Menyikapi
Perubahan Kekuatan di Asia Tenggara
Oleh
: Daniel Ardiles Simanjuntak
Negara-negara ASEAN—yang akan melangsungkan
rangkaian Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 di Filipina, November ini— tengah
dihadapkan pada tantangan perubahan konstelasi kawasan. Pasca-Kongres Partai
Komunis China ke-19, China di bawah Presiden Xi Jinping menyampaikan pesan
kuat, bagaimana China akan menjadi kekuatan dunia yang baru dan melakukan
pendekatan yang lebih agresif di kawasan.
Pada
saat yang bersamaan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan
pesan yang ambigu dengan tidak memasukkan Pertemuan Puncak (KTT) Asia Timur ke
dalam kalender awal lawatannya ke Asia. Walaupun menjelang keberangkatannya
untuk melakukan lawatan ke lima negara Asia Trump akhirnya berjanji untuk hadir
pada Pertemuan Puncak Asia Timur, pendekatan politik America First telah
menciptakan persepsi mundurnya AS dari Asia Pasifik.
Sebagai
forum yang dipimpin kepala negara, Pertemuan Puncak Asia Timur menjadi forum
utama isu strategis di Asia Pasifik. Pertemuan puncak ini juga merupakan
proyeksi AS dalam menyeimbangkan kekuatan di Asia karena tak ingin Asia hanya
dikuasai China, Jepang, dan Korea. Selain itu, pertemuan puncak ini juga
menjadi forum check and balance kebijakan negara-negara besar di kawasan.
Antisipasi
ASEAN
Agenda
awal Trump yang tidak memasukkan Pertemuan Puncak Asia Timur memunculkan dugaan
ketidakpedulian administrasi (pemerintahan) Trump terhadap pembangunan
politik-keamanan di Asia Pasifik dan mereka hanya mengedepankan politik
transaksional demi keuntungan Washington.
Namun,
hadir atau tidak Trump pada Pertemuan Puncak Asia Timur, ASEAN harus mampu
mengantisipasi perubahan kekuatan di kawasan. America First, yang
diimplementasikan dengan mematikan Kemitraan Trans Pasifik (Trans-Pacific
Partnership/TPP), membuat penguatan perdagangan bebas di kawasan akan
bergantung pada negosiasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional
Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Selain
itu, berbagai inisiatif kerja sama ekonomi melalui Satu Sabuk Satu Jalan (One
Belt One Road) dan Asian Infrastructure Investment Bank, akan memperkuat
dominasi Beijing di ASEAN. Di sisi keamanan, militerisasi Laut China Selatan
akan menjadi ancaman langsung bagi negara-negara di Asia Timur dan Asia
Tenggara.
Perubahan
konstelasi kekuatan di Asia Pasifik tidak dapat ditolak oleh ASEAN.
Meningkatnya dominasi China diiringi menurunnya peran AS harus disikapi dengan
hati-hati oleh ASEAN untuk menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai,
bebas, dan netral. Banyaknya benturan kepentingan langsung antara ASEAN dan
China, termasuk dalam konteks Laut China Selatan, akan menjadi tantangan
tersendiri dalam mewujudkan tujuan tersebut.
ASEAN
harus satu suara dalam bersiap menyambut China. Tidak dapat dielakkan bahwa
bantuan dan kerja sama yang ditawarkan kepada ASEAN dalam berbagai bidang akan
membuka peluang pertumbuhan bagi ASEAN dan menawarkan opsi, selain jenis
bantuan melalui institusi klasik yang ada, seperti Dana Moneter Internasional
(IMF), Bank Dunia, ataupun Bank Pembangunan Asia (ADB).
Selain
itu, posisi China sebagai pemimpin perdagangan bebas dan perubahan iklim dapat
dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kerja sama kedua belah pihak dalam
menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pada
waktu bersamaan, ASEAN juga harus memberi pesan kuat bahwa kebangkitan China
sebagai kekuatan baru harus diimbangi dengan ketaatan pada tata kelola kawasan
yang ada dan hukum internasional. Menggarisbawahi pentingnya kedua hal tersebut
merupakan posisi yang tidak ditawar jika ASEAN tetap ingin menjadi penjaga
keseimbangan dinamis kawasan. Sengketa Laut China Selatan, misalnya, menjadi
pertanda bahwa kepentingan politik Beijing atas isu-isu strategis akan sulit
dikontrol oleh pihak mana pun.
Di
sisi lain, Presiden Trump harus mendengar kekecewaan ASEAN atas politik ambigu
AS di kawasan. Kematian prematur TPP menutup opsi tandingan perdagangan bebas
di kawasan. Selain itu, patut diduga agenda untuk menyeimbangkan neraca
perdagangan AS dengan negara ASEAN akan menjadi agenda terbesar Trump dalam
lawatan di Asia sebagai implementasi politik transaksional.
Penguatan
sentralitas
Menyikapi
perubahan dinamika di kawasan akan membutuhkan upaya yang besar dari ASEAN.
Menjaga sentralitas ASEAN membutuhkan perbaikan, baik dalam konteks penguatan
internal ASEAN maupun penguatan kesatuan ASEAN dalam menghadapi isu strategis
di kawasan dan menghadapi negara-negara besar. Ke dalam, kredibilitas ASEAN
dalam menjamin sentralitas perlu diperkuat. Isu internal seperti krisis
kemanusiaan di Myanmar harus dicarikan jalan keluar guna mencegah pemanfaatan
situasi untuk memecah ASEAN. Begitu pun dengan revitalisasi agenda
demokratisasi yang saat ini cenderung tak mendapat tempat lagi di ASEAN.
Selain
itu, pembenahan institusi ASEAN harus dilakukan. Tiga pilar kerja sama ASEAN
saat ini lebih terlihat sebagai bagian-bagian terpisah yang bekerja sendiri.
Kohesi tiga pilar diperlukan untuk mengharmoniskan gerak langkah ASEAN
menghadapi serbuan kerja sama dari di berbagai sektor, termasuk melalui
pengembangan posisi ASEAN dalam hubungan dengan negara besar untuk menjadi
pedoman semua badan sektoral.
Lebih
jauh, penguatan Sekretariat ASEAN harus segera dilakukan. Sekretariat ASEAN
berperan besar dalam menyangga ASEAN dengan memberikan pemikiran dan kajian
awal atas kerja sama dengan mitra. Sekretariat juga berperan besar untuk
menjamin isu-isu lintas pilar dapat dikoordinasikan dengan baik.
Dengan
semakin banyaknya kerja sama, penambahan sumber daya dan penambahan gedung
sekretariat menjadi prioritas ASEAN, terutama Indonesia sebagai tuan rumah.
Selain itu, prinsip kontribusi anggaran yang sama rata mulai harus dikaji
dengan memperbolehkan negara yang mampu untuk memberikan kontribusi lebih tanpa
memberikan dampak terhadap prinsip konsensus.
Dalam
konteks sentralitas keluar, ASEAN perlu memperkuat solidaritas dan kesatuan
suara dalam menyikapi isu seperti Laut China Selatan dengan memperdalam
solidaritas. Tentu tidak semua negara anggota mempunyai kepentingan yang sama
mengingat hubungan bilateral masing-masing dengan China, tetapi solidaritas dan
pengembangan posisi dasar ASEAN atas isu-isu strategis di kawasan akan membantu
penguatan sentralitas ASEAN ketika berhadapan dengan negara besar.
Selain
itu, menyuarakan pentingnya negara besar untuk menghormati sentralitas ASEAN
harus disampaikan kepada negara besar guna menjamin tatanan arsitektur terus
berporos pada ASEAN melalui penghormatan terhadap Traktat Persahabatan dan
Kerja Sama yang telah disepakati oleh semua mitra ASEAN.
Peran
Indonesia
Sebagai
pemimpin ASEAN, mempersatukan negara anggota untuk menyampaikan pesan yang
tepat merupakan tantangan. Indonesia harus bersiap untuk menjadi satu-satunya
negara ASEAN yang mampu menyuarakan dengan jernih peningkatan kredibilitas
ASEAN serta peningkatan solidaritas dan kesatuan suara dalam menghadapi
perubahan kekuatan.
Hal
ini berarti bahwa Indonesia juga tidak dapat terlalu lunak kepada negara,
seperti Myanmar yang terus memberikan tekanan kepada kredibilitas ASEAN. Akses
kemanusiaan yang tidak dihalangi, penyelesaian akar konflik, dan penguatan
demokratisasi harus disuarakan untuk menciptakan perubahan di Rakhine. Selain
itu, model pendekatan subregional seperti dalam kasus Marawi juga harus
ditinggalkan oleh Indonesia karena menutup akses kepada negara ASEAN lain
belajar tentang peningkatan solidaritas ASEAN.
Uniknya,
Singapura saat ini menjadi negara yang paling sepaham dengan Indonesia. Upaya
Singapura membujuk Trump dengan kunjungan Perdana Menteri Singapura ke
Washington, komitmen sumbangan dana Singapura untuk membantu krisis di Rakhine
melalui AHA Centre, serta bantuan militer kepada Filipina di Marawi,
menunjukkan perubahan peran Singapura menyikapi isu-isu internal di ASEAN.
Sebagai
negara yang paling maju, Singapura menjadi satu-satunya yang tidak
menggantungkan diri pada proyek kerja sama dengan China. Oleh sebab itu,
perubahan kekuatan di kawasan membuat Singapura merasa perlu untuk mengambil
peran lebih, walaupun konservatif, untuk menjaga kredibilitas dan keutuhan
ASEAN di tengah mundurnya peran AS.
Rangkaian
Pertemuan Puncak ASEAN ke-31 akan menjadi ujian bagi ASEAN untuk menunjukkan
posisinya dalam menyikapi perubahan kekuatan di kawasan. Sikap acuh dan
business as usual akan membuat ASEAN kesulitan mempertahankan sentralitasnya.
Beban berat berada di pundak Indonesia dalam menyuarakan kredibilitas dan
solidaritas ASEAN guna menjamin kemampuan ASEAN sebagai poros penyeimbang
kekuatan di Asia Tenggara.
DANIEL
A SIMANJUNTAK, Pemerhati ASEAN; Mempunyai Gelar Master dalam Bidang Hukum Internasional
Sumber : Kompas.id ; 11 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar