Mengapa Divestasi
Freeport Tak Menunggu 2021
Pemerintah Indonesia
resmi mengontrol mayoritas (51,23) persen saham perusahaan yang menambang
tembaga dan emas di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia (FI).
Ini ditandai tuntasnya
pembayaran divestasi FI senilai 3,85 miliar dollar AS oleh holding BUMN
tambang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Dari total saham 51,23 persen,
Inalum kini mengontrol 41,23 persen dan 10 persen sisanya Pemda Papua. Saham
Pemda Papua akan dikelola perusahaan khusus, PT Indonesia Papua Metal dan
Mineral (IPPM), yang 60 persen sahamnya dimiliki Inalum dan 40 persen milik
BUMD Papua.
Mekanisme ini sangat
tepat untuk menghindari penjualan saham FI oleh pemda kepada perusahaan swasta
nasional, seperti dalam divestasi 24 persen saham Newmont Nusa Tenggara.
Pemerintah kemudian menerbitkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan
catatan, perpanjangan kontrak sampai 2041, wajib membangun smelter tembaga dan
jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport. Perpanjangan kontrak
sampai 2041 masuk akal karena Inalum masih butuh Freeport mengolah tambang
bawah tanah (underground) yang berteknologi dan infrastruktur
canggih. Perpanjangan kontrak penting karena Freeport akan mengeluarkan dana 20
miliar dollar AS untuk pembangunan tambang underground dan
pembangunan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur, senilai 2,3 miliar dollar
AS.
Tanpa perpanjangan
kontrak, Freeport tak akan mengeluarkan dana investasi yang berdampak pada
perekonomian nasional-daerah, seperti lapangan kerja dan penerimaan negara.
Dengan menerbitkan IUPK, rezim kontrak karya (KK) Freeport yang dirancang pada
zaman Orde Baru yang dipandang merugikan negara berakhir.
Tak menunggu kontrak berakhir?
Debat seputar divestasi
FI tanpa memahami KK adalah debat kosong. Pihak yang beroposisi dengan
pemerintah Jokowi membangun opini dengan logika yang lepas dari konteks sejarah
KK FI. Bagi mereka, untuk apa Inalum membayar Rp 54 triliunan untuk mendapat
saham FI. Sementara jika KK FI berakhir 2021, pemerintah akan mendapat konsesi
tambang Grasberg dengan gratis (zero price), karena setiap tambang yang
berakhir kontraknya harus dikembalikan kepada negara, seperti nasionalisasi
Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari perusahaan Perancis, Total E&P,
kepada Pertamina. Di Blok Mahakam, Total memegang kontrak bagi hasil (producing
sharing contract/KPS), sementara FI memiliki payung hukum KK yang tentu
sangat berbeda dengan bagi hasil di migas.
Sejak mulai beroperasi di
Indonesia, Freeport adalah perseroan terbatas (PT) yang memiliki aset dan terus
bertambah seiring penemuan wilayah-wilayah tambang dan penambahan infrastruktur
penunjang. Ketika FI hanya mengeksplorasi Pegunungan Erstberg, harga saham FI
masih kecil. Namun, seiring penemuan tambang terbuka (open-pit) di
Grasberg dan pembangunan tambang bawah tanah yang dilengkapi terowongan, kereta
api bawah tanah, dan tunnel (jalan bawah tanah) sepanjang
1.000 kilometer, harga FI sangatlah mahal. Pemerintah akan dianggap merampas
hak Freeport dan digugat ke pengadilan arbitrase internasional jika mengambil
aset yang sudah dibangun dengan investasi besar tanpa lewat proses renegosiasi
kontrak saling menguntungkan (win-win solution). Semua aset itu sudah
diatur dalam KK.
KK adalah dasar hukum bagi
FI untuk memulai operasi tambang di Ertsberg dan Grasberg. KK disusun FI atas
perintah pemerintahan Soeharto. KK disusun dengan alasan bahwa investasi di
Ertsberg pada tahun-tahun awal Freeport masuk ke Papua menelan biaya besar. FI
harus membawa alat-alat berat dengan helikopter ke Pegunungan Cartens. Demikian
juga, setelah selesai digali, tembaga harus dibawa menggunakan helikopter ke
Pelabuhan Amamapare. Dari Pelabuhan Amamapare, barulah konsentrat tembaga
diekspor kepada pembeli (buyer) mereka di luar negeri. Freeport meminta
kontrak yang agak mudah, tidak dibebani biaya pajak dan royalti tinggi, karena
investasi di Erstberg yang sangat mahal tersebut.
Geolog yang bekerja untuk
Freeport, George A Mealey, dalam bukunya, Grasberg (1999),
mengungkapkan, pemerintah Soeharto tak memiliki rujukan dalam penyusunan
kontrak. Pemerintah kemudian menyerahkan pembuatan KK kepada FI. Alasannya, KPS
di sektor migas yang dirancang pada zaman Soekarno tak menarik minat FI yang
harus mengeluarkan dana investasi awal 300 juta dollar AS.
Ahli hukum Freeport, Bob
Duke dan Ali Budiardjo, kemudian merancang payung hukum bagi FI. KK adalah
jalan tengah antara model konsesi pada zaman kolonial Belanda dan model bagi
hasil. KK memberi ruang bagi korporasi asing untuk dapat hak penuh atas mineral
dan tanah. Ini berbeda dengan KPS di sektor migas di mana negara tuan rumah
langsung mendapatkan hak atas peralatan dan sarana dan dalam waktu singkat
seluruh operasi menjadi milik negara. Itu yang membedakan KK Freeport dengan
kontrak-kontrak lain di sektor migas.
Dari pengakuan Mealey,
negara ternyata tak hadir dalam penyusunan KK. Negara dikuasai korporasi hanya
demi membuka keran investasi untuk pembangunan. KK yang dirancang korporasi dan
orang-orang yang bekerja untuk korporasi tentu menghasilkan kontrak yang
timpang dan tak menguntungkan Indonesia. Mereka pasti sudah mengantisipasi masa
depan investasi mereka di Indonesia dan bagaimana caranya agar mereka jadi
permanen di republik ini.
Itulah sebabnya, rezim
yang datang kemudian, seperti pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini, sangat
sulit mengutak-atik lagi KK FI. Pemerintah tak bisa memutus KK begitu saja
meski kontrak FI berakhir 2021. Sebab, ternyata, ada klausul dalam KK yang
memberi ruang kepada FI untuk memperpanjang kontrak 2 x 10 tahun atau sampai
tahun 2041.
Mealey mengaku, KK
dirancang dalam kondisi negara tak siap dan kacau. Demokrasi tak berjalan dan
politik tak stabil. Namun, dalam kondisi itu, kontrak masih dipaksa dibuat demi
investasi dan pembangunan. Negara tak paham ke mana ekonominya berjalan. Dalam
ketidakberdayaan negara seperti itu, FI masuk bak penyelamat yang bisa
mendatangkan investasi besar bagi negeri ini. Negara tak pernah berpikir
panjang dan beranggapan investasi tambang Ertsberg hanya berlaku 1-2 tahun saja.
Negara tidak membayangkan bahwa ekonomi itu soal masa depan.
Seandainya saja sedikit
berpikir lebih bijak saat KK ditandatangani, pemerintah pasti akan berpikir
bahwa suatu saat nanti tambang ini sangat potensial dan menguntungkan.
Pemerintah seharusnya mengevaluasi data cadangan tembaga dan emas di Ertsberg
atau membaca hasil penelitian para geolog yang selama beberapa tahun melakukan
penelitian di Gunung Ertsberg. Dari hasil evaluasi itu, barulah pemerintah
mendesain kontrak yang luwes, lentur, fleksibel agar tak merugikan kepentingan
rakyat Indonesia. Kerangka aturan yang dibangun di atas pemahaman yang baik dan
kehendak politik yang kuat pasti menguntungkan Indonesia.
Bagi saya, rezim yang
berani mengubah KK menjadi IUPK adalah pemerintah yang tegas dan berdaulat.
Belum ada satu pun rezim yang berani mengubah KK karena kekuatan pengusaha
lokal dan global yang banyak dapat untung dari FI. Selain itu, FI berani
menekan pemerintah dengan cara mengancam merumahkan karyawan yang berakibat
pada masalah sosial-politik di Papua dan penerimaan negara. Hanya rezim kuat
yang berani mengubah KK FI.
Jika melihat kondisi
keuangan FI saat ini, sebagai anak bangsa, kita boleh cemburu. Tambang Grasberg
di Papua adalah tambang paling menguntungkan. Grasbreg boleh dikatakan tambang
uang bagi Freeport McMoRan. Tahun 2010, misalnya, Freeport McMoRan membukukan
laba bersih 2,6 miliar dollar AS. Penjualan dari Grasberg tahun itu 1,1
miliar pound tembaga dan 497.000 ons emas. Tahun 2011, FI
berkontribusi 3,45 miliar dollar AS pada pendapatan Freeport McMoRan.
KK jadi alat hukum bagi
FI untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Erstberg, Grasberg, dan
tambang bawah tanah di Papua. Dengan KK, FI dapat dengan leluasa melakukan
ekspansi bisnis dan mengeksplorasi tembaga dan emas di Papua tanpa membangun
smelter tembaga di dalam negeri. FI sejak 1998 hanya mengirim sekitar 36 persen
konsentrat tembaga ke PT Smelthing Gresik, untuk diolah di dalam negeri dan
sisanya diangkut ke Atlantik Copper, smelter mereka di Spanyol.
Setelah menambang habis
emas dan tembaga di Ertsberg (1971-1988), FI meninggalkan lubang menganga tanpa
reklamasi pascatambang. Setelah itu, FI berpindah mengeksplorasi pegunungan
emas dan tembaga di Grasberg (1988-sekarang). Kita masih menunggu, apakah nasib
Grasberg akan sama seperti Erstberg: tanpa reklamasi pascatambang dan kerusakan
ekosistem alam dibiarkan begitu saja. Mulai 2019, FI menambang di
pertambangan underground. Kita juga akan menunggu, setelah 2041,
seperti apa kondisi tambang-tambang underground itu.
Diskusi seputar FI hanya
berputar-putar pada soal investasi bisnis dan cara membangun tambang underground.
Sementara, investasi untuk memperbaiki lingkungan yang rusak dan keberlanjutan
lingkungan luput dari perhatian. Alokasi dana Abandon Site Restoration (reklamasi
pascatambang) nyaris tak ada selain biaya investasi untuk mengeruk emas dan
tembaga. Untuk itu, dengan mengontrol 51,23 persen saham FI, pemerintah melalui
Inalum memiliki hak suara dalam manajemen dan keputusan penting terkait masa
depan tambang Grasberg. Dengan menjadi pemegang saham, Indonesia bisa melihat
dari dekat dapur FI di tambang Grasberg dan belajar bagaimana cara FI mengolah
tambang underground yang mewah itu daripada hanya berteriak
dari luar dan meraba-raba apa yang dilakukan FI.
Divestasi untungkan Indonesia
Dengan menjadi pemegang
saham mayoritas di FI, Indonesia akan diuntungkan secara finansial. Tahun 2019,
tambang open-pit Grasberg memang mencapai titik puncak. Dalam
perkiraan FI, produksi FI pun ikut menurun. Namun, yang perlu dicatat adalah
tambang open-pit hanyalah 7 persen dari total cadangan
Freeport. Cadangan terbesar 93 persen tambang Grasberg ada di underground, mencakup
wilayah Kucing Liar, Grasberg open-pit, DOZ Block Cave, Big Gosan,
Grasberg Blok Cave, dan DMLZ Block Cave. Sampai 2017, cadangan terbukti dan
terkira di Grasberg 38,8 miliar pound tembaga, 33,9 juta ons
emas, dan 153,1 juta ons perak.
Mulai 2021, FI akan
menikmati produksi dari tambang underground yang dalam
perkiraan berkisar 160.000-200.000 ton konsentrat tembaga. Jika harga metal di
pasar global naik, tentu itu akan menguntungkan FI dan Inalum sebagai pemegang
saham. Boleh jadi, Indonesia akan dapat keuntungan besar karena pendapatan FI
dari tambang Grasberg ke depan bisa di atas 3 miliar dollar AS per tahun.
Dengan begitu, 51 persen dari pendapatan itu akan kita peroleh sebagai dividen.
Kontribusi penerimaan negara juga akan kian besar karena, ke depan, FI akan
membangun pabrik smelter tembaga dan emas di Gresik.
Dengan keuntungan begitu
besar, Inalum akan mengembalikan dana pinjaman dari penerbitan obligasi global
dalam 3-5 tahun dan menikmati keuntungan besar dari operasi tambang Grasberg.
Indonesia juga boleh berbangga karena perusahaan tambang milik BUMN menjadi
besar dan pusat perhatian investor global. Indonesia melalui Inalum bisa
mengontrol tembaga dan menjadi penentu di pasar global. Jadi, kita perlu
mengapresiasi langkah berani pemerintahan Jokowi yang telah menyelesaikan
divestasi saham Freeport dengan mekanisme korporasi.
Kompas.id, 27 Desember
2018; Ferdy Hasiman Peneliti pada Alpha
Resarch Database, Indonesia