Selasa, 16 Juli 2013

Negara Kepulauan Negara Benua Maritim

Oleh: Muhidin M Dahlan[1]

Rangga Lawe, pendekar pesisir terbaik pelabuhan Tuban, akhirnya mati di air tawar pedalaman Jawa (Sungai Tambakberas). Kematian yang dramatis pada 1295 itu diinformasikan Kitab Pararaton dan didedah secara detail dalam Kidung Rangga Lawe. Kematian tragis itu kemudian didramatiskan S Tidjab dan Sanggar Prativi secara audio di serial sandiwara Tutur Tinular (1989), khususnya Episode 10 dan 11.

Oleh: Muhidin M Dahlan[1]

Rangga Lawe, pendekar pesisir terbaik pelabuhan Tuban, akhirnya mati di air tawar pedalaman Jawa (Sungai Tambakberas). Kematian yang dramatis pada 1295 itu diinformasikan Kitab Pararaton dan didedah secara detail dalam Kidung Rangga Lawe. Kematian tragis itu kemudian didramatiskan S Tidjab dan Sanggar Prativi secara audio di serial sandiwara Tutur Tinular (1989), khususnya Episode 10 dan 11.
Rangga Lawe—atau Piagam Kudadu menyebutnya Arya Adikara—tumbang di air tawar pedalaman Jawa. Kita membaca tumbangnya Rangga Lawe sebagai nubuat hilangnya pamor Maritim di Jawa.
Tuban pada masanya adalah pelabuhan internasional terbesar. Ketika masa suram Majapahit datang, lenyap pula kebesarannya. Dalam novel klasik Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, kekuatan maritim Tuban tersaruk tak berdaya ke bawah pasir.
Armada maritim Tuban hancur segalanya tatkala rezim pasca-Majapahit, yakni Demak, lebih berorientasi pada air tawar di pedalaman. Demak lebih kagum pada angkatan darat (kuda) ketimbang angkatan laut (kapal). Pada akhirnya parafrase: ”Jawa ini lautnya luas daratannya kecil” mirip dengan dongengan yang nyeri.

Ironi maritim

Art Jog 13 dan Borobudur Writers & Cultural Fest secara bersamaan mengangkat ”Maritime Culture” serta ”Bahari dan Rempah Nusantara” sebagai tema penjelajahan dan perbincangan kreatif tahun 2013. Dua penyelenggaraan event seni dan kreativitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah ini seperti merayakan ironi panjang yang nyeri tentang maritim.
Yogyakarta dan juga Borobudur memang dekat dengan laut. Namun, lautnya lebih banyak terbentuk sebagai dongeng negatif lewat tuturan Nyi Roro Kidul. Laut selatan adalah laut mati, laut yang tak produktif. Di kota dengan tradisi maritim yang ”negatif” inilah tinggal seniman, perajin, sekolah seni, dan penulis budaya. Mereka diminta untuk memeriksa dan merayakan (matinya) kultur maritim itu.
Peristiwa seni itu hanya serangkaian kronik dari suara-suara yang (ingin) mengembalikan (peradaban) maritim yang riuh di media massa dalam 10 tahun terakhir ini. Dan tentu saja disertai lini masa peristiwa buruk di paras maritim.
Yang agak mengagetkan adalah ketika Raja Mataram Sultan Hamengku Buwono X menyerukan untuk membangun budaya maritim ini dalam sebuah kampanye politik tahun 2009. Kita tahu, tak ada jejak budaya maritim yang kuat dalam Kesultanan Mataram.
Ketika menyerang pelabuhan laut VOC di Batavia pada 1629, Sultan Agung menggunakan armada darat. Dan kalah. Yang tersisa dari kekalahan itu adalah tanah-tanah pertanian (agraris) di desa-desa sepanjang Jawa Barat yang dilalui armada darat, terutama Karawang dan Cirebon.

Menonton maritim

”Rangga Lawe mati” adalah kutukan. Berabad-abad tak bertolak ke laut, kita lupa bagaimana bau laut, bahasa ikan, rempah, cara berperang di atas buih ombak, dan cara mengeksplorasi bahari menjadi kekuatan ekonomi baru.
Bahkan, lupanya kita bersifat mendasar, seperti kata WS Rendra (2008) di Yogyakarta, ”Negara kita adalah negara satu-satunya di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi, negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor, dan Laut Sawu. Namun, toh, ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan
negara daratan, bukan Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.”
Pemerintah sudah menghafal setiap jengkal luas laut dan pantai Nuswa Antara bernama Indonesia ini. Namun, data itu ditafsir sebagai pariwisata. Tak jauh dari itu. Maritim dilihat bukan sebagai budaya dan sikap, apalagi politik, melainkan maritim sebagai tontonan.
Karena tontonan ini pula, misalnya, pemerintah mendaratkan orang-orang Bajo di Gorontalo dan Manado. Mereka diminta menetap, bertani, dan ikut program Keluarga Berencana. Padahal, kata etnografer asal Perancis, Francois-Robert Zaco (2008), orang-orang Bajo telah hidup di atas buih laut berabad-abad lamanya. Perahu adalah rumahnya. Ikan adalah teman hidupnya.
Dan realitas baru yang menimpa orang Bajo pada abad ke-21 adalah bergelombang orang-orang film atas persetujuan pemerintah menjadikan orang-orang laut ini jadi tontonan.
Di Yogyakarta tahun 2013, mari ramai-ramai menonton kultur maritim sampai tandas.

[1] Muhidin M Dahlan Koordinator Penulisan Almanak Seni Rupa Jogja; Bergiat Di Warungarsip.Co Yayasan Indonesia Buku;kompas.11 juli 2013