Oleh
harmen batubara
Tiongkok
tidak main-main, niatnya untuk menjadikan Kepulauan Spratly dan Pracel jadi
“Kapal Induk” sudah jadi kenyataan. Sengketa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan
telah menjadikan wilayah tersebut jadi ajang rebutan wilayah dari empat negara
Asean (Malaysia, Vietnam, Pilifina dan Brunei), Taiwan dan Tiongkok. Tiongkok juga ingin memperkuat klaimnya lewat
“Nine Dash Line” dengan mengklaim perairan Natuna sebagai kawasan “Traditional
Fishing Ground” nya. Semua ini membuat Indonesia sadar bahwa pada suatu saat
akan terjadi “perang terbatas” di wilayah tersebut. Indonesia harus dengan cepat
mempersiapkan pertahanan kedaulatan di wilayah tersebut sesuai amanat UU.
Kondisi
itu pulalah yang menyadarkan kita, bahwa selama ini ternyata kekuatan
Pertahanan kita di kepulauan Natuna dan sekitarnya, masih sangat jauh dari yang
sepantasnya. Wilayah ini masih bagian tanggung jawab Armada Barat, yang
mempunyai Pangkalann utama di Tanjung Pinang dan Belawan. Ditambah dengan
pangkalan pendukung Dumai, Batam, Natuna, Lhok Seumawe, Sabang, Padang,
Mempawah serta diperkuat dengan 3 Brigade Marinir. Jumlah KRI berkisar 80-85 KRI dari berbagai
jenis (Fregat, Korvet, KCR, LPD, LST).
Wilayah pengawasan Armada barat meliputi Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna,
Selat Karimata dan Pantai Barat Sumatera.
Memperkuat Pertahanan
Perairan Natuna
Untuk
saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak
bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali
tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya di sana sudah ada
Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dan telah ditingkatkan dari
tipe C ke tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal
tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar
di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut,
tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi
kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang
beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat,
bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Indonesia
juga tengah menjadikan Pangkalan
Pontianak, menjadi Pangkalan Utama TNI
AL XII/Pontianak(Agustus 2015), dan akan diperkuat tiga kapal perang. Pangkalan
utama TNI AL ini tergolong berada di perairan strategis dan sarat kepentingan
politis internasional, yakni Laut China Selatan serta Laut Natuna.
Kita
bersukur, karena kegiatan illegal fishing Tiongkok ini telah memberikan
kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah
itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita
usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi basis militer
yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum
dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai
Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus diubah jadi tipe B Plus.
Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan pesawat tempur, jadi pusat pengendali lalu lintas udara di
wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker
logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur
TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.
Demikian
juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus
Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi
dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall.
Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular
termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh
pesawat. Saat ini baru pangkalan TNI AU
Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah
menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat
tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Saat
ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung
delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur
Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara
tak berawak (UAV).
Rencananya
( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan.
Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur
dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D
dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya
memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4
helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat
tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk
mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu
dipersiapkan.
Indonesia
yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang
ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti
yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI kita itu masih bagian dari masalah. Menjadi
masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan
TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak
ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos
hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama.
Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara
ekonomi dan terbebas dari korupsi. Kesadaran kearah itu harus ada pada setiap
lini kehidupan anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar