Minggu, 31 Desember 2017

Profesionalisme TNI, Dalam 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK



KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Tank medium yang dibuat PT Pindad ditampilkan dalam defile dalam rangka upacara Hari TNI Ke-72 di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Kamis (5/10). Sejumlah alutsista buatan dalam negeri turut menyemarakkan peringatan tersebut.

Profesionalisme TNI menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai Kementerian Pertahanan dalam lima tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hingga 2017, upaya untuk memperkuat keamanan negara terus ditingkatkan. ”Komitmen pemerintah untuk pertahanan negara itu cukup tinggi. Bisa dilihat dari anggaran belanja untuk Kementerian Pertahanan terus meningkat dari tahun ke tahun,” kata Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ekonomi Bondan Tiara Sofyan saat memaparkan capaian kinerja Kementerian Pertahanan dalam tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Jakarta Pusat,  Jumat (29/12).

Pada 2014, anggaran untuk Kementerian Pertahanan Rp 86,4 triliun. Pada 2015 jumlahnya meningkat menjadi Rp 108,7 triliun. Peningkatan kembali terjadi pada 2016 dengan anggaran Rp 112,4 triliun, yang kemudian dinaikkan lagi mejadi Rp 114,9 triliun pada 2017.


NIKOLAS NINO UNTUK KOMPAS
Staf Ahli Bidang Ekonomi Kementerian Pertahanan Bondan Tiara Sofyan saat memaparkan capaian Kementerian Pertahanan dalam tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Jakarta Pusat, Jumat (29/12).

Bondan mengatakan, peningkatan anggaran itu menjadi cara untuk mewujudkan TNI yang profesional. ”Dengan TNI yang profesional, itu bisa menjamin rasa aman bagi warga negaranya,” kata Bondan. ”TNI yang profesional juga diukur dari kelengkapan persenjataan.”

Berdasarkan data Kementerian Pertahanan, terlihat adanya kesinambungan antara peningkatan anggaran dan pemenuhan alat utama untuk sistem persenjataan (alutsista). Pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum II (Minimum Essential Force II) terus meningkat persentasenya sejak 2014. Pada 2014, pemenuhan kekuatan pokok minimum itu hanya memperoleh persentase 21,3 persen. Pada 2015, persentasenya meningkat menjadi 33,9 persen. Peningkatan persentase mencapai 42,3 persen pada 2016 dan kemudian 50,9 persen pada 2017.
Berdasarkan data Kementerian Pertahanan, terlihat adanya kesesuaian antara peningkatan anggaran dan pemenuhan alat utama untuk sistem persenjataan (alutsista). Pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum II (Minimum Essential Force II) terus meningkat persentasenya sejak 2014.Kekuatan pokok minimum tidak hanya disokong dengan persenjataan yang dibeli dari luar negeri. Industri pertahanan dalam negeri juga terus dioptimalkan. Hal itu ditunjukkan melalui peningkatan kontribusi industri pertahanan dalam negeri terhadap kekuatan pokok minimum. Pada 2016, industri pertahanan dalam negeri berkontribusi sebesar 44,66 persen terhadap kekuatan pokok minimum. Kontribusi itu meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan tahun 2014, yang hanya 28,1.



Bondan beranggapan, TNI yang profesional juga ditentukan dari tingkat kesejahteraan para prajurit TNI. Kementerian Pertahanan berusaha mewujudkan hal itu dengan membangun 7.761 unit rumah prajurit.
Pengajar Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Edy Prasetyono mengatakan, profesionalisme TNI didukung tiga unsur yaitu, kompetensi, kesejahteraan, dan akuntabilitas. Untuk urusan kesejahteraan, Edy menjelaskan, seorang tentara harus mendapatkan gaji, tunjangan, dan jaminan mengingat dalam profesi itu mereka rela mengorbankan nyawa untuk Indonesia. (Kompas, 4/10/2017)
Sementara itu, dilihat dari kompetensinya, Edy menambahkan, seorang tentara harus memegang teguh sikap kesiapsiagaan dalam berperang. Hal itu berangkat dari kemampuan dasar seorang tentara, yaitu berperang dan menjaga kedaulatan NKRI.
Untuk urusan kesejahteraan, seorang tentara harus mendapatkan gaji, tunjangan, dan jaminan mengingat dalam profesi itu mereka rela mengorbankan nyawa untuk Indonesia

Terkait hal itu, Peneliti Senior dari Center For Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menyatakan, profesionalisme TNI adalah harga mati. Ia berpendapat, TNI hendaknya berfokus pada tugas utamanya untuk bertanggung jawab di bidang pertahanan, terutama dalam menjaga pertahanan dari ancaman militer asing. Oleh karenanya, Kristiadi beranggapan, TNI diharapkan tidak terlibat pada kegiatan politik praktis. (Kompas, 10/10/2017)
Keterlibatan TNI dalam politik praktis, selain tidak menunjukkan profesionalisme, juga tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU disebutkan bahwa TNI secara terhormat merupakan institusi yang memiliki tugas pokok untuk mempertahankan negara dari agresi militer asing.
TNI bukan menjadi alat untuk penguasa membangun basis politik dan secara eksplisit disampaikan bahwa tentara profesional adalah tentara yang tidak berpolitik praktis. Profesionalisme TNI dirasa dapat terwujud dengan terpilihnya Marsekal Hadi Tjahyanto sebagai Panglima TNI. J Kristiadi memandang bahwa Hadi Tjahyanto peka terhadap harapan publik karena akan mentransformasi TNI dengan mengembangkan doktrin pertahanan yang fleksibel terhadap perubahan dan berorientasi pada perang modern. (Kompas, 12/12/2017),

Perang siber

Salah satu bentuk perang modern ini adalah dengan maraknya ancaman keamanan dari siber. Dunia yang semakin terdigitalisasi membuat bentuk ancaman terhadap negara semakin beragam. Ancaman itu tidak hanya berupa peretasan situs atau akun milik negara dan penyebaran virus, tetapi juga dilakukan dengan propaganda ideologi radikal melalui media sosial.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan, jumlah orang yang terdampak serangan fiber terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014, serangan berdampak pada 11 juta identitas. Jumlah yang tedampak kemudian merangkak naik menjadi 13 juta identitas pada 2015. Kenaikan kembali terjadi pada 2016 menjadi 15 juta identitas. Kominfo menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar negara di dunia yang menjadi target perang siber. (Kompas, 5/6/2017)
Tingginya serangan siber diakibatkan oleh tingginya penetrasi pengguna internet di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), populasi pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta pada 2016.

NIKOLAS NINO UNTUK KOMPAS
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertahanan Marsekal Pertama Yusuf Jauhari seusai acara bincang santai mengenain capaian Kementerian Pertahanan dalam tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Jakarta Pusat, pada Jumat (29/12). 

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertahanan Marsekal Pertama Yusuf Jauhari menyatakan, serangan siber merupakan salah satu hal yang dikhawatirkan mengganggu keamanan dan ketahanan negara. “Serangan sekarang tidak hanya berupa malware dan virus komputer saja. Media sosial kini menjadi hal yang cukup mengkhawatirkan, karena itu berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat,” kata Yusuf.
Yusuf menjelaskan, bentuk serangan yang dilakukan lewat media sosial lebih berbahaya karena menyebarkan ideologi-ideologi radikal yang dapat memecah belah keutuhan bangsa. Hal itu dinilainya sebagai suatu hal yang membahayakan karena media sosial bisa diakses oleh siapa pun termasuk anak-anak.
Ia mengkhawatirkan, penyebaran propaganda melalui media sosial bisa membuat generasi penerus bangsa dijejali ideologi yang tidak sesuai dengan dasar negara. Hal itu berakibat pada berakhirnya Indonesia sebagai sebuah negara karena tidak lagi menjunjung rasa persatuan dan kesatuan.

Konten negatif

Terkait dengan penggunaan internet, APJII mencatat bahwa sebanyak 97,4 persen pengguna internet Indonesia memanfaatkan internet untuk bermedia sosial. Hanya 25,3 persen di antaranya yang menggunakan internet untuk memperbarui informasi atau membaca berita. Hal yang perlu diwaspadai adalah banyaknya berita bohong yang disebarkan melalui internet.
Untuk penyebaran propaganda atau ideologi-ideologi yang mampu memecah belah bangsa, Kominfo menerima 521.407 laporan konten negatif dari media sosial Twitter. Laporan konten negatif terbanyak, untuk semua situs media sosial, diterima pada bulan Agustus dengan jumlah 521.359 laporan. 

NIKOLAS NINO UNTUK KOMPAS
Awak media yang hadir dalam acara bincang santai mengenai capaian Kementerian Pertahanan dalam tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Jakarta Pusat, pada Jumat (29/12).

Konten negatif merupakan konten-konten yang mengandung radikalisme, SARA (suku, agama, ras, dan golongan), kekerasan, dan ujaran kebencian. Yusuf mengaku, masih sulit untuk mencegah serangan-serangan siber berupa propaganda ideologi radikal yang disebarkan melalui media sosial itu. Upaya yang sudah dilakukan Kementerian Pertahanan adalah membuat opini-opini alternatif yang digunakan untuk menandingi opini radikal atau berita bohong yang disebarkan melalui media sosial.
“Opini alternatif itu bertujuan supaya masyarakat punya pembanding. Kami sebenarnya bisa melakukan pemblokiran, tetapi itu tahapannya agak panjang. Sekalian untuk mendidik masyarakat dalam bermedia sosial agar bisa menyaring mana yang tepat dan tidak tepat,” kata Yusuf. 



Twitter merupakan media sosial yang paling sering digunakan untuk menyebarkan opini alternatif itu. Twitter dipilih karena memuat karakter yang jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu 280 karakter, dan dianggap dapat menyampaikan informasi secara padat.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya perpecahan melalui hiruk pikuk kabar permusuhan yang diedarkan melalui media sosial, Kementerian Pertahanan memiliki program Bela Negara. Yusuf menjelaskan, program itu bukan seperti wajib militer, melainkan lebih pada penekanan pengamalan Pancasila sebagai dasar negara dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Bela Negara, Yusuf menjelaskan, etika bermedia sosial yang sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila turut diajarkan. Ia menambahkan, Pancasila adalah dasar negara yang membuat Indonesia masih bisa bertahan sampai saat ini.
Pada 2017, jumlah kader bela negara mencapai 74,3 juta orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2016 yang berjumlah 71,2 juta orang, dan tahun 2015 yang sekitar 67,1 juta orang. Hal itu dipandang Yusuf sebagai suatu hal yang positif karena kepedulian masyarakat untuk menjaga keutuhan NKRI itu semakin tinggi. (DD16)


Sumber : Kompas.id - Dorong Profesionalitas TNI, Anggaran Pertahanan Terus Ditingkatkan; 29 Desember 2017 21:48 WIB

Sabtu, 30 Desember 2017

Membuka Isolasi Dengan Membangun Kawasan Terpadu Mandiri di Perbatasan



Membuka Isolasi Dengan Membangun Kawasan Terpadu Mandiri di Perbatasan
Oleh harmen batubara[1]

Program Transmigrasi sesungguhnya sebagai konsep sungguh sangat baik, selama ini yang jadi masalah adalah besarnya penyalah gunaan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Artinya dana yang bocor jauh lebih besar dari dana yang dimanfaatkan dengan baik. Tapi bagaimanapun dan meski dengan kualitas yang sangat memprihatinkan, tetapi dukungan program ini dalam pembangunan nasional telah mampu memberikan solusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rentang waktu 60 tahun, setidaknya sekitar 2,2 juta Kepala  Keluarga atau setara 8,8 juta jiwa masyarakat telah diberangkatkan dalam program transmigrasi.

Program transmigrasi juga telah menciptakan 3.425 desa baru dimana 382 desa diantaranya telah berkembang menjadi ibu kota kecamatan dan diantara kecamatan – kecamatan tersebut 103 tumbuh menjadi ibu kota kabupaten serta satu diantaranya mekar menjadi provinsi yaitu Sulawesi Barat. Jelas hal ini sangat menggembirakan.

Saat ini pemerintah tengah menggagas agar wilayah perbatasan dan  pulau-pulau  terluar Indonesia untuk dijadikan sentra-sentra daerah tran migrasi. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan mengembangkan program transmigrasi di lokasi-lokasi strategis itu. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan pemerintah berkomitmen meningkatkan kontribusi pembangunan transmigrasi dalam pengembangan wilayah perbatasan  dengan pendekatan peningkatan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar.

“Pendekatan kesejahteraan masyarakat di perbatasan ini akan efektif membantu pendekataan keamanan territorial yang selama ini dilaksanakan, “kata Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam keterangan pers di Jakarta pada Minggu (27/10/2013 yang lalu) seusai melakukan panen di kawasan transmigrasi perbatasan Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat akhir pekan ini. Muhaimin menambahkan pembangunan kawasan transmigrasi ini juga dimaksudkan akan berperan sebagai sabuk pengaman (security belt) nusantara untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara, sehingga tidak diklaim oleh  negara lain.

“Kawasan perbatasan termasuk pulau kecil terdepan perlu mendapat perhatian bersama mempertimbangkan nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah dan kedaulatan negara serta mewujudkan pembangunan  yang lebih merata dan berkeadilan,” kata Muhaimin. Muhaimin mengatakan pelaksanaan program transmigrasi di wilayah perbatasan dan di pulau-pulau terluar  ini dimaksudkan untuk  memberdayakan potensi sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat, mempercepat pembangunan daerah,  meningkatkan pendapatan asli  daerah dan penyerapan tenaga kerja.

Kawasan Terpadu Mandiri
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan mengembangkan pembangunan 9 kota transmigrasi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau  terluar Indonesia. “Pemerintah berkomitmen meningkatkan kontribusi pembangunan transmigrasi dalam pengembangan wilayah perbatasan. Namun integrasi dan sinkronisasi program antar instansi perlu ditingkatkan guna mencapai kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan melalui program transmigrasi,” kata Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam pernyataan persnya di Jakarta, Senin (28/11/2013).

“Selain itu, pembangunan 9 Kota Terpadu Mandiri (KTM)  di kawasan transmigrasi ini dimaksudkan untuk  memberdayakan potensi sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli  daerah dan penyerapan tenaga kerja,” kata Menakertrans. Muhaimin mengatakan wilayah perbatasan menjadi isu penting yang mendapat perhatian dari berbagai pihak, karena memiliki arti nilai ekonomi, geopolitik, dan pertahanan keamanan, serta memiliki posisi strategis sebagai pagar dan “beranda depan” wilayah Negara.

“Adanya dukungan semua pihak untuk pembangunan infrastruktur dasar disertai pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan diharapkan mampu mengusung potensi daerah sehingga kemudian berkembang menjadi pusat perekonomian baru, pusat administrasi pemerintahan dan memacu percepatan pembangunan daerah secara keseluruhan,” kata Muhaimin.

Kalimantan Timur Dukung Program Transmigrasi
Untuk terus mengakselerasi pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) akan memfokuskan program transmigrasi ke kawasan ini. Ada tiga kabupaten yang menjadi sasaran program ini yakni Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Kutai Barat.

Ia mengatakan, informasi dari Disnakertrans Kaltim bahwa program ini juga dilaksanakan bekerja sama dengan TNI-AD, yang mengakomodasi anggota purnatugas. Bahkan, selama lima tahun menjelang pensiun ditempatkan di daerah perbatasan tersebut. Sejauh ini, program transmigrasi disebut sebagai terobosan sekaligus program efektif untuk mengawasi kawasan perbatasan. Sebab pemerintah tak bisa lagi mengandalkan patroli perbatasan. Sehingga transmigrasi pilihan alternatif menangani masalah tersebut.

Pembukaan lahan transmigrasi juga mampu menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan dan mendorong pemekaran kabupaten atau kota. Transmigrasi juga harus segera dikembangkan menjadi Kota Terpadu Mandiri agar para transmigran dapat menjadi masyarakat modern di pelosok, karena segala fasilitas akan dibangun.

Pemprov Kaltim sudah bekerjasama dengan sejumlah provinsi untuk pengiriman warga yang ikut program transmigrasi. Ada 10 provinsi yang siap bekerjasama, namun saat ini Provinsi Jawa Timur menjadi prioritas.

Dukungan Infrastruktur  Selama ini dan sudah sering terjadi dan sering sangat mematikan semangat bertransmigrasi adalah karena lemahnya dukungan infrastruktur. Program transmigrasinya sudah berjalan dengan baik serta hasil panennya telah mulai memperlihatkan hasil, tetapi karena tidak adanya dukungan infrastruktur seperti jalan, sarana transportasi, komunikasi dll maka semua hasil panen jadi muspro, tidak punya nilai jual apa-apa.

Salah satu contoh yang tengah berkembang dalam program ini adalah Kawasan KTM Salor. KTM Salor dibangun sejak tahun 2009 dengan luas wilayah sekitar 96.340 Ha, yang terdiri dari areal pembangunan dan pengembangan permukiman seluas 36.500 Ha dan areal untuk pengembangan investasi perkebunan seluas ± 59.840 Ha.

Komoditas yang dikembangkan dengan skala ekonomis adalah padi, tebu dan palawija. Dalam pelaksanaan pembangunannya kawasan KTM Salor diintegrasikan dengan program MIFEE (Merauke Integrated Food dan Energy State), yang merupakan program pemerintah untuk memenuhi swasembada pangan nasional.

Permukiman transmigrasi yang sebagian besar di tempatkan di distrik Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Malind, dan Jagebob telah berkembang menjadi desa-desa swasembada. Dari jumlah penduduk Merauke sejumlah 246.852 jiwa atau 60.406 KK, kontribusi jumlah penduduk melalui program transmigrasi sebanyak 26.451 KK (43,79%). Sayangnya berbagai sarana pendukung yang seharusnya sudah harus ada, seperti sarana jalan dan transportasi tetapi justeru belum terdukung secara memadai.

Terlepas dari berbagai persoalan yang ada, jelasnya, program transmigrasi yang dilaksanakan di Provinsi Papua telah mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah diantaranya, beberapa kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pemerintahan, perdagangan maupun ekonomi seperti Arso, Jagebob. “Bahkan  hasil-hasil pertanian maupun jasa para transmigran telah mampu memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan daerah, sebagai contoh transmigran Timika telah mampu memasok kebutuhan pangan, sayur mayor, telur dan bahkan daging sapi untuk konsumsi perusahaan-perusahaan besar.






[1]Tulisan ini diangkat kembali dari Blog www.wilayahperbatasan.com, November 29, 2013 semoga bermanfaat.

Minggu, 10 Desember 2017

Hadi: TNI Hadapi Tantangan Kompleks


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (tengah), Kepala Staf angkatan Laut Laksamana Ade Supandi (kiri) dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono saling berjabat tangan seusai acara pelantikan Panglima TNI di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12). Marsekal Hadi Tjahjanto dilantik sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Tantangan yang dihadapi Tentara Nasional Indonesia sangat banyak dan kompleks. Oleh karena itu, soliditas dan kebersamaan prajurit TNI menjadi syarat mutlak agar TNI mampu melaksanakan tugasnya menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa serta tumpah darah Indonesia.

Hal ini disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam upacara serah terima jabatan Panglima TNI dari Jenderal Gatot Nurmantyo di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Sabtu (9/12). Acara tersebut dihadiri, antara lain, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Mulyono, para perwira tinggi, dan purnawirawan TNI.

TNI, tegas Hadi, akan tetap berjalan dalam koridor kebijakan umum pembangunan kekuatan pokok minimum sesuai rencana strategis TNI. Hadi mengatakan, TNI menghadapi berbagai tantangan, baik ancaman eksternal maupun potensi konflik di dalam negeri, serta perpaduan keduanya.

TNI menghadapi berbagai tantangan, baik ancaman eksternal maupun potensi konflik di dalam negeri, serta perpaduan keduanya.

Konflik-konflik tersebut tidak saja simetris, tetapi juga bersifat asimetris, melibatkan proxy, dan gabungan dari berbagai bentuk ancaman. Hadi mengatakan, ancaman tersebut bisa berupa terorisme, perang siber, juga perilaku China yang ofensif, serta kerawanan perbatasan. Dari sisi internal, pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 serta pemilihan umum legislatif dan presiden tahun 2019 juga menjadi perhatian. Hadi pun menegaskan komitmen TNI membantu Polri mengamankan semua pesta demokrasi tersebut.

Soliditas

Upacara serah terima jabatan dimulai pukul 09.00, diawali penghormatan terhadap panji-panji TNI. Lima pesawat tempur F-16 disusul lima Sukhoi kemudian melintas di atas lapangan upacara menandai dipegangnya tongkat komando Panglima TNI oleh Hadi.



KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Marsekal Hadi Tjahjanto mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik sebagai Panglima TNI oleh Presiden joko widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12).
Dalam sambutannya, Gatot mengatakan, serah terima ini berarti terjadinya regenerasi secara sehat di TNI. Menurut dia, TNI harus terus berubah agar bisa menghadapi perubahan lingkungan strategis dan tugas yang semakin kompleks.

TNI harus terus berubah agar bisa menghadapi perubahan lingkungan strategis dan tugas yang semakin kompleks.

Adapun Menhan berpesan agar Hadi menjaga soliditas dan kekompakan dalam institusi TNI. Ryamizard mengatakan, tantangan TNI ke depan jauh lebih berat dari sebelumnya. (EDN)
Sumber : Kompas.id 10 Desember 2017


Kamis, 16 November 2017

Menyikapi Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara





Menyikapi Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara

Oleh : Daniel Ardiles Simanjuntak 

Negara-negara ASEAN—yang akan melangsungkan rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 di Filipina, November ini— tengah dihadapkan pada tantangan perubahan konstelasi kawasan. Pasca-Kongres Partai Komunis China ke-19, China di bawah Presiden Xi Jinping menyampaikan pesan kuat, bagaimana China akan menjadi kekuatan dunia yang baru dan melakukan pendekatan yang lebih agresif di kawasan.
Pada saat yang bersamaan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan pesan yang ambigu dengan tidak memasukkan Pertemuan Puncak (KTT) Asia Timur ke dalam kalender awal lawatannya ke Asia. Walaupun menjelang keberangkatannya untuk melakukan lawatan ke lima negara Asia Trump akhirnya berjanji untuk hadir pada Pertemuan Puncak Asia Timur, pendekatan politik America First telah menciptakan persepsi mundurnya AS dari Asia Pasifik.
Sebagai forum yang dipimpin kepala negara, Pertemuan Puncak Asia Timur menjadi forum utama isu strategis di Asia Pasifik. Pertemuan puncak ini juga merupakan proyeksi AS dalam menyeimbangkan kekuatan di Asia karena tak ingin Asia hanya dikuasai China, Jepang, dan Korea. Selain itu, pertemuan puncak ini juga menjadi forum check and balance kebijakan negara-negara besar di kawasan.
Antisipasi ASEAN
Agenda awal Trump yang tidak memasukkan Pertemuan Puncak Asia Timur memunculkan dugaan ketidakpedulian administrasi (pemerintahan) Trump terhadap pembangunan politik-keamanan di Asia Pasifik dan mereka hanya mengedepankan politik transaksional demi keuntungan Washington.
Namun, hadir atau tidak Trump pada Pertemuan Puncak Asia Timur, ASEAN harus mampu mengantisipasi perubahan kekuatan di kawasan. America First, yang diimplementasikan dengan mematikan Kemitraan Trans Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP), membuat penguatan perdagangan bebas di kawasan akan bergantung pada negosiasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Selain itu, berbagai inisiatif kerja sama ekonomi melalui Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road) dan Asian Infrastructure Investment Bank, akan memperkuat dominasi Beijing di ASEAN. Di sisi keamanan, militerisasi Laut China Selatan akan menjadi ancaman langsung bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Perubahan konstelasi kekuatan di Asia Pasifik tidak dapat ditolak oleh ASEAN. Meningkatnya dominasi China diiringi menurunnya peran AS harus disikapi dengan hati-hati oleh ASEAN untuk menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, bebas, dan netral. Banyaknya benturan kepentingan langsung antara ASEAN dan China, termasuk dalam konteks Laut China Selatan, akan menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan tujuan tersebut.


ASEAN harus satu suara dalam bersiap menyambut China. Tidak dapat dielakkan bahwa bantuan dan kerja sama yang ditawarkan kepada ASEAN dalam berbagai bidang akan membuka peluang pertumbuhan bagi ASEAN dan menawarkan opsi, selain jenis bantuan melalui institusi klasik yang ada, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, ataupun Bank Pembangunan Asia (ADB).
Selain itu, posisi China sebagai pemimpin perdagangan bebas dan perubahan iklim dapat dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kerja sama kedua belah pihak dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada waktu bersamaan, ASEAN juga harus memberi pesan kuat bahwa kebangkitan China sebagai kekuatan baru harus diimbangi dengan ketaatan pada tata kelola kawasan yang ada dan hukum internasional. Menggarisbawahi pentingnya kedua hal tersebut merupakan posisi yang tidak ditawar jika ASEAN tetap ingin menjadi penjaga keseimbangan dinamis kawasan. Sengketa Laut China Selatan, misalnya, menjadi pertanda bahwa kepentingan politik Beijing atas isu-isu strategis akan sulit dikontrol oleh pihak mana pun.
Di sisi lain, Presiden Trump harus mendengar kekecewaan ASEAN atas politik ambigu AS di kawasan. Kematian prematur TPP menutup opsi tandingan perdagangan bebas di kawasan. Selain itu, patut diduga agenda untuk menyeimbangkan neraca perdagangan AS dengan negara ASEAN akan menjadi agenda terbesar Trump dalam lawatan di Asia sebagai implementasi politik transaksional.
Penguatan sentralitas
Menyikapi perubahan dinamika di kawasan akan membutuhkan upaya yang besar dari ASEAN. Menjaga sentralitas ASEAN membutuhkan perbaikan, baik dalam konteks penguatan internal ASEAN maupun penguatan kesatuan ASEAN dalam menghadapi isu strategis di kawasan dan menghadapi negara-negara besar. Ke dalam, kredibilitas ASEAN dalam menjamin sentralitas perlu diperkuat. Isu internal seperti krisis kemanusiaan di Myanmar harus dicarikan jalan keluar guna mencegah pemanfaatan situasi untuk memecah ASEAN. Begitu pun dengan revitalisasi agenda demokratisasi yang saat ini cenderung tak mendapat tempat lagi di ASEAN.
Selain itu, pembenahan institusi ASEAN harus dilakukan. Tiga pilar kerja sama ASEAN saat ini lebih terlihat sebagai bagian-bagian terpisah yang bekerja sendiri. Kohesi tiga pilar diperlukan untuk mengharmoniskan gerak langkah ASEAN menghadapi serbuan kerja sama dari di berbagai sektor, termasuk melalui pengembangan posisi ASEAN dalam hubungan dengan negara besar untuk menjadi pedoman semua badan sektoral.
Lebih jauh, penguatan Sekretariat ASEAN harus segera dilakukan. Sekretariat ASEAN berperan besar dalam menyangga ASEAN dengan memberikan pemikiran dan kajian awal atas kerja sama dengan mitra. Sekretariat juga berperan besar untuk menjamin isu-isu lintas pilar dapat dikoordinasikan dengan baik.
Dengan semakin banyaknya kerja sama, penambahan sumber daya dan penambahan gedung sekretariat menjadi prioritas ASEAN, terutama Indonesia sebagai tuan rumah. Selain itu, prinsip kontribusi anggaran yang sama rata mulai harus dikaji dengan memperbolehkan negara yang mampu untuk memberikan kontribusi lebih tanpa memberikan dampak terhadap prinsip konsensus.
Dalam konteks sentralitas keluar, ASEAN perlu memperkuat solidaritas dan kesatuan suara dalam menyikapi isu seperti Laut China Selatan dengan memperdalam solidaritas. Tentu tidak semua negara anggota mempunyai kepentingan yang sama mengingat hubungan bilateral masing-masing dengan China, tetapi solidaritas dan pengembangan posisi dasar ASEAN atas isu-isu strategis di kawasan akan membantu penguatan sentralitas ASEAN ketika berhadapan dengan negara besar.
Selain itu, menyuarakan pentingnya negara besar untuk menghormati sentralitas ASEAN harus disampaikan kepada negara besar guna menjamin tatanan arsitektur terus berporos pada ASEAN melalui penghormatan terhadap Traktat Persahabatan dan Kerja Sama yang telah disepakati oleh semua mitra ASEAN.
Peran Indonesia

Sebagai pemimpin ASEAN, mempersatukan negara anggota untuk menyampaikan pesan yang tepat merupakan tantangan. Indonesia harus bersiap untuk menjadi satu-satunya negara ASEAN yang mampu menyuarakan dengan jernih peningkatan kredibilitas ASEAN serta peningkatan solidaritas dan kesatuan suara dalam menghadapi perubahan kekuatan.
Hal ini berarti bahwa Indonesia juga tidak dapat terlalu lunak kepada negara, seperti Myanmar yang terus memberikan tekanan kepada kredibilitas ASEAN. Akses kemanusiaan yang tidak dihalangi, penyelesaian akar konflik, dan penguatan demokratisasi harus disuarakan untuk menciptakan perubahan di Rakhine. Selain itu, model pendekatan subregional seperti dalam kasus Marawi juga harus ditinggalkan oleh Indonesia karena menutup akses kepada negara ASEAN lain belajar tentang peningkatan solidaritas ASEAN.


Uniknya, Singapura saat ini menjadi negara yang paling sepaham dengan Indonesia. Upaya Singapura membujuk Trump dengan kunjungan Perdana Menteri Singapura ke Washington, komitmen sumbangan dana Singapura untuk membantu krisis di Rakhine melalui AHA Centre, serta bantuan militer kepada Filipina di Marawi, menunjukkan perubahan peran Singapura menyikapi isu-isu internal di ASEAN.
Sebagai negara yang paling maju, Singapura menjadi satu-satunya yang tidak menggantungkan diri pada proyek kerja sama dengan China. Oleh sebab itu, perubahan kekuatan di kawasan membuat Singapura merasa perlu untuk mengambil peran lebih, walaupun konservatif, untuk menjaga kredibilitas dan keutuhan ASEAN di tengah mundurnya peran AS.
Rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 akan menjadi ujian bagi ASEAN untuk menunjukkan posisinya dalam menyikapi perubahan kekuatan di kawasan. Sikap acuh dan business as usual akan membuat ASEAN kesulitan mempertahankan sentralitasnya. Beban berat berada di pundak Indonesia dalam menyuarakan kredibilitas dan solidaritas ASEAN guna menjamin kemampuan ASEAN sebagai poros penyeimbang kekuatan di Asia Tenggara.


DANIEL A SIMANJUNTAK, Pemerhati ASEAN; Mempunyai Gelar Master dalam Bidang Hukum Internasional Sumber : Kompas.id ;  11 November 2017

Senin, 11 September 2017

Komando Gabungan Wilayah Pertahanan, Masihkah Relevan?


Komando Gabungan Wilayah Pertahanan, Masihkah Relevan?


Indonesia adalah negara kesatuan yang sejak dulu mengambil jalan non aliansi dengan mengambil jalan politik bebas aktif. Indonesia tidak punya kawan sehidup semati dalam pertahanan dan tidak punya teman yang bisa membantu meski suatu saat Indonesia membutuhkannya. Itulah Indonesia. Kita memilih sebagai Bangsa yang bebas aktif.Tetapi bila dilihat dari pertahanan kekuatan dan Komando yang dimiliknya. Sungguh sangat riskan melihat keberlangsungan kehidupan negara bangsa ini. Sejatinya, diatas kertas kekuatan pertahanan kita selalu mendapat pujian dari negara sahabat, mereka selalu menyebut kekuatan pertahanan kita tidak memerlukan Alutsista modern, karena menurut mereka, dengan bambu runcing sajapun para agresor akan berpikir puluhan kali. Sebagai anak bangsa, kita senang mendengarkan pujian seperti itu. Tetapi kalau kita peka, sesungguhnya bisa saja mereka hanya mengolok-olok kita.

Secara fakta, Indonesia sebenarnya sudah dikelilingi oleh kekuatan militer dengan aliansi yang mendunia. Pertama Indonesia dikeliling oleh negara-negara Five Power Defence Arrangements yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura, dan Inggris yang sudah lama eksis dan itu sudah operasional takkala Indonesia melakukan ganyang Malaysia ditahun 60an dahulu. AS sejatinya adalah pemegang supremasi kekuatan militer di kawasan ini yang terus memelihara dan terus mempererat persekutuannya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Australia dan Singapura. Dalam rangka menjaga Sustaining US Global Leadership khususnya bagi sepeuluh tahun kedepan, AS sudah menempatkan sekitar 60 persen kekuatan armadanya di Asia Pasifik, termasuk di antaranya 2.500 marinir di Darwin, Australia, dan pangkalan sementara bagi Littoral Combat Ships Armada Ketujuhnya di Singapura.Tetapi dengan munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru di kawasan? Apakah Amerika dan sekutunya memerlukan penyesuaian? Meski secara teoritis kekuatan Tiongkok baru tidaklah ada apa-apanya bila di sandingkan dengan kekuatan AS apalagi ditambah sekutunya.

Ketegangan yang terjadi di Laut Tiongkok selatan, sesungguhnya dengan nyata memperlihatkan kepada kita bahwa aliansi kekuatan AS dan sekutunya berikut negara-negara Five Power Defence Arrangements berdiri di satu pihak, berhadapan dengan negeri Tiongkok dan sekutunya di sisi lain. Diatas kertas kita bisa mengatakan Amerika dan sekutunya tidak akan berbuat sebagaimana yang mereka lakukan di Timur Tengah, tidak ada imbalan yang pantas untuk melakukan konflik secara terbuka di kawasan ini. Imbalannya jauh dari memadai. Tetapi Amerika dipercaya tidak akan membiarkan kalau sekutunya diobok-obok oleh Tiongkok. Tiongkok sendiri sebenarnya sepanjang sejarahnya, justeru lebih banyak dijarah daripada dianggap sebagai negara yang kuat oleh negara Barat malah oleh Jepang sekalipun. Kalau saja kita misalkan Tiongkok berlaku nekat, maka saya juga percaya Amerika juga tidak akan berbuat sesuatu-dan kalaupun terpaksa hanya dalam skala terbatas.

Kogabwilhan dan Otoritas Pertahanan

Pertahanan merupakan kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan kebijakan negara. Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan pertahanan negara. Selama ini kita menganut pola defensif aktif dengan cita-cita akan membangun kekuatan yang dapat menghancurkan musuh selagi masih berada di wilayahnya sendiri. Bahwa ternyata sistem pertahanan kita tidak atau belum mampu menjangkau kekuatan seperti itu, ya persoalannya lain lagi.
Mencermati peta kekuatan tersebut diatas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika yang ada di kawasan. Menurut Achmad Soetjipto, mantan KSAL dan Ketua Persatuan Purnawirawan AL(Visi Baru Pertahanan Indonesia, Kompas.com Juni3,2014). “Kogabwilhan adalah salah satu langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan Australia. Atas alasan ini pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua”. Tetapi apakah pemikiran seperti itu masih valid?
Kogabwilhan yang seperti apa sesungguhnya yang akan dibangun itu? Memang belum ada bentuk yang sudah mengemuka, kecuali masih berupa sketsa-sketsa saja. Acmad Sutjipto misalnya juga masih dalam tahapan mempertanyakan apakah Kogabwilhan yang akan dikembangkan itu nantinya; berupa suatu komando gabungan dengan cakupan maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu theatre command? Menurutnya kalau membangun Kogabwilhan ya diharapkan ia harus punya kemampuan melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga yang datang melerai.

Selanjutnya dan masih menurut achmad Soetjipto, untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini, kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet. Sistem yang berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis. Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini, yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan anggaran.

Saya juga sempat juga melihat konsep Kogabwilhan dalam versi Luhut B Pandjaitan dalam tulisan beliau (TNI ”Baru” yang Disegani, Kompas, September4,2014). Sebagai suatu konsekuensi dari penegasan kembali Indonesia sebagai negara kepulauan adalah pentingnya reorganisasi Markas Besar TNI dengan dibentuknya Komando Gabungan Kewilayahan sebagai perpanjangan tangan Panglima TNI di wilayah-wilayah Nusantara. Sekarang ini, sejak Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dibubarkan tahun 1984, Panglima TNI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan militer dari Sabang hingga Merauke. Jelas ini rentang kendali yang terlalu panjang untuk dapat ditangani oleh satu orang panglima di Jakarta.

Seperti jumlah Kowilhan dahulu, Komando Gabungan Kewilayahan yang ideal jumlahnya juga empat, yang membagi habis wilayah Indonesia dalam format organisasi kerangka atau permanen, bergantung pada kesiapan SDM dan kemampuan anggaran nasional. Pengembangan kekuatan TNI tentu saja nantinya disesuaikan dengan jumlah komando itu. Umpamanya, Kostrad harus punya empat divisi infanteri, atau TNI AL punya empat armada bernomor. Begitu pula komando operasional TNI AU disesuaikan dengan kebutuhan untuk melaksanakan operasi militer di wilayah tanggung jawabnya. Diyakini bahwa membangun angkatan bersenjata memang investasi mahal jangka panjang tanpa boleh ada pertimbangan untung-rugi yang normal. Apabila kita percaya adagium si vis pacem para bellum (jika hendak damai, bersiaplah untuk perang), keuntungan yang diperoleh adalah keamanan dan keselamatan negara dan bangsa berikut segala isinya secara optimal sehingga kerugian dalam artian konsekuensi anggaran otomatis jadi marginal. Tetapi kalau negara untuk memberi makan penduduknya saja masih sulit. Apakah ada maknanya memikirkan Kogabwilhan?



Sabtu, 15 Juli 2017

Perang Marawi, Perang Saudara Bercorak Maute dan Separatisme

Perang Marawi Perang Saudara, Isis Maute dan Separatisme

Gempuran terhadap kelompok militan Maute di Marawi terus dilancarkan Angkatan Bersenjata Filipina. Rentetan tembakan senapan mesin dari dua helikopter serbu, Kamis (6/7), menghujani lokasi persembunyian mereka. Warga berharap tekanan yang dilakukan tentara Filipina itu membuahkan hasil optimal. Bagaimanapun, mereka tidak lagi merasa nyaman di tempat pengungsian. Tidak banyak yang dapat dilakukan di tempat pengungsian. “para suami tidak lagi bisa bekerja, sedangkan keluarga membutuhkan uang untuk hidup sehari-hari,” kata Siti Noor, pengungsi yang ditemui di Balai Barangay (setara kelurahan) Bito Buadi Itowa, Kamis, seperti dilaporkan wartawan Kompas, B Josie Susilo Hardianto dan Harry Susilo, dari Marawi, Filipina.
Bantuan yang selama ini diterima dari Kementerian Sosial dan Pembangunan Filipina sangat terbatas, bahkan kurang. Menurut Kepala Barangay Solaiman, setidaknya 150 dari 300-an pengungsi tidak memiliki “kartu hijau”. Pengungsi harus memiliki kartu itu untuk dapat mengakses bantuan pemerintah.Bantuan itu antara lain berupa beras dan alas tidur. Untuk mengatasi persoalan itu, pengungsi sepakat membagi bantuan yang mereka peroleh.Namun, mereka mengatakan masih membutuhkan bantuan lain, seperti selimut, makanan untuk anak-anak dan anak balita, sabun, pakaian, serta barang kebutuhan anak-anak dan perempuan. Mereka memahami, pemerintah juga tengah kesulitan karena harus menghadapi kelompok Maute. Semua kini sudah jadi “bubur”, perang ini tidak beda dengan perang antar saudara; perang sebagai akibat “lemahnya” komunikasi dan tiadanya “Dialog” diantara sesama anak bangsa.
Pada Kamis petang, dua helikopter berputar-putar di atas Marawi. Helikopter itu memuntahkan rentetan tembakan dari senapan mesin. Kilatannya membelah langit Marawi yang sore itu tertutup mendung.Sejak pagi hari, serangan udara terus dilakukan helikopter Angkatan Bersenjata Filipina. Warga berharap tekanan itu dapat mengembalikan lagi kehidupan mereka seperti dulu.Tentara menjaga setiap jalan masuk ke Marawi. Untuk mencapai Marawi dari Iligan, kota terdekat yang berjarak sekitar 36 kilometer, dibutuhkan waktu setidaknya 1,5 jam. Selain karena jalannya berkelok-kelok dan mendaki, kendaraan juga kerap dihentikan pasukan keamanan di pos pemeriksaan. Di pos itu, kendaraan harus berhenti, membuka kaca, dan membiarkan tentara atau polisi memeriksa kendaraan dan penumpang di dalamnya. Mereka harus menunjukkan tanda pengenal, seperti kartu tanda penduduk dan paspor. Untuk masuk ke kawasan tertentu, seperti kota Marawi, harus ada izin khusus dari Angkatan Bersenjata Filipina.

Pendekatan Dialog kultural

Dari berbagai pengalaman masa lalu, pendekatan militer yang dilakukan oleh pemerintah Filipina selama belasan tahun justru tidak bisa menyelesaikan masalah. Di Mindanao ada berbagai pihak yang selama ini tidak pernah didengarkan. Disana ada separatis Moro National Liberation Front (MNLF) yang nasionalis, Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang berbasis agama, dan National People Army (NPA) yang berhaluan komunis dan  kini ada Kelompok Maute yang ber affiliasi dengan ISIS. Tetapi semuanya itu bertitik tolak dari “rasa ketidak adilan” yang dialami oleh warga muslim. Pada tahun 2010, Presiden Gloria Macapagal-Arroyo menegaskan, Filipina tidak lagi melulu mengandalkan pendekatan militer dalam menghadapi kelompok separatis di Mindanao, Filipina Selatan. Pemerintahannya akan lebih mengedepankan UPAYA DIALOG sebagai kunci dari proses menuju perdamaian. Arroyo mengungkapkan hal itu saat membuka pertemuan para menteri luar negeri gerakan nonblok (NAM) untuk membangun dialog dan kerja sama untuk perdamaian dan pembangunan di Manila, Rabu (17/3/2010). Pertemuan diikuti 219 delegasi dari sekitar 105 negara anggota NAM, dari total 118 negara anggota.
Menurut Arroyo waktu itu, kunci dalam proses perdamaian serta demi terciptanya pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan adalah dialog. Dalam konteks menghadapi separatis, pemerintah menyadari bahwa dialog harus dikedepankan daripada pendekatan militer. ”Kami telah mendekati komunitas sasaran untuk mengubah paradigma perdamaian,” katanya. Melalui dialog lintas agama, menghargai keberagaman budaya dan tradisi di Mindanao, pemerintah sudah bisa mulai membangun di wilayah itu. ”Kami bisa membangun jalan untuk membuka isolasi wilayah, dan dengan itu ekonomi bisa berjalan. Kami juga membuka jaringan irigasi,” katanya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dan perubahan dalam pemerintahan. Nampaknya “POLA DIALOG” itu telah terlupakan begitu saja. Bisa dimaklumi, kalau kekerasan kembali mengemuka.


Perang Saudara Tidak akan Pernah Selesai

Indonesia dan Filipina sebenarnya punya pengalaman yang sama. Yakni sama-sama kesulitan dalam menghadapi “separatis” dari saudara sebangsa.  Ketika Indonesia melakukan “dialog” dengan “Aceh Merdeka”, Filipina juga mengirimkan pasukan penjaga perdamaiannya.  Begitu juga dengan Indonesia. Indonesia  juga mengirimkan misi militer untuk memantau proses perdamaian di Mindanao antara Pemerintah Filipina dan MILF yang berpusat di Cotabato, Mindanao. Jerson Liardo, rohaniwan asal Cotabato, mengatakan, keberadaan Indonesia dianggap sebagai kakak oleh warga Filipina dari berbagai komunitas, termasuk Kristiani dan Muslim. Misi yang disebut IMT tersebut terus berlanjut hingga kini. Saat ini Misi IMT dipimpin Kolonel (Pasukan) Deni Ramdani yang berkedudukan di kota General Santos, Mindanao, membawahi beberapa perwira TNI di sejumlah kota di Mindanao, termasuk Ilagan, dekat kota Marawi.
Seusai perundingan pengamanan Laut Sulu, akhir 2016, Kepala Badan Intelijen Strategis Nasional (Bainstranas) Kementerian Pertahanan Mayjen Paryanto mengatakan, Indonesia siap membantu Filipina membangun perdamaian di Filipina selatan, termasuk kerja sama ekonomi antara Mindanao dengan Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara. Kamar Dagang Davao pun diundang hadir ke Jakarta oleh Kemhan dan bertemu dengan mitra dari Sulut dan Kaltara. Semua upaya itu kini seolah tinggal kenangan.
Kini, situasi memanas dengan pertempuran di kota Marawi oleh faksi teroris Maute yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Timur Tengah. Sempat diwacanakan agar TNI terlibat dalam mengirimkan pasukan ke Marawi, membantu militer Filipina. Tetapi jelas upaya seperti itu, kedua negara pasti harus mengacu kepada UU Dasarnya masing-masing. Indonesia tidak akan mengirimkan militernya ke negara lain, kalau tidak ada izin dari DPR. Begitu juga dengan UU Dasar Filipina, mereka tidak mungkin bisa menerima kedatangan ‘militer” negara lain meski negara tetangga sekalipun harus terlebih dahulu ada izin dari DPR nya juga.
Suhardi, mantan dosen Mindanao State University di Marawi dan sekarang menjadi Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara, menjelaskan peliknya fragmentasi antar faksi di Filipina, termasuk di Mindanao. MNLF pimpinan Nur Misuari pecah dalam berbagai faksi, termasuk Abu Sayyaf Group. MILF pimpinan Haji Murad Ibrahim pun memiliki sempalan seperti BIFF yang dikhawatirkan beraliansi dengan Maute. Demikian pula faksi-faksi lain.
Kita harus mengingat kembali apa yang pernah dikatakan  Arroyo waktu itu, kunci dalam proses perdamaian serta demi terciptanya pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan adalah DIALOG. Dalam konteks menghadapi separatis, pemerintah menyadari bahwa dialog harus dikedepankan daripada pendekatan militer. ”Kami telah mendekati komunitas sasaran untuk mengubah paradigma perdamaian,” katanya waktu itu. Melalui dialog lintas agama, menghargai keberagaman budaya dan tradisi di Mindanao, pemerintah meski masih terbatasan sudah bisa mulai membangun di wilayah itu. ”Kami bisa membangun jalan untuk membuka isolasi wilayah, dan dengan itu ekonomi bisa berjalan. Kami juga membuka jaringan irigasi,” katanya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dan perubahan dalam pemerintahan. Nampaknya “pola dialog” itu telah terlupakan begitu saja. Bisa dimaklumi, kalau kekerasan kembali mengemuka. ( Sumber : Kompas.id, Dll)