Kamis, 16 November 2017

Menyikapi Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara





Menyikapi Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara

Oleh : Daniel Ardiles Simanjuntak 

Negara-negara ASEAN—yang akan melangsungkan rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 di Filipina, November ini— tengah dihadapkan pada tantangan perubahan konstelasi kawasan. Pasca-Kongres Partai Komunis China ke-19, China di bawah Presiden Xi Jinping menyampaikan pesan kuat, bagaimana China akan menjadi kekuatan dunia yang baru dan melakukan pendekatan yang lebih agresif di kawasan.
Pada saat yang bersamaan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan pesan yang ambigu dengan tidak memasukkan Pertemuan Puncak (KTT) Asia Timur ke dalam kalender awal lawatannya ke Asia. Walaupun menjelang keberangkatannya untuk melakukan lawatan ke lima negara Asia Trump akhirnya berjanji untuk hadir pada Pertemuan Puncak Asia Timur, pendekatan politik America First telah menciptakan persepsi mundurnya AS dari Asia Pasifik.
Sebagai forum yang dipimpin kepala negara, Pertemuan Puncak Asia Timur menjadi forum utama isu strategis di Asia Pasifik. Pertemuan puncak ini juga merupakan proyeksi AS dalam menyeimbangkan kekuatan di Asia karena tak ingin Asia hanya dikuasai China, Jepang, dan Korea. Selain itu, pertemuan puncak ini juga menjadi forum check and balance kebijakan negara-negara besar di kawasan.
Antisipasi ASEAN
Agenda awal Trump yang tidak memasukkan Pertemuan Puncak Asia Timur memunculkan dugaan ketidakpedulian administrasi (pemerintahan) Trump terhadap pembangunan politik-keamanan di Asia Pasifik dan mereka hanya mengedepankan politik transaksional demi keuntungan Washington.
Namun, hadir atau tidak Trump pada Pertemuan Puncak Asia Timur, ASEAN harus mampu mengantisipasi perubahan kekuatan di kawasan. America First, yang diimplementasikan dengan mematikan Kemitraan Trans Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP), membuat penguatan perdagangan bebas di kawasan akan bergantung pada negosiasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Selain itu, berbagai inisiatif kerja sama ekonomi melalui Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road) dan Asian Infrastructure Investment Bank, akan memperkuat dominasi Beijing di ASEAN. Di sisi keamanan, militerisasi Laut China Selatan akan menjadi ancaman langsung bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Perubahan konstelasi kekuatan di Asia Pasifik tidak dapat ditolak oleh ASEAN. Meningkatnya dominasi China diiringi menurunnya peran AS harus disikapi dengan hati-hati oleh ASEAN untuk menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, bebas, dan netral. Banyaknya benturan kepentingan langsung antara ASEAN dan China, termasuk dalam konteks Laut China Selatan, akan menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan tujuan tersebut.


ASEAN harus satu suara dalam bersiap menyambut China. Tidak dapat dielakkan bahwa bantuan dan kerja sama yang ditawarkan kepada ASEAN dalam berbagai bidang akan membuka peluang pertumbuhan bagi ASEAN dan menawarkan opsi, selain jenis bantuan melalui institusi klasik yang ada, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, ataupun Bank Pembangunan Asia (ADB).
Selain itu, posisi China sebagai pemimpin perdagangan bebas dan perubahan iklim dapat dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kerja sama kedua belah pihak dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada waktu bersamaan, ASEAN juga harus memberi pesan kuat bahwa kebangkitan China sebagai kekuatan baru harus diimbangi dengan ketaatan pada tata kelola kawasan yang ada dan hukum internasional. Menggarisbawahi pentingnya kedua hal tersebut merupakan posisi yang tidak ditawar jika ASEAN tetap ingin menjadi penjaga keseimbangan dinamis kawasan. Sengketa Laut China Selatan, misalnya, menjadi pertanda bahwa kepentingan politik Beijing atas isu-isu strategis akan sulit dikontrol oleh pihak mana pun.
Di sisi lain, Presiden Trump harus mendengar kekecewaan ASEAN atas politik ambigu AS di kawasan. Kematian prematur TPP menutup opsi tandingan perdagangan bebas di kawasan. Selain itu, patut diduga agenda untuk menyeimbangkan neraca perdagangan AS dengan negara ASEAN akan menjadi agenda terbesar Trump dalam lawatan di Asia sebagai implementasi politik transaksional.
Penguatan sentralitas
Menyikapi perubahan dinamika di kawasan akan membutuhkan upaya yang besar dari ASEAN. Menjaga sentralitas ASEAN membutuhkan perbaikan, baik dalam konteks penguatan internal ASEAN maupun penguatan kesatuan ASEAN dalam menghadapi isu strategis di kawasan dan menghadapi negara-negara besar. Ke dalam, kredibilitas ASEAN dalam menjamin sentralitas perlu diperkuat. Isu internal seperti krisis kemanusiaan di Myanmar harus dicarikan jalan keluar guna mencegah pemanfaatan situasi untuk memecah ASEAN. Begitu pun dengan revitalisasi agenda demokratisasi yang saat ini cenderung tak mendapat tempat lagi di ASEAN.
Selain itu, pembenahan institusi ASEAN harus dilakukan. Tiga pilar kerja sama ASEAN saat ini lebih terlihat sebagai bagian-bagian terpisah yang bekerja sendiri. Kohesi tiga pilar diperlukan untuk mengharmoniskan gerak langkah ASEAN menghadapi serbuan kerja sama dari di berbagai sektor, termasuk melalui pengembangan posisi ASEAN dalam hubungan dengan negara besar untuk menjadi pedoman semua badan sektoral.
Lebih jauh, penguatan Sekretariat ASEAN harus segera dilakukan. Sekretariat ASEAN berperan besar dalam menyangga ASEAN dengan memberikan pemikiran dan kajian awal atas kerja sama dengan mitra. Sekretariat juga berperan besar untuk menjamin isu-isu lintas pilar dapat dikoordinasikan dengan baik.
Dengan semakin banyaknya kerja sama, penambahan sumber daya dan penambahan gedung sekretariat menjadi prioritas ASEAN, terutama Indonesia sebagai tuan rumah. Selain itu, prinsip kontribusi anggaran yang sama rata mulai harus dikaji dengan memperbolehkan negara yang mampu untuk memberikan kontribusi lebih tanpa memberikan dampak terhadap prinsip konsensus.
Dalam konteks sentralitas keluar, ASEAN perlu memperkuat solidaritas dan kesatuan suara dalam menyikapi isu seperti Laut China Selatan dengan memperdalam solidaritas. Tentu tidak semua negara anggota mempunyai kepentingan yang sama mengingat hubungan bilateral masing-masing dengan China, tetapi solidaritas dan pengembangan posisi dasar ASEAN atas isu-isu strategis di kawasan akan membantu penguatan sentralitas ASEAN ketika berhadapan dengan negara besar.
Selain itu, menyuarakan pentingnya negara besar untuk menghormati sentralitas ASEAN harus disampaikan kepada negara besar guna menjamin tatanan arsitektur terus berporos pada ASEAN melalui penghormatan terhadap Traktat Persahabatan dan Kerja Sama yang telah disepakati oleh semua mitra ASEAN.
Peran Indonesia

Sebagai pemimpin ASEAN, mempersatukan negara anggota untuk menyampaikan pesan yang tepat merupakan tantangan. Indonesia harus bersiap untuk menjadi satu-satunya negara ASEAN yang mampu menyuarakan dengan jernih peningkatan kredibilitas ASEAN serta peningkatan solidaritas dan kesatuan suara dalam menghadapi perubahan kekuatan.
Hal ini berarti bahwa Indonesia juga tidak dapat terlalu lunak kepada negara, seperti Myanmar yang terus memberikan tekanan kepada kredibilitas ASEAN. Akses kemanusiaan yang tidak dihalangi, penyelesaian akar konflik, dan penguatan demokratisasi harus disuarakan untuk menciptakan perubahan di Rakhine. Selain itu, model pendekatan subregional seperti dalam kasus Marawi juga harus ditinggalkan oleh Indonesia karena menutup akses kepada negara ASEAN lain belajar tentang peningkatan solidaritas ASEAN.


Uniknya, Singapura saat ini menjadi negara yang paling sepaham dengan Indonesia. Upaya Singapura membujuk Trump dengan kunjungan Perdana Menteri Singapura ke Washington, komitmen sumbangan dana Singapura untuk membantu krisis di Rakhine melalui AHA Centre, serta bantuan militer kepada Filipina di Marawi, menunjukkan perubahan peran Singapura menyikapi isu-isu internal di ASEAN.
Sebagai negara yang paling maju, Singapura menjadi satu-satunya yang tidak menggantungkan diri pada proyek kerja sama dengan China. Oleh sebab itu, perubahan kekuatan di kawasan membuat Singapura merasa perlu untuk mengambil peran lebih, walaupun konservatif, untuk menjaga kredibilitas dan keutuhan ASEAN di tengah mundurnya peran AS.
Rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 akan menjadi ujian bagi ASEAN untuk menunjukkan posisinya dalam menyikapi perubahan kekuatan di kawasan. Sikap acuh dan business as usual akan membuat ASEAN kesulitan mempertahankan sentralitasnya. Beban berat berada di pundak Indonesia dalam menyuarakan kredibilitas dan solidaritas ASEAN guna menjamin kemampuan ASEAN sebagai poros penyeimbang kekuatan di Asia Tenggara.


DANIEL A SIMANJUNTAK, Pemerhati ASEAN; Mempunyai Gelar Master dalam Bidang Hukum Internasional Sumber : Kompas.id ;  11 November 2017