Rabu, 28 April 2010

Kemelut Thailand, Perseteruan Demokrasi dengan Militer


Hari-hari belakngan ini kita melihat Thailand, sibuk dan dilanda  upaya pembangkangan Sipil, yang dimotori oleh kelompok kaus merah, para pendukung  mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang hingga kini masih menjadi pusat konflik di negara itu. Apa sesungguhnya yang mereka tuntut? Adalah sebuah keadilan; keadilan yang ternyata “sangat sulit” untuk di pahami. Menurut ketua kelompok kaos merah; ”Apa yang terjadi di masa lalu tidak adil, mereka menyebutnya standar ganda. Kami ingin mengoreksinya, tak hanya untuk Thaksin, tetapi semua orang,” begitu kata Jatuporn,pimpinan Kaos Merah.( Thaksin, Militer, dan Melemahnya Dukungan bagi Abhisit/Kompas/30 Maret 2010). Apa sebenarnya yang terjadi di negeri Gadjah Putih itu?
Dari catatan yang bisa saya kumpulkan dari Kompas dan Media Indonesia, kita melihat di awal tahun 2008, Militer Thailand mengakui bahwa kudeta yang mereka lakukan terhadap PM Thaksin Shinawatra, september 2006 telah gagal. Kudeta tersebut tidak sanggup menghapus pengaruh Thaksin. Pernyataan tsb dinyatakan oleh Kepala Angkatan Udara Thailand Chalit Pukbhasuk. Bahkan kekuatan Thaksin malah bangkit. Boleh dikatakan, kabinet Samak didominasi oleh sekutu-sekutu Thaksin. Chalit juga mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasional (CNS), yang dibentuk militer pasca kudeta untuk menjalankan kekuasaan, secara resmi dibubarkan. Pernyataan itu juga sekaligus memintakan permohonan maaf kepada rakyat, karena tidak berhasil, CNS memang tidak mencoba merebut kekuasaan; menurut mereka, militer telah berbuat yang terbaik untuk negeri itu; atas nama CNS saya memintak maaf katanya.
Ketika KPU Thailand 23 Desember 2007, mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP, pendukung Thaksin) meraih 233, dari 480 kursi Majelis Rendah. Atau hanya kurang 8 kursi agar jadi posisi mayoritas. Sementara Partai Demokrat (Partai Militer yang didukung oleh Raja Bhumibol) hanya memperoleh 165 kursi. Lainnya partai Chart Thai 40, dan Puea Pandin 24 kursi. Setelah membentuk koalisi, ppp dan sekutunya menguasai 315 kursi di parlemen; 28 Januari 2008 Samak Sundaravej terpilih sebagai PM Thailand dengan merebut 310 suara parlemen; tanggal 29 Januari 2008 Samak resmi jadi PM Thailand setelah direstui oleh Raja.
Bagaimana mungkin, rakyat yang mengelu elukan Raja pada ulang tahunnya yang ke-80, pada 5 Desember 2007, ternyata dalam pemilu justeru memberikan suaranya kepada PPP, yang juga adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM tersingkir. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negeri yang begitu menyayangi Rajanya, tetapi ketika dilakukan pemilu, malah justeru memilih partai yang berseberangan dengan sang Raja. Adakah nilai-nilai keadilan, yang semestinya harus di junjung tinggi serta di hormati oleh semua pihak, tetapi lalu diabaikan dan dihinakan?  Mungkin ada baiknya kita melihat kejadian yang ada di Thailand, sebagai cermin yang patut untuk jadi bahan renungan, bahwa keadilan, harus tetap jadi pertimbangan..entah bagaimanapun keadaannya.
Kalau kita baca secara sederhana, sesungguhnya yang terjadi adalah adanya penolakan terhadap keterlibatan militer di ranah demokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Thaksin, yang nota bene juga masih dari kalangan pendidikan militer. Bahwa suatu masa dahulu, militer sangat kommpeten dan mampu dengan baik mengelola negeri itu, ya. Tetapi zaman  sudah berubah, rakyat membutuhkan sesuatu yang lain, hanya saja pihak militer, masih tetap dalam persfektip lama; dan mereka percaya, rakyat masih sangat mendambakannya.
Bedanya dengan di negeri kita, TNI sepenuhnya menyadari bahwa zaman sudah berubah, dan telah mengambil posisi sesuai kehendak demokrasi. Dalam demokrasi yang ada adalah suara rakyat, bukan kekuatan lain. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat tidak bisa dikangkangi dan kalau mau mengikuti kehendak zaman, ya harus ikut berdemokrasi dan memperbaiki demokrasi itu sendiri; dengan cara menjadi sesuatu yang professional sesuai panggilan tugasnya. Kita percaya, Thailand pasti bisa melewatinya, sebab Negara itu mempunyai trek record yang tidak bisa diragukan. Persoalannya, akankah cara-cara demokrasi yang akan mengemuka? Sebab dalam batasan operasi militer selain perang secara universal , aktivitas radikal seperti yang diperlihatkan oleh kelompok kaus merah, sudah sah dihadapi dengan kekuatan militer. Hanya saja, kalau itu yang dipakai, maka kaus merah pasti akan mendapatkan legitimasi baru dan keluar sebagai pemenang. Pertarungan sebuah demokrasi.

Apa sesungguhnya yang kini tengah bertarung adalah pertaruangan antara Demokrasi vs Militer. Katakanlah jika Kaus Merah ( simbol Demokrasi) berhasil mencapai tujuannya, kalangan elite tidak hanya kehilangan kekuatan politik mereka, tetapi juga hak istimewa politik dan ekonomi yang mereka nikmati berkat sistem politik Thailand. Karena itu hal seperti ini tidak mungkin akan dibiarkan;  dengan demikian dipercaya  ” berarti elemen keras dalam pemerintahan dan militer akan menggunakan segala cara untuk menekan Kaus Merah, tak peduli berapa pun jatuh korban,”  Hal seperti inilah yang logis bakal terjadi. Pemerintahan  Abhisit  jangan sampai jatuh, apapun resikonya.

Pada 10 April, militer telah melakukannya dengan tegas, mereka bergerak untuk membubarkan pemrotes di salah satu basis mereka di kawasan kota tua Ratchadamnoen di dekat Jembatan Phan Fa dan Monumen Demokrasi. Hasilnya, 24 orang tewas, termasuk lima tentara dan seorang wartawan Reuters asal Jepang, Hiro Muramoto. Jatuhnya korban dalam bentrokan itu merupakan yang terburuk sejak aksi protes antimiliter tahun 1992 dan sangat disayangkan. Wajah pemerintahan Abhisit tercoreng, sementara Kaus Merah menjadi kekuatan baru dan semakin nekat pula. Masalahnya, perlukah korban baru yang lebih besar lagi?

Pertarungan Yang Menentukan

Pemerintah Thailand kini menuding adanya elemen garis keras di kalangan Kaus Merah dan menyebutnya sebagai ”teroris”. Dalam pidatonya, Jumat, Abhisit mengatakan, otoritas baru yang diberikan kepada militer bisa dimanfaatkan untuk mengerahkan segala sesuatunya, termasuk menggerakkan pasukan militer  secara lebih padu dan lebih besar sehingga bisa menangani ”aktivitas terkait terorisme secara spesifik”dan para demonstran secara umum. Istilah terorisme di kalangan Kaus Merah muncul setelah jatuh korban di pihak tentara. Apalagi seusai bentrokan, Kaus Merah mengambil senjata-senjata yang mereka katakan dirampas dari militer. Militer meminta senjata-senjata itu dikembalikan, tetapi kini tidak jelas keberadaan senjata itu (Kompas 20,4).
Saat ini, skenario terbaik yang bisa diharapkan untuk mengakhiri krisis politik di Thailand adalah jika kelompok elite sadar dan meminta militer untuk menahan diri. Tetapi kelihatannya hal seperti itu adalah sesuatu yang tidak mudah untuk bisa dilakukan.   Tanda-tanda  adanya kesadaran baru  bahwa konstelasi politik telah berubah dan bahwa hak istimewa yang mereka nikmati selama ini sudah tidak lagi bisa diterima oleh mayoritas masyarakatnya masih belum bergeser.  Militer dan lingkungan elitenya masih menginginkan agar Negara berjalan sebagaimana mestinya, dan demokrasi harus dapat dikendalikan sesuai dengan karakter bangsa. 

Sebaliknya, skenario terburuk adalah jika tindakan keras diambil untuk menumpas gerakan Kaus Merah. Thailand akan terjerumus dalam kekacauan yang membawa negara itu ke jurang kekacauan  bahkan bisa jadi kehancuran. Tetapi untuk menerima perubahan, terlebih lagi munculnya kembali Thaksin, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh kaum militer dan para elite di sekitarnya. Bagi mereka, demokrasi yang tengah di usung kaus merah, pada dasarnya bukanlah demokrasi yang bisa diterima para pihak; meski untuk tetap membiarkan militer terus mengambil alih kedaulatan, juga adalah sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Semua itu pasti akan kita temukan jawabannya dalam minggu-minggu mendatang ini.

Senin, 12 April 2010

Ancaman Militer China, Kekuatan Pemaksa Di Kawasan

Kekuatan militer di antara China dan Taiwan makin tidak imbang. China makin kuat, sementara Taiwan tak bisa berkutik tanpa bantuan AS. Meski hubungan China-Taiwan mulai mesra, ancaman akan serangan dari China masih tetap ada. Apalagi mengingat China menginvestasikan jutaan dollar AS khusus untuk memperkuat militernya.

Sejumlah pengamat mengaku China gencar membeli perlengkapan senjata dari Rusia. China juga mengembangkan pesawat tempur dan misil serta membangun militer berteknologi tinggi. Bahkan, China tengah mempertimbangkan membangun kapal induk yang bisa mengangkut pesawat tempur.

Sebaliknya, militer Taiwan justru kerap terjerat sistem yang sudah tua. Persenjataan pun tidak secanggih China karena tak ada yang mau menjual senjata ke Taiwan—kecuali AS—karena takut terhadap China. Bahkan, Taiwan juga mulai mengurangi jumlah personel pasukan.

Untuk menekan ketegangan kedua pihak, Presiden Taiwan Ma Ying-jeou menggalakkan sektor perdagangan dan pariwisata. Langkah Ma ini berbeda dibandingkan dengan pendahulunya, mantan Presiden Chen Shui-bian, yang membuat China marah karena mendukung kemerdekaan bagi Taiwan.

Pakar militer Asia di Akademi Studi Internasional S Rajaratnam di Singapura, Richard Bitzinger, memperkirakan akan ada resolusi atas kedaulatan Taiwan tanpa perlu serangan militer dari China mengingat superioritas militer China dan ketergantungan ekonomi Taiwan pada China. Belum lagi makin kencangnya isolasi diplomatik atas Taiwan. ”Kemungkinan, nantinya Taiwan harus menerima tawaran reunifikasi,” kata Bitzinger.

Meski akhir-akhir ini China melunak, China tak akan membiarkan Taiwan berdiri sendiri. ”Kami menentang perjuangan kemerdekaan Taiwan, menjaga kedaulatan dan integritas China,” kata Menteri Pertahanan China Liang Guanglie, Juli lalu.

Ribuan peluru kendali

Taiwan memperkirakan China memiliki 1.000-1.500 misil (peluru kendali) yang diarahkan ke Taiwan. China juga diduga tetap memperluas kekuatan senjatanya. ”Melihat kekuatan militer China, banyak orang yang ragu Taiwan akan bisa menang perang jika mengandalkan kekuatannya sendiri,” kata Sekretaris Jenderal partai berkuasa Taiwan, Partai Nasionalis (Kuomintang/KMT), Wu Den-yih.

Kelompok peneliti kebijakan di AS, RAND Corp, memperkirakan misil balistik jarak pendek China bisa dengan mudah menghancurkan kekuatan udara Taiwan dengan menyerang landasan pesawat terbang di setiap markas militer Taiwan.

Kondisi Angkatan Laut Taiwan justru lebih parah karena Taiwan hanya memiliki empat kapal selam, dua di antaranya dibuat pada zaman Perang Dunia II. Padahal China mempunyai lebih dari 50 kapal selam. Beberapa di antaranya diduga telah dipersenjatai dengan misil balistik dengan hulu ledak nuklir.

Jika terjadi serangan dari China, AS wajib melindungi Taiwan. Hanya saja pertanyaannya kini adalah seberapa cepat AS bisa datang dan menyelamatkan Taiwan? Apakah AS juga mempunyai keberanian melawan China? Pasalnya, China bisa dengan sangat mudah menyerang markas AS di Jepang dengan misil jarak jauhnya. (Sumber: reuters/luk/2/9/09)

Kamis, 01 April 2010

Konflik Masa Datang, Dalam Persfektip Kekuatan Militer

Perubahan geopolitik dunia saat ini dan masa mendatang ditentukan oleh penguasaan terhadap pangan, energi, dan air bersih. Sumber konflik pada masa mendatang bukan lagi soal agama, wilayah, dan keamanan, melainkan penguasaan pangan, energi, dan air bersih. Hal itu pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka seminar internasional ”Indonesia Menuju 2025: Tantangan Geopolitik dan Keamanan dengan Fokus Sumber Daya Alam, Ekonomi, dan Energi” di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/3). Seminar digelar dalam rangka peringatan satu tahun Universitas Pertahanan Indonesia. Acara ini dihadiri Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro beserta para menteri lainnya.

”Menghadapi tantangan global masa kini dan masa datang, menurut presiden, diperlukan kesadaran baru dan tanggung jawab bersama dari semua bangsa di dunia, dari seluruh umat manusia, termasuk kesediaan untuk membangun gaya hidup yang pro-keselamatan bumi, proplanet.” Untuk itu mutlak adanya kemampuan penguasaan dan penggunaan teknologi yang mampu mengatasi berbagai masalah global. Masalah global yang terkait, ketahanan pangan, energi, dan air serta ancaman yang tidak tradisional. Di sini dibutuhkan inovasi dari seluruh masyarakat dunia. Kemudian juga, diperlukan kerja sama dan kemitraan global yang lebih efektif, termasuk diperlukannya semacam koordinasi kebijakan dan collective actions (aksi-aksi bersama) yang dijalankan bersama.”

Terkait dengan sumber-sumber konflik di masa mendatang yang harus dicarikan jalan keluarnya untuk menghindari perbenturan-perbenturan, Presiden Yudhoyono menyatakan, setiap negara di dunia harus mencari solusinya secara damai. ”Jangan terlalu cepat dan terlalu mudah menggunakan kekuatan militer.” Kalau itu terjadi, umat manusia akan kalah dua kali. ”Sudah kesulitan dalam mendapatkan sumber-sumber energi, pangan, dan air, ditambah dengan tragedi peperangan yang biasanya menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan bagi umat manusia.”

Pakar pertahanan

Pada saat yang sama, Purnomo Yusgiantoro (Menhan) mengatakan, seminar internasional itu digunakan untuk mempersiapkan generasi pemimpin dan pakar pertahanan yang modern dalam menghadapi tantangan masa depan. Universitas Pertahanan Indonesia diprakarsai oleh mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Panglima TNI, dan dikomandoi Dirjen Strahan Dephan, Mayjen Syarifudin Tippe. Peresmiannya dilakukan 11 Maret 2009 oleh Presiden Yudhoyono.

Menurut Purnomo, seminar yang berlangsung selama dua hari ini diharapkan mampu mencari jawaban tentang yang seharusnya dan bisa dilakukan Indonesia. Isu seperti itu adalah isu strategis yang diharapkan jawabannya bisa dihasilkan dari seminar itu. ”Sekarang pertanyaannya, kan, bagaimana caranya agar semua keterbatasan yang terjadi di masa mendatang itu tidak akan menjadi konflik yang kemudian berpengaruh pada masalah-masalah keamanan.” ( Sumber: Kompas/dwa/har/MI/18/3/2010)