.

Memperkuat Pertahanan Perairan Natuna
Untuk saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya di sana sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dan telah ditingkatkan dari tipe C ke tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat, bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Indonesia juga tengah menjadikan  Pangkalan Pontianak, menjadi  Pangkalan Utama TNI AL XII/Pontianak(Agustus 2015), dan akan diperkuat tiga kapal perang. Pangkalan utama TNI AL ini tergolong berada di perairan strategis dan sarat kepentingan politis internasional, yakni Laut China Selatan serta Laut Natuna.

Kita bersukur, karena kegiatan illegal fishing Tiongkok ini telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus diubah jadi tipe B Plus. Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan pesawat tempur,  jadi pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.

Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat.  Saat ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.

Saat ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV).
Rencananya ( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI kita itu masih bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi. Kesadaran kearah itu harus ada pada setiap lini kehidupan anak bangsa.



Rabu, 29 Juni 2016

Memperkuat Pertahanan TNI di Perairan Natuna


Memperkuat Pertahanan di Perairan Natuna
                 
Sengketa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan telah menjadikan wilayah tersebut jadi ajang rebutan territorial dari empat negara Asean (Malaysia, Vietnam, Pilifina dan Brunei), Taiwan dan Tiongkok.  Kemudian dengan perilaku para nelayan Tiongkok yang di back Up oleh Coast Guardnya telah melakukan klaim sepihak atas perairan Natuna sebagai Traditional Fishing Ground nya, membuat Indonesia sadar bahwa pada suatu saat akan terjadi “perang terbatas” di wilayah tersebut. Indonesia harus dengan cepat mempersiapkan pertahanan kedaulatan di wilayah tersebut sesuai amanat UU.
Kondisi itu pulalah yang menyadarkan kita, bahwa selama ini ternyata kekuatan Pertahanan kita di kepulauan Natuna dan sekitarnya, masih sangat jauh dari yang sepantasnya.

Indonesia hanya mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya di sana sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dan telah ditingkatkan dari tipe C ke tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat, bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Memperkuat Pertahanan Perairan Natuna
Kita bersukur, karena kegiatan illegal fishing Tiongkok ini telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti kapal induk kita. Jadi basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Dengan Lanud Ranai  jadi tipe B, maka ia akan dapat berperan sebagai pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu,  juga sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.
Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat.  Saat ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Hanggar tambahan juga baru akan disiapkan agar bisa menampung delapan pesawat tempur di pangkalan udara Ranai. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV).
Rencananya ( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI kita itu masih bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarananya dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi. Kesadaran kearah itu harus ada pada setiap lini kehidupan anak bangsa.


Sumber: http://www.wilayahpertahanan.com/pertahanan-perairan-natuna-menjaga-kedaulatan-bangsa/

Rabu, 15 Juni 2016

Pro kontra Pembentukan Badan Intelijen Pertahanan

Pro kontra Pembentukan Badan Intelijen Pertahanan


Kemhan Ingin Buat Badan Intelijen Pertahanan. Banyak yang mempertanyakan: Apa Alasan Kemhan sebenarnya? Mulai dari kalangan DPR, LSM dan pemerhati pertahanan. Pro kontra itu muncul disebabkan pemahaman para pihak dengan mauksud dan tujuan Kemhan sendiri yang sebenarnya belum tahu persis seperti apa bentuknya. Misalnya Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengingatkan bahwa rencana pembentukan lembaga intelijen pertahanan Kementerian Pertahanan tidak boleh berada di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Hasanuddin mengatakan, jika pembentukan badan intelijen pertahanan hanya merupakan penyempurnaan struktur dari Badan Instalasi Strategis Nasional (Bainstranas) yang sebelumnya sudah ada di Kemhan, maka hal tersebut diperbolehkan.

Namun, dia mengkritik pernyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Laksamana Madya TNI Widodo yang menyebut fungsi intelijen mencakup data secara keseluruhan, bukan hanya soal pertahanan.Menurut dia, jika Kemhan juga mengurusi persoalan ketahanan pangan dan maritim, hal tersebut menyalahi undang-undang."Tidak bisa dong kalau Kementerian Pertahanan mengurusi data-data soal ketahanan pangan. Undang-undangnya belum sampai ke sana," ujar Hasanuddin saat ditemui usai rapat kerja dan anggaran dengan Kementerian Pertahanan, di kompleks parlemen, Jakarta-Kompas Com Kamis (9/6/2016).
Hasanuddin menjelaskan dalam undang-undang tidak diatur mengenai fungsi Kemhan dalam urusan di luar pertahanan. Soal potensi wilayah terkait pertahanan di berbagai wilayah pun selama ini telah didata oleh Komando Distrik Militer (Kodam) yang secara struktur berada di bawah TNI."Potensi wilayah sudah ada didata oleh Kodam tapi tidak sampai ke urusan pangan diurusi oleh Kemhan," ungkap dia.Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan
Hendardi dari setara institute lebih dalam lagi. Ia menilai rencana tersebut justru menunjukkan fungsi koordinasi antar lembaga negara di sektor pertahanan tidak berjalan dengan baik.Menurut dia, alasan Kemhan atas kebutuhan informasi yang komprehensif seharusnya bisa dipenuhi dengan mendayagunakan satuan intelijen yang ada di bawah TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai pusat informasi intelijen negara."Jadi saya melihat ini soal keengganan berkoordinasi saja. Masing-masing ingin menunjukkan keunggulan institusinya bukan koordinasi untuk kepentingan bangsa dan negara," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Jumat (10/6/2016). Hendardi pun berpendapat bahwa Menhan bekerja tanpa berdasarkan perencanaan dan mandat reformasi pertahanan militer, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pertahanan dan juga Undang-Undang TNI. Banyak agenda strategis bidang pertahanan yang justru diabaikan seperti Penataan Bisnis Militer, Penataan SDM Militer, Reformasi Peradilan Militer Dan Transformasi Paradigmatik dalam menghadapi tantangan pertahanan mutakhir yang umumnya tidak dalam bentuk serangan fisik.

Intelijen Seperti Apa Sebenarnya Yang Kemhan Inginkan?

Laksamana Madya TNI Widodo mengatakan bahwa wacana untuk membentuk badan intelijen pertahanan berawal dari kebutuhan Kementerian Pertahanan dalam membuat kebijakan. Menurutnya dalam membuat setiap kebijakan, Kemhan sangat membutuhkan data yang komprehensif. Input data yang dibutuhkan oleh Kemham tidak selalu soal kekuatan pertahanan dalam negeri dan negara lain, tetapi juga data mengenai semua sumber daya yang mendukung pertahanan. Data-data tersebut antara lain menyangkut dalam bidang pangan, energi, industri maritim, dirgantara dan sumber daya manusia di daerah."Ini tak melulu soal kekuatan pertahanan kita atau negara sahabat, namun semua resources yang mendukung pertahanan. Itu didata untuk menyiapkann komponen pendukung dan cadangan kalau suatu saat negara ini dalam kondisi darurat," kata Widodo.
Sementara menurut Kemhan sendiri: Badan Intelijen Pertahanan Tak Akan Bertabrakan dengan BIN dan BAIS. Kemhan juga mengatakan: Tidak Ada Penambahan Anggaran Terkait Pembentukan Badan Intelijen Pertahanan. Karena badan tersebut hanya merubah Badan yang sudah ada yakni Bainstranas atau Badan Instalasi Strategis Nasional mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kawasan instalasi strategis nasional, dan mengukuhkannya sebagai Badan Intelijen Pertahanan. Menhan Ryamizard Ryacudu menegaskan bahwa Kementerian Pertahanan harus memiliki lembaga intelijen sendiri untuk menggali informasi terkait  pertahanan dan keamanan negara. Sampai saat ini, kata Ryamizard, Kementerian Pertahanan tidak menerima info dari intelijen pertahanan."Di mana mata dan telinga Kementerian Pertahanan kalau tidak punya intelijen sendiri. Ini penting supaya kami tahu situasi yang terjadi. Seperti perpanjangan tangan dari Kemhan" ujar Ryamizard saat ditemui di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Senin (6/6/2016).                                                                            
Mantan Rektor Universitas Pertahanan Indonesia yang juga mantan DirjenStrahan Letnan Jenderal TNI (Purn) Syarifudin Tippe mengatakan, Badan Intelijen Pertahanan ini nantinya akan bertugas memberikan dukungan data-data dalam menyusun konsep dan strategi, serta memetakan potensi ancaman di sektor pertahanan. Menurutnya  Badan Intelijen Pertahanan bakal memayungi segala informasi ancaman yang berasal dari unsur militer maupun nonmiliter.
Tippe berkata, dalam sektor intelijen, Badan Intelijen Strategis (BAIS) Tentara Nasional Indonesia yang sudah ada selama ini hanya bekerja dalam ruang militer. Akibatnya terjadi kekosongan ruang dalam menghadapi ancaman nonmiliter di bidang pertahanan."Pertahanan itu luas, dan ada ruang kosong yang tidak terjamah intelijen TNI, yaitu intelijen nonmiliter. Di situlah tugas Badan Intelijen Pertahanan," kata Tippe kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/6/2015).
Tippe juga menjelaskan, Sejak 2008 Kementerian Pertahanan telah membahas wacana Badan Intelijen Pertahanan sejak tahun 2008. Saat menjadi Dirjen, Tippe melakukan studi ke Badan Intelijen Australia (Defence Intelligence Organisation) di bawah Kementerian Pertahanan Australia. Badan Intelijen Australia bertugas menilai data intelijen yang diperoleh dari atau disediakan oleh agen-agen intelijen yang berada di dalam dan luar Australia. Tujuannya untuk mendukung proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan kementerian pertahanan negara itu, serta merencanakan operasi angkatan bersenjata Australia. 

Bagaimana Mempertahankan Kinerja BAIS TNI?

Untuk bisa melihatnya lebih terurai ada baiknya kita melihat seperti apa pola kerja Kemhan yang kita tahu selama ini. Kalau kita melihat pada produk yang dihasilkan oleh Kemhan maka dapat kita katakan dalam ungkapan yang sederhana kurang lebih sbb: Ada dua produk Kemhan yang menjadi penjuru bagi pelaksanaan pertahanan di Indonesia yakni BUKU PUTIH dan KEBIJAKAN PERTAHANAN.“Buku Putih” ini merupakan suatu rumusan pernyataan dan kebijakan pertahanan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan fungsi pertahanan negara. Dalam artian sederhana sebuah buku putih akan membutuhkan informasi terkait perkembangan lingkungan keamanan strategis dan ancaman yang akan muncul.
Selama ini di lingkungan Kemhan DitjenStrahan yang mengumpulkan data intelijen yang diperoleh dari jajaran BAIS dan BIN dll yang dikirimkan, dan atau dikoordinasikan dengan agen-agen intelijen yang berada di dalam dan luar Indonesia. Tujuannya untuk mendukung proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah dan kementerian pertahanan negara itu, serta merencanakan operasi angkatan bersenjata RI sebagaimana yang tertuang dalam Buku Putih (5 tahunan) dan Kebijakan Pertahanan maupun Kebijakan Umum Penyelenggaraan Pertahanan.Info yang terkait “militer” bisa didapat dari para athan Indonesia di berbagai negara yang menjadi barometer atau berpengaruh bagi munculnya peluang, ancaman dan kerjasama terhadap kepentingan nasional Indonesia. Athan adalah bagian dari intelijen BAIS TNI. Intelijen ini dioperasionalkan oleh BAIS dan anggaran operasionalnya di programkan oleh Kemhan.
Informasi tentang ancaman yang ada dari dalam negeri juga di dapat dari intelijen BAIS-TNI di jajaran Kodam serta Intelijen nasional yang di kelola oleh BIN. Kemhan sesuai dinamika mendapatkan lapaoran dari semua jajaran intelijen, hususnya jajaran intelijen BAIS TNI. Untuk pendalaman terkait sesuatu issu biasanya Kemhan akan mengundang para pihak untuk dikonfirmasi serta dimatangkan lebih lanjut.

Kalau kelak Badan Intelijen Pertahanan ini terwujud, tentu Kemhan akan mendapatkan sumber informasi intelijen yang sesuai dengan kebutuhannya. Apakah badan ini nantinya akan bekerja sama dengan DitjenStrahan dalam memformulakan ancaman terhadap negara atau kepentingan nasional Indonesia; tentu berbagai dinamika bisa saja terjadi. Hanya yang jadi bahan pemikiran adalah; semoga kemhan tetap pada posisinya untuk terus mendorong penyediaan anggaran bagi kelangsungan dan keberhasilan BAIS TNI khususnya yang terkait dengan kegiatan Athan di manca negara yang selama ini memang anggarannya di programkan oleh Kemhan. Tetapi sebaliknya kalau Kemhan hanya fokus kepada Badan intelijennya sendiri, tentu akan berubahlah kinerja para Athan, yang selama ini merupakan sumber informasi kekuatan militer di manca negara. Tetapi sebaliknya kalau Kemhan bisa mensinergikan kedua Badan Intelijen tersebut maka hasilnya akan sangat berbeda.