Rabu, 24 Maret 2010

Bangga Jadi Prajurit Keraton Yogyakarta

Hampir 40 tahun, Suwarji (61) dan Muhjapar (61) setia menjadi abdi dalem prajurit Keraton Yogyakarta. Tampil berbaris dan berderap seperti saat Grebeg Idul Adha, Sabtu (28/11), merupakan sesuatu yang istimewa.

Suwarji, sambil memeluk senapan laras panjang peninggalan Belanda, menuturkan, ia seangkatan dengan Muhjapar. Mereka mendaftar bareng sebagai abdi dalem prajurit tahun 1971.

"Senang sekali saat diberi tahu kami diterima. Waktu itu, saya dimasukkan ke Bergada Bugis. Lantas lima tahun sesudahnya hingga sekarang, saya berada di Bergada Prawirotomo. Tugasnya memegang bedil," kata Suwarji, yang sehari-hari wiraswastawan ini.

Muhjapar dari dulu sampai sekarang ditempatkan di Bergada Prawirotomo. Ia juga mengangkat senjata. "Dulu nggak milih sebagai prajurit yang memegang apa. Keraton yang menentukan," kata petani Sewon, Bantul, itu.

Mereka bisa dibilang nyaris tak pernah absen. Baik saat Grebeg Idul Adha, Idul Fitri, maupun Maulud. Walau sudah berkali, sebulan sebelum grebeg, mereka tetap diwajibkan latihan. Seminggu latihan sekali.

Tukiran (54), prajurit di Bergada Surokarso, menuturkan, diterima sebagai abdi dalem saja sudah anugerah luar biasa. "Bukan uang yang kami cari, tapi keinginan mengabdi," tutur Tukiran. Ia menyebut, empat bulan sekali, ia mendapat Rp 2.000 dari keraton. Mereka belum pernah naik pangkat.

Bagi mereka yang sudah naik pangkat juga tak sombong. Triyono (46), staf laboran di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, misalnya. Ia baru 12 tahun bergabung. Sabtu lalu adalah kali pertamanya sebagai Panji Perintah atau komandan pasukan di Bergada Bugis. Lima tahun pertama, posisinya prajurit biasa.

Wajah-wajah usia 40 tahun ke atas mendominasi 10 bergada yang masing-masing beranggotakan minimal 50 orang ini. Namun, sejumput, tampak wajah-wajah muda seperti Murdoko. Pemuda ini karyawan usaha kerajinan gerabah di Kasongan, Bantul. Grebeg Besar Sabtu lalu adalah "aksinya" yang kedua.

Murdoko mendaftar dua tahun lalu, namun baru diterima tahun kemarin. "Tesnya tertulis dan wawancara. Ada juga penilaian cara berjalan dan memegang tombak. Setahun dulu dilihat, baru saya diterima. Banyak yang gagal lho," kata Murdoko, dengan nada bangga. Seingat dia, angkatannya terdiri 85 pendaftar, hanya 40 yang diterima oleh keraton.

Wajah-wajah bangga jelas terpancar di wajah-wajah mereka. Saat melihat cara berjalan, memalingkan kepala ke kiri-kanan, dan menggerakkan badan seturut irama musik, mereka seakan menari. Rasa bangga membuat mereka menjadi mantap.

Kebanggaan mereka menjadi prajurit keraton sungguh sebuah kenyataan. Sebuah kenyataan yang tak bisa diukur dengan rupiah. ( Kompas/30/11/2009/Pra)

Selasa, 16 Maret 2010

Ancaman Terorisme Baru

Setelah Noordin M Top tewas di tangan Densus 88, publik menganggap ancaman terorisme di Indonesia sudah berakhir.

Keterangan resmi pemerintah yang menunjuk hubungan antara Aceh dan penyergapan mematikan terhadap Dulmatin di Pamulang (Kompas.com, 10/03/2010) mematahkan anggapan itu. Aksi terorisme masih berbahaya.

Pejabat keamanan menghubungkan perkembangan ancaman terbaru dengan Dulmatin dan Umar Patek, pentolan teroris paling dicari di Asia Tenggara bertahun-tahun. Pesannya jelas, kelompok ini masih jadi ancaman di kawasan ini. Sasaran yang dituju tampaknya Jemaah Islamiyah (JI), sempalannya, atau organisasi terkait. Aparat keamanan di wilayah ini menganggap tingkat bahaya sedang naik, seperti juga dilaporkan intelijen Singapura tentang ancaman teror di Selat Malaka.

Laporan-laporan resmi menyebut JI organisasi jaringan teroris berbasis luas di Asia Tenggara. Meski tak mengontrol wilayah tertentu sebagai basis tetap operasi, JI dipercayai bergerak di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. JI juga dianggap sebagai tandem Al Qaeda di wilayah ini sehingga PBB menyebutnya sebagai organisasi teroris internasional.

Sejak George W Bush meluncurkan Global War on Terror di bawah hegemoni Amerika Serikat sesudah serangan 9/11, JI dimasukkan sebagai musuh utama di Asia Tenggara. Kawasan ini dianggap second front perang melawan terorisme kendati sejumlah ahli mempersoalkan relevansi sebutan itu karena konteks historis, sosial, dan politik wilayah ini berbeda dengan Timur Tengah, misalnya. Pemerintah di kawasan ini, khususnya Indonesia, di bawah dukungan AS dalam bentuk latihan, peralatan, dan keuangan, lantas bekerja keras memerangi aksi terorisme.

Kelemahan

Ada dua hal terkait terorisme di Indonesia yang perlu diperhatikan. Pertama, pengetahuan kita mengenai aksi terorisme sangat terbatas. Studi tentang terorisme di Indonesia dan Asia Tenggara didominasi studi berbasis pendekatan tradisional, yang bersandar ke studi keamanan ortodoks dan studi tentang counter-insurgency. Studi semacam ini cenderung membatasi asumsi tentang sifat, penyebab, dan jalan keluar terhadap terorisme dengan bersandar pada negara. Problemnya, pengetahuan yang dihasilkan patut diperdebatkan karena kerap tak ditunjang data empiris kuat (Jakcson, 2007) dan dangkal.

Kelemahan karya-karya akademik tentang terorisme, khususnya tentang JI, pernah dipersoalkan oleh Hamilton-Hart (2005). Dia mengingatkan kualitas informasi dan penyederhanaan aksi terorisme sebagai masalah patologi pelakunya. Banyak studi yang dihasilkan ahli terorisme dipenuhi catatan kaki bersumber dari BAP polisi, dakwaan jaksa, pembelaan di pengadilan, keputusan hakim, dan laporan intelijen, tanpa investigasi konteks historis secara lebih luas.

Ini diperburuk pemberitaan media mainstream yang secara berulang menerbitkan dan menyiarkan berita dengan bersandar pada laporan-laporan itu atau mengembangkan wawancara dengan pejabat keamanan yang dianggap memiliki otoritas. Masalah pokoknya, menurut Lafree & Dugan (2007), data pemerintah sarat pertimbangan politik tentang terorisme. Studi semacam itu akan terjebak dalam apa yang oleh Herman & O’Sullivan (1989) dianggap bagian industri terorisme Dengan aktor beragam, seperti pejabat dan lembaga pemerintah, lembaga penelitian, analis, perusahaan keamanan swasta, industri ini sebenarnya bekerja melayani kepentingan pasar.

Kedua, dengan basis pengetahuan seperti itu, kelemahan berikutnya adalah penyelesaian aksi terorisme oleh pemerintah yang mengandalkan pendekatan ”perang” semata. Hasilnya, penyergapan mematikan, penjara, surveillance, dan pendekatan karitatif dalam pemulihan eks-teroris ternyata tidak mengakhiri ancaman terorisme. Perlu studi komprehensif yang menghindar dari anggapan bahwa kekerasan sebagai sesuatu yang endemik di dalam ajaran agama dan hanya terjebak mengurai jejaring para aktor teror.

Sebaliknya, kita memusatkan perhatian pada lingkungan politik dan ekonomi dalam kurun waktu tertentu di mana tindakan-tindakan teroris berlangsung. Fakta bahwa banyak di antara pimpinan JI terlibat dalam perang mujahidin di Afganistan pada 1980-an memberi isyarat, radikalisme disertai kekerasan yang muncul sesudahnya, kuat berakar di Perang Dingin. Para mujahidin, termasuk Bin Laden, yang ambil bagian dalam perang kontra-revolusi di negeri itu diagung-agungkan Ronald Reagan sebagai pahlawan. Perubahan setelah Perang Dingin, konteks ekonomi dan politik terorisme global bisa diinvestigasi.

Penerapan neoliberalisme terutama lewat instrumen perang imperialis AS di Irak telah menyuburkan sentimen global melalui serangan teroris yang saling terkait. Di Indonesia, retorika anti-AS memperoleh lahan subur, sebagian tersalur lewat aksi terorisme dan ketidakpuasan terhadap imperialisme diungkapkan lewat perang berjubah agama. Soal global ini berbaur dengan proses exclusion secara politik dan ekonomi dalam 10 tahun ini. Terjadinya restorasi kelas, di mana proses pengerukan kekayaan tak saja terjadi lewat akumulasi kekayaan ke tangan segelintir orang, tetapi juga ke negara kaya, menimbulkan ketidakpuasan meluas. Kemiskinan, pengangguran, tersingkir secara sosial dan politik, jadi pemicu bangkitnya ilusi kekerasan berdalih agama.

Pemerintah perlu mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari pendekatan ”perang” semata ke perubahan kebijakan ekonomi politik mendasar. Salah satu yang mendesak adalah pemerintah harus bisa mengatakan hal berbeda kepada AS dalam hubungan dengan perang Irak ataupun Afganistan sebagai akar dari aksi-aksi terorisme. Kunjungan Obama mestinya dimanfaatkan untuk menyampaikan nota politik baru tentang itu, bukan terjebak diplomasi datar, melaporkan ”keberhasilan” memerangi terorisme, apalagi sekadar untuk pencitraan politik.(Sumber: Kompas,11/3/
Arianto sangaji Penulis Buku ”Penanganan Terorisme”, Sedang Studi di Toronto, Kanada)

Selasa, 09 Maret 2010

Sustainabilitas Terorisme



”Nothingness is the source of not only absolute freedom but also existential horror and emotional anguish. Nihilism has only one truth to declare, namely, that ultimately nothingness prevails and the world is meaningless.” Helmut Thielicke (1969) Saat hati diri mencermatinya, teror bom bunuh diri di Kuningan kemarin sungguh mengerikan. Namun, di mata para teroris, itu menjanjikan ganjaran indah di dunia entah, nothingness. Terorisme meminati konsep mimpi meta-hidup. Artinya, terorisme menggusur nilai indah kehidupan nyata. Kematian dipuja. Hidup orang lain dinafikan, juga hidupnya sendiri. Jangan dilupakan eulogia juru bicara Al Qaeda 2001, The thousands of our young people look forward to death, like the pagans (kafir) look forward to living. Bunuh diri adalah cetusan final-banalnya. 
 Dua tahun lalu, pada headline sebuah koran di Jawa Timur ada judul Terorisme Rekrut 32.000 Bomber. Sebanyak itukah? Mengapa? Bagi mereka, bom menjelma bak pesta, ekspresi totalitas komitmen diri. Sangat banal. Ideologis Terorisme bukan sebuah paham, tetapi gerakan. Dalam skenario gerakan, efektivitas tindakan memiliki berbagai variasi strategis dan simbolis. Secara strategis, bom menghancurkan; secara simbolis, itu tanda keberadaan. Simbolisme dalam ranah teroris memiliki karakter mengecoh. Kecohan pertama langsung terkait atribut ideologis. Di sinilah rumitnya, terorisme gandeng atau tidak gandeng dengan agama atau ideologi apa pun. Jika tokoh-tokoh bangsa tergiring fokus ke sana, itu berarti strategi teroris sukses. Asal dipahami, Erich From mengingatkan, tindakan teror bukan ekspresi kengawuran. Teror pasti merupakan produk tindakan sistematis. 
Ada rancangan, ada kepastian metodologi, ada target, ada sistem rekrutmen, ada pelatihan, ada organisasi. Dan, yang pasti mendasari adalah ideologi. Dari metodologi dramaturgi sosiolog Erving Goffman, diketahui, aktivitas terorisme memakai dua panggung, yaitu setting panggung depan (yang kita lihat) dan belakang (tak terlihat). Jangan keliru tebak, panggung belakang bukan sekadar aneka pertemuan rahasia dan tersembunyi untuk merancang pengeboman (panggung depan). Yang tak tampak justru memiliki sofistikasi cetusan berlapis-lapis. Artinya, pelaku bunuh diri yang amat kejam, misalnya, di panggung belakang bisa tampil sebagai pribadi yang amat taat beribadah, setia kepada keluarga, cerdas, berpendidikan, dan seterusnya. Abu (sebutlah begitu pelakunya) bukan orang ngawur. Ia kalem, santun, bertanggung jawab terhadap istri dan anak, rajin beribadat. 
Seorang ”N” bisa jadi sehari-harinya tampil sederhana, cerdas, penuh komitmen, amat rajin berdoa. Demikian puluhan atau ratusan yang lain. Bahkan, mereka juga tinggal di rumah sebelah. Terorisme mengalami erosi kengerian kehadiran. Sebab, ternyata teroris itu santun dan mungkin tampak rajin beragama. Bisa dibayangkan, apabila dalam setting panggung belakang yang ada adalah sebuah organisasi! Cetusannya pasti canggih. Organisasi filantropik yang dengan simpatik menyokong pembangunan rumah ibadat, dapat terjadi pada saat yang sama menyuntik dana organisasi teroristik pula. Menjadi lebih rumit lagi saat organisasi ini memainkan pola ideologi agamis. Penonton akan mudah terkecoh, dari mengutuk kepada memuji. Kekejian bunuh diri menjadi ekspresi kemartiran. Kematian ngeri menjadi simbol pencapaian janji surgawi di dunia entah. Dalam logika manajerial bom bunuh diri, tindakan taktis bukan saja meminta keterampilan, tetapi juga komitmen. Komitmen menjadi mungkin hanya apabila melibatkan totalitas pemberian diri. Totalitas pastilah mengandaikan fondasi ideologis yang kokoh. ”Sustainable” Organisasi terorisme beda dengan organisasi politik.
 Membubarkan organisasi politik berarti mencabut izin, membuyarkan kantor pusat, menghancurkan simbol-simbol politisnya. Membubarkan organisasi teroristik? Tidak mudah. Terorisme memiliki karakter sustainabilitas yang kental. Justru karena tidak merupakan sebuah wacana, tetapi gerakan. Gerakan terorisme ada dalam ranah model ”amoeba”, ia menggandakan diri secara cepat dalam berbagai lapis. Sejauh ini, yang kita simak pada masa lalu dari penangkapan Detasemen 88 adalah pelaku seputar pengajar agama, pemuda yang rajin beribadat, para penganggur juga sarjana, peracik bom, kurir. 
 Tidak bisa disepelekan di luar lapis kelompok yang disebut ini, yaitu lapis mondial organisasi gerakan mereka. Terorisme sustainable karena memiliki jaringan, jaringan mondial, internasional. Strategi memutus jaringan membutuhkan kecanggihan dan ketekunan. Perangkat lunak Terorisme memiliki komponen perangkat lunak dan perangkat keras strategis. Perangkat kerasnya tampak dari teknologi canggih meracik bom berdaya ledak tinggi. Sementara perangkat lunak terorisme adalah ideologi (dapat pula agamis) dengan kompleksitas jaringan organisasi yang berlapis-lapis. Jelas, perangkat lunak semacam ini tidak mungkin dihadapi sistem keamanan paling canggih sekalipun. 
 Diperlukan kritik diri pada tataran menyeluruh, termasuk religiusitas (yang dekat dengan cara hidup beragama). Dalam melawan terorisme, nihilistik diperlukan berbagai kesadaran baru yang humanis. Orang tidak boleh lega dengan model-model kesalehan formal, macam pembangunan fisik rumah-rumah ibadat, kemeriahan upacara ritual atau ratifikasi aneka peraturan agamis. Tidak dari sendirinya penampilan tampak suci mengatakan kesejatian beriman. Perangkat lunak aktivitas teroristik akan runtuh bila bangsa ini rajin mempromosikan nilai-nilai kehidupan dan kearifan sendiri, seperti solidaritas, kesetiakawanan, dialog, persahabatan, silaturahim. Solidaritas memungkinkan satu sama lain membangun nurani dalam cita rasa demikian: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang lain adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kita juga. 
 Kesetiakawanan adalah nilai menjadi kawan setia tanpa memandang agama, nasionalitas, suku, tingkat ekonomi, atau pengetahuan satu sama lain. Kebersamaan memproduksi entusiasme dan kegembiraan. Tanpa kebersamaan, yang ada hanyalah kesunyian. Persahabatan berarti orang bertindak sebagai bagian dari hidup orang lain. Demikian juga orang lain kita pandang sebagai bagian dari hidupku. Sementara silaturahim merupakan nilai relasi yang saling membagi berkat. Dan, demikian seharusnya dalam seluruh tahun-tahun kehidupan kita, mendulang kearifan hidup bersama. Sumber: Kompas/ 21/7/ 2009/Armada Riyanto Dosen Filsafat Politik; Ketua STFT Widya Sasana, Malang

Selasa, 02 Maret 2010

Dilema Rumah Negara TNI

Sengketa kepemilikan rumah negara Tentara Nasional Indonesia merupakan persoalan dilematis. Di satu sisi Markas Besar TNI kekurangan rumah bagi prajuritnya, di sisi lain aspek kemanusiaan bagi purnawirawan TNI juga tidak bisa dikesampingkan.

Penelusuran Kompas mulai hari Rabu (27/1) hingga Minggu di sejumlah kompleks rumah negara atau rumah dinas TNI, yang menjadi lokasi sengketa antara TNI dan penghuni rumah, menunjukkan persoalan utamanya mengerucut pada soal hak milik rumah karena perbedaan penafsiran atas peraturan perundang-undangan.

Persoalan itu antara lain dikemukakan Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Penghuni Perumahan Negara (FKPPN) Brigadir Jenderal (Purn) Soemarto, yang tinggal di Kompleks Perumahan TNI Angkatan Darat, Sumur Batu, Jakarta Pusat.

Salah satu peraturan yang tidak dijalankan dengan baik, menurut Soemarto, adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara, tanggal 26 Februari 2008. Dalam Pasal 1 Ayat 2, 3, dan 4 perpres itu disebutkan soal golongan rumah yang dibagi menjadi tiga.

Rumah golongan I adalah yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan penghuniannya terbatas selama masa jabatan. Rumah golongan II adalah yang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan suatu instansi dan hanya didiami selama menjadi pegawai negeri dan jika sudah berhenti atau pensiun harus dikembalikan kepada negara. Rumah golongan III adalah yang bisa dijual kepada penghuninya.

Pada Pasal 8 Perpres itu disebutkan soal kemungkinan pengalihan status rumah negara golongan II menjadi golongan III, dengan didahului permohonan. ”Hingga saat ini tidak ada proses pengalihan yang diindahkan,” kata Soemarto.

Namun, muncul Surat Telegram Menteri Pertahanan Nomor ST/17/2008 yang ditandatangani Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Mayor Jenderal Suryadi tanggal 28 Juli 2008. Dalam surat telegram itu disebutkan bahwa Kementerian Pertahanan dan TNI belum merencanakan izin perubahan status rumah negara golongan II menjadi golongan III.

Terhadap masalah ini, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, pekan lalu, menegaskan, rumah negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI masuk rumah negara golongan I dan II, tidak ada golongan III.

Persoalan serupa muncul di Kompleks Berland di Matraman, Jakarta Pusat; Kompleks Bulak Rantai di Kampung Tengah, Kramatjati, Jakarta Timur; Kompleks Eks Batalyon Angkutan Kuda Beban di Cililitan Besar, Jakarta Timur; Perumahan TNI AD di Jalan Otista III, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur; dan di Perumahan Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) di Jalan Arteri Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Di luar Jakarta, persoalan muncul di Perumahan Negara Pangkalan TNI Angkatan Laut V Surabaya. Pada awal Januari 2010 warga menerima selebaran peringatan atas nama Tim Penertiban Rumah Negara Lantamal V TNI AL. Akibatnya, warga yang telah menghuni rumah selama puluhan tahun, khususnya penghuni di tujuh rumah, menjadi resah dan khawatir.

Warga mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya sebagai upaya mempertahankan rumah mereka. ”Karena sekarang masih dalam proses hukum, seharusnya semua pihak menghormatinya sampai berkekuatan hukum tetap,” kata Fahmi Bachmid, penasihat hukum warga, Minggu, di Surabaya.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana Mayor (Inf) Rustam Effendi mengungkapkan, jumlah rumah negara di lingkungan Kodam VII/Wirabuana 6.497 unit. Pada 2006, jumlah rumah dinas yang ditempati bukan oleh prajurit aktif atau purnawirawan mencapai 788 rumah. Ada yang ditempati anak-anak purnawirawan TNI, bahkan masyarakat umum. ”Hingga 15 September 2008, kami berhasil menertibkan 374 rumah yang kini sudah ditempati prajurit TNI yang berhak,” kata Rustam.

Rustam menguraikan, sesuai Surat Telegram Kepala Staf Angkatan Darat Nomor ST/1460/2006 tertanggal 2 November 2006, purnawirawan yang belum memiliki rumah sendiri bisa menempati rumah dinas hingga yang bersangkutan dan istrinya meninggal dunia. ”Jadi, kami hanya menertibkan rumah yang hanya dihuni oleh anak purnawirawan atau ditempati masyarakat umum,” tutur Rustam.

DPR bentuk panitia kerja

Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin, Minggu, mengatakan, sengketa rumah dinas TNI itu disebabkan kurangnya rumah negara yang dimiliki TNI. ”Di sisi lain, mengusir penghuni yang sudah tinggal puluhan tahun di rumah negara juga bukan hal bijaksana,” ujar Tubagus, mantan Sekretaris Militer Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Sjafrie, pekan lalu, memaparkan, jumlah rumah negara di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI 198.170 unit sehingga terdapat kekurangan rumah sebanyak 159.704 unit.

”Negara (pemerintah) perlu turun tangan,” kata Tubagus. Selain itu, imbuh Tubagus, semua pihak perlu saling menghormati dan tetap pada jalur hukum.

Saat ini, kata Tubagus, sudah dibentuk Panitia Kerja Perumahan yang telah mendengarkan pendapat dari pihak penghuni rumah negara. Selanjutnya, pada pertengahan Februari, rapat dengar pendapat serupa akan dilakukan dengan Panglima TNI dan Kementerian Pertahanan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan keluarga besar prajurit Kostrad di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Minggu, menyatakan, pemerintah akan terus meningkatkan kesejahteraan dan kelengkapan TNI lagi sesuai dengan kemampuan anggaran dan kemampuan negara. ”Bukan hanya itu, termasuk rumah dinasnya,” kata Presiden. (Kompas/1/2/2010/ WIN / ROW / BEE / INK / HAR)