Kogabwilhan Memantapkan Pertahanan Negara Kepulauan
Oleh harmen batubara
Satuan TNI Terintegrasi Kogabwilhan 1 di Tanjung
Pinang sebagai penangkal ancaman dari Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.
Kepulauan Riau. Resmi diresmikan. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
saat memimpin upacara peresmian Kogabwilhan TNI I, II, III, di Lanud Halim
Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (27/9/2019) menyampaikan bahwa pembentukan
Kogabwilhan merupakan salah satu upaya pembangunan kekuatan TNI sebagai daya
tangkal (deterrence effect) terhadap berbagai kemungkinan potensi ancaman.
Panglima TNI menjelaskan bahwa Kogabwilhan merupakan
representasi konsep kemampuan interoperabilitas TNI, yang saat ini menjadi
kebijakan prioritas bagi pimpinan TNI.
"Ancaman dan tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia di masa
mendatang akan terus berevolusi, sehingga membutuhkan keterpaduan kekuatan
matra (darat, laut dan udara) dalam merespon ancaman tersebut," ujarnya.
Menurut Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, kehadiran ancaman tersebut perlu
diantisipasi dan dicermati dalam menyusun pembangunan kekuatan, pembinaan
kemampuan, dan gelar kekuatan TNI di masa mendatang, sehingga dapat bersifat
adaptif.
Pembangunan kekuatan ini menunjukkan respons TNI
terhadap perkembangan geopolitik di kawasan, terutama eskalasi di Laut China
Selatan. Hal itu disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat
mengukuhkan Satuan TNI Terintegrasi
Natuna di Pelabuhan Faslabuh TNI Angkatan Laut, Selat Lampa, Natuna, Selasa
(18/12/2018). Hadi mengatakan, satuan yang menggabungkan matra darat, laut, dan
udara ini adalah bentuk pembangunan kekuatan TNI agar bisa memberikan daya
tangkal terhadap ancaman di perbatasan. Menurut Hadi, tujuan pembangunan Satuan
TNI Terintegrasi adalah sebagai bentuk respons atas situasi geopolitik di Laut
China Selatan yang terus mengalami eskalasi. ”Meskipun Indonesia bukan negara
pengklaim, ada batas-batas maritim Indonesia yang bersentuhan dengan negara
lain,” katanya.
Satuan TNI Terintegrasi mulai dibangun sejak tahun
2016. Hadi menjelaskan, ke depan Satuan TNI Terintegrasi direncanakan menjadi
Komando Gabungan Wilayah Pertahanan. Komando Tri Mtra atau Komando Wilayah
Gabungan telah mulai di rancang pada saat era Presiden SBY. Pada waktu itu,
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah menyusun struktur baru untuk membangun
pertahanan Indonesia yang lebih kuat. Struktur baru itu dinamakan Komando
Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Panglima komando akan dijabat oleh
jenderal bintang tiga. “Struktur baru ini dibentuk untuk memperkuat koordinasi
operasi TNI dalam mempertahankan wilayah Indonesia.
Pembentukan Kogabwilhan secara prinsip diarahkan
untuk mencapai kesiapsiagaan dalam penanganan krisis di wilayah Indonesia
dengan membagi teritorial Indonesia ke dalam 3 (tiga) Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan (Kogabwilhan) TNI. Menurut Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, kehadiran
ancaman tersebut perlu diantisipasi dan dicermati dalam menyusun pembangunan
kekuatan, pembinaan kemampuan, dan gelar kekuatan TNI di masa mendatang,
sehingga dapat bersifat adaptif. Dijelaskannya bahwa selama ini jika terjadi
situasi darurat seperti konflik atau bencana alam, Panglima TNI akan membentuk
satuan tugas untuk mengendalikan situasi secepat mungkin. Nah, dengan
dibentuknya Kogabwilhan yang sifatnya permanen, Panglima TNI tidak perlu lagi
membentuk Satgas. “Sehingga tugas pokok yang ada di Panglima TNI itu akan
dibagi habis ke Kogabwilhan 1, 2, dan 3,” urai Hadi.
Secara organisasi, Kogabwilhan dipimpin seorang
panglima berbintang tiga dengan wakil kepala staf bintang dua. Sementara para
asistennya dijabat perwira bintang satu. Hadi juga membeberkan alasan penetapan
lokasi markas komando Kogabwilhan. Menurutnya, Kogabwilhan 1 di Tanjung Pinang
sebagai penangkal ancaman dari Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.Sementara
Kogabwilhan 2 untuk pengamanan ibukota dengan memperkuat sistem pertahanan
udara ibukota (baru). Sedangkan Kogabwilhan 3 adalah untuk pengamanan wilayah
perbatasan Papua dan perairan di sekitarnya.
Keberadaan Kogabwilhan tentu bukan berarti meniadakan
fungsi Kodam, Koopsau, dan Armada. Ketiga jajaran ini adalah Kotama Ops TNI
yang berada di bawah pembinaan Kepala Staf Angkatan dan penggunaannya dibawah
Panglima TNI. “Kogabwilhan apabila memerlukan kekuatan bisa langsung mengambil
dari Kodam, Koopsau, dan Armada,” jelas Hadi.
Ditambahkan Hadi, secara bertahap jumlah pasukan
akan dipenuhi. Menurutnya, saat ini Mabes TNI baru memenuhi kebutuhan unsur
pimpinan mulai dari Panglima, Kas Kogabwilhan, dan para asisten. Setelah itu
akan menyusul unsur pelayanan dengan pangkat kolonel ke bawah. Peresmian
Kogawilhan dimeriahkan aksi terjun payung prajurit TNI serta flypast pesawat
tempur hawk 109/209. Upacara berlangsung di tengah persiapan upacara HUT TNI
ke-74 yang akan berlangsung pada 5 Oktober 2019.
Pertimbangan Dari Aspek Komando
Selain itu juga sebagai kekuatan penangkal, bila
terjadi ancaman dari luar sesuai dengan kebijakan Panglima TNI. Kedudukan
Markas Kogabwilhan telah mempertimbangkan aspek komando dan kendali, strategi
dan infrastruktur yang sudah ada saat ini. Atas dasar pertimbangan tersebut,
maka ditetapkan kedudukan Makogabwilhan I berada di Tanjung Pinang, Kepulauan
Riau. “Sedangkan Makogabwilhan II di Balikpapan, Kalimantan Timur dan
Makogabwilhan III berada di Biak, Papua. Keberadaan Kogabwilhan tentu telah
diselaraskan dengan program pembangunan Pemerintah,” tegasnya. Dia menambahkan,
pemerintah mencanangkan 35 Wilayah Pengembangan Strategis, membangun dari
pinggiran serta menghadirkan negara untuk melindungi seluruh warga negara di
seluruh wilayah NKRI.
Makogabwilhan I dipimpin oleh Pankogabwilhan I
Laksda TNI Yudo Margono. Wilayahnya meliputi Darat (Sumatera, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat dan Banten); Laut (Perairan di sekitar
Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan
ALKI-1 beserta perairan sekitarnya); Udara (Wilayah di atas Sumatera,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan ALKI-1 beserta
perairan sekitarnya).
Sedangkan Makogabwilhan II dipimpin oleh Pangkogabwilhan
II Marsda TNI Fadjar Prasetyo. Wilayahnya meliputi Darat (Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
NTB dan NTT); Laut (Perairan di sekitar Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan ALKI-2
serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya); Udara (Wilayah di atas Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, NTB, NTT dan ALKI-2 serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya).
Sementara, Makogabwilhan III dipimpin oleh
Pangkogabwilhan III Mayjen TNI Ganip Warsito. Yakni dengan wilayah Darat (Maluku, Maluku Utara dan Papua); Laut
(Perairan di sekitar Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta
perairan sekitarnya); Udara (Wilayah di
atas Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta perairan
sekitarnya).
Kogabwilhan dan Otoritas Pertahanan
Pertahanan merupakan kepentingan nasional yang vital
karena menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi
bagian utuh dari politik dan kebijakan negara. Seluruh strategi pertahanan
harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar.
Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan
semesta merupakan kebijakan pertahanan negara. Selama ini kita menganut pola
defensif aktif dengan cita-cita akan membangun kekuatan yang dapat
menghancurkan musuh selagi masih berada di wilayahnya sendiri. Bahwa ternyata
sistem pertahanan kita tidak atau belum mampu menjangkau kekuatan seperti itu,
ya persoalannya lain lagi.
Mencermati peta kekuatan tersebut diatas, selayaknya
strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu menghadapi berbagai
perkembangan dan dinamika yang ada di kawasan. Menurut Achmad Soetjipto, mantan
KSAL dan Ketua Persatuan Purnawirawan AL(Visi Baru Pertahanan Indonesia,
Kompas.com Juni3,2014). “Kogabwilhan adalah salah satu langkah responsif
sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara sekawasan juga dengan
Amerika, Tiongkok, India, dan Australia. Atas alasan ini pula Kogabwilhan
menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan
Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua”. Tetapi apakah pemikiran
seperti itu masih valid?
Meski sudah diresmikan, namun Kogabwilhan yang
seperti apa sesungguhnya yang akan dibangun itu? Memang belum ada bentuk yang
sudah mengemuka, kecuali masih berupa sketsa-sketsa saja. Acmad Sutjipto
misalnya juga masih dalam tahapan mempertanyakan apakah Kogabwilhan yang akan
dikembangkan itu nantinya; berupa suatu komando gabungan dengan cakupan
maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu
theatre command? Menurutnya kalau membangun Kogabwilhan ya diharapkan ia harus
punya kemampuan melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang
kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi
paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga
yang datang melerai.
Selanjutnya dan masih menurut achmad Soetjipto,
untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi struktur
komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini, kendala TNI
melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah terluar adalah
karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet. Sistem yang berlaku saat ini
harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat pemrosesan dan K3I untuk
kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik untuk keunggulan manuver,
serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar tempur pada medan tempur
tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis. Tanpa dibekali kewenangan
dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi
gabungan selama ini, yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan
Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan
anggaran.
Saya juga sempat juga melihat konsep Kogabwilhan
dalam versi Luhut B Pandjaitan dalam tulisan beliau (TNI ”Baru” yang Disegani,
Kompas, September4,2014). Sebagai suatu konsekuensi dari penegasan kembali
Indonesia sebagai negara kepulauan adalah pentingnya reorganisasi Markas Besar
TNI dengan dibentuknya Komando Gabungan Kewilayahan sebagai perpanjangan tangan
Panglima TNI di wilayah-wilayah Nusantara. Sekarang ini, sejak Komando Wilayah
Pertahanan (Kowilhan) dibubarkan tahun 1984, Panglima TNI adalah satu-satunya
pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan militer dari Sabang hingga
Merauke. Jelas ini rentang kendali yang terlalu panjang untuk dapat ditangani
oleh satu orang panglima di Jakarta.
Seperti jumlah Kowilhan dahulu, Komando Gabungan
Kewilayahan yang ideal jumlahnya juga empat, yang membagi habis wilayah
Indonesia dalam format organisasi kerangka atau permanen, bergantung pada
kesiapan SDM dan kemampuan anggaran nasional. Pengembangan kekuatan TNI tentu
saja nantinya disesuaikan dengan jumlah komando itu. Umpamanya, Kostrad harus
punya empat divisi infanteri, atau TNI AL punya empat armada bernomor. Begitu
pula komando operasional TNI AU disesuaikan dengan kebutuhan untuk melaksanakan
operasi militer di wilayah tanggung jawabnya. Diyakini bahwa membangun angkatan
bersenjata memang investasi mahal jangka panjang tanpa boleh ada pertimbangan
untung-rugi yang normal. Apabila kita percaya adagium si vis pacem para bellum
(jika hendak damai, bersiaplah untuk perang), keuntungan yang diperoleh adalah
keamanan dan keselamatan negara dan bangsa berikut segala isinya secara optimal
sehingga kerugian dalam artian konsekuensi anggaran otomatis jadi marginal.