Bela Negara dan HAM
Oleh Hendardi
Kecuali berpegang pada Pasal
27 Ayat (3) UUD 1945, tak ada legitimasi lain yang dapat menjelaskan proyek
"bela negara" yang dibuka pada 22 Oktober lalu oleh Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sebanyak 4.500 calon pembina nasional dari 45
kabupaten/kota telah disasarkan dengan banderol total Rp 45 miliar.Selain tanpa
berdasarkan UU, tujuan bela negara juga terlalu umum, yaitu membentuk warga
negara yang setia dan siap berkorban bagi bangsa dan negara. Maka, sangatlah
penting untuk membandingkan kehendak bela negara dengan pembelaan hak asasi
manusia (HAM). Lagi pula, situasi politik telah berubah dan kediktatoran
militer Soeharto telah berakhir.
Asal-usul bela negara di
Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 mengawali peralihan dari rezim
fasisme-militerisme Jepang dan warisan birokrasi kolonial Hindia Belanda ke
negara pasca kolonial bernama Republik Indonesia. UUD 1945 diberlakukan dan
presiden membentuk kabinet. Hukum pidana dan perdata serta lembaga penegak
hukum dan kehakiman warisan kolonial pun diadopsi. Masuk kembalinya pasukan
tentara Belanda yang membonceng Sekutu pasca Perang Dunia II diiringi munculnya
perlawanan berbagai kelompok di Indonesia yang berjuang mempertahankan
kemerdekaan atau kedaulatan RI selama 1945-1949. Dalam situasi inilah sikap dan
perilaku bela negara menjadi konkret dan tak sedikit yang gugur di medan
pertempuran.
Reformasi
dan HAM. Berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 1998 juga
mengakhiri rezim militernya. Reformasi politik menandai upaya membentuk negara
demokratis, seperti pemisahan kekuasaan pemerintah dari parlemen dan kehakiman.
Tak ada lagi supremasi militer, tetapi bergerak ke supremasi sipil. TNI pun
dikembalikan pada tugas dan fungsi pertahanan.
Jika sebelumnya TNI dominan
dalam politik ataupun terlibat berbagai bisnis tak kompetitif dan pemungut
upeti, reformasi mendorongnya ke arah tentara profesional. TNI diharapkan tak
lagi jadi pengabdi pada penguasa yang korup dan pelanggar HAM, tetapi tentara
yang dapat melindungi sumber-sumber kekayaan negara dan menghormati hak-hak
setiap orang.
Tak gampang TNI melepas
kepentingan masa lalu yang berakar di bawah Orde Baru, tetapi tantangan sebagai
tentara yang profesional juga telah menjadi bagian reformasi yang harus
dijalankan. Kepentingan politik telah dilepasnya. Setelah mereka pensiun dari
dinas militer, terbuka masuk partai-partai politik. Begitu juga dalam kaitannya
dengan HAM. Reformasi TNI telah mengurangi keterlibatannya atas dugaan
pelanggaran HAM, kecuali beberapa insiden di Papua dan daerah lain dalam
sengketa lahan. Relasi TNI dengan berbagai kelompok paramiliter, seperti
"rakyat terlatih", telah sangat menyusut.
Negara RI pasca reformasi kian
dituntut menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
HAM. RI telah menjadi bagian dari subyek hukum HAM internasional, tak hanya
kewajibannya atas hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Perdamaian sebagai upaya mengakhiri konflik telah menjadi
solusi yang disambut hangat. Konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh telah
diselesaikan dengan perdamaian, konflik horizontal di Ambon juga telah disemai
dengan situasi kondusif, dan Poso telah mereda sehingga dugaan kejahatan perang
pun telah berlalu.
Hak atas kebebasan berserikat
kian dihormati oleh negara. Tak ada lagi "wadah-wadah tunggal" yang
memaksa berbagai kelompok kepentingan hanya boleh bergabung dengan satu
organisasi yang dikontrol negara. Pegawai, guru, buruh, petani, nelayan, perempuan,
dan pemuda bebas memilih organisasi sesuai dengan pilihannya. Pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengoperasikan sistem
pendidikan dan kurikulum mengenai moral, etika, dan pemikiran. Meskipun masih
terdapat kelemahan, tampak tak menyeret para peserta didik ke dalam kegaduhan
politik. Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai kalangan pun dapat
belajar secara lebih terbuka.
Karena itu, patriotisme dan
nasionalisme-paham yang berkaitan dengan bela negara-tak bisa lagi dimonopoli
hanya oleh satu lembaga dalam situasi politik yang demokratis dan akses
informasi yang begitu terbuka. Problem sehari-hari akan menjadi realitas yang
memupuk kebutuhan orang atas pentingnya patriotisme dan nasionalisme. Dengan memahami kondisi negeri
yang rawan bencana, tak sedikit orang jatuh simpati kepada para korban. Ketika
ratusan ribu orang menjadi korban kabut asap, banyak pihak mendesak pemerintah
menghentikannya dan sebagian memberikan bantuan. Ketika Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti berteriak untuk menyelamatkan sumber pangan di
lautan dari para maling ikan yang merajalela, banyak dukungan mengalir. Begitu
pun dengan para TKI yang terancam di negeri orang, berbagai upaya ditempuh
untuk menyelamatkan mereka.
Semangat itu juga dapat
diterjemahkan ke bidang-bidang lain, seperti olahraga, kesenian dan produk
seni, peningkatan daya saing, serta kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Artinya,
dengan lebih menghormati HAM, bela negara tak perlu disempitkan hanya dengan
gaya gegap gempita seperti paramiliter. (Hendardi Ketua
Badan Pengurus Setara Institute Sumber : Kompas, 30 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar