Infrastruktur dan
Ketahanan Ekonomi Kita
Oleh Rhenald Kasali
Ketika pemerintahan
Jokowi-JK mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan dananya untuk membangun
infrastruktur, saya dan semoga kita semua senang. Subsidi BBM yang diberikan
pemerintah selama ini memang kurang mendidik. Konsumsi BBM kita cenderung boros
dan subsidinya sama sekali tidak tepat sasaran. Lebih banyak orang kaya yang
menikmatinya ketimbang orang miskin. Memang ini tak mudah. Pembangunan infrastruktur
kita selalu dirundung masalah. Di antaranya soal pengadaan lahan dan permainan
para pemegang lisensi yang tak punya kesungguhan untuk membangun.
Lalu, masih banyaknya
masalah yang terkait dengan prosedur pencairan dana. Baiklah, mungkin memang
tak mudah melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Saya berharap ke depan
prosesnya bisa semakin cepat dan saya menaruh harapan yang tinggi untuk itu.
Seiring dengan itu, saya ingin mengajak Anda untuk memiliki perspektif yang
lebih luas tentang infrastruktur. Sebab saya yakin sebagian Anda, ketika
berbicara tentang infrastruktur, pasti yang terbayang adalah jalan raya atau
jalan tol, rel kereta api, atau pelabuhan udara maupun laut. Mungkin bisa
ditambahkan dengan infrastruktur telekomunikasi dan listrik.
Infrastruktur Lainnya.
Infrastruktur yang perlu kita bangun bukan hanya itu. Jauh lebih luas lagi.
Saya ambil ilustrasi untuk industri minyak dan gas. Infrastruktur yang mesti
kita bangun mulai dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, misalnya, infrastrukturnya
berupa jaringan pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak mentah atau gas
dari sumursumur minyak ke kilang-kilang minyak. Di pengilangan minyak, kita
juga mesti membangun tangki-tangki timbun untuk minyak mentah dan gas.
Bagaimana kalau jaringan pipanya tidak ada? Apa boleh buat, minyak-minyak itu
mesti diangkut dengan mobil-mobil tangki. Ongkosnya mahal sekali. Di sektor
hilir, infrastruktur yang harus kita bangun juga jaringan pipa untuk
mengalirkan minyak mentah dan gas dari kilang ke lokasi-lokasi penimbunan BBM
atau BBG.
Bahkan termasuk
jaringan pipa sampai ke SPBU-SPBU atau SPBG, atau ke pembangkit-pembangkit
listrik. Bicara soal tangki timbun BBM, selama ini di masyarakat kita banyak
yang salah kaprah. Pemerintah selalu mengatakan stok BBM kita cukup sampai 18-
20 hari. Padahal, stok yang dimaksud adalah stok BBM itu adalah stok yang
berada di tangki-tangki timbun di kilangkilang milik Pertamina. Jadi bukan
tangki yang dibangun secara khusus untuk menimbun BBM. Apa keterkaitan stok BBM
tersebut dengan ketahanan energi kita? Erat sekali. Sebagai perbandingan, kalau
kita menyebut stok BBM di negaranegara lain, seperti di Malaysia yang 20 hari
atau Singapura yang 25 hari, itu artinya betulbetul stok yang ada di tangki
timbun. Bukan stok yang ada di kilang-kilang.
Bahkan lebih dari
itu. Beberapa negara juga memiliki stok minyak mentah di tangkitangki
penimbunan. Jadi kalau sudah begini, baru ketahuan bahwa kita sebetulnya tak
punya stok BBM. Apalagi stok gas. Kita juga tak punya stok minyak mentah dan
gas yang belum diolah. Dan tradisi ini sudah berlangsung bertahun- tahun. Kalau
sudah begini, masihkah kita berani bicara soal ketahanan energi? Saya, tidak. Kalau
sudah begini kita jadi tahu betapa tertinggalnya pembangunan infrastruktur
kita. Maka tak aneh kalau pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan dana subsidi BBM
untuk pembangunan infrastruktur walau belum sampai ke infrastruktur minyak dan
gas. Kalau saya ajak Anda untuk melihat infrastruktur dalam arti luas,
ketertinggalan kita bahkan semakin menjadi-jadi. Misalnya infrastruktur dalam
bentuk air bersih.
Instalasi pengolahan
air bersih kita masih sangat terbatas. Apalagi infrastruktur untuk
distribusinya. Maksud saya jaringan pipa untuk mengalirkan air bersih tersebut
ke rumah-rumah penduduk hingga pabrik-pabrik. Listrik juga begitu. Produksinya
masih kurang, begitu pula dengan jaringan distribusinya. Bahkan termasuk
infrastruktur pendukungnya. Misalnya, trafotrafo yang ada di
pembangkitpembangkit listrik atau gardugardu induk. Mudah-mudahanAnda masih
ingat dengan padamnya listrik seputar Jakarta, Tangerang, dan Bekasi pada awal
Desember 2013. Jangan anggap sepele masalah ini. Di RS Pirngadi, Medan, tiga
pasiennya meninggal dunia akibat trafo yang terbakar. Mengapa trafo itu sampai
terbakar?
Setelah diselidiki
ternyata akibat listrik di Medan yang bolak-balik byar pet. Mati-hidup, mati
hidup. Itu akibat lain dari keterbatasan infrastruktur listrik. Akibat lainnya,
rasio elektrifikasi kita masih 84,35%. Artinya masih ada 15,65% rumah tangga di
Indonesia yang belum menikmati aliran listrik. Kita mungkin sulit memaknai
angka 15,65%. Untuk sederhananya, kalaujumlahpendudukIndonesia saat ini
berkisar 240 juta, itu artinya masih ada lebih dari 37 juta rakyat kita yang
belum menikmati aliran listrik. Ini jumlah yang tidak sedikit.
Tak Ada Habisnya. Sekarang saya ajak
Anda untuk melihat yang lebih seram lagi, yakni keterbatasan infrastruktur
pangan kita. Belum lama ini kita merasakan akibatnya. Beberapa pekan lalu harga
daging sapi melonjak hingga mencapaiRp150.000/kg. Konon kabarnya sebagian
pedagang menuruti kehendak pengimpor: mogok jualan. Akal sehat kita langsung
mengerti maksudnya: mereka menekan pemerintah agar diberi izin impor yang lebih
besar lagi, tetapi harga mereka yang mendikte. Hebat bukan? Kalau harga daging
mahal, barang substitusi akan ikutan. Benar saja, harga daging ayam melonjak ke
Rp45.000/kg. Dua kasus tadi, bagi saya, cermin dari belum tertatanya
infrastruktur pangan kita. Baik di tingkat produksi maupun sampai
distribusinya.
Di tingkat produksi,
misalnya, ternyata pemerintah kita tidak memiliki infrastruktur informasi yang
lengkap tentang jumlah sapi yang dikuasai masyarakat. Maaf, kalau bicara
infrastruktur pangan lebih luas lagi, kita mesti menyinggung pula soal air dan
energi. Berapa banyak waduk dan jaringan irigasi yang masih harus kita bangun?
Setiap kali para petani kita juga masih mengalami kekurangan benih dan pupuk. Demikian
juga energi, bila tak mumpuni, pangan tak bisa dimakan. Lalu, saya paling tidak
tega kalau sudah bicara tentang pendidikan. Akibat keterbatasan infrastruktur,
banyak anak kita yang bersekolah di bangunan seadanya. Sama sekali tidak layak
disebut sekolah.
Dari situ,
mudah-mudahan segera terbayang di benak kita tentang betapa beratnya tugas
pemerintahan Jokowi-JK. Maka, saya sungguh tak habis mengerti dengan mereka
yang masih saja dengan telengasnya memainkan isu, mengolok-olok dengan
akun-akun bodong mengatasnamakan rakyat, bahkan cengeng sekali gayanya. Negeri
ini selalu mendua. Ibarat saat membaca berita tentang pemerkosa yang membunuh
korbannya: kita pun mengutuk dan menuntut agar penjahatnya ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati. Namun begitu penjahat itu ditangkap dan beberapa tahun
kemudian orang itu dihukum mati, banyak orang yang menyayangkannya.
Kita justru mengutuk
hakim yang tega memutus perkara dengan hukuman maksimal. Hal sama juga terjadi
di Kampung Pulo. Waktu gubernurnya mendiamkan mereka membangun rumah dan
membuang sampah di sana sampai kebanjiran, kita bilang ini garagara gubernurnya
lembek. Pas gubernurnya tegas tanpa kompromi memindahkan mereka ke pemukiman
yang lebih baik, kita bilang ia tidak manusiawi. Pantaslah kita jadi sulit
maju. Bukan karena kekurangan leader, melainkan karena mental yang terlalu
lembek, kurang gigih, dan mudah menyerah begitu diejek.
Rhenald Kasali, Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali