Jumat, 30 Juli 2021

Papua Adalah Milik Warga Asli Papua Pro Nkri

 


Papua Adalah Milik Warga Asli Papua Pro Nkri

Para pejuang KKB atau OPM selama ini selalu berdalih bahwa kaum elit terdidikPapua telah merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Maksudnya adalah bahwa Ketua Nieuw Guinea Raad  yaitu Nicolaas Jouwe  membentuk KOMITE NASIONAL dalam rangka mempersiapkan alatalat dan simbol kelengkapan negara. Negara Bangsa Papua. Negara bangsa Papua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Baratdikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “HaiTanahku Papua”

Dalam perjuangannya yang anti Indonesia  sejak tahun 1960-an Nicolaas Jouwe[1] berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa  merdeka yang dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas Jouwe, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua. Dia kembali kepangkuan NKRI.

Masih ingat  Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.  Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru. Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.

Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an. ”Saya tinggalkan Papua untuk berjuang dari luar negeri, dan selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.

OPM Mempermasalahkan New York Agreement

Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan  Act of Free Choice  bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,  Act of Free Choice  bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). PEPERA diwakili 1,025 warga Papua, menurut OPM itu  Act of self-determination  mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote).

OPM tidak menerimanya, mereka tetap menuntut One Man One Vote. Mereka lupa, mereka seolah atau pura-pura Buta. Bahwa yang jadi pilihan waktu itu adalah “  Mau melilih Ikut Indonesia atau Bergabung Dengan Belanda”? Ternyata Orang Papua memilih Ikut Indonesia. Mereka juga lupa bahwa pada saat itu kondisi Papua masih sangat tertutup, sarana transportasi nyaris belum ada.  Semua serba terbatas. Mereka juga lupa bahwa cara pemilu di Papua yang memakai sistem NOKEN. Artinya suara warga dipercayakan penuh pada KEPALA SUKU. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilihan Umum di Papua ya Sistem Noken itu. Hingga tahun 2021 ini di Papua kalau PEMILU ya masih dengan sistem “Noken”. Sistem NOKEN itu dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilkan oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Apa yang dilakukan Belanda melalui UNTEA ini sebetulnya hanyalah pengulangan sejarah pengakuan kedaulatan wilayah NKRI. Karena jauh sebelum 1 Mei 1963, yaitu pada 27 Desember 1949 Belanda secara resmi telah menyerahkan KEDAULATAN atas seluruh wilayah jajahannya kepada Pemerintah Indonesia. Hal ini sejalan dengan menggunakan azas hukum internasional UTI POSSIDETIS JURIS : batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka, maka konsekuensi logisnya status politik wilayah Papua  menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat proklamasi 17 Agustus 1945 itu dikumandangkan. Jadi sangat logis bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu. Jangan tinggal di Papua. Tetapi pergilah ke wilayah lain yang bisa menerima mereka.

Pembangunan Papua Masih Perlu Perjuangan

Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[2] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah “ kedederan” dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya.

Tahun 2021 adalah tahun ahir masa berlakunya Otsus, berbagai pihak mengutarakan harapannya agar sebelum memperpanjang Otsus perlu terlebih dahulu Evaluasi menyeluruh terkait Otsus, suatu harapan yang sebenarnya sangat baik. Kini Otsus sudah selesai. Kini di lapangan serta bila dihadapkan dengan fakta di lapangan justeru banyak hal juga tengah berjalan kea rah yang lebih baik. Khususnya Gubernur dan Bupati, Pangdam dan Kapolda sudah dari warga Papua Asli. Harapan kita setelah pimpinannya dari warga asli Papua mestinya segala sesuatunya akan jauh lebih baik dan itu perlu waktu. Meski ada yang mengatakan untuk apa adanya Otsus sementara kekerasan masih terjadi?  Ya kita harus realistik dan melihat bahwa kekerasan yang terjadi itu adalah atas adanya kegiatan “kekerasan” yang dilakukan oleh KKB atau OPM diberbagai daerah. Pemerintah sudah mereseponnya sesuai dengan UU yang ada, serta melakukannya secara baik dan terbatas dilakukan oleh Polri dan TNI secara terkendali. Harapan kita demikian juga terhadap ASN, Lingkungan Pendidikan Tinggi Dll agar Pemda lebih fokus memberikan kesempatan kepada warga papua Asli yang pro NKRI. Sebaliknya terus mengeliminasi warga papua yang tidak pro NKRI. Papua memang adalah milik Orang Papua Asli Yang Pro NKRI. 





[1] https://www.wilayahperbatasan.com/nicolaas-jouwe-nick-messet-kembali-ke-nkri-membangun-papua/

[2] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/22/jumlah-penduduk-di-tanah-papua-diproyeksi-mencapai-578-juta-jiwa-pada-2045

Sabtu, 12 Juni 2021

RI Irian Kapal Perang Andalan Indonesia Era Tahun 60 an


BUKU JEJAK LANGKAH TNI ANGKATAN LAUT
Kapal perang RI Irian sebelumnya dinamakan “Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut Uni Soviet. Karena diperuntukkan beroperasi di perairan tropis, kapal ini dimodifikasi secara khusus.
Di pengujung 1962, kapal penjelajah Republik Indonesia Irian atau RI Irian tiba di perairan Indonesia. Kapal perang RI itu disiapkan untuk kampanye perebutan Irian Barat dalam Operasi Mandala yang dicanangkan Presiden Soekarno di atas Kapal Perang RI atau KRI Teluk Tomini. KRI Tomini eks USS Bledsoe County adalah salah satu kapal angkut jenis landing ship tank yang terlibat saat pendaratan Jenderal Dwight D Eisenhower (Ike) dalam serangan yang dikenal dengan Hari-H (D-Day) di pantai Normandia, Perancis, 1944.
RI Irian sebelumnya bernama ”Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut Uni Soviet yang dimodifikasi khusus untuk beroperasi di perairan tropis. Tahun ini genap 55 tahun sejarah keberadaan kapal perang terbesar RI yang nasibnya berakhir tragis seiring pergantian rezim Soekarno ke Soeharto.
Sebelumnya, awal Indonesia merdeka dalam kurun 1945- 1950, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) hanya memiliki kapal-kapal kayu sisa rampasan dari Jepang. Pada 1950, barulah TNI AL memiliki kapal hibah eks Belanda setelah pengakuan kedaulatan RI, yakni korvet RI Hang Tuah dan RI Pati Unus. Kapal hibah lainnya adalah RI Rajawali dan RI Banteng, serta beberapa kapal lainnya. Kapal modern selanjutnya yang dihibahkan ke pemerintah adalah kapal perusak, destroyer RI Gadjah Mada. Kapal korvet berukuran panjang 60 meter dan diawaki 85 orang. Sementara kapal destroyer Gadjah Mada berbobot 1.700 ton dengan panjang 108 meter.
Sejarawan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Boogie Wibowo, menyebutkan, RI Irian adalah kapal perang terbesar di Asia saat itu. Kapal tersebut dibangun di galangan kapal Admiralty di Saint Petersburg. Saint Petersburg adalah pusat modernisasi Rusia zaman Tsar Peter. Kota tersebut adalah pusat modernisasi sektor maritim yang mengacu ke Eropa Barat, terutama Belanda dan Inggris.
Salah satu jejak modernisasi era Tsar tersebut adalah sebutan Matroos—bahasa Belanda—untuk kelasi di Rusia. Galangan Admiralty yang dibangun pada 1704 itu dapat menampung kapal dengan panjang 250 meter dan lebar 35 meter dengan bobot maksimal 70.000 ton.
Galangan tersebut, menurut Boogie, dalam kurun 1740-1917, memproduksi lebih dari 1.000 kapal. Pada 1959, di sana sudah diproduksi kapal sipil bertenaga nuklir dan kapal pemecah es terbesar yang diberi nama Lenin.
Kelahiran RI Irian alias ”Ordzhonikidze” diawali pada dekade 1950-an ketika Uni Soviet merencanakan pembangunan kapal penjelajah yang didasari desain Italia masa Perang Dunia II. Spesifikasi teknis kapal tersebut harus mampu melaju di perairan ganas Atlantik Utara dan dilengkapi radar dan artileri pertahanan udara. ”Semula dirancang 40 kapal bersama dengan pembangunan kapal perang Stalingrad dan kapal induk. Proyeksi tersebut untuk menyaingi kekuatan Inggris di Atlantik Utara. Namun, perkembangannya, pembangunan kapal tersebut dibatalkan Nikita Kruschev pada tahun 1954 setelah 14 unit kapal penjelajah selesai. Ke-14 unit kapal itu adalah bagian dari 21 unit kapal yang direncanakan dibuat pada tahap awal,” kata Boogie.
”Ordzhonikidze” dibangun mulai 19 Oktober 1949 dan diluncurkan 17 September 1950, serta beroperasi pada 18 Agustus 1952. Kapal itu kemudian bertugas di Armada Baltik Angkatan Laut Uni Soviet. Karena hubungan baik Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev, kapal itu dijual ke Indonesia pada tahun 1961. ”Kapal dimodifikasi di Armada Laut Hitam di Sevastopol hingga Juni 1962 agar cocok beroperasi di perairan tropis. Pada Juli hingga awal Agustus 1962, kapal berlayar dari Sevastopol hingga ke Surabaya,” kata Boogie.
Pada masa itu, Indonesia membeli pesawat pengebom Tu 16, jet tempur Mig dari berbagai varian, Ilyushin, peluru kendali, 12 unit kapal selam dan kapal penjelajah RI Irian dari Uni Soviet. Saat bersamaan, sejumlah perlengkapan militer dari Amerika Serikat juga dibeli. Misalnya, pesawat angkut dan kapal angkut, tank dan kendaraan taktis Perancis dan pesawat intai maritim Inggris. Tujuannya, kampanye merebut Irian Barat.
Sejarawan Maritim Pusat Sejarah Militer Kementerian Pertahanan Belanda, Anselm van der Piet, menceritakan adanya riset di Belanda tentang keberadaan perwira dan pelaut Uni Soviet dalam armada angkatan perang yang disiapkan untuk Operasi Mandala. Hal itu dibenarkan almarhum Laksamana Pertama (Pur) RP Poernomo, yang menjadi Komandan Satuan Kapal Selam ALRI saat itu.
Dalam satu kesempatan Poernomo mengakui memang ada personel Rusia dalam satgas yang dipimpinnya untuk berperang. Hal itu menarik mengingat di masa Perang Dingin, Uni Soviet hanya memberikan penasihat militer kepada negara sahabatnya, seperti Vietnam, Kuba, dan Yaman.
Spesifikasi RI Irian
Secara teknis, RI Irian punya dua turbin uap dan enam ketel uap yang menghasilkan daya 110.000 tenaga kuda sehingga dapat melaju hingga kecepatan 33,7 knot. Daya jelajahnya juga dapat mencapai jarak 5.220 mil laut pada kecepatan 18 knot atau setara lebih dari 8.500 kilometer dengan kecepatan jelajah hampir 30 kilometer per jam di darat. Kapal punya tangki bahan bakar berkapasitas 3.900 ton.
Kapal tersebut juga punya dua lunas sehingga lincah bermanuver ekstrem dalam kecepatan tinggi. Konstruksi lunas ganda tersebut sangat tak lazim di zamannya sehingga pihak NATO penasaran. Boogie menceritakan, seorang agen rahasia MI-6 Inggris, Lionel Crabb, hilang ketika berusaha menyelam memata- matai kapal tersebut saat AL Uni Soviet mengadakan muhibah ke Pelabuhan Portsmouth, Inggris, 1956.
RI Irian juga dilengkapi 12 meriam dalam empat kubah dengan laras berukuran 152 milimeter dan 6 meriam ganda dalam enam kubah ukuran 100 milimeter. Sebagai pembanding, baru pada tahun 2014 TNI kembali mempunyai meriam kaliber besar, yakni meriam Howitzer Caesar buatan Perancis ukuran 155 milimeter dan kanon pada tank tempur Leopard dengan ukuran sama. Selain itu, terdapat 16 pucuk meriam anti-serangan udara berukuran 37 milimeter dan berbagai radar pelacak serangan udara, radar permukaan laut, radar pembidik meriam, radar navigasi, dan sonar bawah laut. Singkat kata, dengan fasilitas itu, RI Irian ”Benteng Terapung” di Asia Tenggara.


Osa Kurniawan Ilham, pegiat sejarah asal Surabaya yang mengenal pelaku sejarah Irian Barat, menceritakan, kapal tersebut pada akhir 1962 bergabung di pangkalan depan Operasi Mandala di Bitung, Sulawesi Utara. Komandan pertamanya Frits Suak. ”Kapal dengan 1.250 awak itu diberi nomor lambung 2 untuk kelas Cruiser dan diberi nama pulau besar, yakni Irian. Hingga kini belum ada lagi kapal perang kita yang diberi nama pulau besar dan kode 2,” kata Osa.
RI Irian pernah bersenggolan dengan kapal selam sehingga harus menjalani perawatan di Galangan Dalzavod, Uni Soviet. Kapal RI Irian akhirnya mengantarkan Bung Karno mengunjungi Irian yang sudah kembali ke Indonesia. Sayangnya, saat peralihan ke Orde Baru, RI Irian ditelantarkan. Dari kapal sejenis buatan Uni Soviet, hanya RI Irian yang tak diketahui nasibnya.  Oleh : Iwan Santosa ( Kompas.id, 3 Desember 2017)