Sabtu, 30 Maret 2013

Mempertanyakan Argumentasi Garis 9 Dot nya China di Laut China Selatan, Kawawan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com



Mempertanyakan Argumentasi Garis 9 Dot nya China di Laut China Selatan, Kawawan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com


Oleh : Huan Tran[1]
Laut China Selatan di Asia Tenggara berbatasan dengan 7 negara: China, Taiwan, Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Nama sebutan laut, seperti yang juga diucapkan  seperti Teluk Meksiko, Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia, Teluk Thailand, Filipina Laut, Cina Timur Laut dan Laut Jepang, tidak menyiratkan gagasan kedaulatan karena mereka diciptakan untuk kenyamanan oleh penjelajah Eropa.
Di Laut Cina Selatan, Filipina yang menyebutnya Barat Laut Filipina, ada tiga pulau kelompok – Paracel pulau, pulau Spratly dan Scarborough shoal – yang tidak dihuni secara permanen karena pulau-pulau kecil dan tidak memiliki air tawar yang bisa diandalkan. Beberapa obyek buatan manusia telah ditemukan, yang menunjukkan keberadaan manusia meski dalam waktu singkat, karena sejak zaman prasejarah, nelayan, pedagang dan perompak dari berbagai kerajaan sering membangun penampungan sementara untuk mereka di sana. Karena pulau-pulau tidak dapat mendukung perikehidupan manusia secara permanen, pemerintah negara tertentu kemudian terpaksa harus membangun infrastruktur di sana, seperti di Okinotori (sebuah pulau Jepang di Samudra Pasifik), untuk mendukung kebutuhan hidup penghuninya.
China mengklaim kedaulatan atas 90% laut dan semua pulau di Laut Cina Selatan dengan menggambarkan  GARIS SEMBILAN-DOT mencakup 90% dari wilayah laut tersebut, telah mendorong tetangganya untuk memprotes bahwa klaim itu bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tahun 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).
UNCLOS memberikan hak khusus bagi suatu negara pantai atau pesisir atau negara kepulauan yang disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE) terhitung 200 Nautical Miles dari baseline (garis pantai surut) di mana negara pantai atau apesisir atau negara kepulauan  memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi sumber daya alam diwilyah laut tersebut. Garis sembilan-dot klaim China jelas melampaui ZEE nya, malah merugikan ZEE tetangganya.
Juga, UNCLOS mengatakan bahwa batu karang di laut yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia dan tidak memiliki kehidupan ekonomi mereka sendiri tidak dapat memiliki ZEE. Dengan definisi UNCLOS, maka Laut China Selatan tergolong pada pulau yang tidak dapat memiliki ZEE karena mereka tidak bisa mendukung perikehidupan manusia  pada wilayah tersebut. Hanya Cina berpendapat bahwa mereka memiliki ZEE, tetepi dengan argumen yang tidak konsisten – karena dalam sengketa tentang pulau Okinotori, Cina mengakui dan menegaskan bahwa Okinotori tidak dapat memiliki ZEE karena Okinotori tidak dapat mendukung perikehidupan manusia di pulau tersebut.
Pulau Paracel terletak di pertengahan  antara Cina dan Vietnam, sementara pulau Spratly dan gosong Scarborough terletak dalam  ZEE negara tetangga China. China berpendapat bahwa pulau-pulau tersebut memiliki ZEE dan sekaligus mengklaim kedaultan atas semua pulau dalam rangka memaksimalkan ZEE China tetapi sayangnya sama sekali dengan mengorbankan kedaulatan negara tetangganya.
China membenarkan klaim nya di Laut China Selatan dengan menyatakan bahwa teks-teks sejarah China kuno tersebut menyebutkan pulau-pulau tertentu di Laut China Selatan sebagai milik mereka;  teks teks kuno itu juga membuktikan bahwa orang China adalah manusia pertama yang berlayar  dan menemukan pulau-pulau di daerah tersebut, bahwa China adalah negara pertama yang melaksanakan klaim yurisdiksi atas pulau-pulau dan Laut Cina Selatan, laut yang bersejarah bagi China.
China lebih lanjut menyatakan bahwa pada tahun 1947, Ketika China menerbitkan dan mendeklarasikan PETA LAUT DENGAN GARIS SEBELAS-DOT (pendahulu dari garis sembilan-dot), nyatanya tidak ada satu negara pun yang protes; hal mana membuktikan bahwa Dunia telah menerima klaim China tersebut. Namun, dari kajian berikut ini menunjukkan bahwa argumen China tidak berdasar sama sekali.

9  Argumen Utama  Yang Memperkuat Klaim China di Laut China Selatan 

PERTAMA:   Pada tahun 1947, dunia tidak bereaksi terhadap peta Laut Cina Selatan dengan garis sebelas-dot karena Dunia memang mengabaikan dan tidak mengakui peta tersebut. Peta itu dicatat sebagai bagian tradisi China yang menggambarkan nilai nilai kekuasan tradisional China yang menggambarkan bahwa Dunia (semua yang ada di bawah-langit) berada di bawah otoritas kekaisaran China. Dapatkah China berpendapat bahwa Dunia telah menerima kedaulatan Tiongkok atas Dunia karena tidak ada protes ketika kaisar China menyatakan bahwa dunia berada dalam kekuasaan mereka?
KEDUA: Negara-negara yang memiliki perbatasan dengan Samudra Antartika membentuk Dewan Antartika  dalam upaya untuk membagi sumber daya alam Antartika sesuai dengan aturan UNCLOS. China pernah memiliki sejarah perbatasan dengan Samudra Antartika, dan China diminta untuk bergabung dengan Dewan Antartika  dalam rangka untuk mendapatkan pembagian dari sumber daya alam Antartika, tetapi China tidak ikut dengan alasan bahwa Samudra Antartika  adalah “warisan bersama untuk semua umat manusia”. Jika mereka memahami bahwa Samudra Antartika  adalah “warisan bersama untuk semua umat manusia”, maka kenapa di Laut China Selatan mereka tidak menganggapnya sebagai  warisan bersama untuk semua orang yang tinggal di wilayah pantainya, tidak hanya untuk China?
KETIGA: Masyarakat dari rumpun bahasa Austronesia, lebih khusus rumpun Melayu-Polinesia, adalah manusia pertama yang melayari Laut China Selatan. Tanah air asli mereka adalah belahan selatan China atau Taiwan. Antara 5000-2500 SM, mereka menyeberangi Laut Cina Selatan untuk menjelajahi Filipina, Indonesia dan Malaysia. Dari Asia Tenggara, mereka menyeberangi Samudera Pasifik untuk menjelajahi Melanesia dan Mikronesia pada tahun  1200 SM,  Polinesia pada 1000 SM, Pulau Paskah sekitar tahun 300 AD, Hawaii pada 400 AD dan Selandia Baru pada  800 AD.
Mereka juga melintasi Samudra Hindia untuk menjelajahi Madagaskar pada tahun  0-500 AD. Wilayah Indo-Pacific maritim, termasuk Laut Cina Selatan, adalah laut yang bersejarah bagi mereka. Karena masyarakat Austronesia (nenek moyang orang Filipina, Indonesia dan Malaysia) adalah yang pertama untuk menavigasi Laut China Selatan, mereka adalah orang pertama yang menemukan pulau-pulau di daerah tersebut dan mencari ikan di perairan terkait.
Meskipun mereka tidak mempunyai tradisi tulis menulis untuk merekam penemuan mereka, tetapi jelas  akan sangat menggelikan menyangkal penemuan mereka atas pulau-pulau yang begitu dekat dengan Filipina dan Indonesia dalam rentang sejarah mereka dan dari berbagai fakta yang ada memperlihatkan bahwa mereka mampu menemukan berbagai pulau di Samudera Pasifik yang demikian luas.  By the way, mereka ahirnya kian terdesak dan malah mengungsi dan bahkan menjadi  minoritas  di tanah leluhur  asli mereka. Menjadi lautan internasional  – Laut Cina Selatan (Barat Laut Filipina)
KEEMPAT: Laut Cina Selatan selalu menjadi jalur pelayaran internasional sejak zaman prasejarah. Pedagang India mengarungi lautan itu sejak zaman awal prasejarah, mereka memperkenalkan filosofi India ke Asia Tenggara, yang mengarah pada pembentukan kerajaan berciri khas  India   di seluruh Kepulauan Asia Tenggara waktu itu.
Salah satu kerajaan terkenal waktu itu  adalah Sriwijaya, yang terletak di Indonesia (Palembang) pada abad ke-7 dan melaksanakan kegiatan kemaritiman terkemuka di Laut China Selatan. Selama rentang waktu tersebut, pengaruh peradaban Cina di Asia Tenggara terbatas hanya sampai ke Vietnam sedangkan pengaruh peradaban India adalah dominan sepanjang Kepulauan Asia Tenggara, menunjukkan para pedagang India yang sangat aktif di Laut Cina Selatan.
Pedagang Persia dan Arab juga mengharungi laut China selatan, memperkenalkan Islam ke Indonesia dan Filipina. Orang-orang Arab bahkan menetap di Guangzhou selama abad ke-7. Seorang biarawan abad ke-7 Cina, I-Tsing, pergi Ziarah  ke India dengan mengawali perjalanannya dari Guangzhou dengan menumpang kapal Persia, berhenti di Sriwijaya sebelum berlanjut ke India.
KELIMA: Bahkan kalaupun sekiranya dan jika orang-orang China adalah manusia  pertama untuk mengarungi Laut China Selatan (tidak benar), China tidak bisa mengklaim kedaulatan atas wilayah laut  yang digunakan oleh banyak negara lain. Filipina, Indonesia dan Malaysia tidak mengklaim kedaulatan atas Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik meskipun leluhur mereka adalah Austronesia manusia pertama yang mengarungi  perairan tersebut.
Norwegia tidak mengklaim kedaulatan atas Laut Norwegia meskipun Viking (Viking) adalah yang pertama yang berlayar dan mengarungi Islandia dan Greenland pada abad ke-9. Portugal tidak mengklaim kedaulatan atas laut di lepas pantai Afrika Barat, laut di sekitar Tanjung Harapan dan Samudera Hindia meskipun Portugis di bawah Bartolomeu Diaz dan Vasco da Gama adalah yang pertama untuk menavigasi perairan tersebut pada tahun 1488 dan 1498. Spanyol tidak mengklaim kedaulatan atas Samudera Atlantik, Selat Magellan dan Samudra Pasifik meskipun Spanyol di bawah Christopher Columbus dan Ferdinand Magellan adalah yang pertama untuk menavigasi perairan tersebut pada tahun 1492 dan 1521. Rusia tidak mengklaim kedaulatan atas Laut Bering meskipun Rusia di bawah Vitus Bering adalah yang pertama untuk menavigasi air yang pada 1741.

Teks China kuno terkait  Laut Cina Selatan 

KEENAM:  Dalam teks-teks China kuno yang menyebutkan pulau di Laut China Selatan tidak menggambarkan penemuan pulau tetapi hanya menggambarkan pengetahuan umum tentang pulau-pulau, pengetahuan bersama antara, pedagang nelayan dan bajak laut dari berbagai kerajaan  yang bernavigasi laut tersebut sejak zaman prasejarah.
Bahwa penulis China adalah yang pertama yang menulis tentang pulau Laut Cina Selatan hanya karena China lebih dulu menemukan cara penlisan dari yang lainnya, bukan karena orang-orang China adalah manusia pertama yang berlayar dan bernavigasi dan menemukan pulau di laut tersebut.  Prinsip ini diilustrasikan dengan baik terkait  Laut Jepang dan Laut Hitam.
Jepang pertama kali muncul dalam catatan tertulis Buku China Dinasti Han di tahun 57 AD dengan uraian sebagai berikut: “Di seberang laut dari Lelang adalah orang-orang dari Wa”. Lelang adalah pos militer Kekaisaran Han di Korea dan Wa adalah milik Jepang. Laut antara Lelang dan Wa sekarang dikenal sebagai Laut Jepang. Penulis China adalah yang pertama yang menulis tentang Jepang dan Laut Jepang karena China menemukan ilmu tulis menulis lebih awal, bukan karena orang-orang China adalah yang pertama yang bernavigasi di Laut Jepang atau yang pertama untuk menemukan Jepang.
Masyarakat Korea dan Jepang hidup berkat Laut Jepang,  sejak zaman prasejarah mereka berlayar ke laut itu untuk mencari ikan dan berdagang antara satu sama lain, dan tahu tentang keberadaan satu sama lain sejak zaman prasejarah, jauh sebelum penulis China menulis tentang Jepang dan Laut Jepang.
Laut Hitam pertama kali muncul dalam catatan tertulis pada abad ke-5 SM yang di tulis  penyair Yunani sebagai “Pontos Axeinos”. Pada abad ke-5 SM, orang Yunani telah mendirikan banyak koloni di Laut Hitam. Penulis Yunani adalah yang pertama yang menulis tentang Laut Hitam karena Yunani menguasai tradisi tulis menulis lebih awal, bukan karena orang Yunani yang pertama kali menemukan atau yang pertama untuk bernavigasi di Laut Hitam. Ada orang lain yang tinggal di tepi Laut Hitam bersama dengan Yunani dan telah berlayar ke laut itu untuk mencari ikan dan berdagang sejak prasejarah, meskipun mereka tidak mampu menulis nya, karena mereka memang belum tahu cara tulis baca.  Laut Hitam, seperti Laut Cina Selatan, adalah warisan bersama untuk semua orang yang tinggal di pantainya.
KETUJUH: teks-teks China kuno yang menyebutkan pulau Laut Cina Selatan serta menyebutkan pulau-pulau disekitarnya sebagai tanah asing, bukan sebagai wilayah China, dan tidak menggambarkan mana kegiatan otoritas China kuno dilakukan di pulau-pulau tersebut. Oleh karena itu, tidak ada bukti yurisdiksi China atas pulau-pulau tersebut. Dalam kasus gosong Scarborough, China menyatakan bahwa para pejabat Kubilai Khan adalah yang pertama yang memetakan dan membangun yurisdiksi atas pulau-pulau tersebut pada tahun 1279. Namun, Kubilai Khan adalah Khan Agung dari Kekaisaran Mongol yang menaklukkan China. Jika negara manapun dapat mewarisi Gosong Scarborough dari Kubilai Khan, itu adalah Mongolia, bukan China.
Pada 1279, pejabat Kubilai Khan tidak “menemukan ” atau terdapat adanya “tataran yurisdiksi yang mapan” di gosong Scarborough  karena tempat itu sudah jadi laut bersejarah dan area penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Filipina, keturunan para pelaut Austronesia yang berlayar di  Laut Cina Selatan dan dihuni oleh orang orang Filipina pada 5000-2500 SM. Kawasan Scarborough dikenal sebagai “Bajio Masinloc de”, yang berarti kawasan Masinloc, dalam peta Spanyol buatan dari Filipina pada 1734. Masinloc bukan kata Spanyol dan merupakan nama sebuah kota di pulau utama Filipina, menyatakan bahwa nelayan Filipina telah ke dan dari serta telah memberi nama pulau sesui lidah mereka sendiri selama berabad-abad.
DELAPAN: peta resmi dari Dinasti Yuan dan Dinasti Ching
dot


DELAPAN: peta resmi dari Dinasti Yuan dan Dinasti Ching, termasuk sampai  Da Qing Zhi Sheng Quan Tu (diterbitkan tahun 1862) dan Huang Chao Yi Tong Yu Di Zen Du (diterbitkan tahun 1894), menunjukkan bahwa wilayah  paling selatan China berakhir di pulau Hainan (lihat di samping).

AKHIRNYA: (9) Kerajaan Tiongkok berasal di lembah sungai Kuning dan akhirnya menaklukkan banyak negeri dan masyarakat, termasuk Tibet dan Sinkiang, itulah sebabnya mengapa China adalah multietnis, multi-bahasa negara. Pada saat China diduga menemukan pulau Laut Cina Selatan, perbatasan China di daratan itu tidak seperti sekarang ini. Tibet dan Sinkiang adalah negara independen dari Tibet dan Uighur, masing-masing. Orang-orang Tibet dan Uighur  menuntut penentuan nasib sendiri. Tiga puluhan biksu Tibet telah membakar dirinya sampai mati untuk menarik perhatian kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat di bawah kekuasaan China. Jika China serius tentang klaim sejarah, ia harus kembali ke perbatasan sejarah di daratan, kembalikan Tibet dan Sinkiang ke Tibet dan Uighur sebagai pemilik yang sah.

China tahu bahwa argumen dia untuk mengklaim kedaulatan atas Laut Cina Selatan dan semua pulau di wilayah itu sebagai sesuatu  yang tak berdasar, masalahnya mengapa Cina menolak undangan Filipina ‘untuk menyerahkan sengketa ke pengadilan internasional.

Selasa, 26 Maret 2013

Selesaikan Masalah Sulu Dengan Kearifan Lokal, Kawasan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com



Selesaikan Masalah Sulu Dengan Kearifan Lokal, Kawasan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com



Sangat Sulit Selesaikan Masalah Sulu

Dalam Tajuk Kompas 23 Maret 2013 menuliskan bahwa Sangat Sulit Selesaikan Masalah Sulu.  Tajuk itu menuturkan Sultan Sulu meminta Indonesia lebih berperan menjembatani permasalahan antara Malaysia dan Kesultanan Sulu terkait krisis Sabah. Permintaan itu dikemukakan Sultan Sulu Jamalul Kiram III dalam wawancara dengan harian ini di Taguig City, sekitar 30 kilometer selatan Manila, Filipina, Rabu (20/3) sore. Ia juga mengatakan, perundingan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak.
Selintas tidak ada yang luar biasa dari permintaan itu karena Jamalul hanya menginginkan agar Indonesia menjembatani krisis yang terjadi antara Malaysia dan Kesultanan Sulu. Namun, jika didalami, tampak jelas masalahnya tidaklah sesederhana itu. Mengingat pada saat ini, sesungguhnya kekuasaan Kesultanan Sulu sudah tidak ada lagi. Kesultanan Sulu telah melebur dengan Filipina pada tahun 1899. Sejak itu, Kesultanan Sulu sekadar simbol kepemimpinan agama dan adat.
Kesultanan Sulu berdiri pada tahun 1450 di Kepulauan Mindanao, selatan Filipina. Pada masa keemasannya, wilayah kekuasaan Kesultanan Sulu membentang dari Mindanao hingga bagian timur Sabah di Kalimantan Utara. Ketika Spanyol menduduki Filipina tahun 1885, wilayah Kesultanan Sulu di Mindanao diserahkan kepada Spanyol. Sementara wilayah Kesultanan Sulu di bagian timur Sabah dikuasai Inggris. Pada tahun 1899, ketika Amerika Serikat mengambil alih Filipina dari Spanyol, Kesultanan Sulu di Mindanao masuk wilayah Filipina.
Pada tahun 1962, Sultan Sulu Mohammad Esmail Kiram menyerahkan wilayah Kesultanan Sulu di bagian timur Sabah (yang saat itu dikuasai Inggris) kepada Filipina. Hal itu dengan harapan Filipina akan memperjuangkan untuk mendapatkan kembali wilayah timur Sabah dari Malaysia. Namun, satu tahun sesudahnya, tahun 1963, Federasi Malaysia dibentuk, dan wilayah Sabah dijadikan salah satu negara bagian Malaysia.
Nama Kesultanan Sulu kembali muncul ke permukaan ketika ada sekelompok pendukung Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang sebagian melengkapi diri dengan senjata menyusup ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia, Februari lalu. Disebutkan, jumlahnya mencapai 234 orang. Menurut Jamalul, ia tidak pernah memerintahkan warganya untuk berperang di Sabah. Mereka pergi atas kemauan sendiri.
Aparat keamanan Malaysia mengepung kelompok bersenjata pendukung Sultan Sulu itu dan meminta mereka menyerahkan diri. Namun, kemudian terjadi bentrokan, dan aparat keamanan Malaysia menggempur kelompok tersebut hingga kocar-kacir dan bersembunyi di hutan. Melihat kompleksitas masalah tersebut, sebaiknya Indonesia bersikap sangat hati-hati sebelum melibatkan diri. Rasanya Menteri Marty Natalegawa menyadari hal itu. ”Konflik Sabah adalah masalah yang sangat kompleks karena mengandung persoalan sejarah,” ujarnya.

Masalah Komplek Dalam Penyelesaian Sederhana

Cara Malaysia menyelesaikan masalah kedaulatannya itu adalah hak mereka dan kita tidak mengggurui mereka untuk itu. Tetapi apa yang mereka lakukan terhadap “warga pendatang Sulu” itu, dengan mengerahkan kekuatan penuh militer gabungan udara, laut dan darat telah mencengangkan banyak pihak. Terlebih lagi, setelah mereka memberi “label” teroris kepada warga Sulu yang “menuntut haknya”.
”Saya kecewa dengan Malaysia karena warga saya disebut teroris. Kini mereka telah menjadi korban,” kata Sultan Sulu, Kiram yang didampingi istrinya, Fatima Celia Kiram, dan juru bicara Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, ketika Kompas menanyakan perkembangan terakhir krisis Sabah. Kiram mengatakan, ia tidak pernah memerintahkan warganya untuk berperang di Sabah. November tahun lalu, beberapa orang meminta izin untuk masuk ke Sabah, tetapi ia tidak mengizinkan.
Ia bahkan mengaku menangis menghadapi permintaan beberapa orang. Akan tetapi, ternyata mereka tak bisa dicegah lagi. Ia mengatakan, ada 234 pengikutnya yang masuk ke Sabah dengan biaya sendiri. “Kami berharap Indonesia melakukan sesuatu untuk kami,” kata Kiram, yang menyebut Indonesia terlibat dalam urusan Sabah dengan menandatangani perjanjian Manila Accord pada 31 Juli 1963.
Dalam perjanjian itu disebutkan, Indonesia dan Filipina menyambut baik berdirinya Federasi Malaysia, yang memasukkan sebagian wilayah Pulau Kalimantan (termasuk Borneo Utara atau Sabah), selama dukungan rakyat wilayah-wilayah tersebut dipastikan oleh otoritas independen dan tidak memihak, yakni Sekretaris Jenderal PBB atau pihak yang mewakili. ”Saya berkeinginan masalah ini dirundingkan melalui PBB yang melibatkan sejumlah pihak. Indonesia adalah salah satu pihak yang kami pandang netral dalam kasus ini,” kata Kiram. Ia juga ingin melibatkan beberapa negara lain yang mengetahui batas pasti wilayah Kesultanan Sulu, seperti AS, Spanyol, Belanda, Jerman, dan tentu saja Inggris, pemain kunci dalam masalah Sabah.

Bila Malaysia Berbaik Hati Masalah Bisa di Perkecil

Apa yang terjadi pada Sultan Sulu adalah realita bagaimana seorang Pimpinan suatu Negeri mengantisipasi perubahan zaman. Sebagai warga Filipina dan menyerahkan otoritas wilayah Sulu kepada pemerintah Filipina untuk memperjuangkannya, ternyata membawa malapetaka. Filipina yang dia harapkan bisa memperjuangkan wilayahnya, ternyata hanya jadi sia-sia. Filipina dan Indonesia adalah penanda tangan perjanjian MANILA ACCORD PADA 31 JULI 1963. Perjanjian yang merestui  Sabah masuk Malaysia selama itu hasil pilihan rakyat secara sukarela. Padahal jelas-jelas Sultan Sulu mengamanatkan pada pemerintah Filipina bahwa masalah Sabah adalah wilayah kesultanannya.
Kalau Sultan Sulu membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional, jelas akan membutuhkan waktu lama dengan memerlukan dana yang besar. Khususnya untuk membayar para ahli hukum yang akan mempertahankan haknya. Kalau dilakukan secara “grilia” maka mudaratnya akan sangat besar dan pasti akan jadi kancah baru bagi para pejuang yang saat ini tengah berjuang di berbagai belahan bumi Asia-Pattani di Thailand-Poso, Aceh- Indonesia-Mindanao Filipina. Kalau hal ini mendapat dukungan dana “sedikit saja” dari Timur Tengah, maka lengkaplah sudah pergolakan itu akan jadi magnit yang sangat menjanjikan.
Cara sederhana adalah dengan mengharapkan Malaysia mau merangkul Sultan Sulu dan melokalisir agar permasalahan ini hanya terbatas pada mereka saja. Pilihannya juga masih banyak, bisa lewat konpensasi, bisa juga dengan menjadikannya dan pengikutnya bagai warga kehormatan yang memperoleh legitimasi dari pemerintah Malaysia. Terlebih lagi di Sabah saat ini banyak warga Filipina yang dianggap sebagai pendatang haram atau warga kelas dua dst. Bagaimana mereka memformulasikannya; ya hanya merekalah yang bisa melakukannya. Dan setelah mereka menemukan solusi, barulah dibuatkan “Traktat”nya.

Jumat, 15 Maret 2013

Wilayah Pertahanan, Kalau Hongkong Dikembalikan Kenapa Sabah-Sulu Tidak | WilayahPertahanan.Com

Wilayah Pertahanan, Kalau Hongkong Dikembalikan Kenapa Sabah-Sulu Tidak | WilayahPertahanan.Com


Oleh SM Noor


Leo Lapoulisa mengemukakan bahwa untuk memelihara persaudaraan dan kekerabatan antar negara ASEAN, kiranya Pemerintah Filipina melepaskan saja klaimnya atas Sabah. Pernyataan Leo ini sungguh-sungguh membuat Marcos marah dan saat itu juga Marcos meminta Departemen Luar Negeri Filipina mengeluarkan surat pernyataan persona nongrata yang meminta Leo Lapoulisa segera meninggalkan Filipina dalam waktu 1 x 24 jam. Demi persahabatan dan hubungan baik dengan Filipina, Jakarta terpaksa menarik kembali Leo Lapoulisa.
Filipina sesungguhnya sampai hari ini belum mengeluarkan pernyataan resmi melepaskan klaimnya atas Sabah, suatu wilayah subur dan indah di timur laut Kalimantan. Filipina beranggapan, wilayah itu adalah wilayah nenek moyang mereka dan sudah ditempati turun-temurun Keluarga Sultan Sulu hingga Pemerintahan Federal Kerajaan Malaysia mengusir mereka. Karena itu, Filipina tidak akan melepaskan klaim yang berdasarkan sejarah tersebut sampai sekarang sekalipun pemerintah Benigno Aquino III meminta para penyusup bersenjata ke Sabah tersebut untuk menyerah.
Adalah sangat memprihatinkan sesungguhnya ketika Malaysia dengan emosional melakukan pengepungan bersenjata untuk mengusir para penyusup dengan paksa sehingga menewaskan 14 penyusup (Kompas, 2/3), disusul penyerangan lima polisi Malaysia (Kompas, 4/2). Insiden ini sesungguhnya memang cukup sulit penyelesaiannya karena sampai hari ini Filipina masih mengklaim Sabah adalah wilayah integral mereka.
Malaysia tentu saja tidak akan meminta bantuan Filipina untuk mendeportasi warga mereka. Bahkan, terkesan saran yang dilontarkan Presiden Aquino III setengah hati, tidak menunjukkan gelagat diplomatik yang serius. Negara-negara ASEAN lain juga tidak berani mengemukakan pernyataan penyelesaian karena wilayah ini sungguh merupakan wilayah yang sangat sensitif bagi kedua negara, bahkan wilayah panas bagi mereka berdua.

Batas klaim sejarah

Sebagai orang Maluku, kita tidak paham pernyataan yang dikemukakan Leo Lapoulisa di Bulletine Today tersebut meskipun menyangkut klaim unilateral yang dilakukan para raja atau dinasti berdasar klaim sejarah. Apa yang diklaim Belanda ketika memegang koloni di Indonesia adalah berdasarkan penetapan unilateral yang dilakukan raja-raja Nusantara. Sebagai contoh, Belanda mengklaim wilayah Papua Barat karena hal itu berdasarkan penetapan secara unilateral yang dilakukan Sultan Ternate.
Ketika Belanda datang sebagai penguasa koloni, ditetapkanlah seluruh Kepulauan Maluku, termasuk wilayah Papua Barat, sebagai batas wilayah kekuasaan Sultan Ternate. Sebagian wilayah itu sesungguhnya sudah dimasuki Inggris dari timur (Papua Niugini) dan dari selatan (Australia), tetapi Belanda tetap bertahan berdasarkan patok-patok yang ditetapkan Sultan Ternate. Atas dasar itulah, Belanda dan Inggris melakukan perjanjian di Den Haag dan menetapkan wilayah-wilayah batas yang mereka klaim masing-masing, dan Belanda tetap mempertahankan semua batas-batas wilayah yang ditetapkan Sultan Ternate secara unilateral.
Inggris mengakui klaim Belanda berdasar patok sejarah yang diletakkan Sultan Ternate dan menarik seluruh wilayah koloninya di Papua Barat. Contoh sama dilakukan klaim oleh unilateral yang dilakukan Sultan Bulungan di Kalimantan yang dijadikan dasar pada Perjanjian London yang melahirkan Konvensi London 1893 antara Belanda dan Inggris yang menjadi landasan perbatasan Kalimantan sekarang.
Berdasar catatan Profesor Harry Roque dari Universitas Filipina (Kompas, 5/3), pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan wilayah Sabah ke Sultan Sulu atas bantuan yang diberikan dalam melawan pemberontakan di Brunei. Pada masa penjajahan Inggris tahun 1878, wilayah Sabah disewa British North Borneo Company. Perusahaan ini membayar uang pajak senilai 1.600 dollar AS per tahun. Kontrak ini dipandang sebagai manifestasi pengakuan Inggris atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah. Uniknya, kontrak yang sama dibayarkan Malaysia ketika Inggris meninggalkan Sabah dan menyerahkan wilayah konsesi tersebut kepada Malaysia. Sewa yang dibayarkan Malaysia selama ini tetap dipandang sebagai manifestasi pengakuan Malaysia atas wilayah Kesultanan Sulu di Sabah.
Gambaran apa yang tampak dari petikan di atas menandai sesungguhnya bahwa penetapan batas negara berdasarkan sejarah (historical boundary) telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law) sebagai awal penetapan batas wilayah negara. Contoh kasus yang paling populer kini adalah klaim China atas Laut China Selatan. China Menganggap seluruh wilayah Laut China Selatan adalah wilayah milik Dinasti Ming di bawah pemerintahan Kaisar Yung-lo (1473).
Ketika Yung-lo berkuasa, panglimanya yang bernama Cheng-ho membuat peta pelayarannya selama 15 tahun dan membangun wilayah gugus kepulauan di daerah selatan tersebut. Dalam peta yang dibuat Cheng-ho, wilayah-wilayah seluruh gugus kepulauan di Laut China Selatan tersebut disebutnya sebagai Nansha Chuntao. Meskipun demikian, penetapan berdasar sejarah memang sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan karena berbenturan dengan penetapan wilayah berdasar prinsip keadilan hukum (median line atau equidistance line).

Latar sewa-menyewa

Menarik dalam studi sejarah hukum ini (seperti dikutip Kompas, 4/3), persoalan awalnya muncul ketika Inggris memerdekakan Malaysia tahun 1963 saat Sabah dinyatakan masuk wilayah Malaysia, secara sepihak Inggris menginterpretasikan isi kontrak secara berbeda. Inggris menganggap uang sewa yang dibayarkan untuk pengalihan hak milik yang seterusnya diwariskan kepada Pemerintah Malaysia agar suatu saat diselesaikan hak kepemilikan itu kepada Malaysia. Pihak Kesultanan Sulu menganggap uang itu tetap uang sewa dan kepemilikan tetap ada pada Sultan Sulu. Itu sebabnya Prof Roque berpendapat, ”Dalam opini saya, uang itu seharusnya memang tetap uang sewa karena tidak ada penjualan yang harganya tidak tetap dan terus dibayar sampai kiamat.”
Barangkali, berdasar pada interpretasi hukum yang berbeda tersebut, Presiden Marcos sangat berkeras untuk mempertahankan wilayah Sabah sebagai bagian integral dari Filipina. Adapun nuansa politik yang muncul akibat Perjanjian Damai antara Pemerintah Filipina dan Kelompok MILF dengan mengabaikan Kesultanan Sulu adalah persoalan lain. Uji materi dari Mahkamah Internasional, sesungguhnya dalam menyelesaikan sengketa ini, tidak bisa berdasar pada penguasaan efektif (effective occupation) semata seperti yang mereka terapkan pada kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia karena bukti-bukti sewa-menyewa sampai hari ini masih berlangsung.
Analogi hukum yang sama sesungguhnya terjadi pada sewa-menyewa atas wilayah Hongkong dan Makau selama 100 tahun oleh Inggris atas China, 28 Maret 1897 di Peiping (Bejing sekarang) dan sewa-menyewa pangkalan militer antara Filipina dan Amerika Serikat di Subic Bay dan Clark Field selama 32 tahun, 14 Maret 1947-14 Maret 1990.
Setelah berakhirnya Perang Candu (opium war) 1895, ditandatangani perjanjian penyewaan Hongkong oleh Kaisar Dinasti Manchu, I Kuang Ching, 28 Maret 1897, dengan utusan Ratu Victoria dari Inggris, Lord Berersford. Pada waktu bersamaan, Pulau Makau disewakan kepada Portugis oleh raja yang sama dengan tenggang waktu sama, 100 tahun. Tiga pergolakan politik di China, Revolusi Republik Nasionalis Oktober 1911, dan Revolusi Komunis 1949 tidak membatalkan sewa-menyewa tersebut.
Inggris tetap mengakui status Hongkong sebagai wilayah China sampai dikembalikan tahun 1997. Sementara penyewaan pangkalan militer AS di Subic Bay dan Clark Field ditandatangani pada 21 Januari 1948 di bawah pemerintahan Presiden Manuel V Roxas dan Dubes AS untuk Filipina Paul V Me Nutt sebagai wakil Pemerintah AS. Perjanjian itu tenggang waktunya 42 tahun. Di zaman Presiden Filipina Corazon Corry Aquino (ibunda Presiden Aquino III sekarang) berkuasa, AS meminta perpanjangan sewa pangkalan militer mereka, tetapi ditolak Corry sehingga militer AS angkat kaki dari Filipina.
Perjanjian penyewaan Hongkong-Makau dan Subic Bay-Clark Field jelas statusnya. Bagaimana dengan Sabah yang sampai hari ini Malaysia masih membayar uang sewa terhadap Kesultanan Sulu? Jika berdasar pada patron sewa-menyewa itu, bagaimana status hukum wilayah itu kemudian dalam pengujian Mahkamah, baik Mahkamah Internasional maupun Mahkamah Arbitrasi? Agak sayang memang karena Benigno Aquino III tak setegas Marcos menghadapi tuntutan Sabah atas Malaysia.
Aquino III agaknya lebih banyak ditaktiki Malaysia yang memang sangat terkenal gigih dan kuat dalam soal klaim-klaim wilayah. Indonesia saja sudah kalah satu kosong atas sengketa Sipadan-Ligitan, berikutnya mengancam sengketa Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Atau, barangkali memang sudah ada niat dari Aquino III untuk menyerahkan Sabah kepada Malaysia demi solidaritas dan persaudaraan ASEAN? Kita Tunggu !
SM Noor Guru Besar dan Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Jumat, 08 Maret 2013

Menjadikan Wilayah Sabah, Poso, Pattani dan Papua Sebagai Pusat Pertumbuhan Konektivitas Asean | KawasanPerbatasan.com

Menjadikan Wilayah Sabah, Poso, Pattani dan Papua Sebagai Pusat Pertumbuhan Konektivitas Asean | KawasanPerbatasan.com




Apa yang terjadi di Sabah, Malaysia; Pattani Thailand Selatan dan Poso, Indonesia meski tidak bisa di samakan polanya, tetapi ada kesamaannya yakni perjuangan pada sesuatu yang lebih adil dan saling menghargai. Masalah milisi Sulu di Sabah misalnya, apakah itu akan dibiarkan begitu saja? Percayalah selama ketidak adilan masih ada, maka akan datang pejuang yang mencari ke adilan. Begitu juga dengan Sultan Sulu di Sabah; selama hak hak mereka tidak diperhatikan, pasti akan selalu ada pejuang Sulu yang akan mewujudkannya. Kalau tidak sekarang ya puluhan tahun yang akan datang, tetapi itu pasti datang. Hal seperti itu, adalah sesuatu yang pasti dan itu sesuai dengan hukum alam.

Soal mereka masih tidak bisa mendapatkan apa-apa saat ini, maka siapa tahu 50 tahun lagi mereka akan lebih mampu. Ingat apa yang terjadi di Lahad Datu adalah upaya memperlihat penuntutan hak yang telah lepas, setidaknya merasa diabaikan sejak tahun 1963 saat Malaysia merdeka. Ingat setahun sebelum Malaysia merdeka tahun 1972, delegasi resmi pemerintah Filipina telah menghadap penguasa Inggeris di London dan mengingatkan bahwa Sabah adalah milik Filipina. Tetapi ternyata, Inggris punya kalkulasinya sendiri, dan jadilah Sabah sebagai bagian dari Malaysia.

Masalah Pattani, Thailand Selatan

Persoalannya meski agak berbeda tetapi hal ini sebenarnya adalah hasil kerja Inggris di wilayah pendudukannya. Sederhananya, wilayah Selangor di tukarkan dengan wilayah Pattani dengan maksud agar tidak terjadi enklap wilayah. Hal serupa sebenarnya di lakukan Inggeris juga dengan Belanda terhadap Bengkulu. Bengkulu di tukarkan dengan wilayah Singapura. Persoalannya di pattani, ada ketidak adilan, ada sentimen agama dan ada pembiaran ketidak adilan. Wilayah Pattani selama puluhan tahun, seolah dibiarkan tidak dibangun insfrastrukturnya, dan juga kepada para warganya tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Maka merekapun berontak, dan hingga kini masih terus “membara”.

Masalah Poso, Papua? Dimana Permasalahannya?

Poso jadi mengemuka, semata-mata karena posisinya yang strategis bagi mereka yang merasa “diburu” di negaranya sendiri. Wilayah ini jadi lokasi pelatihan yang ideal dan sesuai dengan berbagai pertimbangan lainnya. Yang jadi masalah di sini adalah persoalan stigma “teroris” yang selama ini dilabelkan pada satu atau beberapa gerakan ekstrim yang tidak bisa diakomodir pemerintah Indonesia. Tetapi ada apa sebenarnya permasalahannya? Aceh yang begitu kental dan kuat secara ideology, ternyata juga masih ada persamaan yang bisa dibangun bersama; asal masalahnya ditangani secara adil dan bermartabat.

Ada apa dengan Papua?

Papua bukan pada OPMnya, bahwa Papua sudah jadi bagian NKRI itu sudah final. Dan itu sudah diakui oleh PBB. Tetapi masalahnya ada pada ketidak mampuan manajemennya. Di sana ada UU Otsus dan sangat pro Papua, tetapi “para pihak” bukan membangun manusia Papuanya, tetapi justeru mereka (pemda-Pusat) saling ‘telikung” dan “mengkorupsi” dana pembangunan yang seharusnya untuk membangun warga Papua. Indikasinya bisa dilihat dari tidak adanya perda yang jadi turunan UU, sehingga UU Otsus itu hanya sekedar macan “pembangun” diatas kertas. Tetapi tidak bisa operasional.

Kalau kita melihat empat wilayah tersebut, maka persamaannya adalah adanya ketidak adilan yang terus terjadi di wilayah tersebut. Bagi mereka yang tengah berada pada posisi “memimpin” dan mendapatkan kesejahteraan, kondisi itu mungkin sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan berbagai perjuangan yang disuarakan oleh mereka-mereka yang tertindas hanya dilihat sebagai mengada-ada. Padahal bagi mereka yang tengah ditindas, di “kadali” tentulah tidak punya alternatip lain, kecuali melawan. Melawan kesewenang-wenangan.

Asean Mestinya Memberi Tempat

Sebagai sesama anggota Asean, hal-hal seperti ini justeru jangan dianggap sebagai interpensi masalah dalam negeri masing-masing. Tapi harus dilihat dari upaya memberi keadilannya. Bayangkan kalau para “pemberontak” dan/ atau penuntut ketidak adilan itu diberi tempat di dalam Asean, maka dipercaya akan banyak hal yang bisa di lakukan. Minimal mereka bisa mempunyai saluran resmi dan terhormat dan bisa mencari solusi yang lebih baik bagi kawasan.

Bersamaan dengan itu, konektiviti Asean dibangun untuk lebih memberi peluang yang lebih baik bagi pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang selama ini terabaikan tersebut. Sepertinya Asean, memang patut juga untuk memberikan tempat bagi mereka yang menuntut ke adilan di wilayah di kawasan ini.

Kamis, 07 Maret 2013

Wilayah Pertahanan, Kinerja Intelijen dan Pendudukan Lahad Datu | WilayahPertahanan.Com

Wilayah Pertahanan, Kinerja Intelijen dan Pendudukan Lahad Datu | WilayahPertahanan.Com




Bagi kalangan awam seperti kita, sulit bisa dicerna oleh pikiran kita. Bagaimana mungkin sebuah gerakan “pasukan” dengan jumlah ratusan personil “lengkap” dengan pakaian “kebesarannya” bisa masuk ke suatu wilayah negara berdaulat seperti Malaysia tanpa ada tindakan pencegahan?

Seperti kita ketahui, “Pendudukan” Sabah yang menghebohkan itu sebenarnya sudah di mulai pada tanggal awal Februari 2013. Saat itu ada rombongan perahu bermotor penuh muatan senjata dan manusia berseragam ala militer yang merapat di pantai dekat Lahad Datu, Sabah Malaysia Timur. Banyak diantara mereka terlihat lengkap dengan senjata berat.

Kemudian pada keesokan harinya gerombolan pendatang itu sudah terlihat merapat perkampungan perkebunan dekat Lahad Datu, kejadian itu kemudian di laporkan penduduk pada Polisi maka terjadilah “Drama pendudukan Sabah”. Hari hari berikutnya, rombongan besar terus mengalir, dan entah kenapa pasukan penjaga perbatasan Malaysia nampaknya jauh dari siap. Ibarat serangan dadakan, semua sudah terlambat.  Ternyata tokoh di belakang semua ini adalah Jamalul Kiram III, Sultan Sulu dari Filipina.

Hal yang kurang lebi sama juga di alami oleh TNI kita di Papua.  Seperti kita ketahui juga Pemerintah mengutuk keras tindakan brutal yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa delapan anggota TNI di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak, Papua, pagi 21 Februari 2913. Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam siaran persnya di kantor Kemenko Polhukam, Kamis 21 Februari 2013 di Jakarta membeberkan kronologi kejadian bahwa pada pagi tersebut. Pada pukul 09.30 WIT, telah terjadi penyerangan terhadap Pos Satgas TNI di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, oleh kelompok-kelompok bersenjata.

Penyerangan ini mengakibatkan satu anggota Satgas TNI gugur atas nama Pratu Wahyu Bowo. Pratu mengalami luka tembak pada dada dan leher."Serta satu korban luka atas yakni Danpos Satgas atas nama Lettu Inf Reza. Ia mengalami luka tembak pada lengan kiri,"  siaran per situ lebih lanjut  mengatakan, berdasarkan perkiraan intelijen yang dimiliki aparat, daerah tersebut diindikasikan merupakan tempat aktivitas kelompok bersenjata api Goliat Tabuni.

Selain itu, pada pukul 10.30 WIT telah terjadi penghadangan dan penyerangan oleh kelompok bersenjata di Kampung Tanggulinik, Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, terhadap 10 anggota Koramil Sinak, Kodim 1714/ Puncak Jaya, yang sedang menuju Bandara Sinak untuk mengambil radio kiriman dari Nabire. Kejadian tersebut mengakibatkan tujuh anggota TNI gugur, atas nama Sertu Ramadhan, Sertu M Udin, Sertu Frans, Sertu Edi, Praka Jojon, Praka Wemprik, dan Pratu Mustofa.

Lemahnya Deteksi Dini

Kalau di Malaysia, kita juga tidak tahu persis cara kerja kalangan intelijen mereka. Tetapi sebenarnya ilmunya sangat sederhana sekali. Dimanapun para aparat intelijen selalu meng up-date kejadian yang ada di seluruh yurisdiksi kerjanya. Hal itu bisa dalam lingkup regional, nasional dan lokal serta kejadian yang sangat khusus. Semua data itu, bila di plotkan diatas Peta, sebenarnya kejadian demi kejadian itu sudah mampu menceritakan “kejadian” yang sebenarnya. Kalau para analis intelijennya baik, maka mereka sudah tahu persis mana kejadian utama, kejadian “bulsit” atau pengalihan dan mana persoalan yang sesungguhnya.

Dengan pemikiran yang sangat sederhana seperti itu, maka sesungguhnya “pendudukan” Lahad Datu tidak akan bisa terjadi. Karena kejadian itu sudah terdeteksi jauh sebelum mereka bergerak. Jadi kita sangat heran dengan kemampuan intelijennya Malaysia.

Hal yang sama persis yang juga mengherankan kita yakni kejadian penyerangan dan penghadangan TNI di Papua. Kalau intelijennya bekerja dengan baik, maka jangankan untuk bisa menyerang Pos dapat mendekat saja para “perusuh” itu tidak akan mampu. Karena apa? Karena pergerakan mereka semua terekam dengan baik dalam informasi yang secara teliti dikumpulkan, di klarifikasi, diuji dan ditindak lanjuti dan dilucuti sehingga para perusuh itu sebenarnya tidak punya kesempatan untuk bertindak.

Tapi itu tadi, cara berpikir kita hanya cara berpikir logika saja, dan bagi kita hal seperti itu hanya bisa terjadi di dunia” intelijen Melayu”. Intelijen melayu ini selalu dipersonifikasikan kepada mereka yang “sok” sangat ahli dalam bidang intelijennya; padahal karakter dan kemampuannya jauh dari seorang intel yang kinerjanya biasa saja. Padahal kalau mereka mencatat semua kejadian sosial, budaya, ekonomi atau yang dulu kita kenal dengan Ipoleksushankam yang ada disekitarnya, menghubungkannya dengan tradisi dan persoalan yang lagi “ngeh” atau “in” maka sebenarnya bisa tebaca apa yang bakal terjadi.

Selasa, 05 Maret 2013

Wialayah Pertahanan, Kemampuan Mobilisasi Udara POLRI dan TNI Vital untuk Daerah Konflik dan Perbatasan. | WilayahPertahanan.Com

Wialayah Pertahanan, Kemampuan Mobilisasi Udara POLRI dan TNI Vital untuk Daerah Konflik dan Perbatasan. | WilayahPertahanan.Com

Saya sangat setuju dengan tulisan  Kiki Syahnakri Black Hawk Lebih Rasional, Kompas 19/2/2013 sebagai senior dan mantan Wakasad, jelas beliau adalah nara sumber yang sahih. Permasalahan postur dan persepsi ancaman memang sering jadi pabaliut, silang siur. Terkait rencana TNI Angkatan Darat berencana membeli 44 helikopter, terdiri dari 24 unit Bell 412 dan 20 unit Black Hawk, Kiki sangat setuju begitu juga saya. Menurutnya, pembelian helikopter itu merupakan bagian dari rencana pembangunan postur TNI AD.
Pandangannya Formula pembangunan postur militer seharusnya mengalir dari proses penghadapan (wargaming) antara ancaman nyata maupun potensi yang dihadapi dan filosofi pertahanan dan politik luar negeri yang dianut. Dari sana dibangun konsepsi sistem pertahanan atau doktrin, yang secara hierarkis berupa doktrin dasar, induk, dan pelaksanaan. Kemudian, berdasarkan doktrin ini dibuat konsep pokok pengorganisasian militer.
Di sisi lain, dari inventarisasi jenis ancaman yang mungkin dihadapi, didapatkan jenis-jenis operasi militer yang mungkin akan dilaksanakan. Selanjutnya, dari penghadapan antara konsep pengorganisasian dan jenis operasi militer yang mungkin dilaksanakan itulah diperoleh postur yang diinginkan. Postur militer mencerminkan aspek kekuatan, kemampuan, dan penggelaran. Menurut Kiki, kurang tepat jika postur TNI dibangun untuk tujuan perimbangan kekuatan karena akan menimbulkan persaingan senjata yang tak sehat dan membahayakan stabilitas keamanan di kawasan.

Kemampuan Tepat guna

Masih menurutnya, berdasarkan paradigma di atas, Buku PUTIH PERTAHANAN INDONESIA 2008 yang masih berlaku sampai saat ini menempatkan ancaman militer berupa PEMBERONTAKAN BERSENJATA, TERORISME, PELANGGARAN WILAYAH, SABOTASE, DAN KONFLIK KOMUNAL SEBAGAI ANCAMAN YANG PALING MUNGKIN DIHADAPI. Bahkan, kini, dalam iklim kebebasan nyaris tanpa batas yang diembuskan liberalisme, konflik komunal dengan berbagai macam latar disertai tindakan kekerasan tampaknya kian meluas dan meningkat sehingga dinilai dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa. Selain itu, negeri ini secara kodrati memiliki potensi bencana alam yang luar biasa besarnya. Potensi ini pun kian bertambah besar karena kita abai terhadap masalah lingkungan.
Tanpa mengabaikan kemungkinan (kecil) operasi militer konvensional, maka jenis operasi militer yang paling mungkin dilaksanakan TNI ADALAH OPERASI LAWAN GERILYA, PENANGGULANGAN TEROR, PATROLI DAN PENGAWALAN PERBATASAN, OPERASI INTELIJEN, DAN TERITORIAL. Selain melaksanakan tugas perbantuan kepada Polri dalam upaya mencegah, meredakan, atau mengatasi berbagai macam konflik, yang kerap dilakukan adalah tindakan pertolongan darurat, mitigasi, dan rehabilitasi atas bencana alam.

Persoalan Khas Indonesia

Berbagai kejadian belakangan ini memang memperihatinkan. Masalah konflik komunalkian menonjol, dan gerakan sipil bersenjata kian mengeras; menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa. Bentuk konflik yang terakhir tersebut menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius. Selain itu, berbagai tindak kriminal ikut mengancam kehidupan masyarakat. Data dari kepolisian menunjukkan, hingga November 2012 telah terjadi 316.500 kasus kriminal. Jika dihitung, hampir setiap 1 menit 31 detik terjadi tindak kejahatan di masyarakat (Tribunnews, 28/1/2013).
Tak hanya itu, sejumlah konflik antar warga bahkan terjadi beberapa kali di satu wilayah. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, misalnya, sepanjang 2012 terjadi bentrokan berkali-kali. Sementara itu, konflik antarwarga berlatar belakang etnis di Lampung dan Kalimantan Timur telah terjadi sejak bertahun-tahun sebelumnya. Setali tiga uang konflik komunal yang terjadi di Papua. Sejumlah pihak menilai, konflik yang terus berlangsung di masyarakat diakibatkan oleh ketidakmampuan kepolisian menangani persoalan tersebut. Penerbitan Inpres No 2/2013 memungkinkan pelibatan TNI untuk ikut menangani konflik sosial di masyarakat. Aturan hukum ini menjadi payung hukum sementara penugasan aparat TNI membantu Polri.
Dalam dinamika yang demikian maka pilihan yang baik adalah memberikan daya dukung dan gerak bagi aparat territorial dalam artian Polisi serta TNI terbatas. Kemampuan inilah yang justeru sangat terbatas. Hal yang sama juga disampaikan Kiki bahwa dalam melakukan operasi militer serta semua kegiatan di atas, TNI dituntut memiliki kemampuan mobilitas tinggi sehingga deployment pasukan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan masif.
Dalam konteks ini, rencana pengadaan kedua jenis helikopter tadi dinilai sangat tepat, terlebih bila dihadapkan pada konfigurasi wilayah Nusantara dengan segenap karakteristiknya. Jumlah 44 unit atau hampir 3 skuadron besar sangat mungkin untuk di bawah kendali operasikan atau dalam status earmarked bagi beberapa kodam yang memiliki daerah panas dalam wilayahnya sehingga setiap ancaman militer yang dihadapi dapat diantisipasi dan diselesaikan ketika masih embrional.
Kemampuan mobud yang baik akan membuat gerakan pasukan dapat dilakukan lebih cepat dan dukungan logistic bisa diandalkan. Sementara ini justeru kemampuan itulah yang tidak memadai di lingkungan TNI dan POLRI dan itulah juga yang kita lihat di Papua belakangan ini.

Sabtu, 02 Maret 2013

Wilayah Pertahanan, Inpres 2 - MOU Campur Aduk TNI-Polri | WilayahPertahanan.Com

Wilayah Pertahanan, Inpres 2 - MOU Campur Aduk TNI-Polri | WilayahPertahanan.Com


Penerbitan Inpres No 2/2013 dan MOU Nota-Kesepahaman bersama tentang Perbantuan TNI kepada Polri menimbulkan berbagai reaksi. Menurut mereka Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri rawan digunakan kepala daerah untuk kepentingan politiknya. Alasannya, pemerintah daerah kerap menjadi bagian dari konflik horizontal itu sendiri. Ada juga yang melihatnya sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, aturan tersebut dinilai akan dapat menanggulangi berbagai konflik sosial yang belakangan kerap muncul di masyarakat. Namun, di sisi lain, PELIBATAN MILITER dalam penanganan konflik dikhawatirkan akan memicu pelanggaran hak asasi manusia secara masif.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa yang menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius.
Menurut peneliti Imparsial, Gufron Mabruri penerbitan inpres itu memperlihatkan bentuk pelarian dari kegagalan pemerintah dalam mengatasi akar persoalan konflik. Imparsial berpendapat lebih tepat jika pemerintah menyelesaikan akar persoalan berbagai konflik, bukan menggunakan cara-cara represif untuk mengatasinya.
Menurut Abdul Khoir, peneliti Setara Institute, dengan berlindung di balik predikat daerah mengalami gangguan dalam negeri, kepala daerah bisa mengerahkan Polri bahkan TNI. Saat pemilu kepala daerah, misalnya, calon yang sedang berkuasa atau petahana dengan inpres tersebut mendapat justifikasi hukum untuk mengerahkan polisi dan tentara demi kepentingan politiknya. Selain itu, kata Abdul, pemerintah daerah juga kerap menjadi penyebab dan penyumbang konflik sosial.
Direktur Program Imparsial Al Araf melihat, fungsi kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah sebenarnya sudah bersifat koordinatif dengan aparat terkait. Fungsi kepala daerah itu termasuk dalam penanganan dan penyelesaian masalah ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Jadi sebenarnya tidak perlu ada lagi Inpres nomor 2 dan Nota kesepahaman tersebut.
Dinamika Demokrasi
Belakangan ini marak munculnya konflik sosial, seiring dengan pesatnya pembangunan di daerah. Demokrasi telah membuka peluang bagi para pelaksana otonomi daerah untuk membuka usaha di wilayahnya, yang pada gilirannya menimbulkan konflik antara pemilik modal dan masyarakat yang tersisihkan. Konflik kepemilikan tanah merebak karena pemda dan aparat keamanan memihak pada kepentingan pemilik modal. Pertumpahan darah tidak terelakkan. Maunya masyarakat, hal hal yang menjadi penyebab konflik inilah yang sebenarnya perlu di selesaikan secara arif. Sementara dari sisi pemerintah; apapun masalahnya kalau sudah konflik ya harus di ”redam”.
Berbagai kejadian memang menggenaskan. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa. Bentuk konflik yang terakhir tersebut menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius. Selain itu, berbagai tindak kriminal ikut mengancam kehidupan masyarakat. Data dari kepolisian menunjukkan, hingga November 2012 telah terjadi 316.500 kasus kriminal. Jika dihitung, hampir setiap 1 menit 31 detik terjadi tindak kejahatan di masyarakat (Tribunnews, 28/1/2013).
Tak hanya itu, sejumlah konflik antar warga bahkan terjadi beberapa kali di satu wilayah. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, misalnya, sepanjang 2012 terjadi bentrokan berkali-kali. Sementara itu, konflik antarwarga berlatar belakang etnis di Lampung dan Kalimantan Timur telah terjadi sejak bertahun-tahun sebelumnya. Setali tiga uang konflik komunal yang terjadi di Papua. Sejumlah pihak menilai, konflik yang terus berlangsung di masyarakat diakibatkan oleh ketidakmampuan kepolisian menangani persoalan tersebut. Penerbitan Inpres No 2/2013 memungkinkan pelibatan TNI untuk ikut menangani konflik sosial di masyarakat. Aturan hukum ini menjadi payung hukum sementara penugasan aparat TNI membantu Polri.
Jalan Keluar Yang Menyejahterakan
Yang sering kita lihat selama ini, kalau sudah terjadi konflik maka hal itu tidak bisa dibiarkan dan pilihannya hanya ada satu. Hentikan konflik itu, untuk kemudian dilakukan proses hukum. Upaya untuk menghentikan itulah yang mendorong terbitnya Inpres no 2 dan Nota Kesepahaman antara Polisi dan TNI. Kalau dilihat dari sisi manapun ya pasti ada kelemahannya, terlebih lagi misalnya Nota Kesepahaman yang malah bertentangan dengan dengan  UU nya sendiri, akan tetapi secara substansi sebenarnya tidak; sebab TNI sendiri mempunyai Tugas Pokok Operasi Militer Selain Perang.
Demikian juga dengan Inpres no 2 nya sendiri, apa yang disebutkan oleh Direktur Program Imparsial Al Araf yang melihat, fungsi kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah sebenarnya sudah bersifat koordinatif dengan aparat terkait. Masalahnya pada faktanya banyak kepala daerah yang sebenarnya juga tidak memahami perannya sebagai kepala daerah. Sehingga yang muncul adalah adanya semacam pembiaran, Bupati atau Gubernurnya Bingung, Polisinya ke walahan dan TNInya diam menunggu panggilan.
Namun, beberapa pihak menengarai, bisa jadi akan muncul sejumlah persoalan terkait penerbitan aturan tersebut. Pertama, inpres ini dikhawatirkan membuka peluang militer masuk kembali ke ranah kehidupan sipil seperti pada era Orde Baru. Kekuasaan militer menjadi tak terbatas. Pelanggaran hak asasi manusia yang masif berpotensi terulang kembali.
Menurut mereka dalam situasi saat ini pun, ketika polisi masih memegang peran untuk penanganan konflik sosial, sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), baik oleh polisi maupun tentara. Catatan Komisi Nasional HAM menunjukkan, sepanjang tahun 2012, aparat kepolisian merupakan pihak yang paling banyak diadukan masyarakat, dengan 1.635 kasus.
Semua pihak setuju, bagaimanapun, konflik sosial tak mungkin diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan semata. Tetap diperlukan peran serta masyarakat, peran para penggiat HAM dan juga LSM untuk memastikan prosesnya bisa disalurkan pada saluran hukum yang sebenarnya. Bahwa militer akan kembali lagi seperti zaman Orba jelas tidak mungkin, UU telah membentangkan aturannya secara tegas.
Bahwa berdasarkan catatan para penggiat HAM di dalam banyak kasus, penyelesaian konflik lebih sering menggunakan cara-cara represif ketimbang mengatasi akar konflik. Kita juga melihat itu. Kondisi inilah yang menyebabkanbentrokan antarwarga terus berulang semua juga paham. Tetapi sekali lagi semua pihak harus melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan jadikan proses demokrasi ini tetap pada jalurnya.