Rabu, 09 Desember 2015

Menanti Kesejahteraan Di Perbatasan

Menanti Janji Manis Diwujud kan



Orang suka makan durian, sedangkan durian banyak berduri.


Jika Bapak tak perhatikan, kami beralih ke Australi(a).
Malam telah larut ketika Zadrak A Sainyakit (56) membacakan pantun karyanya di teras rumahnya di Desa Adaut, Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat, Maluku, akhir Agustus lalu. Suasana seketika hening, hati miris mendengarnya.
Pantun pernah dibacakan Zadrak saat mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini mengunjungi Selaru, Oktober 2010. Melalui pantun itu, dia mencoba mewakili warga, menggambarkan kondisi Selaru, pulau terluar Indonesia yang wilayah lautnya berbatasan dengan Australia. Pantun memang menjadi cara bagi warga Selaru dalam menyampaikan keinginannya saat ada pejabat berkunjung. Turun-temurun mereka melakukan itu. Dengan pantun, mereka yakin lebih bisa menyentuh hati para pembuat kebijakan daripada berteriak-teriak, marah atau berunjuk rasa. "Kami yakin, apa yang kami sampaikan melalui pantun lebih bisa menggugah hati para pejabat," tutur Zadrak.Namun, kini hampir lima tahun berlalu setelah pantun itu diucapkan, perhatian yang diharapkan oleh 12.256 warga Selaru tak juga terwujud.
Sarana transportasi laut ke/dari Saumlaki, ibu kota Maluku Tenggara Barat, masih terbatas, bahkan sering kali terputus saat musim ombak tinggi. Harga bahan-bahan pokok masih tinggi akibat minimnya sarana transportasi. Infrastruktur jalan antardesa di Selaru juga masih buruk. Sarana kesehatan masih jauh dari memadai. Selain itu, empat dari tujuh desa di Selaru belum teraliri listrik. Wajah Selaru tak jauh berbeda dengan daerah-daerah perbatasan lainnya di Maluku, yang berada di tiga kabupaten, yaitu Maluku Tenggara Barat, Aru, dan Maluku Barat Daya.

Membangun Wilayah Perbatasan
Maka, tidak heran angka kemiskinan di tiga kabupaten itu lebih tinggi daripada kabupaten/kota lainnya di Maluku, yaitu lebih dari 27 persen. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) juga berada di bawah rata-rata IPM nasional, 73,81 persen, dan di bawah rata-rata IPM Maluku, 72,20 persen.Wajah ketertinggalan itu pula yang terlihat di daerah-daerah perbatasan lainnya, tidak hanya di Maluku. Daerah perbatasan itu tersebar di 41 kabupaten/kota, di 13 provinsi yang berbatas- an dengan 10 negara tetangga.
Sejak Indonesia merdeka, 70 tahun lalu, daerah-daerah yang seharusnya menjadi beranda depan negeri, menjadi wajah dari negeri ini, justru diposisikan di halaman belakang, dilupakan. Berulang kali pejabat pemerintah datang ke perbatasan, menjanjikan perubahan, tetapi tidak pernah tampak hasilnya. Begitu pula triliunan rupiah yang dikeluarkan untuk perbatasan juga tak terlihat hasilnya. Jadi, tak keliru jika masyarakat perbatasan sering kali tak pernah merasa memiliki negara ini sehingga saat kedaulatan negara dilanggar, mereka mengabaikannya.
"Helikopter asing dengan mudahnya mendarat di Sebatik. Mercu suar dibangun asing di Ambalat. Tapal batas kita yang hilang atau sengaja digeser. Masyarakat perbatasan sebenarnya tahu semua itu melanggar kedaulatan. Namun, mereka diam saja," ujar Deputi Bidang Potensi Perbatasan Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Suhatmansyah.
Padahal, pembangunan daerah perbatasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan sejatinya bisa menjadi kunci untuk menjaga kedaulatan bangsa. Terlebih di saat penjagaan perbatasan oleh aparat keamanan belum sempurna.Kini, ketika kepercayaan masyarakat perbatasan kepada pemerintah ada di titik nadir, janji manis membangun perbatasan kembali diutarakan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan janji itu sebagai salah satu poin dalam Nawa Cita, yang merupakan visi dan misi mereka, membangun Indonesia dari pinggiran.
Implementasinya, rencana pembangunan perbatasan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga harus membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di RPJMN.
Di dalam rencana itu, 10 daerah bakal dikembangkan menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun ini, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50 kecamatan.
Suhatmansyah menjelaskan, daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya.
Dia mencontohkan Saumlaki sebagai PKSN. Saumlaki akan didorong menjadi pusat perekonomian baru. Caranya di antaranya dengan membangun infrastruktur dan konektivitas dengan pusat perekonomian di luar Maluku, yaitu Surabaya. "Direncanakan akan ada kapal kargo khusus yang melayani jalur dari Surabaya ke Saumlaki hingga Papua. Tak hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok, kapal akan membawa hasil-hasil bumi rakyat di selatan Maluku," ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menjanjikan perubahan wajah perbatasan bisa terlihat dalam waktu tiga tahun ini. Perubahan setidaknya harus terlihat dari lima hal, yaitu infrastruktur jalan, air bersih, listrik, pendidikan, dan kesehatan.
Dia pun menjanjikan egosektoral kementerian/lembaga yang selama ini menghambat pembangunan perbatasan tidak terjadi. "Koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara BNPP menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, serta evaluasi dan pengawasan program. Hingga kini koordinasi berjalan lancar," ujar Tjahjo, yang juga Kepala BNPP.
Untuk lebih menjamin wajah perbatasan betul berubah, Suhatmansyah melanjutkan, saat ini disusun instruksi poresiden yang isinya peta jalan pembangunan perbatasan setiap tahun."Ditetapkan pembangunan di perbatasan apa, kementerian/lembaga yang terlibat apa, dan alokasi anggaran yang harus disediakan kementerian/lembaga. Ini menjadi acuan. Dengan inpres, tidak ada alasan kementerian/lembaga tidak mengalokasikan anggaran," ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, hal paling utama yang menghambat pembangunan perbatasan selama ini adalah setiap kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. BNPP yang diserahi tugas mengoordinasikan pembangunan perbatasan oleh kementerian/lembaga tidak mampu menjalankan tugasnya. Dengan kendali koordinasi sekarang berada di Menko Polhukam, dia juga pesimistis tiap kementerian/lembaga bisa menyingkirkan egonya dan menurut kepada Menko Polhukam.
"Kendali harus ada di Presiden. Presiden sendiri yang memastikan setiap kementerian/lembaga menjalankan program pembangunan perbatasan yang disusun oleh BNPP. Dengan demikian, menteri/kepala lembaga pasti ikut," katanya. Hal lain yang sering diabaikan, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi yang daerahnya di perbatasan tidak dilibatkan dalam perencanaan program. "Libatkan daerah karena mereka yang paling tahu persoalan di daerah dan cara-cara mengatasinya," ujar Djohermansyah.
Namun, apa pun itu, hingga kini masyarakat perbatasan masih menantikan perubahan yang nyata di daerah mereka. Semoga janji manis mengubah wajah perbatasan betul diwujudkan.
( Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/09/10/Menanti-Janji-Manis-Diwujudkan?utm_source=bacajuga)

Jumat, 04 Desember 2015

Penjagaan Laut dan Pantai Saatnya Untuk Ditingkatkan

Penjagaan Laut dan Pantai Ditingkatkan

Isu-isu keamanan yang terus merebak di dunia membuat pemerintah meningkatkan penjagaan keamanan di laut dan pantai. "Status keamanan pelabuhan tidak ditingkatkan, tetapi penjagaan akan lebih ketat," demikian dikatakan Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Pranyoto di sela-sela acara perjanjian kontrak pengerjaan 18 kapal patroli, di Jakarta, Jumat (27/11).

Menurut Pranyoto, status keamanan di pelabuhan berbeda dengan status keamanan di bandara. Jika status keamanan bandara ditingkatkan dari hijau menjadi kuning, status keamanan pelabuhan tetap level 1 atau normal. "Kita tentu tidak mau kecolongan. Oleh karena itu, kami memeriksa lagi apakah pagarnya sudah standar, lalu bagaimana dengan lalu lalang orang, sopir dan kernet truk juga diperiksa," kata Pranyoto.

Contoh lain yang dilakukan, misalnya, ada pelabuhan yang harusnya tertutup, tidak boleh sembarangan orang masuk. Demikian juga pedagang, walaupun sudah kenal, tetap harus diperiksa. Prosedur keamanan harus terus dijalankan. Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit mengatakan wilayah perairan Indonesia yang sangat luas membutuhkan armada patroli yang cukup banyak untuk menjaga keamanan perairan.

"Tahun ini kami ingin membangun 83 kapal patroli dengan berbagai macam kelas. Yang sudah dikontrakkan sudah 53 kapal. Sisanya, yang 30 unit lagi akan dikontrakkan pada Desember nanti," kata Bobby. Dalam perjanjian kontrak kemarin disebutkan akan dibangun dua unit kapal patroli kelas 1 dengan nilai Rp 130,3 miliar. Lalu dibangun juga enam unit kapal patroli kelas III senilai Rp 131 miliar. Kemudian dibangun juga 10 unit kapal patroli cepat aluminium senilai Rp 106 miliar.

"Selain pembangunan kapal, juga dikontrakkan pengadaan 13 set penanggulangan pencemaran senilai Rp 85,25 miliar," kata Bobby. Pengadaan lain yang dilakukan adalah lima set radar pemantauan untuk kapal patroli dengan nilai kontrak Rp 80,4 miliar dan pengadaan dua set Gyro Vertical bernilai kontrak Rp 6,35 miliar. Total nilai kontrak yang ditandatangani mencapai nilai Rp 572,543 miliar.

Banyaknya kapal patroli yang dipesan tentu membutuhkan pasokan sumber daya manusia yang cukup. Setiap kapal membutuhkan personel 20-30 orang. Dengan dipesannya 83 kapal di tahun ini, setidaknya dibutuhkan 1.600-2.500 orang.


"Kapal-kapal itu akan selesai dibangun tahun 2017, jadi tahun depan kami akan minta ke Menpan untuk merekrut 3.000-an personel. Baik untuk mengisi kapal-kapal yang baru, juga untuk menambah yang sudah ada atau mengganti personel yang pensiun," kata Bobby. Personel itu nantinya akan direkrut dari sekolah-sekolah pelayaran atau bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut. (Sumber : Kompas, 28 November 2015,ARN)

Sabtu, 14 November 2015

Pertahanan, Situasi Baru Geopolitik Asia
Oleh René L Pattiradjawane


Geopolitik di kawasan Asia akan berubah drastis mengikuti dinamika perkembangan pada interaksi negara-negara kawasan dan luar kawasan dalam memproyeksikan kerja sama dan kepentingan nasional masing-masing. Kehadiran kapal perusak berpeluru kendali Amerika Serikat USS Lassen ke wilayah perairan "pulau palsu" Subi di Laut Tiongkok Selatan dan keputusan Pengadilan Permanen Arbitase (PCA) di Den Haag, Belanda, dalam kasus Filipina di LTS menjadi momentum baru.

Kehadiran USS Lassen dan keputusan PCA mengenai kewenangan meneruskan tuntutan Filipina di Laut Tiongkok Selatan (LTS), termasuk penentuan sembilan garis putus-putus, pekan lalu, sama-sama memiliki nuansa penting atas norma dan nilai hukum internasional. Dari dua peristiwa ini, Tiongkok sebagai aktor negara dalam persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di LTS maupun pembangunan "pulau palsu" akan dihadapkan pada berbagai persoalan sesuai hukum internasional sekaligus perlu menata ulang yurisdiksi kedaulatan wilayahnya di LTS.

Kawasan LTS yang dikelilingi sejumlah negara menjadi titik kerumitan yang memuncak pada abad ke-21 karena negara-negara kawasan ini memiliki latar belakang budaya dan sejarah yang serupa. Kesamaan latar belakang ini tidak ditunjang sistem politik internal yang sama. Apalagi, tingkat pembangunan ekonomi, kesetaraan ekonomi, dan politik yang beragam.

Justifikasi Tiongkok selama ini selalu dilawan oleh skeptisme masyarakat internasional bahwa kawasan LTS adalah alur komunikasi laut bagi perdagangan global yang bernilai 5,3 triliun dollar AS. Dari jumlah ini, 1,2 triliun dollar AS berasal dari perdagangan dengan AS. Kepentingan nasional AS di kawasan ini menjadi sangat krusial.

Pulau buatan di Kepulauan Spratly pada gugusan karang dan beting kosong yang muncul di permukaan saat air surut menjadi kecenderungan negatif yang bisa mengancam kepentingan RRT dalam memperluas dan memperdalam kerja sama, khususnya dengan negara-negara Asia Tenggara. Kehadiran USS Lassen dan keputusan PCA akan menghadirkan dimensi hukum internasional sebagai fenomena baru geopolitik Asia.

Ini kenyataan baru yang harus dihadapi RRT. Yang menarik, para penguasa Tiongkok tidak seperti biasanya memberikan komentar berlebihan. Tampaknya, ada kekhawatiran perubahan dimensi dengan bertambahnya norma dan nilai hukum internasional di wilayah klaim tumpang tindih LTS akan memicu kobaran nasionalisme dalam negeri.

Ini, misalnya, terlihat hanya pada berita pernyataan Kementerian Luar Negeri RRT di halaman dalam Renmin Ribao (Harian Rakyat), organ utama Partai Komunis Tiongkok, mengenai keputusan PCA atas isu yurisdiksi pengadilan arbitrase di LTS. Jejaring sosial media Tiongkok pun tidak banyak yang mempersoalkan keputusan PCA ini dan insiden USS Lassen.

Pernyataan Kemlu RRT ini sangat normatif, menekankan tidak ada perubahan posisi Tiongkok. Bahkan, kalimat pertama pernyataan ini menyebutkan keputusan PCA sebagai tidak sah (wuxiao de) dan tidak memiliki kekuatan mengikat (meiyou jushu li) Tiongkok. Posisi Tiongkok ini jelas merumitkan persoalan serta menjadi ancaman dan tantangan tersendiri dalam menata dan mengelola resolusi damai di LTS.

Kehadiran dimensi hukum internasional di LTS mengisyaratkan perlunya Tiongkok melakukan kerja sama secara intensif dengan ASEAN dan tidak membuang waktu menunda penyusunan dan penataan tata perilaku LTS (code of conduct), berharap ASEAN terpecah dalam isu ini.

Bagi Tiongkok, ASEAN yang bersatu dalam memelihara perdamaian dan stabilitas kawasan lebih menguntungkan ketimbang ASEAN yang terpecah dan teraliansi dalam blok negara-negara besar.

( Sumber : Kompas, 2 november 2015)

Jumat, 30 Oktober 2015

Bela Negara Dalam Kacamata HAM

Bela Negara dan HAM
Oleh Hendardi

Kecuali berpegang pada Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945, tak ada legitimasi lain yang dapat menjelaskan proyek "bela negara" yang dibuka pada 22 Oktober lalu oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sebanyak 4.500 calon pembina nasional dari 45 kabupaten/kota telah disasarkan dengan banderol total Rp 45 miliar.Selain tanpa berdasarkan UU, tujuan bela negara juga terlalu umum, yaitu membentuk warga negara yang setia dan siap berkorban bagi bangsa dan negara. Maka, sangatlah penting untuk membandingkan kehendak bela negara dengan pembelaan hak asasi manusia (HAM). Lagi pula, situasi politik telah berubah dan kediktatoran militer Soeharto telah berakhir.

Asal-usul bela negara di Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 mengawali peralihan dari rezim fasisme-militerisme Jepang dan warisan birokrasi kolonial Hindia Belanda ke negara pasca kolonial bernama Republik Indonesia. UUD 1945 diberlakukan dan presiden membentuk kabinet. Hukum pidana dan perdata serta lembaga penegak hukum dan kehakiman warisan kolonial pun diadopsi. Masuk kembalinya pasukan tentara Belanda yang membonceng Sekutu pasca Perang Dunia II diiringi munculnya perlawanan berbagai kelompok di Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan atau kedaulatan RI selama 1945-1949. Dalam situasi inilah sikap dan perilaku bela negara menjadi konkret dan tak sedikit yang gugur di medan pertempuran.

Pada awal 1960-an, Soekarno pernah menggelembungkan patriotisme dan nasionalisme dengan jargon "ganyang Malaysia" dan anti neokolonialisme. Setelah itu, giliran Jenderal Soeharto yang memerintah dan membentuk kediktatoran militer dalam negara Orde Baru. Namun, bela negara diabdikan untuk kepentingan rezim militer dan kroni-kroni bisnisnya. Bercokolnya kepentingan itu tidak saja membentuk identitas negara yang korup, juga pelanggar HAM dan sebagian mereka terlibat dalam kejahatan perang dengan TNI dapat sorotan paling buruk. Secara politik, rezim militernya selalu memberikan kemenangan mutlak kepada Golkar setiap pemilu dan tambahan jatah TNI/Polri 100 kursi DPR. Dan, berkali-kali tanpa batasan, Soeharto menjabat presiden.
Reformasi dan HAM. Berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 1998 juga mengakhiri rezim militernya. Reformasi politik menandai upaya membentuk negara demokratis, seperti pemisahan kekuasaan pemerintah dari parlemen dan kehakiman. Tak ada lagi supremasi militer, tetapi bergerak ke supremasi sipil. TNI pun dikembalikan pada tugas dan fungsi pertahanan.
Jika sebelumnya TNI dominan dalam politik ataupun terlibat berbagai bisnis tak kompetitif dan pemungut upeti, reformasi mendorongnya ke arah tentara profesional. TNI diharapkan tak lagi jadi pengabdi pada penguasa yang korup dan pelanggar HAM, tetapi tentara yang dapat melindungi sumber-sumber kekayaan negara dan menghormati hak-hak setiap orang.

Tak gampang TNI melepas kepentingan masa lalu yang berakar di bawah Orde Baru, tetapi tantangan sebagai tentara yang profesional juga telah menjadi bagian reformasi yang harus dijalankan. Kepentingan politik telah dilepasnya. Setelah mereka pensiun dari dinas militer, terbuka masuk partai-partai politik. Begitu juga dalam kaitannya dengan HAM. Reformasi TNI telah mengurangi keterlibatannya atas dugaan pelanggaran HAM, kecuali beberapa insiden di Papua dan daerah lain dalam sengketa lahan. Relasi TNI dengan berbagai kelompok paramiliter, seperti "rakyat terlatih", telah sangat menyusut.

Negara RI pasca reformasi kian dituntut menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. RI telah menjadi bagian dari subyek hukum HAM internasional, tak hanya kewajibannya atas hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Perdamaian sebagai upaya mengakhiri konflik telah menjadi solusi yang disambut hangat. Konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh telah diselesaikan dengan perdamaian, konflik horizontal di Ambon juga telah disemai dengan situasi kondusif, dan Poso telah mereda sehingga dugaan kejahatan perang pun telah berlalu.
Hak atas kebebasan berserikat kian dihormati oleh negara. Tak ada lagi "wadah-wadah tunggal" yang memaksa berbagai kelompok kepentingan hanya boleh bergabung dengan satu organisasi yang dikontrol negara. Pegawai, guru, buruh, petani, nelayan, perempuan, dan pemuda bebas memilih organisasi sesuai dengan pilihannya. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengoperasikan sistem pendidikan dan kurikulum mengenai moral, etika, dan pemikiran. Meskipun masih terdapat kelemahan, tampak tak menyeret para peserta didik ke dalam kegaduhan politik. Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai kalangan pun dapat belajar secara lebih terbuka.

Karena itu, patriotisme dan nasionalisme-paham yang berkaitan dengan bela negara-tak bisa lagi dimonopoli hanya oleh satu lembaga dalam situasi politik yang demokratis dan akses informasi yang begitu terbuka. Problem sehari-hari akan menjadi realitas yang memupuk kebutuhan orang atas pentingnya patriotisme dan nasionalisme. Dengan memahami kondisi negeri yang rawan bencana, tak sedikit orang jatuh simpati kepada para korban. Ketika ratusan ribu orang menjadi korban kabut asap, banyak pihak mendesak pemerintah menghentikannya dan sebagian memberikan bantuan. Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berteriak untuk menyelamatkan sumber pangan di lautan dari para maling ikan yang merajalela, banyak dukungan mengalir. Begitu pun dengan para TKI yang terancam di negeri orang, berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan mereka.


Semangat itu juga dapat diterjemahkan ke bidang-bidang lain, seperti olahraga, kesenian dan produk seni, peningkatan daya saing, serta kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Artinya, dengan lebih menghormati HAM, bela negara tak perlu disempitkan hanya dengan gaya gegap gempita seperti paramiliter. (Hendardi   Ketua Badan Pengurus Setara Institute Sumber : Kompas, 30 Oktober 2015)

Kamis, 15 Oktober 2015

Semangat Adu Domba dibalik Isu Tolikara dan Singkil Aceh



Semangat Adu Domba dibalik Isu Tolikara dan Singkil Aceh

Kalau kita peka, dan mau membaca berbagai fakta yang ada di sekitar kita, maka sebenarnya secara lamat-lamat kita akan bisa melihat bagaimana berbagai kejadian gejolak social yang ada di sekitar kita. Katakanlah di Timur Tengah, di Asia Timur, di Afrika dan di tanah-tanah bekas jajahan eks colonial zaman dahulu maka kita akan dapat melihat siapa berbuat apa, siapa yang maunya apa dan siapa yang melakukan apa dan siapa yang mendapatkan apa-apa.
https://www.bukalapak.com/bukubatas
Indonesia sebagai NKRI sudah dipersatukan oleh perilaku colonial sejak zaman kuda gigit besi, zaman takkala anak negeri masih jadi masyarakat peramu, masyarakat yang hidupnya tergantung sepenuhnya pada alam. Saat alam jadi sumber kehidupan maka penguasaan wilayah adalah suatu keharusan. Lalu muncullah raja-raja kecil yang kian menyadari bahwa kehidupan tidak mungkin hanya bergantung pada wilayahnya saja, dan datanglah bangsa Eropa yang memang dari sananya berniat mencari wilayah baru untuk menambah penghasilan bagi Rajanya.
Datangnya orang – orang Eropa ini diwakili oleh para pendekar petualang, yang otaknya hanya mau mencari dan mencuri apa saja yang bisa didapat. Bagi mereka penduduk asli tidak lebih dari dan sama saja dengan hewan-hewan yang ada di wilayah itu. Mereka bisa menangkapnya, memakannya dan sepenuhnya terserah mereka mau diapakan. Mereka dengan gampang mengadu domba sesama saudara, dan dengan terang-terangan, dengan semua cara tidak ada garis moral di sana. Mereka menguasai wilayah NKRI ini untuk waktu 350 tahun, begitu juga dengan Jepang untuk selama 3,5 tahun. Intinya sama mereka melakukan apa saja asal wilayah nusantara ini tetap berada dibawah kekuasaan mereka.
Semangat Negara Kolonial Zaman Ini
Peradaban dan budaya memang kian berkembang, kalau zaman dahulu orang eropa dengan mudahnya meracuni sumur-sumur kehidupan orang pribumi dan mematikan warga kampong perkampung maka sekarang cara bar bar seperti itu jelas tidak mungkin lagi. Tetapi cara lain kan masih banyak? Yang penting tidak bertentangan dengan aturan internasional yang ada. Maka yang terjadi kemudian adalah pola lama zaman baheula; dimana bangsa barat yang lebih maju mengerjain bangsa-bangsa Timur Tengah, Asia dan Afrika yang masih bisa mereka “kerjakan” dengan pola lama tetapi dengan cara baru yang lebih terhormat. Tetapi semuanya sama, kalau dahulu mereka cari rempah-rempah kini mereka cari Minyak, Emas, Tembaga, Batubara, Timah, kayu dll.
Kalau dahulu yang datang adalah perusahaan semacam VOC nya maka sekarang jenis nya juga sama seperti,  dalam artian perusahaan besar ( kalau dahulu zaman VOCnya boleh dikatakan adalah milik negera) maka sekarang para perusahaan besar itu adalah milik swasta 100 persen tetapi di dalamnya sejatinya adalah para ahli intelijen (Negara) yang menggalang dan  berkolaborasi dengan aparat intelijen local (Negara tempat mereka beroperasi). Jadi jangan heran, kalau kader-kader yang pro pergerakan mereka sebenarnya sudah tertangani dengan baik. Baik itu yang ada di jajaran Kementerian/Lembaga, di BUMN, di Swasta murni dan bahkan dalam jajaran LSM-LSM itu sendiri. Kader-kader mereka sudah menjadi para petinggi di jajaran yang kita punya.
Ketika terjadi peristiwa Tolikara, maka cobalah catat bagaimana pandangan para pejabatnya, para petinggi di Kementerian/Lembaga di kalangan BUMN, kalangan swasta dan LSM-LSM yang ada. Kemudian takkala terjadi lagi hal yang mirip di Singkil Aceh. Maka cobalah rekam kembali pendapat para pihak. Sayangnya saya tidak mau membuka catatan saya, karena dengan membuka catatan-catatan sederhana itu saja, Kita sudah sangat mudah di adu domba. Kita beruntung masih punya Tokoh-tokoh lintas agama, dan masih punya tokoh-tokoh NU yang membuat percikan-percikan api yang sengaja di siramkan ke bensin yang telah tertumpah itu ternyata bisa mati dan tidak nyala. VOC-VOC zaman sekarang jauh lebih canggih dan tertata dengan baik. Kita sebagai bangsa, kalau tidak hati-hati maka akan jadi bahan bancaan mereka lewat berbagai isu kerusuhan dan perang saudara.Semoga warga dan pimpinan kita sadar akan kondisi yang ada.    

Sabtu, 03 Oktober 2015

70 Tahun RI di Panggung Global



70 Tahun RI di Panggung Global
Oleh Beni Sindhunata

Ketika merdeka, Indonesia bermodalkan 70 juta lebih  penduduk sebagai satu kesatuan yang kukuh (pidato Ir Soekarno di sidang BPUPKI, 1 Juni 1945). Lebih rinci, menurut Angus Maddison, jumlahnya 73,3 juta orang.Jauh di ujung utara dua hari sebelumnya Syngman Rhee memproklamasikan kemerdekaan Korea Selatan dari Jepang. Lima tahun kemudian, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama miskin. Indonesia berpenduduk 79 juta dengan PDB  per kapita 840 dollar AS, lebih rendah 2 persen dari Korea Selatan yang berpenduduk 20 juta orang dengan PDB per kapita 854 dollar AS (Maddison, 2001).
https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan

Akan tetapi, tujuh dasawarsa setelah merdeka, keduanya tampil  beda. Korea Selatan jadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-14 terbesar (PDB 1,3 triliun dollar AS, 2013), mengalahkan Indonesia di peringkat ke-16 (PDB 868 miliar dollar AS). Pendapatan per kapita rakyat Korea Selatan  tujuh kali lebih besar daripada Indonesia, padahal  dulu  hanya selisih 2 persen.
Mengapa bisa demikian?  Kami memilih Korea Selatan sebagai perbandingan, bahan introspeksi, karena kedua negara ini sama-sama miskin  dan sebaya, hanya selisih dua hari. Jangan hanya berkaca pada Amerika Serikat yang sudah berusia 169 tahun ketika RI merdeka.Sebaliknya juga kita perlu belajar dari krisis di Yunani. Yunani adalah negeri  kaya mitologi yang melegenda, sudah merdeka 185 tahun lampau dengan PDB nomor 44 terbesar dunia (2013), tetapi sekarang berjuang keras agar tidak terlempar dari Uni Eropa akibat kebangkrutan. Indonesia harus belajar dari pengalaman Yunani supaya tidak hilang dari radar dunia atau menjadi catatan sejarah.
Indonesia baru mulai membangun teratur tanpa konflik setelah 23 tahun merdeka, tepatnya sejak Juni 1968 di era Presiden Soeharto, berlanjut sampai tujuh Pelita. Atau, sudah membangun 47  tahun sampai saat ini. Dua dasawarsa sejak merdeka, Indonesia masih dipenuhi konflik militer, konflik politik, dan kehidupan demokrasi juga sedang mencari bentuk. Selama dua dasawarsa tersebut, ada 41 kabinet silih berganti memerintah dengan usia kerja rata-rata 1,5 tahun. Praktis tak banyak kebijakan strategis dan mendasar yang bisa dijalankan untuk membangun perekonomian negara.
Demikian pula Korea Selatan, juga tidak luput dari konflik politik, konflik militer, sampai perang internasional. Perang Korea (1950-1953) telah menghancurkan  infrastruktur di seluruh negeri ginseng ini. Pembangunan strategis baru dimulai sejak era Park Chung-hee (1961-1979), khususnya setelah dikeluarkannya kebijakan HCI (heavy and chemical industry) Januari 1973. Pembangunan di negeri ini sudah berjalan 54 tahun.
Saat kebijakan HCI diluncurkan,  di Jakarta terjadi peristiwa Malari. Dua peristiwa penting dengan visi berbeda dan berdampak besar ke depan serta ikut memengaruhi maju mundurnya perekonomian negara. Ini menunjukkan, gaya kepemimpinan yang kuat sama-sama di bawah rezim militer juga memberi hasil berbeda. Korea Selatan sudah bekerja 54 tahun dan Indonesia 47 tahun, sedangkan Indonesia relatif lebih stabil dibandingkan dengan Korea Selatan yang tak asing dengan kudeta. Namun, visi ekonomi strategis yang jauh ke depan serta dukungan rakyat terdidik jadi kunci penting lainnya.
Inklusivisme  Kemakmuran dan kemiskinan atau maju mundurnya negara dan bangsa bukan ditentukan kondisi geografis, budaya, atau warisan leluhur, tetapi oleh kemampuan pemimpin mengelola institusi (masyarakat dan negara) dengan pendekatan inklusif, pluralis, didukung sistem pendidikan yang cukup, membuka kesempatan setara untuk berkreasi dan berinovasi guna mencapai  kesejahteraan dan kemajuan negara (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Ketimpangan ekonomi mencolok antarnegara dan wilayah satu bukti pentingnya inklusivisme di bidang politik dan ekonomi. Jika kedua pakar ini mengambil Nogales (Arizona) sebagai contoh ketimpangan, dalam skala makro, Francis Fukuyama (2008) mengambil contoh melebarnya ketimpangan ekonomi Amerika Latin dibandingkan dengan Amerika Serikat. Jelas, tak ada rumus baku dan berlaku universal karena bergantung pada ruang dan waktu, termasuk eksistensi sang pakar.
Berbagai indikator ekonomi ini memang hanya sebatas angka yang terkadang absurd seperti tak membumi, tetapi PDB per kapita bisa memberi warna lain yang lebih berarti. Indonesia dengan PDB per kapita 3.475 dollar AS di peringkat ke-119 dari 214 negara. Belanda di peringkat ke-13,  warganya 15 kali lebih makmur daripada Indonesia. Korea Selatan di peringkat ke-31 tujuh kali lebih makmur daripada Indonesia. Ini indikator global yang diakui dan tak perlu diingkari yang tanpa sadar dalam berbagai aspek membuat orang terbiasa memandang rendah atau meremehkan  eksistensi bangsa sendiri dibanding dengan  negara luar yang lebih baik. Padahal, tak semua benar karena kemiskinan dan ketimpangan sudah mengglobal, jadi musuh bersama.
Suka atau tidak, tujuh presiden selama 70 tahun ini sudah memimpin dan  membangun Indonesia dengan hasil yang patut disyukuri sampai hari ini. Inilah Indonesia setelah 70 tahun tampil di panggung global.Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemimpin dan rakyat perlu bersatu padu optimistis membangun hari depan negara yang lebih sejahtera dan kuat. Terutama kita perlu pemimpin yang berjiwa besar, visioner, nasionalis, berani, dan bersih hanya untuk kepentingan negara. Di bawah kepemimpinan yang kuat disertai  partisipasi rakyat yang bersatu, negara ini bisa jadi  negara ke-4 terbesar pada 2050, di saat negara berumur 105 tahun (EIU, Juni 2015).
Memang untuk jangka panjang di masa depan kita semua sudah mati, tetapi sekarang kita perlu melihat, mengisi, dan menyongsong seabad Indonesia dari perspektif baru yang lebih obyektif, positif, dan optimistis tanpa harus minder bermental inlander yang menghamba, sebaliknya harus berani dan bisa jadi bangsa  besar dan bermartabat. Dirgahayu Indonesia.
Beni Sindhunata Direktur INBRA ( Sumber Kompas, 13 Agustus 2015)

Jumat, 18 September 2015

Pertahanan Teritorial Jangan Berikan Kesempatan OPM Bergerak

                 Lazada Indonesia

Belakangan ini yang sering kita dengar dari Papua adalah seringnya terjadi gangguan keamanan yang berupa penembakan aparat TNI atau Polri maupun warga sipil oleh para penggiat separatism atau OPM. Berbagai kejadian itu bisa dikatakan sebagai symbol makin aktifnya pergerakan para OPM itu sementara di sisi Polri dan TNI sebagai sebaliknya. Menganut pola “business as usual”. Maknanya menggambarkan kian lemahnya penegakan hukum di satu sisi dan tidak atau kurang berhasilnya peran pembinaan kekuatan terirorial di sisi lainnya. Sebagai pengamat pertahanan memang terdapat kesan seperti itu dalam sepuluh tahun belakangan ini, nyaris tidak kita temukan adanya perubahan pola atau perbaikan dalam penanganan yang terkait penegakan hokum dan perkuatan territorial. Sehingga timbul kesan para OPM itu seenaknya saja melakukan terror disana-sini.
https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan
Prajurit TNI yang bertugas sebagai penjaga perbatasan secara tidak langsung dapat ditugaskan untuk juga membina teritorialnya dengan cara jadi apa saja yang bisa mereka lakukan untuk menolong warga agar bisa berubah dari masyarakat peramu-menjadi masyarakat yang punya sektor produksi berupa kebun karet dan tanaman budi daya lainnya di sela-sela kebun karetnya. Prajurit itu bisa jadi penyuluh perkebunan, biasa jadi guru sekolah, guru senam dan banyak lagi. Yang ingin kita utarakan ada suatu simbiose kerja sama saling membesarkan antara para pihak untuk melahirkan masyarakat papua yang mampu mempunyai potensi berupa memiliki produk sendiri, berubah dari masyarakat peramu sebagaimana mereka adanya.
Pola ini bisa dilakukan dimana saja, sesuai dengan kondisi wilayahnya. Kalau cocok karet ya petani karet, kalau kopi ya petani kopi dll. Idenya bukan kebun sawit, karena kebun sawit itu adalah kebun industry dan hanya cocok buat petani maju yang sudah punya disiplin tinggi. Warga papua biasa masih tergolong warga serabutan dan lemah dalam hal disiplin. Intinya adalah agar pembangunan di Papua bisa langsung bermanfaat bagi warganya, khususnya warga local yang memang memerlukan bantuan. Maksudnya di satu sisi prajurit mengambil hati rakyat dengan membantu warga agar bisa sejahtera sementara para OPMnya dicari utk diberi berbagai pembekalan.

Polri dan TNI  Bisa Menemukan Markasnya OPM


Kalau yang kita dengar dan lihat itu adalah para penggiat separatism itu menghadang atau mendatangi Pos Pos nya TNI itu, dan kemudian melakukan kekacauan di sekitarnya. Kenapa malah bukan sebaliknya? Polri dan TNI itu agar menemukan Pos-posnya OPM itu dan kemudian membakarnya (bila perlu). Sulitkah itu? Sebagai ahli perpataan hal itu sangat sederhana, yakni menggabugkan kemampuan penginderaan jauh (satelit) dan informasi Intelijen yang dalam bahasa prajuritnya analisa geografi militer. Kita ketahui di setiap Pos Polri dan TNI mulai dari pos yang sederhana sampai Pos canggih, pasti selalu ada informasi “Lapsit atau laporan situasi” yang intinya memperlihatkan dimana saja opm itu terlihat atau berada dalam 24 jam, nah kalau info itu kemudian digabungkan dengan peta yang berisi jalan-jalan tikus di wilayah itu maka akan terlihatlah dimana sebenarnya pusat-pusat kegiatan OPM itu berpusat. Nah kalau info itu sudah ditemukan, ya kirimkan prajurit dan habisi markasnya atau pos-pos mereka itu. Artinya para OPM itu dibuat jangan sempat punya waktu tidur siang. Kesan kita yang terjadi belakangan ini justeru sebaliknya.
Untuk mempunyai kemampuan seperti itu, TNI perlu memanfaatkan prajurit Topografi AD, mereka punya kemampuan hidup di alam hutan, mereka punya kemampuan memanfaatkan Citra Satelit, bisa memnafaatkan software pemetaan tercanggih. Mereka punya drone dan mampu membuat dan mengopeasikan drone. Artinya berbagai informasi dari satelit tadi masih bisa di optimalkan lagi dengan memanfaatkan kamera lewat drone. Sehingga benar-benar pos-pos atau yang menjadi lokasi pusat kegiatan OPM itu bisa diketahui untuk kemudian di netralkan kembali. Kalau itu terjadi, maka OPM itu yang jadi tidak bisa hidup tenang dan malah harus mobile setiap hari sampai mereka ditemukan atau menyerahkan diri.
Kita hanya ingin menyampaikan bahwa Polri dan TNI jangan memberi kesempatan kepada para OPM itu punya inisiatif untuk melakukan serangan. Sebab pertahanan terbaik itu adalah dengan melakukan penyerangan. Jadi kita bisa bayangkan, kalau selama ini OPM yang punya inisiatif, lama-lama ya mereka akan semakin menemukan pola serangan yang lebih baik. Mereka akan menemukan banyak celah untuk membuat gangguan yang lebih berskala besar. Sementara dari kacamata kita, Polri dan TNI mestinya bisa membuat para OPM itu tidak bisa tidur siang dan malam karena selalu diganggu dan diganggu.