Rabu, 09 Desember 2015

Menanti Kesejahteraan Di Perbatasan

Menanti Janji Manis Diwujud kan



Orang suka makan durian, sedangkan durian banyak berduri.


Jika Bapak tak perhatikan, kami beralih ke Australi(a).
Malam telah larut ketika Zadrak A Sainyakit (56) membacakan pantun karyanya di teras rumahnya di Desa Adaut, Pulau Selaru, Maluku Tenggara Barat, Maluku, akhir Agustus lalu. Suasana seketika hening, hati miris mendengarnya.
Pantun pernah dibacakan Zadrak saat mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini mengunjungi Selaru, Oktober 2010. Melalui pantun itu, dia mencoba mewakili warga, menggambarkan kondisi Selaru, pulau terluar Indonesia yang wilayah lautnya berbatasan dengan Australia. Pantun memang menjadi cara bagi warga Selaru dalam menyampaikan keinginannya saat ada pejabat berkunjung. Turun-temurun mereka melakukan itu. Dengan pantun, mereka yakin lebih bisa menyentuh hati para pembuat kebijakan daripada berteriak-teriak, marah atau berunjuk rasa. "Kami yakin, apa yang kami sampaikan melalui pantun lebih bisa menggugah hati para pejabat," tutur Zadrak.Namun, kini hampir lima tahun berlalu setelah pantun itu diucapkan, perhatian yang diharapkan oleh 12.256 warga Selaru tak juga terwujud.
Sarana transportasi laut ke/dari Saumlaki, ibu kota Maluku Tenggara Barat, masih terbatas, bahkan sering kali terputus saat musim ombak tinggi. Harga bahan-bahan pokok masih tinggi akibat minimnya sarana transportasi. Infrastruktur jalan antardesa di Selaru juga masih buruk. Sarana kesehatan masih jauh dari memadai. Selain itu, empat dari tujuh desa di Selaru belum teraliri listrik. Wajah Selaru tak jauh berbeda dengan daerah-daerah perbatasan lainnya di Maluku, yang berada di tiga kabupaten, yaitu Maluku Tenggara Barat, Aru, dan Maluku Barat Daya.

Membangun Wilayah Perbatasan
Maka, tidak heran angka kemiskinan di tiga kabupaten itu lebih tinggi daripada kabupaten/kota lainnya di Maluku, yaitu lebih dari 27 persen. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) juga berada di bawah rata-rata IPM nasional, 73,81 persen, dan di bawah rata-rata IPM Maluku, 72,20 persen.Wajah ketertinggalan itu pula yang terlihat di daerah-daerah perbatasan lainnya, tidak hanya di Maluku. Daerah perbatasan itu tersebar di 41 kabupaten/kota, di 13 provinsi yang berbatas- an dengan 10 negara tetangga.
Sejak Indonesia merdeka, 70 tahun lalu, daerah-daerah yang seharusnya menjadi beranda depan negeri, menjadi wajah dari negeri ini, justru diposisikan di halaman belakang, dilupakan. Berulang kali pejabat pemerintah datang ke perbatasan, menjanjikan perubahan, tetapi tidak pernah tampak hasilnya. Begitu pula triliunan rupiah yang dikeluarkan untuk perbatasan juga tak terlihat hasilnya. Jadi, tak keliru jika masyarakat perbatasan sering kali tak pernah merasa memiliki negara ini sehingga saat kedaulatan negara dilanggar, mereka mengabaikannya.
"Helikopter asing dengan mudahnya mendarat di Sebatik. Mercu suar dibangun asing di Ambalat. Tapal batas kita yang hilang atau sengaja digeser. Masyarakat perbatasan sebenarnya tahu semua itu melanggar kedaulatan. Namun, mereka diam saja," ujar Deputi Bidang Potensi Perbatasan Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Suhatmansyah.
Padahal, pembangunan daerah perbatasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan sejatinya bisa menjadi kunci untuk menjaga kedaulatan bangsa. Terlebih di saat penjagaan perbatasan oleh aparat keamanan belum sempurna.Kini, ketika kepercayaan masyarakat perbatasan kepada pemerintah ada di titik nadir, janji manis membangun perbatasan kembali diutarakan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan janji itu sebagai salah satu poin dalam Nawa Cita, yang merupakan visi dan misi mereka, membangun Indonesia dari pinggiran.
Implementasinya, rencana pembangunan perbatasan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dengan demikian, setiap kementerian/lembaga harus membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di RPJMN.
Di dalam rencana itu, 10 daerah bakal dikembangkan menjadi pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan ditetapkan menjadi lokasi prioritas pembangunan. Seluruhnya tersebar di 41 kabupaten/kota dan 13 provinsi. Khusus untuk tahun ini, dari 187 kecamatan, terlebih dahulu diprioritaskan pembangunan di 50 kecamatan.
Suhatmansyah menjelaskan, daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan/perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya.
Dia mencontohkan Saumlaki sebagai PKSN. Saumlaki akan didorong menjadi pusat perekonomian baru. Caranya di antaranya dengan membangun infrastruktur dan konektivitas dengan pusat perekonomian di luar Maluku, yaitu Surabaya. "Direncanakan akan ada kapal kargo khusus yang melayani jalur dari Surabaya ke Saumlaki hingga Papua. Tak hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok, kapal akan membawa hasil-hasil bumi rakyat di selatan Maluku," ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam beberapa kesempatan menjanjikan perubahan wajah perbatasan bisa terlihat dalam waktu tiga tahun ini. Perubahan setidaknya harus terlihat dari lima hal, yaitu infrastruktur jalan, air bersih, listrik, pendidikan, dan kesehatan.
Dia pun menjanjikan egosektoral kementerian/lembaga yang selama ini menghambat pembangunan perbatasan tidak terjadi. "Koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara BNPP menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, serta evaluasi dan pengawasan program. Hingga kini koordinasi berjalan lancar," ujar Tjahjo, yang juga Kepala BNPP.
Untuk lebih menjamin wajah perbatasan betul berubah, Suhatmansyah melanjutkan, saat ini disusun instruksi poresiden yang isinya peta jalan pembangunan perbatasan setiap tahun."Ditetapkan pembangunan di perbatasan apa, kementerian/lembaga yang terlibat apa, dan alokasi anggaran yang harus disediakan kementerian/lembaga. Ini menjadi acuan. Dengan inpres, tidak ada alasan kementerian/lembaga tidak mengalokasikan anggaran," ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, hal paling utama yang menghambat pembangunan perbatasan selama ini adalah setiap kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri. BNPP yang diserahi tugas mengoordinasikan pembangunan perbatasan oleh kementerian/lembaga tidak mampu menjalankan tugasnya. Dengan kendali koordinasi sekarang berada di Menko Polhukam, dia juga pesimistis tiap kementerian/lembaga bisa menyingkirkan egonya dan menurut kepada Menko Polhukam.
"Kendali harus ada di Presiden. Presiden sendiri yang memastikan setiap kementerian/lembaga menjalankan program pembangunan perbatasan yang disusun oleh BNPP. Dengan demikian, menteri/kepala lembaga pasti ikut," katanya. Hal lain yang sering diabaikan, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi yang daerahnya di perbatasan tidak dilibatkan dalam perencanaan program. "Libatkan daerah karena mereka yang paling tahu persoalan di daerah dan cara-cara mengatasinya," ujar Djohermansyah.
Namun, apa pun itu, hingga kini masyarakat perbatasan masih menantikan perubahan yang nyata di daerah mereka. Semoga janji manis mengubah wajah perbatasan betul diwujudkan.
( Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/09/10/Menanti-Janji-Manis-Diwujudkan?utm_source=bacajuga)

Jumat, 04 Desember 2015

Penjagaan Laut dan Pantai Saatnya Untuk Ditingkatkan

Penjagaan Laut dan Pantai Ditingkatkan

Isu-isu keamanan yang terus merebak di dunia membuat pemerintah meningkatkan penjagaan keamanan di laut dan pantai. "Status keamanan pelabuhan tidak ditingkatkan, tetapi penjagaan akan lebih ketat," demikian dikatakan Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Pranyoto di sela-sela acara perjanjian kontrak pengerjaan 18 kapal patroli, di Jakarta, Jumat (27/11).

Menurut Pranyoto, status keamanan di pelabuhan berbeda dengan status keamanan di bandara. Jika status keamanan bandara ditingkatkan dari hijau menjadi kuning, status keamanan pelabuhan tetap level 1 atau normal. "Kita tentu tidak mau kecolongan. Oleh karena itu, kami memeriksa lagi apakah pagarnya sudah standar, lalu bagaimana dengan lalu lalang orang, sopir dan kernet truk juga diperiksa," kata Pranyoto.

Contoh lain yang dilakukan, misalnya, ada pelabuhan yang harusnya tertutup, tidak boleh sembarangan orang masuk. Demikian juga pedagang, walaupun sudah kenal, tetap harus diperiksa. Prosedur keamanan harus terus dijalankan. Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit mengatakan wilayah perairan Indonesia yang sangat luas membutuhkan armada patroli yang cukup banyak untuk menjaga keamanan perairan.

"Tahun ini kami ingin membangun 83 kapal patroli dengan berbagai macam kelas. Yang sudah dikontrakkan sudah 53 kapal. Sisanya, yang 30 unit lagi akan dikontrakkan pada Desember nanti," kata Bobby. Dalam perjanjian kontrak kemarin disebutkan akan dibangun dua unit kapal patroli kelas 1 dengan nilai Rp 130,3 miliar. Lalu dibangun juga enam unit kapal patroli kelas III senilai Rp 131 miliar. Kemudian dibangun juga 10 unit kapal patroli cepat aluminium senilai Rp 106 miliar.

"Selain pembangunan kapal, juga dikontrakkan pengadaan 13 set penanggulangan pencemaran senilai Rp 85,25 miliar," kata Bobby. Pengadaan lain yang dilakukan adalah lima set radar pemantauan untuk kapal patroli dengan nilai kontrak Rp 80,4 miliar dan pengadaan dua set Gyro Vertical bernilai kontrak Rp 6,35 miliar. Total nilai kontrak yang ditandatangani mencapai nilai Rp 572,543 miliar.

Banyaknya kapal patroli yang dipesan tentu membutuhkan pasokan sumber daya manusia yang cukup. Setiap kapal membutuhkan personel 20-30 orang. Dengan dipesannya 83 kapal di tahun ini, setidaknya dibutuhkan 1.600-2.500 orang.


"Kapal-kapal itu akan selesai dibangun tahun 2017, jadi tahun depan kami akan minta ke Menpan untuk merekrut 3.000-an personel. Baik untuk mengisi kapal-kapal yang baru, juga untuk menambah yang sudah ada atau mengganti personel yang pensiun," kata Bobby. Personel itu nantinya akan direkrut dari sekolah-sekolah pelayaran atau bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut. (Sumber : Kompas, 28 November 2015,ARN)