Jumat, 08 Maret 2013

Menjadikan Wilayah Sabah, Poso, Pattani dan Papua Sebagai Pusat Pertumbuhan Konektivitas Asean | KawasanPerbatasan.com

Menjadikan Wilayah Sabah, Poso, Pattani dan Papua Sebagai Pusat Pertumbuhan Konektivitas Asean | KawasanPerbatasan.com




Apa yang terjadi di Sabah, Malaysia; Pattani Thailand Selatan dan Poso, Indonesia meski tidak bisa di samakan polanya, tetapi ada kesamaannya yakni perjuangan pada sesuatu yang lebih adil dan saling menghargai. Masalah milisi Sulu di Sabah misalnya, apakah itu akan dibiarkan begitu saja? Percayalah selama ketidak adilan masih ada, maka akan datang pejuang yang mencari ke adilan. Begitu juga dengan Sultan Sulu di Sabah; selama hak hak mereka tidak diperhatikan, pasti akan selalu ada pejuang Sulu yang akan mewujudkannya. Kalau tidak sekarang ya puluhan tahun yang akan datang, tetapi itu pasti datang. Hal seperti itu, adalah sesuatu yang pasti dan itu sesuai dengan hukum alam.

Soal mereka masih tidak bisa mendapatkan apa-apa saat ini, maka siapa tahu 50 tahun lagi mereka akan lebih mampu. Ingat apa yang terjadi di Lahad Datu adalah upaya memperlihat penuntutan hak yang telah lepas, setidaknya merasa diabaikan sejak tahun 1963 saat Malaysia merdeka. Ingat setahun sebelum Malaysia merdeka tahun 1972, delegasi resmi pemerintah Filipina telah menghadap penguasa Inggeris di London dan mengingatkan bahwa Sabah adalah milik Filipina. Tetapi ternyata, Inggris punya kalkulasinya sendiri, dan jadilah Sabah sebagai bagian dari Malaysia.

Masalah Pattani, Thailand Selatan

Persoalannya meski agak berbeda tetapi hal ini sebenarnya adalah hasil kerja Inggris di wilayah pendudukannya. Sederhananya, wilayah Selangor di tukarkan dengan wilayah Pattani dengan maksud agar tidak terjadi enklap wilayah. Hal serupa sebenarnya di lakukan Inggeris juga dengan Belanda terhadap Bengkulu. Bengkulu di tukarkan dengan wilayah Singapura. Persoalannya di pattani, ada ketidak adilan, ada sentimen agama dan ada pembiaran ketidak adilan. Wilayah Pattani selama puluhan tahun, seolah dibiarkan tidak dibangun insfrastrukturnya, dan juga kepada para warganya tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. Maka merekapun berontak, dan hingga kini masih terus “membara”.

Masalah Poso, Papua? Dimana Permasalahannya?

Poso jadi mengemuka, semata-mata karena posisinya yang strategis bagi mereka yang merasa “diburu” di negaranya sendiri. Wilayah ini jadi lokasi pelatihan yang ideal dan sesuai dengan berbagai pertimbangan lainnya. Yang jadi masalah di sini adalah persoalan stigma “teroris” yang selama ini dilabelkan pada satu atau beberapa gerakan ekstrim yang tidak bisa diakomodir pemerintah Indonesia. Tetapi ada apa sebenarnya permasalahannya? Aceh yang begitu kental dan kuat secara ideology, ternyata juga masih ada persamaan yang bisa dibangun bersama; asal masalahnya ditangani secara adil dan bermartabat.

Ada apa dengan Papua?

Papua bukan pada OPMnya, bahwa Papua sudah jadi bagian NKRI itu sudah final. Dan itu sudah diakui oleh PBB. Tetapi masalahnya ada pada ketidak mampuan manajemennya. Di sana ada UU Otsus dan sangat pro Papua, tetapi “para pihak” bukan membangun manusia Papuanya, tetapi justeru mereka (pemda-Pusat) saling ‘telikung” dan “mengkorupsi” dana pembangunan yang seharusnya untuk membangun warga Papua. Indikasinya bisa dilihat dari tidak adanya perda yang jadi turunan UU, sehingga UU Otsus itu hanya sekedar macan “pembangun” diatas kertas. Tetapi tidak bisa operasional.

Kalau kita melihat empat wilayah tersebut, maka persamaannya adalah adanya ketidak adilan yang terus terjadi di wilayah tersebut. Bagi mereka yang tengah berada pada posisi “memimpin” dan mendapatkan kesejahteraan, kondisi itu mungkin sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan berbagai perjuangan yang disuarakan oleh mereka-mereka yang tertindas hanya dilihat sebagai mengada-ada. Padahal bagi mereka yang tengah ditindas, di “kadali” tentulah tidak punya alternatip lain, kecuali melawan. Melawan kesewenang-wenangan.

Asean Mestinya Memberi Tempat

Sebagai sesama anggota Asean, hal-hal seperti ini justeru jangan dianggap sebagai interpensi masalah dalam negeri masing-masing. Tapi harus dilihat dari upaya memberi keadilannya. Bayangkan kalau para “pemberontak” dan/ atau penuntut ketidak adilan itu diberi tempat di dalam Asean, maka dipercaya akan banyak hal yang bisa di lakukan. Minimal mereka bisa mempunyai saluran resmi dan terhormat dan bisa mencari solusi yang lebih baik bagi kawasan.

Bersamaan dengan itu, konektiviti Asean dibangun untuk lebih memberi peluang yang lebih baik bagi pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang selama ini terabaikan tersebut. Sepertinya Asean, memang patut juga untuk memberikan tempat bagi mereka yang menuntut ke adilan di wilayah di kawasan ini.

Tidak ada komentar: