Selasa, 19 Juli 2016

Pertahanan-Operasi Pembebasan Sandra Abu Sayyaf dan Daya Tempur TNI


Oleh Kiki Syahnakri

Saat TNI akan maju ke Filipina untuk membebaskan Sandra Abu Sayyaf, banyak kalangan yang jadi hawatir. Hawatir terkait medan operasi yang berbeda, dan kesiapan TNI itu sendiri. Hal ini tentu bukan berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan berbagai hal yang tidak meyakinkan terkait keberhasilan Operasi tempur yang dilakukan oleh TNI. Ungkapan ini sering juga dilontarkan para pihak sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Begitu juga dengan berbagai operasi lawan saparatis di Papua. Begitu juga dengan  Operasi Tinombala, hasilnya juga jauh dari signifikan. Karena itu ada baiknya kita membaca kembali tulisan Kiki Syahnakri Terkait Membangun Daya Tempur TNI ini.

RANGKAIAN acara Hari Ulang Tahun Ke-69 TNI usai dilaksanakan dengan acara parade, defile, serta demonstrasi yang amat membanggakan dan mengesankan di Pangkalan TNI AL Ujung Surabaya. Dalam acara ini ditampilkan sejumlah alutsista baru matra darat, laut, dan udara yang diadakan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk mesin perang dalam kategori tercanggih saat ini, seperti helikopter serang Apache dan peluncur roket multilaras Astros. Alutsista yang ditampilkan merupakan bagian dari pengadaan dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan minimum essential force (MEF) TNI. Program ini dilakukan secara bertahap dan menurut rencana akan terwujud 100 persen pada tahun 2024.

Kemampuan Daya tempur

Program MEF tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan daya tempur TNI. Dalam terminologi militer secara universal, daya tempur (combat capability) mempunyai pengertian ”perpaduan antara faktor fisik dan nonfisik dari suatu satuan militer dalam pertempuran”. Faktor fisik terdiri dari: pertama, kemampuan manuver atau daya gerak/mobilitas secara terpadu dan sinergi dari unsur-unsur tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi/logistik. Kedua, daya tembak, yaitu kapasitas tembakan untuk mendisorganisasi dan menghancurkan musuh. Adapun faktor nonfisik merupakan kualitas keprajuritan dari para prajuritnya, terdiri atas aspek kejiwaan terutama daya juang, disiplin, militansi, loyalitas, jiwa korsa, dan kerelaan berkorban.
Faktor nonfisik jauh lebih penting dari faktor fisik, merupakan faktor utama dari daya tempur. Prajurit Gurkha dikenal sebagai tentara kelas wahid di dunia karena keunggulan faktor nonfisiknya. Demikian pula kemenangan Vietnam atas AS serta Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas tentara Belanda dalam perang kemerdekaan. Dengan demikian, faktor nonfisik merupakan kualitas sumber daya manusia dari suatu organisasi tentara yang harus selalu dibina, diaktualisasikan secara berkesinambungan lewat pendidikan-latihan-penugasan. Harus selalu menjadi prioritas teratas, tidak boleh ditempatkan sebagai prioritas kedua, apalagi keempat.
Operasionalisasi daya tempur dipengaruhi oleh kemampuan/ penguasaan teknologi serta faktor lingkungan daerah operasi, seperti medan, cuaca, termasuk dukungan rakyat. Dituntun dan digerakkan oleh doktrin yang dianut. Pembinaan daya tempur harus mencakup semua aspek terkait di atas. Ketersediaan alutsista canggih hanya bagian kecil dari pembinaan, belum mencerminkan dimilikinya daya tempur yang andal. Tingginya daya tempur TNI merupakan jaminan akan keberhasilan tugas pokoknya sekaligus menjadi kekuatan tangkal dalam menghadapi setiap ancaman.

Postur dan Gelar TNI

Daya tempur TNI diwujudkan dalam suatu postur yang unsurnya terdiri dari kekuatan, kemampuan, dan gelar. Kekuatan dapat diukur dari jumlah divisi, satuan kapal perang, dan skuadron udara yang dimiliki. Kemampuan merupakan kualitas SDM sesuai uraian di atas, sedangkan gelar merupakan penyebaran taktis yang bertujuan memperoleh daya gerak dan daya tembak yang maksimal. Pembinaan postur TNI harus dilakukan secara berimbang terhadap ketiga unsurnya dan harus bertitik berat pada pembinaan unsur kemampuan/SDM.
Program MEF TNI pada praktiknya mengesankan terlalu bertumpu pada aspek kekuatan, aspek kemampuan, dan gelar kurang mendapat perhatian secara proporsional. Bahkan dalam amanatnya pada acara HUT TNI lalu, Presiden SBY tidak mengucapkan satu kata pun tentang aspek kemampuan.Memang, Buku Putih Pertahanan kita telah membahas aspek kemampuan dan gelar, tetapi masalahnya apakah pembahasan tersebut telah memadai sesuai kebutuhan? Dalam konteks kemampuan, TNI sangat relevan untuk menyimak dengan jernih pernyataan Jenderal Benny Moerdani. Ia mengatakan bahwa ”setelah memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, TNI seperti kehilangan momentum meningkatkan kemampuannya” (Tempo, 2/10/2014).
Ungkapan ini dilontarkan sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Tentu ia membandingkannya dengan kemampuan prajurit TNI dalam operasi militer yang dilakukannya sendiri sebelumnya. Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam operasi militer di Timtim ataupun dalam pembinaan pendidikan dan latihan, saya sendiri menangkap kesan terjadinya penurunan kualitas SDM atau aspek kemampuan tersebut.
Kemampuan militer terutama dibentuk lewat pendidikan spesialisasi. Sayangnya, kuantitas dan kualitas pendidikan spesialisasi di lingkungan TNI cenderung menurun pasca era Jenderal M Jusuf sebagai panglima. Penurunan ini tak terhindarkan karena masalah keterbatasan anggaran. Namun, saat ini, ketika program MEF bergulir, ketersediaan anggaran sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi pembinaan aspek kemampuan/ SDM justru jauh dari memadai, prioritasnya jauh di belakang pengadaan alutsista.
Hal ini dapat dilihat dari belum bergeraknya kualitas dan kuantitas pendidikan spesialisasi. Seharusnya perlu ada penelitian obyektif dan mendalam akan sinyalemen Pak Benny tadi dengan melibatkan para pelaku sejarah yang masih ada, untuk dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan. Gelar TNI yang mencerminkan daya tempur tinggi harus didukung oleh sarana dan prasarana militer yang memadai. Matra darat membutuhkan jaring-jaring jalan raya (jalan pendekat dalam istilah taktis) dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan untuk manuver pasukan ataupun kendaraan tempur yang dimilikinya.
Matra laut dan udara membutuhkan ketersediaan sejumlah pangkalan dalam rangka pengamanan wilayah Nusantara serta pengawalan kedaulatan. Dalam konteks gelar TNI, kelemahan paling menonjol ada pada matra laut. Pangkalan TNI AL peninggalan Belanda di Surabaya merupakan satu-satunya pangkalan yang agak memenuhi syarat karena dilengkapi dengan fasilitas sandar kapal yang cukup luas, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan, serta fasilitas logistik dan arsenal. Apabila TNI akan menggerakkan pasukan lewat laut dari berbagai tempat di Indonesia, kapalnya harus didatangkan dari Surabaya. Selain tidak efisien, kini keberadaan pangkalan Surabaya terancam oleh pendangkalan Selat Madura, padatnya lalu lintas kapal dagang serta yang paling rawan adalah hanya dengan satu peluru kendali atau satu sorti serangan udara, sebagian besar kekuatan TNI AL akan mengalami kehancuran.
Perlu menjadi perhatian adagium; ”Sangat berbahaya bagi suatu bangsa jika memiliki kekuatan tentara yang besar tanpa didukung kemampuan dan kesejahteraan yang memadai, potensial untuk menjadi bom waktu”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menyempurnakan atau bahkan meluruskan kembali program pembangunan daya tempur TNI ke depan.

Kiki Syahnakri; Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) (sumber Kompas 20 Oktober 2014)

Jumat, 08 Juli 2016

Pertahanan, Menjadikan Natuna Kapal Induk Armabar


           
Tiongkok tidak main-main, niatnya untuk menjadikan Kepulauan Spratly dan Pracel jadi “Kapal Induk” sudah jadi kenyataan. Sengketa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan telah menjadikan wilayah tersebut jadi ajang rebutan wilayah dari empat negara Asean (Malaysia, Vietnam, Pilifina dan Brunei), Taiwan dan Tiongkok.  Tiongkok juga ingin memperkuat klaimnya lewat “Nine Dash Line” dengan mengklaim perairan Natuna sebagai kawasan “Traditional Fishing Ground” nya. Semua ini membuat Indonesia sadar bahwa pada suatu saat akan terjadi “perang terbatas” di wilayah tersebut. Indonesia harus dengan cepat mempersiapkan pertahanan kedaulatan di wilayah tersebut sesuai amanat UU.

Kondisi itu pulalah yang menyadarkan kita, bahwa selama ini ternyata kekuatan Pertahanan kita di kepulauan Natuna dan sekitarnya, masih sangat jauh dari yang sepantasnya. Wilayah ini masih bagian tanggung jawab Armada Barat, yang mempunyai Pangkalann utama di Tanjung Pinang dan Belawan. Ditambah dengan pangkalan pendukung Dumai, Batam, Natuna, Lhok Seumawe, Sabang, Padang, Mempawah serta diperkuat dengan 3 Brigade Marinir.  Jumlah KRI berkisar 80-85 KRI dari berbagai jenis (Fregat, Korvet, KCR, LPD, LST).  Wilayah pengawasan Armada barat meliputi  Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Selat Karimata dan Pantai Barat Sumatera.

Memperkuat Pertahanan Perairan Natuna
Untuk saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya di sana sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dan telah ditingkatkan dari tipe C ke tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat, bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Indonesia juga tengah menjadikan  Pangkalan Pontianak, menjadi  Pangkalan Utama TNI AL XII/Pontianak(Agustus 2015), dan akan diperkuat tiga kapal perang. Pangkalan utama TNI AL ini tergolong berada di perairan strategis dan sarat kepentingan politis internasional, yakni Laut China Selatan serta Laut Natuna.

Kita bersukur, karena kegiatan illegal fishing Tiongkok ini telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus diubah jadi tipe B Plus. Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan pesawat tempur,  jadi pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.

Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat.  Saat ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.

Saat ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV).
Rencananya ( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI kita itu masih bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi. Kesadaran kearah itu harus ada pada setiap lini kehidupan anak bangsa.