Kamis, 31 Desember 2009

PPP dan PKB Usulkan Penghargaan bagi KH Abdurrahman Wahid


Presiden Indonesia periode 1999-2001 KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang meninggal dunia pada Rabu (30/12) petang, layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan pemberian gelar pahlawan itu.

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR Marwan Ja’far dan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy (Romi), Rabu, menyatakan usulan itu secara terpisah di Jakarta. Gus Dur adalah pendiri PKB dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang sebagian warganya menjadi kader PPP dan PKB.

”PKB mengusulkan pada pemerintah untuk segera memberikan penghargaan pahlawan nasional kepada Gus Dur,” ungkap Marwan dalam siaran persnya.

Romi menambahkan, Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Mantan Presiden itu dinilai mempunyai peran yang luar biasa dalam membangun fondasi masyarakat sipil, toleransi kehidupan beragama, multikulturalisme, dan perdamaian abadi atas nama humanisme universal.

”Dengan wafatnya Gus Dur, Indonesia kehilangan pimpinan yang berkarakter. Gus Dur adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin bangsa yang berkarakter tegas, konsisten dengan idenya, dan memiliki kecerdasan futuristik dalam membangun peradaban bangsa,” kata Romi.

Dalam siaran persnya, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga meminta kepada pemerintah segera menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Menurut Ketua Umum PMII Rodli dan Zaini Shofari (Sekretaris Jenderal), Gus Dur layak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan bahkan menyebutkan, Gus Dur merupakan pahlawan demokrasi bagi negeri ini. Karena itu, ia memang layak diberi gelar Pahlawan Nasional. ”Jasa beliau akan terus diingat,” katanya.

Rohaniwan Mudji Sutrisno SJ juga mengakui kepahlawanan Gus Dur. Dia menyebutkan, Gus Dur merupakan Bapak Bangsa, peneguh kemajemukan Indonesia, dan pembela kaum minoritas yang dizalimi atas nama agama untuk menampilkan wajah Indonesia yang humanis.

Perkabungan nasional

”Ini waktu bersedih bagi bangsa Indonesia. Pemerintah perlu bertindak benar untuk menghormati rasa kehilangan yang tidak ternilai dengan menyatakan perkabungan nasional bagi Gus Dur dengan pengibaran Sang Merah Putih setengah tiang secara nasional,” imbuh Rachlan Nashidik dari lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM) Imparsial.

Rodli dan Zaini menambahkan, Pengurus Besar (PB) PMII menyerukan kepada pengurus dan kader PMII di seluruh Indonesia untuk melakukan perkabungan nasional dengan memasang bendera Merah Putih dan PMII setengah tiang. Selain itu, menggelar pula shalat gaib dan tahlilan untuk mengantarkan kepergian Gus Dur.

Terkait dengan perkabungan nasional itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semalam di Kantor Kepresidenan, meminta masyarakat untuk memasang bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari. Hal tersebut adalah wujud penghormatan dan duka mendalam atas kepergian Gus Dur.

Marwan juga meminta rakyat mendoakan Gus Dur sehingga ia diampuni dan ditempatkan di surga. (Kompas, idr/mba/day/tra, 31 Desember 2009)

Senin, 21 Desember 2009

Penting Bangun Papua, Jangan Hanya Protes Melulu

Soal papua masih tertinggal, sebenarnya masih banyak daerah Indonesia lainnya yang juga masih morat-marit . Malah seperti kasus seperti luberan lumpur PT Lapindo Brantas di Porong, Jawa Timur, serta rencana pembukaan tambang emas yang dapat mengancam kelestarian Taman Nasional Komodo di NTT. Demikian juga persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, bukan hanya terjadi di Papua. Memang benar demikian. Daerah-daerah lain di Indonesia, seperti NTT dan Nusa Tenggara Barat (NTB), juga dihadapkan pada persoalan serupa. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dua daerah itu tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Papua. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, IPM Provinsi Papua pada 2005 hanya 62,1, sementara IPM NTT 63,6 dan NTB 62,4 atau tergolong dalam kategori menengah ke bawah. Semua masih setara, pembangunan NKRI itu memang baru diangan-angan, kalaupun dilaksanakan maka yang dipakai untuk membangun itu baru 30% saja, selebihnya di korupsi oleh para pengelolanya.

Yang berbeda dengan daerah lain adalah besarnya anggapan gerakan separatism dalam semua dinamika masyarakat Papua, seolah-olah apa saja yang dilakukan warga, kalau itu bernada protes, maka selalu dan umumnya akan dicap sebagai begian dari gerakan separatisme. Beda dengan daerah lain di Atambua, misalnya, kritik atas persoalan kemiskinan tidak serta-merta dikaitkan dengan separatisme. Beda sekali dengan Papua. Di Wamena, misalnya, seorang petani, Opinus Tabuni, ditembak mati dalam acara peringatan hari pribumi. Menurut penyusuran Komnas HAM, penembakan itu terkait dugaan bahwa Opinus terkait dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Atau kasus lain, yaitu penembakan terhadap Isak Psakor (15), warga Kampung Kibay, Kabupaten Keerom, Papua. Penembakan terjadi saat ia hendak pulang kembali ke kampungnya setelah bepergian ke Skotiau, sebuah kampung di perbatasan Papua Niugini. ”Ia ditembak karena dianggap anggota OPM dan membawa senjata. Padahal, itu semua tidak benar,” kata Pater John Jonga yang turut mengadvokasi kasus tersebut.(Kompas, B Josie Susilo Hardianto,16/12/09).

Saya percaya “Obama” nya Indonesia akan lahir di Papua, mereka selama ini memang dianggap serba terbelakang. Tetapi percayalah kelas SDM mereka sebenarnya bukanlah kelas SDM murahan, kalau kesempatan ada mereka bisa tampil, malah di tingkat internasional sekalipun. Fakta tentang itu banyak. Masalahnya adalah selalu ada yang mencari ikan di air keruh, dan selalu mengedepankan proses penyatuan Papua jadi NKRI jadi pertanyaan. Padahal dalam tatanan hukum internasional ada yang disebut “Uti Possidetis Juris” atau pewarisan wilayah pemerintah colonial kepada Negara baru selepas penjajahannya. Jadi penggabungan itu sudah final. Masalahnya adalah bagaimana kita membangun Papua dengan bijak.

Tetapi sebenarnya saya setuju dengan pandangan Tantowi Yahya, anggota Komisi-I DPR-RI, yang kebetulan saat mereka melakukan kunker ke wilayah perbatasan saya sempat bertukar pikiran dengan beliau. Tantowi melihat membangun Papua tidaklah sulit, yang penting ada suatu gerakan moral yang mau membangun secara tulus Papua dengan hati. Di DPR-RI misalnya ada suatu kaukus tentang Pembangunan Papua, begitu juga di tingkat LSM, di tingkat Perguruan Tinggi, di lingkungan Pemda, dan di kalangan pengusaha atau di semua lapis masyarakat ada simpul-simpul yang mensinergikan pembangunan Papua dengan hati. Tantowi yakin, kalau gerakan itu bisa ditumbuhkan pembangunan Papua akan beda.

Lihatlah pada dana otsus yang diterima Provinsi Papua periode 2002-2009 mencapai sekitar Rp 18,7 triliun. Jumlah itu tidaklah sedikit, masalahnya kemana saja uang itu diberikan? Jangan lupa masyarakat Papua itu sangat heterogen, banyak suku dan antara suku yang satu dengan lainnya juga bukanlah berkawan. Semangat untuk saling mengeliminasi suku lain itu sangat besar. KKN di sana sama dengan daerah NKRI lainnya sangat laur biasa. Penduduk miskin di Papua jumlahnya banyak, tahun 2001 mencapai 41,8 persen dan tahun 2008 turun menjadi 37,53 persen. Ini memang berat, dan tantangan nya luar biasa, sebab warga miskin itu sebagian besar penduduk yang tinggal di kampung-kampung dan hampir semuanya orang asli Papua.

Memang perlu membangun Papua dengan semangat mengutamakan pribumi ala Mahathir Mohammadnya Malaysia masa lalu, yang memberikan prioritas secara berimbang bagi penduduk pribumi, disamping penduduk lainnya dalam konteks Papua ya pendatang dari daerah lainnya. Sehingga di sana aka nada kantong-kantong murni pribumi, ada kantong bauran/campuran dan ada kontong khusus. Sehingga warga Papua dapat berkompetisi secara alami.

Selama ini yang jadi fakta adalah adanya unsur dari berbagai elemen dan faksi di Papua yang selalu ingin menyelenggarakan Dialog, baik dialog dalam skala nasional (hanya Pemerintah RI dan masyarakat Papua) maupun internasional. Kita tahu, keinginan seperti itu, bisa jadi sangat tulus. Tetapi kalau melihat lemahnya system pertahanan Negara kita, maka penyelenggara Negara juga hawatir hal-hal semacam itu dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka sendiri. Tetapi untuk membangun Papua ke depan ada baiknya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau dan berkehendak untuk mematangkan rencana dialog seperti itu dalam agenda kerja 100 hari kepemimpinannya. Membangun Papua memang harus, tetapi dalam kerangka NKRI yang utuh dan itu sudah final dan hendaknya jangan mengaitkan antara penambahan kekuatan pertahanan di daerah itu, sebab itu bagian dari pertahanan Indonesia sebagai NKRI, ga ada hubungannya dengan separatisme Papua.

Selasa, 15 Desember 2009

Pindad Produksi 40 Panser Tahun 2010

PT Pindad rencananya akan memproduksi 40 panser pesanan Departemen Pertahanan tahun 2010. Dalam kaitan itu, keputusan Menteri Keuangan mengenai pengadaan dana sebesar Rp 360 miliar untuk panser tipe 6 x 6 tersebut diharapkan segera keluar.

Direktur Produk Manufaktur PT Pindad Tri Hardjono seusai kunjungan Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro ke PT Pindad di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (12/12), mengatakan, pihaknya tengah menunggu keputusan Menteri Keuangan (kepmenkeu) tentang pengadaan dana panser.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, lanjutnya, telah mengarahkan stafnya agar kepmenkeu segera ditetapkan. ”Kepmenkeu diharapkan keluar awal tahun 2010. Jika terjadi hambatan dan dianggap perlu, ada kemungkinan pengadaan dana diperoleh dari pinjaman komersial perbankan,” ujar Tri.

Untuk pendanaan, Dephan berencana mempertemukan PT Pindad dengan perbankan, yakni BNI dan BRI. Pinjaman dari bank itu nantinya akan dibayar dengan dana dari Departemen Keuangan sebagaimana diajukan Dephan.

Menurut Tri, pihaknya telah melaporkan kepada Menhan mengenai pembiayaan komponen- komponen panser. ”Mesin panser, misalnya, sudah dipesan dari Perancis. Komponen lain, seperti suspensi, peralatan elektrik, dan alat komunikasi, juga sudah dipesan,” katanya.

Jika waktu yang dibutuhkan untuk penyediaan dana lebih lama, Tri khawatir biaya produksi panser akan kian besar.

Dephan memesan 150 panser. Pembuatan 93 panser di antaranya diselesaikan hingga menjelang akhir tahun ini. Artinya, masih ada 57 panser yang belum diproduksi.

Dana pembuatan 40 panser tahun 2010 sudah dibahas. Namun, anggaran untuk 17 panser sisanya belum dibicarakan. Menurut Tri, PT Pindad mengharapkan pengadaan 17 panser itu juga bisa dilakukan tahun depan.

Kunjungan Menhan ke PT Pindad kemarin untuk melihat kemajuan-kemajuan yang sebelumnya dilaporkan Direktur Utama PT Pindad Adik Avianto. Setelah datang dan berbincang sebentar dengan direksi PT Pindad, Menhan melakukan peninjauan.

Menurut Menhan, saat ini pihaknya sedang membahas pesanan alat utama sistem persenjataan baru untuk lima tahun mendatang. ”Jumlahnya belum bisa dibicarakan,” katanya. (Kompas,bay,14/12/2009)

Kamis, 03 Desember 2009

Hasan Tiro, Minta Legislatif Memikirkan Rakyat Aceh




Masyarakat menyambut meriah kedatangan deklarator Gerakan Aceh Merdeka, Teuku Muhammad Hasan di Tiro (84), di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Sabtu (17/10). Sejumlah pesan politik disampaikan kepada eksekutif dan wakil rakyat Aceh yang baru terbentuk.

”Kami ingin (legislatif dan eksekutif) mereka mewujudkan pemerintahan yang bersih. (Mereka) agar menjalankan tugas dengan tertib dan disiplin sehingga terwujud pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Malik Mahmud, mewakili Hasan Tiro, di depan wartawan pada hari Sabtu malam, di rumah sewaan untuk Hasan Tiro, Jalan Pemancar, Banda Aceh.

Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan berjalan molor dari rencana. Semula panitia menjadwalkan kedatangan rombongan di Banda Aceh pada pukul 12.00. Namun, rombongan yang menyewa pesawat Fire Fly dari Kuala Lumpur, Malaysia, itu baru mendarat di Banda Aceh sekitar pukul 15.00.

Setibanya di tempat menginap di Jalan Pemancar, Hasan Tiro disambut tarian Ranub Lampuan. Para penari menyodori Hasan Tiro sirih di atas nampan. Selanjutnya, para ulama mendoakan rombongan agar dapat mencapai apa yang menjadi cita-cita. Di sejumlah sudut kota terpasang papan bunga, baliho, dan spanduk bertuliskan Kreu Seumangat, menyambut rombongan Hasan Tiro. Kreu Seumangat artinya ungkapan untuk memberikan salam semangat kepada orang yang dihormati.

Pesan Tiro

Kepada pers, Malik Mahmud atas nama Hasan Tiro mengingatkan bahwa legislatif yang baru terbentuk mengemban amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat Aceh.

Dalam pemilu legislatif April 2009 lalu, mayoritas kursi di sebagian besar kabupaten dan kota dimenangi Partai Aceh (PA). PA merupakan partai lokal yang menjadi representasi dari perjuangan politik mantan simpatisan GAM.

Menyangkut proses perdamaian di Aceh, Malik Mahmud enggan berkomentar banyak. ”Persoalan seperti itu biasa terjadi. Proses perdamaian ini merupakan proses yang perlu diikuti bersama,” katanya.

Adapun Gubernur NAD Irwandy Yusuf merespons positif ajakan Hasan Tiro itu, dan pada intinya dia menerima pesan itu. Untuk mewujudkan pemerintahan itu, dia akan memberi penghargaan bagi yang berprestasi dan hukuman bagi yang melanggar ketentuan hukum. ”Di mana- mana, dua hal itu jelas. Korupsi itu ada hukumannya. Tak ada bedanya dengan daerah lain,” katanya.

Sejumlah media yang berbasis di Banda Aceh, berkembang wacana posisi wali nanggroe yang akan ditempati oleh Hasan Tiro. Wali nanggroe bisa diartikan sebagai pemimpin bagi seluruh masyarakat Aceh. Seorang wali nanggroe bisa menjadi jembatan komunikasi antara Pemerintah RI dan Pemprov NAD.

Meski demikian, Malik Mahmud menepis kedatangan Hasan Tiro untuk membicarakan posisi wali nanggroe.

Menurut Malik, kedatangan Tiro kali ini untuk menemui sanak-saudaranya dalam waktu yang lebih lama daripada tahun lalu. ”Tahun lalu, tidak banyak yang beliau temui. Lama tidaknya beliau di sini tergantung keadaannya nanti,” katanya. (Sumber; Kompas, 18/10/2009,NDY)

Sabtu, 28 November 2009

KSAD: Akan Ada Kodam Baru di Pulau Papua

Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (KSAD), George Toisutta menyatakan akan diadakan komando daerah militer baru di Papua. Sementara itu, kodam di Kalimantan Barat juga sedang dalam perencanaan. Hal itu disampaikan George seusai upacara serah terima jabatan dari Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo di Jakarta, Rabu (11/11). Walaupun demikian, George menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari pimpinan. ”Jadi, di Kalbar dan Papua akan ada kebijakan dari atas,” ungkapnya. George tidak menjelaskan lebih jauh alasan pendirian komando daerah militer (kodam) di Papua. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini menekankan pentingnya komando teritorial.

Saat ini TNI AD memiliki 12 kodam. Pertama, Kodam Iskandar Muda di Banda Aceh. Kedua, Kodam I/Bukit Barisan di Medan. Ketiga, Kodam II/Sriwijaya di Palembang. Keempat, Kodam III/Siliwangi di Bandung. Kelima, Kodam Jakarta Raya di Jakarta. Keenam, Kodam IV/Diponegoro di Semarang. Ketujuh, Kodam V/Brawijaya di Surabaya. Kedelapan, Kodam VI/Tanjungpura di Balikpapan. Kesembilan, Kodam VII/Wirabuana di Makassar. Ke-10, Kodam IX/Udayana di Denpasar. Ke-11, Kodam XVI/Pattimura di Ambon. Ke-12, Kodam XVII/Cendrawasih di Jayapura.
Pada tahun anggaran 2007 Departemen Pertahanan telah merumuskan Postur Pertahanan Negara, atau di kalangan sipil sering disebut dengan Cetak Biru Pertahanan, yang telah menuangkannya dalam konsep MEF(Minimum Essential Force) yakni terkait kekuatan, kemampuan, dan gelar pertahanan negara. Sebagaimana diketahui Postur pertahanan negara yang dirumuskan tersebut, adalah dalam rangkan membangun pertahanan negara pada 4 Renstra kedepan yang merupakan postur ideal pertahanan negara, oleh karena keterbatasan anggaran maka pembangunan postur pertahan negara diarahkan untuk mewujudkan kekuatan pokok minimum (MEF) yakni kekuatan yang dibutuhkan untuk mampu menghadapi ancaman faktual yang bersifat mendesak.
Masalahnya persoalan pertahanan tidaklah statis, karena itu sering terlihat tidak adanya konsistensi, khususnya dalam pendanaan.
Para pemerhati Kebijakan pengalokasian anggaran pertahanan menilai adanya inkonsistensi dalam alokasi anggaran. Sering sekali Kebijakan itu tidak memperlihatkan skala prioritas antara kesejahteraan prajurit dan pengadaan peralatan pertahanan. Hal itu antara lain disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darma Putra, (26/10), seusai peluncuran buku Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia di Jakarta.
Rizal mengemukakan, rencana strategis Departemen Pertahanan kurang mencerminkan skala prioritas. ”Dephan memiliki arah kebijakan untuk mengatasi kesenjangan peralatan pertahanan dengan negara tetangga, tetapi di sisi lain juga kerepotan dengan anggaran rutin seperti kesejahteraan prajurit,” Beberapa kebijakan lain Dephan, seperti menambah jumlah komando teritorial, justru dipastikan menambah beban bagi anggaran. Selain itu, ada juga rancangan undang-undang mengenai komponen cadangan yang mengatur tentang wajib militer sehingga dipastikan semakin menyedot anggaran.
Dikaitkan dengan pembentukan Kodam, sebelumnya, TNI menyatakan tengah melakukan studi untuk mendirikan kodam di Kalimantan Barat. Alasannya, panjang garis 2.004 kilometer terlalu panjang untuk hanya ditangani oleh satu kodam yang ada saat ini, yaitu Kodam VI/Tanjungpura. Saat itu Agustadi menyatakan belum ada rencana pengembangan kodam untuk pulau lain (Kompas, 15/10/2009). Menurut catatan Kompas, saat ini ada penambahan satu divisi pasukan tempur cadangan di Papua. Di Papua sendiri sudah terdapat dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Menanggapi hal ini, mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo mengatakan, kewenangan untuk menambah atau mengurangi kodam ada di tangan Panglima TNI. Agus mempertanyakan apa pertimbangan sehingga harus diadakan kodam baru di Papua. Menurut dia, pertahanan itu berhubungan dengan negara di luar perbatasan, sementara masalah yang saat ini mencuat di Papua adalah masalah keamanan sehingga merupakan wilayah penegakan hukum. (EDN) Sumber : Kompas oktober, November 2009.

Rabu, 18 November 2009

Cicak VS Buaya, Itu Memang Bukan Krisis

Catatan Blogger; tulisan Eep Saefulloh Fatah judul Disfungsi Presiden dibawah ini, hemat saya sangat bagus, kena, tegas dengan bahasa politik yang rada vulgar, semoga kebebasan pers di Indonesia tidak akan mengebiri hal-hal yang seperti ini. Terus terang, tulisan seperti itu untuk konsumsi masyarakat dengan intelektual rata-rata keatas. Terus terang apa yang lagi di “perankan oleh “ presiden SBY adalah tipikal penyelesaian budaya ala Indonesia, yang justeru menghendaki “Ketidak Tegasan” dalam setiap persoalan genting. Karena apa, budaya kita itu adalah “budaya tepo seliro”,
Kebenaran tidak perlu diungkapkan secara jelas dan vulgar. Pak Eep, jangan ikuti irama “timur tengah”, yang mau tumpahkan darah, hanya karena dia merasa benar. Sebab kebenaran itu sebenarnya “nisbi” dan sesaat. Karena itu soal presiden yang terlihat tidak bersikap tegas, ya kerena hal seperti itu memang tidak di perlukan. Itu kalau anda berada di Indonesia. Jadi idenya adalah biarkan Cicak vs Buaya bertarung dan yang lain silahkan pilih mau memihak siapa. Yang penting lewat jalur “hukum” ala Indonesia.

Disfungsi Presiden
Oleh : Eep Saefulloh Fatah

Di banyak sekali tempat dan forum yang saya datangi belakangan ini, saya bersua dengan beragam kalangan yang memiliki keheranan serupa. Mereka heran, mengapa Presiden terlihat sangat lamban dan tak tegas dalam perkara percekcokan yang semakin panas di antara institusi kepolisian dan Kejaksaan Agung di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di sisi lain.

Alih-alih tercitrakan sebagai pemimpin yang pandai menjaga langkah dalam koridor hukum, Presiden di mata banyak kalangan itu tampil sebagai pemimpin yang kikuk dan seolah terpasung dalam ruang gerak amat terbatas. Presiden tampil sebagai pemilik kekuasaan besar yang seolah tak tahu menggunakan kekuasaan itu dengan sepatutnya.

Izinkan saya menamai gejala itu sebagai ”disfungsi Presiden”. Presiden yang semestinya menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan berpendirian justru tergagap-gagap bersikap dan tertatih-tatih dalam ruang gerak sempit.

Bukankah Presiden baru saja meraup dukungan legitimasi yang amat kuat dari 60,8 persen pemilih? Bukankah Presiden sekarang disokong oleh Partai Demokrat yang berpostur tiga kali lebih besar dibandingkan dengan postur partai ini selepas Pemilu 2004 dulu? Mengapa dalam situasi yang penuh keleluasaan itu justru terbangun disfungsi Presiden? Apa konsekuensi-konsekuensi genting dari situasi ini?

Empat dugaan

Dengan data serba terbatas, sulit menjawab rentetan pertanyaan di atas secara meyakinkan. Namun, sebagai langkah awal, mari kita buat sejumlah dugaan.

Pertama, boleh jadi Presiden adalah korban dari kalut dan tidak kredibelnya lingkaran-lingkaran politik atau birokrasi di sekitarnya. Presiden menerima informasi dan data yang tidak akurat mengenai situasi sehingga akhirnya mengambil langkah atau kebijakan yang tak layak.

Meminjam terminologi yang kerap digunakan di Amerika Latin, yang terjadi adalah gejala ”buramnya kaca istana”. Lingkaran politik dan birokrasi di sekitar Presiden alih-alih memperjelas justru mengaburkan pandangan Presiden ke luar istananya. Buramnya kaca istana membuat Presiden keliru menilai situasi dan mengambil langkah.

Rakyat, yang berteriak marah di luar istana, dari balik kaca itu terlihat seperti tersenyum bersukacita. Suasana gaduh centang-perenang di luar terlihat dari balik kaca itu sebagai tenteram penuh kedamaian.

Begitulah, dalam kasus perseteruan kepolisian melawan KPK, Presiden yang semestinya mengambil langkah sigap dan patut sejak beberapa bulan lampau akhirnya tak mengambil langkah apa pun. Menurut teori ini, disfungsi Presiden adalah akibat serta-merta dari ketidakmampuan dan tiadanya kredibilitas lingkaran politik dan birokrasi dalam istana.

Kedua, ketidaksigapan Presiden dalam kasus cicak melawan buaya ini boleh jadi menggambarkan karakter atau tabiat Presiden yang memang tak mampu bersigap-sigap. Boleh jadi, disfungsi Presiden menunjukkan tabiat sejati Presiden sebagai seseorang yang cenderung lamban dalam menjejeri dinamika publik yang serba cepat.

Jika teori ini digunakan, yang kita temukan di balik ketidaksigapan langkah Presiden adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang bermasalah. Artinya, Presiden terlampau lemah untuk mengatasi percekcokan antara kepolisian-kejaksaan dan KPK.

Ketiga, Presiden memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam kaitan dengan kasus ini. Banyak orang makin keras menduga bahwa kasus cicak versus buaya sebetulnya merupakan puncak sebuah gunung es. Di baliknya diduga ada tumpukan persoalan atau skandal lain yang sejauh ini masih tersamar atau tersembunyi.

Dalam teori ini, Presiden pun menjadi kikuk berhadapan dengan tuntutan dan aspirasi khalayak lantaran berkepentingan menyelamatkan diri dan/atau orang-orang di sekitarnya.

Keempat, sebagian kalangan menduga, jangan-jangan ketidaksigapan dan ketaklayakan Presiden dalam perseteruan cicak melawan buaya sesungguhnya menegaskan betapa Presiden sesungguhnya tak menyokong penegakan hukum secara genuine. Sebagian kalangan bahkan mulai menduga, jangan-jangan Presiden justru berkepentingan membikin percekcokan itu tak selesai secara tuntas.

Manajemen krisis

Sebagaimana lazimnya dugaan, keempat penjelasan itu mungkin saja keliru. Namun, terlepas dari kemungkinan kekeliruan ini, ada satu fakta yang sulit disembunyikan: Presiden sejauh ini tidak berhasil menjalankan fungsi manajemen krisis.

Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin yang dinilai berhasil lantaran mampu memainkan fungsi manajemen krisis. Bahkan, untuk menjawab tuntutan antisipasi, banyak pemimpin yang bekerja berdasarkan ”skenario krisis di tengah tak adanya krisis”. Arjen Boin dan kawan-kawan (The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure, 2005) menyebut cara kerja semacam itu sebagai salah satu garansi sukses kepemimpinan dalam meminimalkan risiko.

Hari-hari ini saya gundah sebab Presiden justru bekerja dengan logika sebaliknya. Di tengah krisis yang makin menegas—krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, kepresidenan, peradilan, dan penegakan hukum—Presiden justru bekerja berbasis ”skenario tanpa krisis”. Saya gundah karena jika cara kerja ini dilanjutkan, boleh jadi kita sedang menabur banyak angin untuk akhirnya harus menuai badai.

Tentu saja, sebagai warga negara, saya berharap kegundahan dan kekhawatiran itu bertepuk sebelah tangan.
(Kompas, Selasa, 17 /11/ 2009, Eep Saefulloh Fatah, CEO PolMark Indonesia)

Jumat, 13 November 2009

Kongres AS Mulai Ragu dengan Misi di Afganistan

Memasuki tahun kedelapan perang di Afganistan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama kian ditekan untuk menyelesaikan perang itu dengan benar. Obama mengumpulkan anggota Kongres dari Partai Demokrat dan Republik, Selasa (6/10), Washington, guna mengkaji strategi paling tepat meneruskan perang tersebut. Namun, Kongres mulai ragu dengan misi di Afganistan.

Para anggota Kongres keluar dari pertemuan 90 menit itu pada posisi yang sama saat mereka masuk. Senator Judd Gregg dari Partai Republik mengatakan tidak ada konsensus dalam pertemuan. Ketua DPR AS Nancy Pelosi juga menuturkan tentang keberagaman pendapat yang mengemuka.

Partai Demokrat meminta Obama tidak buru-buru menambah pasukan di Afganistan. Banyak anggota Demokrat menentang penambahan pasukan di Afganistan karena khawatir perang akan lama dan tidak populer. Mereka khawatir misi di Afganistan akan berbalik menjadi jebakan serta mengeringkan harapan Obama akan sebuah kepresidenan yang reformis.

Tak mau tarik pasukan

Obama telah menyingkirkan pilihan untuk menarik keluar pasukan AS. Dia juga menyatakan tidak akan mengurangi jumlah pasukan, tetapi tidak mengisyaratkan akan menambah jumlah pasukan sesuai dengan yang diminta McChrystal.

Tahun ini, Obama telah menambah 21.000 tentara untuk Afganistan sehingga total jumlahnya mencapai 68.000 tentara. ”Meninggalkan Afganistan bukanlah sebuah pilihan,” kata juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs.

Obama menyatakan, perang di Afganistan tidak akan diturunkan menjadi semata-mata upaya kontraterorisme yang dangkal. Dia juga memperingatkan bahwa keputusan yang nanti diambilnya tidak akan membuat semua orang senang. Yang paling jelas, kata Obama, misi di Afganistan tidak berubah. Fokusnya tetap menjaga agar kelompok Al Qaeda tidak memiliki basis untuk melancarkan serangan ke AS atau sekutunya.

Kubu Republik mendesak Obama mengikuti permintaan komandan pasukan AS di Afganistan, Jenderal Stanley McChrystal, agar menambah kekuatan pasukan dengan lebih dari 40.000 tentara.

Senator John McCain dari Partai Republik mengatakan agar Obama tidak ”setengah-setengah”. ”Faktanya, kita semua tahu bahwa jika Taliban kembali, Al Qaeda akan kembali. Saya sangat yakin bahwa analisis Jenderal McChrystal tidak hanya benar, tetapi harus dilaksanakan sesegera mungkin. Langkah setengah-setengah adalah yang saya khawatirkan,” katanya.

”Kami menyadari bahwa dia (Obama) menghadapi keputusan sulit dan perlu waktu untuk membuat keputusan yang benar. Terus terang, saya mendukung itu, tetapi kita harus ingat bahwa pada setiap hari yang berlalu, pasukan kita di sana berada dalam bahaya yang semakin besar,” ujar Pemimpin Partai Republik di DPR AS, John Boehner.

Dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan kembali merosot menjadi 40 persen, turun dari 44 persen pada Juli, berdasarkan jajak pendapat oleh Associated Press-GfK. Dalam jajak pendapat itu juga ditemukan bahwa 69 persen responden yang mendukung Republik setuju dengan penambahan pasukan di Afganistan. Sebanyak 57 persen responden yang mendukung Demokrat menyatakan menolak.

800 tentara tewas

Perang di Afganistan diluncurkan oleh pemerintahan mantan Presiden George W Bush menyusul terjadinya serangan terhadap gedung WTC di AS pada 11 September 2001. Perang itu bertujuan mengalahkan kelompok Taliban dan Al Qaeda yang dituding berada di balik serangan itu. Akhir-akhir ini, situasi di Afganistan kian memburuk bagi pasukan AS dengan hampir 800 tentara tewas. Tekanan psikis bagi tentara juga meningkat.

Situasi diperburuk dengan hasil pemilu presiden Afganistan yang dimenangi Presiden Hamid Karzai. Pemilu itu dinilai sarat kecurangan.

Gedung Putih menyatakan, Obama tidak akan mendasarkan keputusannya pada suasana hati di Capitol Hill, tempat Kongres bertemu. Obama juga tidak akan mengambil keputusan yang akan mengikis dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan.

Obama akan kembali menggelar pertemuan dengan tim penasihat perang, termasuk Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, dan Menteri Pertahanan Robert Gates di Gedung Putih.

Keputusan akhir Obama tentang perang di Afganistan kemungkinan akan diumumkan pada pekan depan.(Kompas, ap/afp/reuters/bbc/fro, 8 Oktober 2009)

Minggu, 08 November 2009

TNI dan Tantangan Keamanan Regional



DALAM pembicaraan keamanan atau security talks antara Jepang dan ASEAN yang berlangsung di Tokyo pada Maret lalu telah disepakati bahwa ASEAN mutlak menggandeng Jepang dan China sebagai mitra keamanan sejajar dalam memelihara keamanan regional sekaligus menjadi kontributor bagi keamanan di Asia, dan tidak boleh 'berkiblat' pada satu kekuatan yang dominan di benua ini. Dalam konteks tersebut, Sekjen Departemen Pertahanan (Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan ASEAN sebaiknya menjadikan Jepang atau China sebagai motor keamanan kawasan dalam memberikan kontribusi bagi stabilitas kawasan. Menurutnya, tren keamanan saat ini sudah berubah sesuai dengan perubahan global yang berlangsung dengan cepat sehingga mutlak memerlukan kerja sama sejajar mengingat masalah keamanan tidak lagi dalam bentuk perang fisik semata, tetapi sudah mencakup persoalan keamanan yang lainnya. Persoalan keamanan regional ini memang jarang muncul dalam wacana nasional kita. Padahal berbagai isu keamanan regional kini jauh lebih rumit dan lebih luas. Selama ini agenda isu keamanan kawasan didominasi berbagai isu keamanan konvensional, namun kini juga semakin disibukkan dengan persoalan keamanan nontradisional. Tren geopolitik lainnya memiliki implikasi ganda bagi TNI. Dalam sebagian besar sejarah Indonesia sebagai negara yang merdeka, kekuatan militer di seluruh dunia di atur dan dipenuhi kebutuhannya secara lengkap untuk membela negara mereka terhadap serangan luar. Namun, sejak invasi Irak atas Kuwait pada 1991, tidak ada lagi perang lintas perbatasan. Oleh karena itu, strategi pertahanan serta keamanan berbagai negara telah disesuaikan untuk tidak melebih-lebihkan serangan militer langsung dari negara lainnya. Lebih jauh lagi, kapasitas militer sebagian besar negara di dunia, seperti yang diukur dari jumlah pengeluaran militer dalam GDP, telah menurun. Keprihatinan global mengenai adanya agresi militer telah menurun, sedangkan perhatian mengenai kekerasan komunal dan etnis dalam negara-negara makin bertambah. Indonesia memenuhi pola ini. Meskipun Indonesia pascakemerdekaan belum pernah mengalami serangan konvensional dari kekuatan luar, Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan keamanan internal dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan sejak awal. Mempertahankan integritas negara adalah tugas operasional utama TNI selama ini dan tetap akan menjadi prioritas di masa depan. Oleh karena itu, kesiapan TNI dalam menghadapi tantangan keamanan regional dan global penting untuk dipikirkan. Kerja sama regional Susunan kekuatan di Asia telah menjadi sangat kompleks selama 10-20 tahun terakhir. Perseteruan bersejarah antara Jepang, China, dan India menghalangi tumbuhnya kerja sama regional seperti yang terjadi di Eropa. Kesepuluh anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang berada dalam bayang-bayang tiga negara berkuasa itu mendapat banyak keuntungan dari kerja sama regional yang makin kuat, meskipun integrasi ekonomi berjalan secara lambat karena adanya sentimen nasional yang kuat di sebagian besar negara ASEAN.... Amerika Serikat juga merupakan elemen vital dalam susunan kekuatan di Asia. Untuk menonjolkan kepemimpinannya di daerah Asia Pasifik, Amerika Serikat mendirikan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1989 yang secara rutin mengadakan konferensi tingkat tinggi. Pada 1994, negara-negara ASEAN mendirikan ASEAN Regional FORUM (ARF), yang memiliki sebagian besar anggota yang sama dengan APEC, untuk menyelesaikan agenda kerja sama yang berpusat di Asia. Indonesia secara alamiah menjadi pemimpin komunitas ASEAN karena pengaruh dan posisi nonbloknya dalam politik global. Dalam kekacauan setelah kejatuhan pemerintahan presiden Soeharto, Indonesia mengambil posisi yang lebih low-profile di ASEAN dan APEC dan aktivitas regional lainnya. Namun, mandat pemilu yang didapatkan pemerintahan Presiden Yudhoyono pada 2004 telah memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan kembali perannya sebagai pemimpin. Kecenderungan ASEAN adalah mengedepankan ekonomi dalam berbagai bentuk kerja sama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan untuk mengembangkan perjanjian keamanan regional mulai mengambil alih. Misalnya Visi ASEAN 2020, yang terjadi pada 1997, Komunitas Keamanan ASEAN menjadi salah satu dari tiga pilar dalam komunitas ASEAN, selain Komunitas Ekonomi ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Sebuah langkah kunci dalam mengembangkan Komunitas Keamanan ASEAN adalah diadakannya pertemuan ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) pada Mei 2006, yaitu pertemuan para menteri pertahanan di ASEAN. Konvensi yang mengikat secara legal tentang perlawanan terhadap terorisme yang ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada Januari 2007. Puncaknya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 ASEAN di Singapura, November 2007 dengan ditandatanganinya ASEAN Charter yang menjadi landasan konstitusional pencapaian tujuan dan pelaksanaan prinsip-prinsip yang dianut bersama untuk pencapaian pembangunan Komunitas ASEAN pada 2015. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mengoptimalkan berbagai kerja sama keamanan regional tersebut dalam implementasinya di lapangan? Tantangan keamanan regional Berkaitan dengan lalu lintas paling sibuk Selat Malaka, pembajakan mencapai level yang meresahkan di awal tahun reformasi dan menjadi dorongan yang kuat bagi Singapura, Malaysia, dan Thailand untuk melakukan kerja sama. Selat Malaka memiliki panjang 550 mil dan lebar 330 mil di ujung utara, dan menjorok hingga 1,5 mil di titik tersempitnya. Sebanyak 40% dari perdagangan dunia melewati selat itu, termasuk 80% dari impor minyak China, 80% dari impor minyak dan gas Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan serta dua pertiga dari LNG dunia. Secara kasar, ada sejumlah 600 kapal yang lewat setiap harinya. Singapura, di ujung selatan selat ini, adalah pelabuhan terbesar di dunia. (Percival, 2005). Hasil atas usaha ini tergolong sukses hingga pada titik berhasilnya sindikat asuransi perkapalan Lloyds pada Agustus 2006 mencoret Selat Malaka sebagai zona perang untuk menurunkan premium bagi kapal-kapal yang melaluinya. Ancaman nonmiliter Eksploitasi atas berbagai sumber daya hutan tropis dan laut yang beragam dan sangat berharga disebut-sebut sebagai ancaman eksternal terbesar Indonesia sekarang ini. Indonesia belum pernah memiliki kendali yang efektif atas perbatasannya. Pihak asing memasuki Indonesia untuk mencuri ikan dan menebang pohon secara ilegal untuk kemudian diseludupkan keluar dari Indonesia dengan kuantitas besar, hanya dengan sedikit risiko. Pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2005 memperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian hingga US$8 juta karena pencurian ikan ke negara asing setiap tahunnya, para pengamat militer menafsirkan kerugian negara hingga US$3 milar-US$4 miliar setiap tahunnya. Sementara itu, menurut laporan terakhir dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), pemotongan kayu secara ilegal menimbulkan kerugian hingga 40 juta meter kubik setiap tahunnya. Jumlah kayu dan produk kayu yang diekspor secara ilegal telah menurun dari 10 juta meter kubik/tahun menjadi 3 juta meter kubik. Namun, jumlah yang rendah ini masih bernilai US$6 juta (Obidzinski, dkk 2006). Di sisi lain, menurut catatan International Herald Tribune, 27 September 2005, kerugian Indonesia dari minyak dan gas selundupan dan produk olahan lainnya bernilai sekitar US$850 juta pada 2005. TNI, kepolisian, dan tujuh institusi pemerintah lainnya berbagi tanggung jawab untuk mengatasi ancaman-ancaman ini, tapi kapasitas teknik untuk melakukannya masih sangat minim. Lebih jauh lagi, ancaman itu dipercaya sebagai bagian dari masalah ini. Pengaturan kembali tentang siapa bertugas apa, di mana, dan bagaimana mekanismenya, perlu diperjelas agar tidak tumpang tindih dan distorsi dalam implementasi di lapangan. Perubahan teknologi dan kesiapan TNI Teknologi militer di dunia telah berkembang secara pesat sama halnya dengan doktrin militer sejak akhir Perang Dingin. Satu kelemahan operasional utama dalam TNI adalah ketergantungannya atas senjata mutakhir dan sistem pendukung di satu sisi dan anggaran pertahanan yang minim di lain sisi. Teknologi baru cenderung memiliki harga yang sangat mahal dalam masalah biaya pembelian, pelatihan, dan pemeliharaan. Namun, beberapa teknologi baru bisa lebih hemat. Misalnya teknologi satelit dan pesawat kendali jarak jauh yang bisa menyediakan lebih banyak informasi dengan biaya lebih rendah daripada pesawat pengawas, juga perlu dipertimbangkan. Mencari gabungan teknologi yang hemat biaya akan menjadi tantangan besar bagi Menteri Pertahanan dan TNI. Kesuksesan mereka bergantung pada penentuan struktur kekuatan untuk tiga angkatan yang bisa bertahan dan tidak perlu berubah setiap beberapa tahun. Perlu inovasi dan terobosan baru untuk memperkuat TNI kita dalam tantangan keamanan regional dan global saat ini. Bukan sekadar wacana belaka. Dirgahayu TNI! Oleh Jaleswari Pramodhawardan, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Kompas, Selasa, 06 Oktober 2009

Sabtu, 31 Oktober 2009

Pelaku Separatisme di Papua Terus Diburu

Makassar, Kompas - Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal FX Bagus Ekodanto menegaskan, semua pelaku aksi teror, termasuk yang bermuatan separatisme selama ini, akan terus diburu untuk diproses secara hukum. Langkah hukum mesti ditegakkan guna memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat serta memberikan efek jera terhadap pihak-pihak yang telah dan hendak berbuat serupa.



Demikian penegasan Irjen Bagus Ekodanto ketika dihubungi dari Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/10) malam, terkait tertangkapnya salah satu dari lima tokoh separatis yang selama ini masuk daftar pencarian orang Polda Papua. Tokoh yang tertangkap tersebut adalah Victor F Yeimo (30), salah satu orang di balik rentetan aksi teror yang marak di Papua, terutama menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden tahun 2009.

Victor tertangkap jajaran Kepolisian Resor Kota Jayapura, Rabu malam, dalam operasi penyakit masyarakat (pekat). Ia tertangkap di sebuah kamar hotel di Sentani. ”Tidak ada tempat bagi gerakan pengacau keamanan, termasuk yang bermuatan separatisme. Siapa pun tokoh dan pelakunya harus diambil langkah hukum,” kata Bagus.

Secara terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Agus Rianto menjelaskan, Victor adalah salah satu dari lima tokoh yang diduga sebagai otak dan pelaku rangkaian aksi teror selama beberapa bulan terakhir. Dua di antaranya telah ditangkap, diadili, dan dihukum. Mereka adalah Buchtar Tabuni dan Seby Sembom. Buchtar telah dihukum tiga tahun dan Seby dua tahun.

Menyusul penangkapan Victor, dua tokoh lainnya masih terus dilacak. Namun, Agus belum bersedia merinci tokoh lain yang masih dikejar tersebut.

Rentetan aksi yang diduga melibatkan Victor selama ini, menurut Agus, adalah penyerangan terhadap markas Kepolisian Sektor Abepura dan pembakaran Rektorat Universitas Cenderawasih Jayapura. Aksi itu terjadi pada April 2009. (NAR, 23 Oktober 2009)

Selasa, 27 Oktober 2009

Target Perlukah Di Tentukan

Oleh: Joko Susilo-Harmenharmen

Dari sisi budaya, menyebutkan sebuah target itu sangat tergantung dari budaya mana anda melihatnya. Kalau budaya Jawa, hal seperti itu bisa disangka “pamer” kuasa. Tapi dalam ilmu manajemen, menentukan target itu wajib hukumnya. Orang kalau tanpa target, itu sama halnya dengan main laying-layang; hanya untuk mengambang. Naik tidak turun juga bukan. Tapi bagaimana menurut Joko susilo. Menurutnya, satu pertanyaan klasik selalu terlontar tiap tahun baru tiba. “Apa target saya tahun ini?”

Jika anda sudah punya jawabannya, itu bagus. Karena, dengan memiliki target yang jelas, anda akan melangkah lebih percaya diri.

Mungkin saja di antara kita masih ada yang kecewa dengan target yang belum tercapai tahun lalu. Tapi, kekecewaan ini harus segera diatasi. Waktu sangat berharga karena ia tidak bisa diputar ulang. Jadi, apa gunanya berlarut-larut dalam kekecewaan?

Buka pikiran dan hati anda dan ingat, kita masih punya kesempatan di tahun berikutnya. Ya, kesempatan emas di tahun ini. Percayalah tahun ini sesuatu yang luar biasa akan terjadi dan mengubah hidup anda, bahkan juga orang-orang di sekitar anda.

Keyakinan seperti ini juga saya tanamkan pada diri saya. Bahkan sejak dulu saat saya mulai memutuskan ‘Ya! Saya akan mulai dan sukses di bisnis internet!‘

Berbekal rasa optimis, ketekunan, dan kerja keras, satu persatu tujuan saya tercapai. Saya yakin, anda tentu juga bisa melakukannya lebih dari saya.

Ucapkan pada diri anda, “Tahun 2008 adalah tahun saya!”

Segarkan pikiran, ciptakan peluang-peluang baru! Kembangkan berbagai kreativitas baru dalam bisnis. Tinggalkan strategi lama yang sudah usang dan tidak mendatangkan hasil, dan mulai gunakan strategi baru. Terbukalah pada perubahan!...

Jika anda punya tujuan, petakanlah! Susun berdasar jangka waktunya. Ada jangka panjang, menengah, dan jangka pendek, kemudian jalankan. Tetapi, jangan lupa juga untuk menjalaninya secara alami. Jangan sampai target-target itu justru membelenggu anda. Jangan biarkan diri anda tertekan karena banyak target jangka pendek yang tidak terpenuhi sehingga merasa khawatir gagal meraih apa yang sudah diidam-idamkan. Ini bahaya!

Tujuan hanyalah poin-poin atau jalur penanda. Kurang lebih seperti rambu lalu lintas yang akan membantu anda agar tidak tersesat atau menuju arah yang salah. Jadi, cobalah bersikap lebih terbuka dan fleksibel. Rebut setiap kesempatan yang membantu anda ke arah tujuan. Lakukan hal-hal yang sekiranya realistis dan dapat anda lakukan.

Di bawah ini ada beberapa hal yang bisa anda renungkan:
Biarkan setiap kejadian merubah hidup anda. Anda harus mau berkembang karena andalah orang yang menciptakan dan menghidupkan adanya perubahan itu. Terbukalah pada pengalaman-pengalaman yang sebelumnya pernah anda alami. Anda harus mau belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu…
Proses itu lebih penting dari hasil. Jika hasil mengendalikan proses, kita hanya akan jalan di tempat. Kita akan selalu terpaku di tempat kita ada sekarang. Tidak berkembang! Sebaliknya, jika proses mengendalikan hasil, meski kita belum melihat tujuan kita, tapi kita tahu pasti kita akan sampai disana. Yakinlah!
Mulailah dari manapun anda berada. Ketidaktahuan untuk memulai dari mana sering membuat kita tidak beranjak. Ambilah inisiatif. Lakukan dari manapun anda berada, sekarang juga!

Jadi, tentukan target dan tujuan anda tahun ini. Andalah yang menjadi penuntun target. Andalah pusat dari target-target anda. Andalah yang mengendalikannya, bukan target yang mengikat anda. Dan, jangan pernah berhenti berubah… ke arah yang lebih baik tentunya…

Tapia pa itu target menurut seorang pelakon Tsauf. Menurutnya seorang manusia itu terlalu sombong bila ia menyebutkan sebuah target. Yang paling utama adalah pada pendekatan pada sang halik dan menghambakan diri padaNya. Jangan silau oleh apa saja. Hiduplah dengan jiwa yang bersih dan menjaga keutamaan jiwa sepanjang masa. Menurut sang ahli ini, apapun yang terjadi di dunia ini, hanya bisa kalau ada izin sang halik. Karena itu berserahlah, semua sudah ada yang mengatur. Sebagaimanusia, kita wajib berusaha, tetapi usaha bukanlah penentu segalanya.

Selasa, 20 Oktober 2009

Perhargaan Baru Bagi Beyonce Knowles, Webnya Dimana Ya?




Tahun 2009 makin membuat nama penyanyi R&B asal Amerika Serikat, Beyoncé Knowles (28), melejit. Berbagai penghargaan dan nominasi dia terima.

Terakhir, dia dinominasikan World Music Award dalam kategori Lagu Terbaik Tahun Ini untuk ”Single Ladies” (”Put a Ring on It”). ”Klik di worldmusicawards.com untuk pilih saya,” katanya.

Di American Music Awards 2009, dia mendapat tiga nominasi, yaitu Artis Pop/Rock Perempuan Terfavorit, Artis Soul/R&B Perempuan Terfavorit, dan Album Soul/R&B Terfavorit. Pemenang ditentukan lewat voting dan diumumkan November nanti.

Kabar gembira lainnya datang dari Billboard. Album terbarunya, I AM... Sasha Fierce, akan menjadi album pertama dalam satu dekade ini yang mampu memasukkan enam lagu di tangga R&B/Hip-Hop. Lagu lainnya adalah ”Single Ladies”, ”If I Were A Boy”, ”Diva”, ”Halo”, ”Ego”, dan ”Video Phone”.

Kedigdayaan Beyoncé juga terendus industri permainan Nintendo Wii. Perusahaan itu akan merilis gaya dansa dan koreografi Beyoncé di atas platform Wii.

”Saya senang terlibat di video game ini karena saya memang suka Wii. Saya akan menuangkan gagasan untuk memasukkan koreografi di dalam game fitness,” kata Beyoncé yang saat ini berada di Jepang dalam rangkaian tur di Asia untuk mempromosikan album terbarunya. (WENN/AMR,Kompas ,selasa, 20 Oktober 2009 )

Jumat, 16 Oktober 2009

Pulau Papua, Chokepoint Ekonomi Indonesia Masa Depan

KEMAMPUAN suatu negara dalam menyusun sistem keamanan bergantung pada faktor-faktor geopolitiknya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki karakteristik geopolitik yang khas: bentang luas dan letak geografis yang strategis dari Sabang sampai Merauke. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia membutuhkan kendali yang kuat untuk menjaga keamanan, keutuhan, dan kedaulatan wilayah NKRI, termasuk melindungi wilayah-wilayah kunci seperti Papua sebagai provinsi paling timur.
Pulau Papua memiliki nilai strategis yang sangat tinggi bagi geopolitik Indonesia akibat faktor geografis dan faktor ketersediaan sumber daya alam yang terkandung di dalamya. Perkembangan kekuatan ekonomi baru dunia seharusnya menjadikan Papua sebagai strategic international chokepoint bagi Indonesia. Hal tersebut disebabkan posisi strategis Papua yang berbatasan dengan negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi potensial mulai Filipina di sebelah utara, yang merembet ke Hong Kong, Taiwan, Jepang, hingga kepulauan Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur dan di selatan berhadapan dengan Timor Leste dan Australia.
Chokepoint adalah istilah militer yang menjelaskan suatu kondisi geografis yang harus dilalui dengan cara mengurangi kekuatan. Dengan musuh yang mengurangi kekuatan, chokepoint dapat dipertahankan dengan kekuatan yang relatif kecil karena musuh tidak dapat membawa jumlah yang besar ke tempat itu.
Perkembangan dunia menyebabkan semakin tingginya persaingan antarnegara dan institusi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi bagi kemakmuran. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah sebuah negara yang kaya dengan sumber daya akan menjadi rebutan dan wahana persaingan. Begitu pula Indonesia terutama Papua. Ekses dari persaingan adalah meningkatnya ketidakstabilan keamanan. Untuk itu, kontrol pemerintah sangat penting dalam menciptakan situasi aman dan kondusif bagi terpeliharanya kemakmuran dan keamanan rakyatnya. Hal lain penyebab instabilitas di Pulau Papua adalah ketertinggalan pembangunan jika dibandingkan dengan daerah lain. Ketidakpuasan warga sering dijawab dengan kebijakan yang kurang memperhatikan kearifan lokal sehingga sering melahirkan konflik yang berkepanjangan.
Otonomi daerah dalam rangka percepatan pelayanan pemerintah guna pencapaian kesejahteraan masyarakat belum bisa berjalan dengan baik karena tidak dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan sistem birokrasi yang efisien. Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkepanjangan menumbuhkan sikap apatis dan disintegratif sebagian warga Papua. Bila kita melihat sejarah, konflik yang terjadi di Papua awalnya berupa konflik komunal yang terjadi secara tradisi, yang timbul dari persaingan antarsuku dalam memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih kompleks sejalan dengan proses depolitisasi elite masyarakat Papua dalam memperebutkan posisi sosial politik.
Keterbelakangan pendidikan, kemiskinan, dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam. Kompleksitas konflik semakin akut karena penanganan yang lamban dan tidak mengena pada akar masalah....

Potensi kekayaan alam Papua
Papua kaya akan keanekaragaman hayati. Tanah yang subur di iklim tropis dan hujan turun di hampir di sepanjang musim merupakan faktor agroklimat yang sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditas tanaman industri, baik kehutanan, hortikultura, maupun untuk tanaman pangan.
Kekayaan sumber daya mineral dan energi sudah menjadi pengetahuan umum. Besi, tembaga, emas, batu bara, minyak bumi, sampai gas alam adalah kekayaan alam yang nyaris tergadaikan. Padahal bangsa yang berjaya adalah bangsa yang menguasai dan mampu mandiri menguasai sumber-sumber energi dan mineral bagi metal industri untuk menyokong pembangunan infrastruktur.
Kekayaan laut kita di Papua sangat besar namun belum termanfaatkan dengan baik. Ikan kita dicuri oleh nelayan asing dengan perlengkapan yang modern yang menyebabkan lenyapnya triliunan devisa negara. Potensi industri perikanan dan rumput laut, pertambakan dan penangkaran ikan-ikan karang untuk kebutuhan komersial sangat luas.
Keindahan alam adalah khasanah lain yang dimiliki Papua. Kontur pantai yang landai dan pasir putih yang terhampar serta pusat pertemuan arus laut dingin dan panas melahirkan kekayaan ekosistem terumbu karang yang tidak ada bandingannya. Kekayaan terumbu karang di Rajaampat dan sekitarnya merupakan potensi industri wisata bahari. Keanekaragaman hayati terumbu karang dan ekosistem yang khas telah memberikan keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan lokasi wisata bahari di negeri lain.

Aktor utama pembangunan Papua
Untuk menyelesaikan masalah Papua, percepatan pembangunan adalah jawaban yang tepat. Pertanyaannya adalah bagaimana proses percepatan tersebut berjalan sehingga mampu menimbulkan rasa keadilan bagi semua pihak. Kesulitan terbesar adalah masalah SDM dan finansial. Untuk menjalankan percepatan tersebut, setidaknya ada tiga aktor kunci.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah melalui pengalokasian APBN yang proporsional untuk percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, irigasi, sarana listrik, dan telekomunikasi untuk membuka isolasi wilayah. Pemerintah pusat dan daerah juga berperan penting dalam mengarahkan industri strategis nasional di Papua yang memiliki efek domino terhadap berkembangnya industri lain. Kedua, lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, yang bertugas meningkatkan kualitas manusia dan memasok angkatan kerja. Lembaga pendidikan di Papua juga menjadi laboratorium inovasi yang aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan kekinian masyarakat. Ketiga, peran swasta dalam mengembangkan ekonomi terutama di sektor riil. Pengembangan ekonomi sektor swasta tersebut yang harus didukung oleh perbankan sehingga pergerakan ekonomi tidak lagi bergantung pada anggaran pemerintah. Apabila tiga aktor utama itu mampu bersinergi, setidaknya akan ada sebuah energi positif untuk percepatan pembangunan Papua.

Masa depan ekonomi Indonesia
Keunggulan komparatif yang kita miliki seharusnya menjadi nilai ekonomi tersendiri apabila kita mampu membuat nilai tambah. Kunci utama adalah membangun SDM dengan memberdayakan masyarakat lokal sebagai ujung tombak pembangunan wilayah Papua. Untuk terciptanya iklim investasi yang kondusif, perbaikan dan pembangunan infrastruktur harus segera dilakukan. Pembangunan sistem transportasi darat yang murah dan efisien yang terintegrasi dengan pembangunan pelabuhan samudra guna menembus pasar ekspor di Samudra Pasifik akan menjadi faktor pemberdaya (enabling factors) bagi aktivitas perekonomian yang lebih luas. Begitu juga perlu dirintis perumusan alternatif pembangunan moda transportasi darat dengan kereta dengan sumber energi yang murah yang mampu menghubungkan kota-kota dan sumber-sumber produksi. Dalam investasi inilah, kekuatan pembiayaan dan kredibilitas reputasi perbankan nasional dapat menjadi fasilitator dan katalisator.
Kondisi yang kita harapkan tersebut dapat cepat terlaksana apabila diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan dan kebijakan pemerintah daerah. Reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik, termasuk perizinan dan kejelasan peraturan sangat dibutuhkan.
Kombinasi faktor-faktor strategis itulah yang akan menempatkan Papua menjadi chokepoint ekonomi Indonesia masa depan, titik strategis bagi kemakmuran bangsa.(Kompas, Rabu, 14 Oktober 2009)
Oleh DKS Nugraha SP MSi MBA
Direktur Eksekutif Center for Strategic and Defense Studies
Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia

Sabtu, 10 Oktober 2009

Bagaimana kabar pengambilalihan bisnis TNI?

Oleh Jaleswari Pramodhawardani
Dalam Pasal 76 UU No 34/ 2004 tentang TNI disebutkan, dalam jangka waktu lima tahun sejak diberlakukan, pemerintah harus mengambil alih semua aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI, baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan UU yang ada, tanggal 16 Oktober 2009 TNI harus bebas dari aktivitas bisnis. Mungkin, ini adalah kado terpenting TNI untuk menjadikan TNI kian profesional setelah sampai pertengahan 2004 melakukan reformasi internal dengan keluar dari ranah politik dan berhasil memperbarui beberapa institusi TNI.

Melihat capaian itu, banyak pihak mengatakan, TNI merupakan institusi paling berhasil dalam reformasi birokrasi dibandingkan dengan kepolisian dan pegawai negeri sipil. Memang, capaian ini masih harus dibuktikan guna membebaskan TNI dari ranah bisnis.

Proses

Jika merunut langkah-langkah pemerintah untuk pengambilalihan bisnis ini, terkesan langkah ini terlalu berhati-hati dan lama prosesnya. Mengapa?

Pada akhir Agustus 2005, tim kementerian dibentuk untuk menyelesaikan pengambilalihan yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 76 dan untuk menyusun rancangan keputusan presiden. Ketua yang ditunjuk dari Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI adalah Said Didu, Sekretaris Menteri Negara Badan Umum Milik Negara, dengan anggota Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pada akhir September 2005, TNI mengeluarkan daftar 219 bisnis militer, yang diserahkan kepada tim TSTB TNI. Enam bulan kemudian muncul pernyataan dan dokumen dari Departemen Pertahanan yang mengacu pada daftar 1.520 unit bisnis TNI, tetapi unit individu dalam kedua daftar itu tidak diumumkan. Bulan Desember 2006, saya mendapat daftar 23 yayasan militer dengan 107 badan usaha dan 172 kerja sama militer dengan 52 unit sehingga total 356 unit bisnisnya.

Ringkasnya, pada awal 2007, masyarakat tak memiliki informasi resmi apa pun tentang identitas aktivitas bisnis individual TNI. Sebuah rancangan awal keputusan presiden dapat dibuat oleh tim pengambilalihan pada kuartal pertama 2006 dan didiskusikan dengan beberapa analis militer. Kekhawatiran utama para akademisi adalah rancangan itu terlalu terfokus pada pembentukan Badan Pengelola Transformasi Bisnis TNI untuk mengatur bisnis-bisnis yang diambil alih dari TNI....

Draf itu tidak membuat definisi baru dari aktivitas bisnis dan tampaknya hanya mengacu bisnis formal TNI dalam daftar yang diserahkan kepada Menteri Pertahanan tahun sebelumnya. Draf itu juga ambigu tentang apakah bisnis yang ditransfer ke badan baru harus diteruskan atau ditutup. Juga tentang keuntungan yang diraih dari hasil operasi bisnis atau penjualan. Akhirnya, tanggal 16 April 2008 terbit Keppres No 7/2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang diketuai Erry Riyana Hardjapamekas. Dari kajian tim nasional ini, aktivitas bisnis yang selama ini berlangsung adalah melalui yayasan, koperasi, pemanfaatan badan milik negara di luar tugas, pokok, dan fungsi serta kegiatan di luar tugas, pokok, dan fungsi.

Total aset yayasan dan koperasi, termasuk perusahaan yang dimiliki, adalah Rp 3,2 triliun, sedangkan total kewajiban yang harus dibayar Rp 1 triliun sehingga nilai aset bersih Rp 2,2 triliun. Setelah sekian lama, inilah kali pertama kita mengetahui data resmi yang dikeluarkan pemerintah tentang bisnis TNI.

Implikasi

Indonesia bukanlah negara pertama yang memiliki institusi militer yang melakukan aktivitas ekonomi di luar anggaran. Tiap wilayah di dunia telah melihat aneka variasi aktivitas ini. Bahkan, tentara ”modern” seperti di Inggris, pada masa lampau, memiliki berbagai sumber penghasilan untuk membiayai operasional sejumlah aktivitas bisnis di luar produksi perlengkapan militer dan pelayanan (untuk industri pertahanan).

Bahkan, sebuah penelitian tentang aktivitas bisnis militer di Myanmar mencatat, mereka ”mengikuti gaya Angkatan Darat Inggris yang melakukan bisnis untuk tentaranya” (Andrew Selth, 2001). Pasukan militer AS, yang memiliki sejarah panjang dalam keprofesionalan, lebih merupakan pengecualian daripada peraturan.

Namun, tren mengarah kendali sipil amat jelas, bahkan negara nondemokrasi seperti China pun melakukannya. Implikasi pertama, untuk menggarisbawahi kesulitan yang akan dihadapi Indonesia dalam mencapai pemerintahan yang bersih, selama TNI memiliki sumber pendanaan independen.

Implikasi kedua, tingkat penghormatan atas komando TNI di luar perbatasan Indonesia akan amat tergantung seberapa cepat TNI bisa mengeluarkan dirinya dari aktivitas bisnis dan berkonsentrasi pada misi militer.

Tiga rekomendasi

Tiga rekomendasi penting dari Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI telah diserahkan kepada pemerintah, November 2008. Kini kita menunggu tindak lanjut pemerintah untuk mengeksekusi bisnis TNI sesuai amanat undang-undang.

Seandainya ini terjadi, kita baru memiliki TNI yang profesional setengahnya, yaitu bebas dari aktivitas politik dan bisnis. Sedangkan setengah lainnya, tentara yang terlatih, terdidik, dilengkapi secara baik, dan dijamin kesejahteraannya adalah kewajiban negara untuk memenuhinya.

Kini kita menunggu keputusan politik pemerintah, apakah akan memenuhinya dengan cepat atau berkilah di balik minimnya anggaran nasional? (Kompas, 6 Oktober 2009) Jaleswari Pramodhawardani Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI

Sabtu, 03 Oktober 2009

Bersahabat dengan Gempa, bertindaklah sebelum Terlambat

Dua gempa terjadi berturut-turut, Rabu dan Kamis (1/10). Yang pertama menggempur Kota Padang dan Pariaman, Provinsi Sumatera Barat, sedangkan gempa kedua menyerang Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

Di Kota Padang dan Pariaman, sesuai data Satuan Koordinasi Pelaksana Sumatera Barat, korban meninggal dunia mencapai 496 orang, sementara bangunan rusak berat 15.159 buah, rusak sedang 3.980, dan rusak ringan 6.737.

Sementara itu, di Kota Sungai Penuh sejumlah 1.385 bangunan rusak, 474 rusak berat, dan 63 rusak total, serta 2 orang tewas. Jarak antarkedua lokasi tersebut sekitar 160 kilometer.

Akan tetapi, jumlah korban di antara kedua lokasi tersebut mencolok perbedaannya. Dari pandangan mata wartawan Kompas, sebelumnya dia telah meliput Kota Padang, kerusakan Kota Sungai Penuh memang terlihat tidak separah Kota Padang.

Fakta-fakta lain

Fakta-fakta lain terkait kedua gempa tersebut juga banyak perbedaannya. Pertama adalah perbedaan lokasi pusat gempa. Pusat gempa yang melanda Kota Padang dan Pariaman berada di zona seismik di Palung Sumatera, di laut. Pusat gempa berada di kedalaman sekitar 71 kilometer. Jarak antara pusat gempa tersebut dan Kota Padang sekitar 57 kilometer.

Kekuatan kedua gempa itu bisa digolongkan gempa kuat. Gempa yang menghantam Padang berkekuatan 7,6 skala Richter (SR), sedangkan kekuatan gempa yang terasa di Kota Sungai Penuh adalah 7,0 SR.

Sementara pusat gempa Kota Sungai Penuh berada di daratan nyaris di bawah Kota Sungai Penuh. Pusat gempanya ada di daratan, yang berasal dari aktivitas tektonik pada Patahan Sumatera. Patahan ini membentang dari utara ke selatan. Patahan Sumatera dan jalur Palung Sumatera bisa dikatakan sejajar, memanjang dari utara ke selatan.

Lalu bagaimana semua fakta tersebut memengaruhi tingkat kerusakan dari kedua peristiwa gempa itu?

Jauh berbeda

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, fakta-fakta tersebut menyebabkan muncul perbedaan pada dampak gempa....

Ada beberapa perbedaan yang membuat dampak gempa bumi di Padang dan Sungai Penuh jauh berbeda. Menurut Surono, setidaknya ada dua aspek yang harus dilihat karakternya secara khusus, yakni karakter sumber gempa dan media respons gempa.

Di Padang, gempa meluluhlantakkan bangunan dan menimbun korban dalam jumlah besar, sementara di Sungai Penuh jumlah korban memang jauh lebih sedikit. Di Sungai Penuh, bangunan yang roboh nyaris seluruhnya adalah bangunan dengan dinding tembok. Sementara bangunan kayu, biarpun setinggi dua lantai, tetap tegak berdiri.

Menurut Surono, dari hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pusat gempa di Jambi berkekuatan 7,0 SR, tetapi kedalaman pusat gempa yang melanda Kota Sungai Penuh kurang dari 30 kilometer, yang terhitung dangkal. Akibatnya, guncangannya tidak meluas, terbatas dalam radius yang relatif terbatas/sempit.

Sementara pusat gempa di Sumatera Barat ada di tengah laut dengan kekuatan lebih besar, yaitu 7,3 SR. Karena gempa menjalar dalam bentuk gelombang spasial, maka semakin jauh dari sumber gempanya, luas area yang tersapu gelombang pun semakin luas.

Analoginya adalah sorot lampu senter yang diarahkan ke dinding dari jarak pendek dan jauh. Kian dekat lampu sorot, cakupan cahayanya pun semakin terbatas.

Kekuatan daya rusak

Bagaimana dengan daya rusak? Salah satu indikatornya adalah jenis (karakter) tanah. Di Padang, seperti halnya kondisi Jawa Barat selatan, didominasi oleh tanah urai. Sifat lapisan tanah urai-endapan usia muda adalah memperbesar efek guncangan gempa (mengamplifikasi). Sedangkan karakter tanah Sungai Penuh relatif padat sehingga meredam getaran.

”Di Jambi relatif tak ditemukan aluvial (endapan muda) gunung api, sementara di Padang lapisan aluvialnya tebal. Jadi, di Jambi dampak guncangan tidak separah di Padang,” ujarnya.

Kondisi tanah atau media permukaan di Padang dan Jabar selatan—Tasikmalaya di Jabar selatan diguncang gempa pada 2 September—lanjut Surono, didominasi aluvial pantai, aluvial sungai, dan bahan rombakan dari letusan gunung api. Harap diingat, Sumbar dan Padang memiliki gunung api aktif.

Karakter tanah gembur itu memperbesar efek guncangan. Akibatnya, bangunan di atasnya yang tidak tahan gempa atau tidak dirancang tahan guncangan akan menderita hebat.

Surono mencontohkan gempa beberapa tahun silam di Jawa Barat. Dampak gempa yang pusatnya berada lebih dekat di kawasan Indramayu justru mendatangkan kerusakan parah pada bangunan di Tasikmalaya.

Hal senada dinyatakan Kepala Pusat Mitigasi Bencana ITB Wayang Sengara. ”Yang jelas, lapisan tanah di Padang yang dekat pantai itu belum padat, masih lunak, sehingga dia bersifat memperkuat (mengamplifikasi) getaran. Ini berbeda dengan daerah di Sungai Penuh yang dekat pegunungan, yang lebih keras lapisan struktur tanahnya sehingga amplifikasinya kecil sekali,” ujarnya. Faktor lain adalah ketahanan bangunan.

Menurut Wayan Sengara yang juga dosen di jurusan Teknik Sipil ITB, dari foto-foto yang telah dipublikasikan, tulangan beton bangunan yang roboh memang tampak tidak memenuhi syarat sebuah bangunan tambah gempa.

”Bangunan yang lebih ringan dengan ikatan yang bagus, juga luas lantai yang lebih kecil, itu lebih aman, lebih tahan gempa,” ujarnya.

Bisa dihindari

Setelah semua ini diketahui, menurut Surono, tetap ada jalan untuk menghindari risiko atau mengurangi risiko gempa.

Gempa dan karakter tanah merupakan wilayah yang tidak bisa direkayasa di luar sifat alaminya. Keduanya merupakan faktor tetap.

Yang bisa dilakukan manusia adalah beradaptasi dengan kondisi geografis dengan penerapan sejumlah kebijakan dan memperbaiki respons darurat kebencanaan, serta membuat produk-produk ramah bencana.

”Kuncinya, semua pihak menjalankan bagian tugasnya masing-masing dengan baik,” katanya. Apa yang dikatakan Surono benar adanya karena Indonesia telah memiliki undang-undang tentang penanggulangan bencana.

”Silakan para ahli berbicara sesuai keahliannya. Namun, jangan lupa berbuat nyata, berbuat sesuatu di tengah negeri bencana ini, karena gempa mengintai sewaktu-waktu,” ujarnya. Sayangnya, justru itulah kelemahan Indonesia selama ini. (Kompas,3/10/09/ADH/GSA/ISW)

Selasa, 29 September 2009

Fenomena perjuangan Papua Merdeka



Oleh:PETRUS PIT SUPARDI
Hampir selama 32 tahun dalam era Orde Baru, Papua tetap menjadi pulau yang dilupakan. Papua dengan sumber daya alam yang melimpah hanya menjadi dapur bagi daerah lain di Republik ini. Segala kekayaan di perut bumi Papua, berupa minyak, emas, tembaga, dan lainnya serta keragaman hayati di permukaan bumi Papua, dikeruk dan dimanfaatkan untuk kepentingan kaum elite yang tinggal di pusat. Apa yang orang Papua dapatkan dari hasil kekayaan alamnya?

Orang Papua mengalami bahwa di satu sisi sumber daya alam habis dan serentak pula mobilisasi kaum imigran ke Pulau Papua kian tidak terbendung. Akibatnya, bukan hanya sumber daya alam yang habis, tetapi nilai-nilai budaya dan warisan leluhur pun ikut terkikis. Di sini muncul dilema, apa yang harus dilakukan agar orang Papua tetap eksis di atas tanahnya?

Untuk menebus dan mengembalikan citra orang Papua, maka berbagai upaya telah dan sedang dilakukan. Upaya yang sedang tenar dan menjadi wacana publik ialah dialog Papua-Jakarta.

LIPI menerbitkan hasil penelitian tentang Papua, Papua Roadmap, yang menampilkan sebagian wajah Papua. Demikian halnya buku Dialog Jakarta-Papua karya Neles Tebay yang memaparkan langkah-langkah dialog bagi Papua.

Persoalannya, belum adanya kemauan pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan orang Papua. Alasannya beragam, di antaranya intensitas konflik di Papua terbilang rendah. Pertanyaannya, apakah harus ada pertumpahan darah lebih dulu baru dilakukan dialog di Papua?

Sejarah Papua

Tak dapat disangkal, orang Papua memiliki sejarahnya sendiri sebelum diintegrasikan ke pangkuan NKRI. Orang Papua memiliki pengalaman, mereka pernah menjadi bangsa merdeka lengkap dengan atribut kebangsaan, bendera bintang kejora, lagu kebangsaan ”Hai Tanahku Papua”, dan lambang negara Burung Mambruk. Simbol kenegaraan ini pernah ada dan dikumandangkan di atas tanah Papua.

Identitas orang Papua ini diatur dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, ketika nilai dan warisan masa lalu ini hendak diangkat dan ditetapkan sebagai simbol kultural orang Papua, Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No 77/2007 yang mengatur lambang daerah dan tidak mengizinkan bendera bintang kejora dipakai sebagai simbol kultural orang Papua. Fakta ini menunjukkan, Pemerintah Indonesia belum memiliki niat dan komitmen menyelesaikan sejarah orang Papua secara tuntas.

Ingatan akan penderitaan (memoria passionis) mengantar orang Papua kembali ke masa lalu, masa mereka mengalami kemerdekaan. Di sinilah benih-benih pergerakan kemerdekaan kembali bergema. Penderitaan membangkitkan semangat untuk berjuang merebut kemerdekaan.

Peningkatan kesejahteraan

Filosofi yang dibangun oleh Indonesia dan para pejuang pembebasan Papua Barat adalah prinsip harga mati. Bagi Indonesia, NKRI harga mati. Demikian halnya Papua Merdeka adalah harga mati bagi pejuang pembebasan Papua. Setiap pihak bersikukuh dan mengklaim pihaknya di posisi paling benar. Dalam situasi ini perlu dicarikan alternatif, jalan tengah, guna meredam sekaligus mempertemukan pihak-pihak yang mengklaim sebagai yang paling berhak atas Papua.

Pembenahan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua merupakan alternatif penting dalam membangun Papua yang adil dan jujur. Juga peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik harus segera dilaksanakan.

Mengherankan, otsus Papua sudah berjalan hampir delapan tahun. Pada saat bersamaan dana yang dialirkan sebanyak Rp 18 triliun lebih, tetapi tidak mampu memperbaiki nasib orang Papua yang hanya berjumlah 1,5 juta. Aneh tetapi nyata. Lalu, di mana letak kekeliruan pelaksanaan otsus bagi Papua?

Pemerintah Indonesia perlu membuka dialog bagi orang Papua. Segala kesepakatan yang terkait kehidupan dan masa depan orang Papua harus dilahirkan melalui dialog. Tanpa dialog, deklarasi Papua Tanah Damai yang dicanangkan para pemimpin agama di tanah Papua tidak akan terwujud. Karena itu, pemerintah pusat perlu mendengarkan suara orang Papua yang tiap hari berteriak meminta dialog yang adil dan jujur di Papua. Dialog merupakan solusi untuk berbagai persoalan di Papua.

Apakah perdamaian dan kesejahteraan akan lahir di atas tanah Papua yang hingga kini masih dilanda penderitaan karena ketidakadilan?

PETRUS PIT SUPARDI Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua Kompas,11 Agustus2009

Jumat, 25 September 2009

Jangan Biarkan, Sabang Tinggal Kenangan

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, awal Agustus. Jarum jam menunjuk pukul 20.00. Kendaraan dan pedagang berebut tempat di jalanan ini. Satu-dua toko masih membuka pintu, terhalangi pedagang kaki lima yang memenuhi separuh badan jalan dan trotoar. Malam itu, lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang sedang ngetop-ngetop-nya terdengar nyaring dari salah satu lapak penjual cakram padat. Di sini, sekeping cakram padat bajakan dihargai Rp 10.000, sedikit lebih mahal ketimbang seporsi sate gurita bersaus kacang lengkap dengan irisan lontong yang hanya Rp 7.000.
Jalan Perdagangan adalah jantung perekonomian Sabang. Beberapa gedung di jalan itu juga adalah kantor perdagangan asing pada awal tahun 1900-an. Bila kita berjalan sedikit ke arah barat, bisa ditemukan gudang tua yang sebagian besar tak terawat meski beberapa di antaranya masih digunakan.
Sabang dengan sisa keramaian di Jalan Perdagangan adalah nukilan masa lalu yang indah. Bagi Mustofa (60), Sabang kini sama sekali tidak ada apa-apanya. Yang tersisa di Sabang saat ini belum ”seujung kuku” kejayaan Sabang di masa lalu. Pada periode 1970-an, Sabang adalah kota pelabuhan yang ramai. Aktivitas perdagangan dihidupkan oleh kemudahan masuknya barang impor berharga murah.
Sejak akhir era 1970-an sampai menjelang era 1990-an sering kali Mustofa, yang pegawai di salah satu badan usaha milik negara (BUMN), kerap pergi-pulang Jakarta-Medan-Banda Aceh, termasuk ke wilayah yang dikenal dengan barang impor nan murah. Kala itu, ia mengibaratkan Sabang sebagai sebuah kota yang tidak pernah mati. Seringnya kapal dagang dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Singapura, merapat di kota itu membuat Kota Sabang melek 24 jam. ”Kalau tak salah, Jalan Perdagangan adalah jalan yang paling ramai. Di sana pusat penjualan barang impor, murah. Hampir semua ada,” katanya.
Mustofa mengingat Jalan Perdagangan sebagai lokasi penjualan yang padat. Hanya pejalan kaki yang bisa lewat dengan santai di jalanan sepanjang hampir satu kilometer itu. Trotoar di kanan-kiri jalan serta sebagian badan jalan digunakan sebagai tempat berjualan. Barang pecah belah, mulai dari piring, gelas, mangkuk, hingga lampu kristal, berserakan di pinggiran jalan.
Mustofa menuturkan, bila ada kapal barang yang hendak merapat ke pelabuhan, jengek atau kuli barang pelabuhan berlomba mendekat dan membawa barang itu ke daratan. Tak jarang, jengek menaruh barang itu di balik bajunya. ”Sampai-sampai badannya kelihatan gemuk. Kempis lagi setelah barang itu diturunkan di sekitar Jalan Perdagangan,” kenang dia.
Bayangan Jalan Perdagangan sebagai pusat grosir barang impor masih membekas ketika kini jalan ini masih merupakan kawasan utama perdagangan di Pulau Weh atau Kota Sabang. Namun, barang yang dijualbelikan tidak seperti dulu. Meski masih banyak toko kelontong di sana, barang-barang sebagian besar dipasok dari kota-kota di Sumatera dan Pulau Jawa.
Lupakan juga soal mobil impor wah, namun berharga murah, yang dulu pernah jadi ikon Sabang. Tidak ada lagi surga mobil impor dari Singapura, Thailand, dan Malaysia. Mobil yang masuk mangkrak di gudang importir, tidak bisa keluar, karena polisi tidak bisa lagi menerbitkan surat.
Kemandekan Sabang berimbas pada kenaikan harga barang. Dullah, warga Sabang, menuturkan, harga barang bahkan lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Banda Aceh. Praktis di Sabang hanya gula impor yang masih murah. Satu zak ukuran 50 kilogram, gula impor hanya dihargai Rp 340.000, sementara harga gula lokal di Banda Aceh bisa mencapai Rp 420.000. Harga murah itu hanya bisa dinikmati warga Sabang karena gula impor terbatas bisa diedarkan di Kota Sabang.
Boleh juga mencoba membawanya sebagai oleh-oleh ke Banda Aceh. Namun, cerita ada seorang penduduk yang ditangkap karena membawa gula impor sebanyak tiga zak (saja!) sudah telanjur menyebar di kawasan Pelabuhan Sabang. ”Padahal, berapa sih orang Sabang menghabiskan gula? Gula kalau kelamaan basah, harganya turun,” kata Aching (60), pedagang gula di Jalan Perdagangan.
Kapan hidup lagi?
Sejak benar-benar terhenti pada awal era 1990-an, cahaya Sabang sebagai kawasan pelabuhan bebas redup. Namun, upaya untuk menghidupkan Sabang sebagai pelabuhan bebas kembali muncul awal 2000. Kemunculan itu sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang. Untuk melaksanakan isi UU itu, pemerintah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Namun, apa lacur. Sejak badan itu berdiri, sampai sekarang kondisi Sabang seperti mati suri. Dana ratusan miliar yang digelontorkan pemerintah untuk menghidupkan kembali kawasan Sabang belum terasa sampai sekarang. Bahkan, sebaliknya, konflik antara manajemen BPKS dan Dewan Kawasan Sabang lebih mengemuka dibandingkan dengan upaya pembangunan kembali kawasan ini. Di tingkat pusat, keinginan DPR mengubah status kawasan pelabuhan bebas Sabang menjadi status kawasan ekonomi khusus menenggelamkan upaya untuk menghidupkan kembali wilayah ini. Puncak konflik adalah permintaan penonaktifan kepala badan oleh Gubernur kepada DPR Aceh untuk kedua kalinya, awal September 2009.
Sekarang Sabang lebih dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman yang menarik di Aceh. Kawasan Iboih, Gapang, dan Sumur Tiga menjadi salah satu daya tarik Sabang. Namun, kawasan Gapang mulai ditinggal turis karena lokasi itu tidak dikelola lagi oleh operator asing. Belum ada lagi operator baru untuk mengelola kawasan ini.
Tampaknya warga Sabang masih harus menunggu dalam waktu lama untuk bisa melihat kotanya menggeliat lagi. Konflik lebih mengemuka dibandingkan upaya pembangunan kembali. (Kompas,Mahdi Muhammad/Sidik Pramono)

Jangan Biarkan, Sabang Tinggal Kenangan

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, awal Agustus. Jarum jam menunjuk pukul 20.00. Kendaraan dan pedagang berebut tempat di jalanan ini. Satu-dua toko masih membuka pintu, terhalangi pedagang kaki lima yang memenuhi separuh badan jalan dan trotoar. Malam itu, lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang sedang ngetop-ngetop-nya terdengar nyaring dari salah satu lapak penjual cakram padat. Di sini, sekeping cakram padat bajakan dihargai Rp 10.000, sedikit lebih mahal ketimbang seporsi sate gurita bersaus kacang lengkap dengan irisan lontong yang hanya Rp 7.000.
Jalan Perdagangan adalah jantung perekonomian Sabang. Beberapa gedung di jalan itu juga adalah kantor perdagangan asing pada awal tahun 1900-an. Bila kita berjalan sedikit ke arah barat, bisa ditemukan gudang tua yang sebagian besar tak terawat meski beberapa di antaranya masih digunakan.
Sabang dengan sisa keramaian di Jalan Perdagangan adalah nukilan masa lalu yang indah. Bagi Mustofa (60), Sabang kini sama sekali tidak ada apa-apanya. Yang tersisa di Sabang saat ini belum ”seujung kuku” kejayaan Sabang di masa lalu. Pada periode 1970-an, Sabang adalah kota pelabuhan yang ramai. Aktivitas perdagangan dihidupkan oleh kemudahan masuknya barang impor berharga murah.
Sejak akhir era 1970-an sampai menjelang era 1990-an sering kali Mustofa, yang pegawai di salah satu badan usaha milik negara (BUMN), kerap pergi-pulang Jakarta-Medan-Banda Aceh, termasuk ke wilayah yang dikenal dengan barang impor nan murah. Kala itu, ia mengibaratkan Sabang sebagai sebuah kota yang tidak pernah mati. Seringnya kapal dagang dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Singapura, merapat di kota itu membuat Kota Sabang melek 24 jam. ”Kalau tak salah, Jalan Perdagangan adalah jalan yang paling ramai. Di sana pusat penjualan barang impor, murah. Hampir semua ada,” katanya.
Mustofa mengingat Jalan Perdagangan sebagai lokasi penjualan yang padat. Hanya pejalan kaki yang bisa lewat dengan santai di jalanan sepanjang hampir satu kilometer itu. Trotoar di kanan-kiri jalan serta sebagian badan jalan digunakan sebagai tempat berjualan. Barang pecah belah, mulai dari piring, gelas, mangkuk, hingga lampu kristal, berserakan di pinggiran jalan.
Mustofa menuturkan, bila ada kapal barang yang hendak merapat ke pelabuhan, jengek atau kuli barang pelabuhan berlomba mendekat dan membawa barang itu ke daratan. Tak jarang, jengek menaruh barang itu di balik bajunya. ”Sampai-sampai badannya kelihatan gemuk. Kempis lagi setelah barang itu diturunkan di sekitar Jalan Perdagangan,” kenang dia.
Bayangan Jalan Perdagangan sebagai pusat grosir barang impor masih membekas ketika kini jalan ini masih merupakan kawasan utama perdagangan di Pulau Weh atau Kota Sabang. Namun, barang yang dijualbelikan tidak seperti dulu. Meski masih banyak toko kelontong di sana, barang-barang sebagian besar dipasok dari kota-kota di Sumatera dan Pulau Jawa.
Lupakan juga soal mobil impor wah, namun berharga murah, yang dulu pernah jadi ikon Sabang. Tidak ada lagi surga mobil impor dari Singapura, Thailand, dan Malaysia. Mobil yang masuk mangkrak di gudang importir, tidak bisa keluar, karena polisi tidak bisa lagi menerbitkan surat.
Kemandekan Sabang berimbas pada kenaikan harga barang. Dullah, warga Sabang, menuturkan, harga barang bahkan lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Banda Aceh. Praktis di Sabang hanya gula impor yang masih murah. Satu zak ukuran 50 kilogram, gula impor hanya dihargai Rp 340.000, sementara harga gula lokal di Banda Aceh bisa mencapai Rp 420.000. Harga murah itu hanya bisa dinikmati warga Sabang karena gula impor terbatas bisa diedarkan di Kota Sabang.
Boleh juga mencoba membawanya sebagai oleh-oleh ke Banda Aceh. Namun, cerita ada seorang penduduk yang ditangkap karena membawa gula impor sebanyak tiga zak (saja!) sudah telanjur menyebar di kawasan Pelabuhan Sabang. ”Padahal, berapa sih orang Sabang menghabiskan gula? Gula kalau kelamaan basah, harganya turun,” kata Aching (60), pedagang gula di Jalan Perdagangan.
Kapan hidup lagi?
Sejak benar-benar terhenti pada awal era 1990-an, cahaya Sabang sebagai kawasan pelabuhan bebas redup. Namun, upaya untuk menghidupkan Sabang sebagai pelabuhan bebas kembali muncul awal 2000. Kemunculan itu sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang. Untuk melaksanakan isi UU itu, pemerintah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Namun, apa lacur. Sejak badan itu berdiri, sampai sekarang kondisi Sabang seperti mati suri. Dana ratusan miliar yang digelontorkan pemerintah untuk menghidupkan kembali kawasan Sabang belum terasa sampai sekarang. Bahkan, sebaliknya, konflik antara manajemen BPKS dan Dewan Kawasan Sabang lebih mengemuka dibandingkan dengan upaya pembangunan kembali kawasan ini. Di tingkat pusat, keinginan DPR mengubah status kawasan pelabuhan bebas Sabang menjadi status kawasan ekonomi khusus menenggelamkan upaya untuk menghidupkan kembali wilayah ini. Puncak konflik adalah permintaan penonaktifan kepala badan oleh Gubernur kepada DPR Aceh untuk kedua kalinya, awal September 2009.
Sekarang Sabang lebih dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman yang menarik di Aceh. Kawasan Iboih, Gapang, dan Sumur Tiga menjadi salah satu daya tarik Sabang. Namun, kawasan Gapang mulai ditinggal turis karena lokasi itu tidak dikelola lagi oleh operator asing. Belum ada lagi operator baru untuk mengelola kawasan ini.
Tampaknya warga Sabang masih harus menunggu dalam waktu lama untuk bisa melihat kotanya menggeliat lagi. Konflik lebih mengemuka dibandingkan upaya pembangunan kembali. (Mahdi Muhammad/Sidik Pramono)

Minggu, 20 September 2009

Thailand Selatan Rusuh Lagi, Korban sudah mencapai 3900 orang

Kerajaan Siam menganeksasi Kesultanan Pattani tahun 1902, Inggeris mengakui kedaulatan Siam atas Pattani tahun 1906, sebagai imbalannya Siam menyerahkan Kelantan, Perlis, Kedah dan Trengganu kepada Inggeris; dari saat itu wilayah tersebut seakan tak terperhatikan oleh pemerintah pusat di Thailand; karena ide dasarnya untuk menganeksasi kesultanan itu juga hanyalah sebagai daerah penyangga bagi Thailand, dari gempuran Inggeris yang pada saat itu telah menduduki Semenanjung Malaya. Wilayah itu kemudian berkembang jadi sarang penyamun, daerah tak bertuan, pusat peredaran narkoba dan tempat persembunyian para buronan. Para PNS dan militer yang ditugaskan ke wilayah itu, juga lebih merasakan sebagai hukuman daripada sebagai bertugas. Situasi politik di Thailand Selatan mulai bergolak setelah Perjanjian Kerajaan Siam-AS tahun 1904 dan 1909 yang mengakui kedaulatan Siam atas Pattani; sejak saat itu perlawanan seporadis sudah mulai tumbuh, utamanya dengan mempertentangkan nasionalisme Melayu lawan Kolonial Siam. Tetapi semua upaya perlawanan itu tak pernah berhasil (kompas,maruli tobing,9/5/2007)
Kini kerusuhan akibat ulah kelompok bersenjata kembali membara di Thailand selatan dalam tiga hari terakhir hingga Jumat (18/9). Empat orang tewas dalam peristiwa itu. Sejak kerusuhan bermotif agama ini muncul awal 2004, korban tewas telah mencapai sekitar 3.900 orang.

Polisi Thailand, Jumat (18/9), melaporkan kelompok separatis menembak mati empat orang, yakni dua polisi dan dua warga sipil, di Thailand selatan. Serangan terjadi di kawasan mayoritas berpenduduk Muslim di perbatasan dengan Malaysia itu.

Empat korban tewas itu ditembak di empat tempat berbeda. Seorang polisi yang sedang mengendarai sepeda motor untuk menjemput istrinya ditembak mati oleh kelompok bersenjata di Provinsi Pattani.

Di tempat lain di Pattani, regu polisi yang berpatroli diserang hingga menyebabkan seorang tewas dan dua lainnya luka-luka.

Masih di Pattani, kelompok bersenjata juga menembak seorang pria sipil di sebuah pasar penyedia bahan pokok. Pria yang menjabat wakil kepala desa itu akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Warga sipil lain ditembak mati di toko grosir miliknya di Provinsi Narathiwat oleh dua orang yang menyamar sebagai pembeli.

Pada hari Jumat sekitar pukul 14.15, kelompok separatis juga meledakkan sebuah bom di pinggir jalan desa Jampun Ban di Tambon Thathong, Distrik Raman. Mereka hendak menyerang tujuh tentara dari satuan pengawal guru yang sedang mengendarai sepeda motor menuju Ban Jampun School.

Kantor dibakar

Sekelompok tentara yang akan mengawal guru-guru pulang dari sekolahnya itu dilempari sebuah bom rakitan lalu diikuti serangkaian tembakan. Sempat terjadi kontak senjata selama lima menit. Sekalipun berhasil memukul mundur kelompok separatis itu, tiga tentara terkena luka tembak, yaitu Sersan Arif Teng (26), Sersan Bunya Niloh (25), dan Sersan Jaturong Bungkaew (25).

Pada Jumat sore, sekelompok orang tidak dikenal juga membakar kantor Administrasi Tambon Yarang di Pattani. Petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api. Sebelumnya, beberapa warga desa setempat mendengar ada serentetan tembakan senjata api, diduga dari kelompok militan.(AFP/The Nation Online/CAL)

Rabu, 16 September 2009

Bagaimana Pertahanan dan Keamanan Suatu Bangsa Kian Melemah


Oleh Harmen Batubara
Bangkok, Selasa - Kabinet Thailand hari Selasa (15/9) menyetujui diterapkannya Undang- Undang Keamanan Khusus guna mengantisipasi demonstrasi besar-besaran yang kemungkinan akan digelar pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra akhir pekan ini. Kabinet menyetujui diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Khusus ini selama lima hari, mulai Jumat (18/9), di distrik sekitar kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. ”Kami ingin memastikan bahwa kami berniat menyelesaikan persoalan itu dengan segera bila perlu,” kata juru bicara pemerintah, Supachai Jaisamuth.

Penggunaan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) ini memungkinkan aparat keamanan Thailand membatasi ruang gerak para demonstran. Bahkan jika perlu bertindak cepat kalau-kalau kelompok anti-pemerintah— yang menamakan diri Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran (UDD) yang juga dikenal sebagai kelompok Kaus Merah pendukung Thaksin—melakukan tindak kekerasan anarki dalam aksi demo mereka akhir pekan ini.
Demonstrasi antipemerintah oleh demonstran Kaus Merah hari Sabtu ini di Bangkok diperkirakan bakal menjadi aksi demo terbesar, sejak aksi unjuk rasa yang membuat 120 orang cedera di luar Kantor PM Abhisit April lalu.
Kita melihat ini dari jauh, dari Indonesia yang kebetulan belum mengalami gejolak yang mengganggu keamanan dan pertahanan seperti di negeri gajah putih itu. Pada dasarnya adalah pada elite politik yang terkooptasi dengan kepentingannya masing-masing. Saya lalu ingat ketika, Negara kita melaksanakan pemilu 2009. Di satu sisi sangat disayangkan tidak profesionalnya KPU, tetapi untunglah para calon presiden kita itu mau memakai cara-cara demokrasi dan cara damai. Kalau saja mereka sakit hati, dan menggalang anak buahnya untuk melakukan protes? Alangkah kisruhnya Negara kita. Sekali lagi, para elite politiknya. Kalau suatu bangsa tidak mendasari niatnya dengan pertimbangan yang baik, maka suatu bangsa akan mudah carut marut.
Negara kita sebenarnya, punya banyak masalah, mulai dari persoalan saparatisme, sentiment agama, masalah HAM yang belum terselesaikan, suku isme, dan pembangunan yang jawa sentries dll. Semua ini memerlukan aturan main, peraturan dan UU yang harus di tegakkan. Tetapi satu hal yang agaknya belum kita miliki adalah penetrapan rambu-rambu aturan yang kuat. Terus terang aparat penegak hukum itu, masih sangat diwarnai oleh arahan pimpinan. Artinya masih sangat tergantung situasional. Meski baru embriyo tetapi kita sudah melihat kian kuatnya “dorongan” kepentingan sektoral, atau atas nama kepentingan sektornya masing-masing. Misalnya kita angkat saja “perseteruan” antara Polisi dan KPK. Di satu sisi hal ini sangat baik, artinya semua sama di mata hukum. Kalau dia salah dan kita bisa menindak ya tindak. Begitu juga sebaliknya. Kalau kita salah, kita juga bisa ditindak. Tetapi kalau gejala ini tidak bisa dikelola dengan benar, maka ia akan bisa menjadi seperti antara TNI dan Polri. Benih-benih ketidak senangan antara satu sama lain itu terus menumpuk dan kian menumpuk. Kalau gejala seperti ini terus berlanjut, maka suatu saat simpul-simpul ketidak saling senangan itu akan bermuara pada “munculnya” tokoh-tokoh yang di dukung oleh kepentingan yang berbeda, oleh “dendam” yang berbeda. Sehingga akan jadilah seperti apa yang kita lihat di Thailand saat ini.

Kamis, 10 September 2009

RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Pada usia 64 tahun Indonesia, kita kian menyadari, betapa mahal harga sebuah ”keamanan nasional”.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pentingnya keamanan nasional. Intinya, negara diberi wewenang luas mempertahankan keamanan nasional.

Namun, menyoroti 64 butir penggolongan ”rahasia negara” dalam draf RUU Rahasia Negara versi Agustus 2009, anggaran kita akan tersedot untuk perlindungan bila diberlakukan. Kerahasiaan berlebihan berdampak pada biaya amat besar dan akan memengaruhi anggaran.

Apalagi perlindungan terhadap kerahasiaan informasi digolongkan beban signifikan terhadap pemerintah. Ini meliputi keamanan personel, keamanan fisik, keamanan informasi, pelatihan, manajemen, dan perencanaan. Di AS, menurut penelitian Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) tahun 2007,

untuk membuat dan melindungi kerahasiaan informasi negara menyedot anggaran di atas 9,9 miliar dollar AS.

Harga sosial-politik

Namun, yang lebih penting adalah harga sosial politik. Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasia negara didefinisikan? Apa saja yang masuk klasifikasi ”rahasia negara”? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa? Siapa pengontrolnya? Pers? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.

Kecemasan publik bisa dipahami karena suatu informasi— dalam hal apa pun—yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara akan terlindung dari jangkauan publik. Bagaimana bila informasi yang ditetapkan itu dibutuhkan penegak hukum atau masyarakat guna mengungkap pelanggaran hukum berat atau penyalahgunaan kekuasaan?

Berbagai pertanyaan itu harus dijawab. Bila tidak, UU Rahasia Negara akan membelenggu, bahkan mematikan hak publik untuk mendapat informasi dan dapat disalahgunakan oleh penguasa guna meredam sikap kritis seperti terjadi pada zaman Orde Baru. Pemerintah perlu menanggapi kecemasan ini secara arif.

Sebuah keharusan

Dalam situasi seperti itu, UU Rahasia Negara juga menjadi sebuah keharusan. Mengapa?

Yang utama, kita telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 17 UU itu mencantumkan tentang informasi publik yang dikecualikan. Secara eksplisit, pasal ini mengatur hal-hal yang menjadi ”rahasia negara” dengan 10 kategori kerahasiaan. Ke-10 kategori kerahasiaan itu masih amat umum dan mengundang multitafsir. Maka, beberapa analis militer mengusulkan agar menjadi UU Perlindungan Informasi Strategis. Jadi, RUU Perlindungan Informasi Strategis/RUU Rahasia Negara akan mengatur, mengawasi, dan ketat membatasi hal- hal yang dikecualikan dalam UU KIP. Ketiadaan RUU ini akan kontraproduktif dengan semangat keterbukaan dan kebebasan mengakses informasi....

Dilanjutkan atau ditunda?

Ada hal-hal penting yang perlu dicermati dalam pembahasan RUU Rahasia Negara.

Pertama, RUU ini harus memuat semangat The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information. Prinsip-prinsip Johannesburg yang telah diakui dunia internasional dan diterima banyak negara ini menghendaki adanya prinsip maximum access and limited exemption, di mana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasarnya terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan amat terbatas hanya untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman bersenjata, dan terjaminnya kepentingan publik.

Faktanya, perluasan kerahasiaan negara terjadi dalam beberapa area. Misalnya, definisi rahasia negara sendiri; klasifikasi jenis informasi ”rahasia”, termasuk kategori baru yang ”tidak termasuk rahasia” yang akan membahayakan kebebasan mengakses informasi penting bagi publik, perluasan klasifikasi, dan mereduksi fungsi pengawasan parlementer/DPR maupun badan pengawas independen.

Kedua, jika UU Rahasia Negara menjadi sebuah keharusan, pertanyaannya adalah, apakah pembahasannya perlu dilanjutkan atau ditunda? Jika dilanjutkan, apakah waktu yang terbatas memungkinkan anggota dewan menyelesaikan tugas penting dan rumit ini dengan perbaikan mendasar atas beberapa pasal krusial dalam draf itu? Apabila ditunda, apakah kita siap memberi kebebasan seluas-luasnya kepada presiden dan lembaga negara untuk menafsirkan sendiri ”rahasia negara” hanya berdasar pasal pengecualian UU KIP dalam lima tahun ke depan? Sebuah pilihan sulit, tetapi harus diputuskan.

Akhirnya, kebebasan dan keamanan merupakan elemen yang saling menguatkan. Nilai-nilai inilah yang harus tetap tinggal di Indonesia. Keduanya perlu kita desakkan melalui RUU ini.(Kompas, Senin, 24 Agustus 2009) Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI

Senin, 07 September 2009

Utang Rp 1 Triliun untuk Alutsista Pertahanan

Jakarta, Kompas - Pemerintah memastikan pagu anggaran untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista TNI senilai Rp 1 triliun pada tahun 2010 akan diperoleh dari utang dalam negeri. Departemen Keuangan mengupayakan agar sumber utang tersebut berasal dari bank-bank Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.

”Pembiayaan melalui utang dari dalam negeri tersebut sudah memiliki dasar hukum, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang pinjaman dalam negeri. Tahun 2010 akan kami gunakan untuk pengadaan alutsista yang dibuat di dalam negeri,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto di Jakarta, Jumat (4/9).

Menurut dia, selain dari bank BUMN, pihaknya juga tetap membuka kemungkinan memperoleh pinjaman dari pemerintah daerah yang mengalami surplus keuangan melalui penerbitan obligasi khusus. Namun, pinjaman dari pemerintah daerah tidak menjadi prioritas untuk sementara waktu. ”Pembiayaan di dalam negeri ini tergolong model baru yang kami kembangkan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber dana yang ada di dalam negeri,” ujar Rahmat.

Rusia

Direktur Utang dan Hibah Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu Maurin Sitorus mengatakan, pemerintah juga masih memiliki pagu pinjaman dari Rusia yang khusus diberikan untuk pengadaan alutsista. Perjanjian pembiayaan alutsista dengan Rusia dilakukan tahun 2007 dengan nilai pagu sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun.

”Hingga saat ini baru terpakai 100 juta dollar AS sehingga masih ada sisa pagu sebesar 900 juta dollar AS yang bisa dimanfaatkan. Pembicaraan akan terus dilakukan dengan pendekatan khusus karena Rusia merupakan negara kerap memberikan persyaratan unik,” ujarnya.

Rusia memberikan pinjaman 1 miliar dollar AS untuk pengadaan alutsista bagi Indonesia periode 2007-2010. Pinjaman ini merupakan bagian dari komitmen perjanjian kerja sama yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Vladimir Putin pada 1 Desember 2006 (Kompas, 7/9/2007).

Saat itu Dephan berencana menggunakannya untuk membeli 10 helikopter MI-17-V5 dan 5 helikopter MI-35P beserta persenjataannya untuk TNI AD, 2 kapal selam kelas Kilo dan 20 kendaraan infanteri tempur BMP-3F untuk TNI AL, serta 6 paket peralatan terbang dan persenjataan Sukhoi untuk TNI AU.

Di balik jual beli itu, Jasa Federal untuk Kerja Sama Teknis Militer (Federal Service for Military Technical Cooperation) Rusia diharapkan menjadi pintu masuk satu-satunya dalam merumuskan dan menyelenggarakan pengadaan peralatan militer bagi Indonesia. (OIN, Senin, 7 September 2009)