Pertahanan,
Situasi Baru Geopolitik Asia
Oleh
René L Pattiradjawane
Geopolitik
di kawasan Asia akan berubah drastis mengikuti dinamika perkembangan pada
interaksi negara-negara kawasan dan luar kawasan dalam memproyeksikan kerja
sama dan kepentingan nasional masing-masing. Kehadiran kapal perusak berpeluru
kendali Amerika Serikat USS Lassen ke wilayah perairan "pulau palsu"
Subi di Laut Tiongkok Selatan dan keputusan Pengadilan Permanen Arbitase (PCA)
di Den Haag, Belanda, dalam kasus Filipina di LTS menjadi momentum baru.
Kehadiran
USS Lassen dan keputusan PCA mengenai kewenangan meneruskan tuntutan Filipina
di Laut Tiongkok Selatan (LTS), termasuk penentuan sembilan garis putus-putus,
pekan lalu, sama-sama memiliki nuansa penting atas norma dan nilai hukum
internasional. Dari dua peristiwa ini, Tiongkok sebagai aktor negara dalam
persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di LTS maupun pembangunan "pulau
palsu" akan dihadapkan pada berbagai persoalan sesuai hukum internasional
sekaligus perlu menata ulang yurisdiksi kedaulatan wilayahnya di LTS.
Kawasan
LTS yang dikelilingi sejumlah negara menjadi titik kerumitan yang memuncak pada
abad ke-21 karena negara-negara kawasan ini memiliki latar belakang budaya dan
sejarah yang serupa. Kesamaan latar belakang ini tidak ditunjang sistem politik
internal yang sama. Apalagi, tingkat pembangunan ekonomi, kesetaraan ekonomi,
dan politik yang beragam.
Justifikasi
Tiongkok selama ini selalu dilawan oleh skeptisme masyarakat internasional
bahwa kawasan LTS adalah alur komunikasi laut bagi perdagangan global yang
bernilai 5,3 triliun dollar AS. Dari jumlah ini, 1,2 triliun dollar AS berasal
dari perdagangan dengan AS. Kepentingan nasional AS di kawasan ini menjadi
sangat krusial.
Pulau
buatan di Kepulauan Spratly pada gugusan karang dan beting kosong yang muncul
di permukaan saat air surut menjadi kecenderungan negatif yang bisa mengancam
kepentingan RRT dalam memperluas dan memperdalam kerja sama, khususnya dengan
negara-negara Asia Tenggara. Kehadiran USS Lassen dan keputusan PCA akan
menghadirkan dimensi hukum internasional sebagai fenomena baru geopolitik Asia.
Ini
kenyataan baru yang harus dihadapi RRT. Yang menarik, para penguasa Tiongkok
tidak seperti biasanya memberikan komentar berlebihan. Tampaknya, ada
kekhawatiran perubahan dimensi dengan bertambahnya norma dan nilai hukum
internasional di wilayah klaim tumpang tindih LTS akan memicu kobaran
nasionalisme dalam negeri.
Ini,
misalnya, terlihat hanya pada berita pernyataan Kementerian Luar Negeri RRT di
halaman dalam Renmin Ribao (Harian Rakyat), organ utama Partai Komunis
Tiongkok, mengenai keputusan PCA atas isu yurisdiksi pengadilan arbitrase di
LTS. Jejaring sosial media Tiongkok pun tidak banyak yang mempersoalkan
keputusan PCA ini dan insiden USS Lassen.
Pernyataan
Kemlu RRT ini sangat normatif, menekankan tidak ada perubahan posisi Tiongkok.
Bahkan, kalimat pertama pernyataan ini menyebutkan keputusan PCA sebagai tidak
sah (wuxiao de) dan tidak memiliki kekuatan mengikat (meiyou jushu li)
Tiongkok. Posisi Tiongkok ini jelas merumitkan persoalan serta menjadi ancaman
dan tantangan tersendiri dalam menata dan mengelola resolusi damai di LTS.
Kehadiran
dimensi hukum internasional di LTS mengisyaratkan perlunya Tiongkok melakukan
kerja sama secara intensif dengan ASEAN dan tidak membuang waktu menunda
penyusunan dan penataan tata perilaku LTS (code of conduct), berharap ASEAN
terpecah dalam isu ini.
Bagi
Tiongkok, ASEAN yang bersatu dalam memelihara perdamaian dan stabilitas kawasan
lebih menguntungkan ketimbang ASEAN yang terpecah dan teraliansi dalam blok
negara-negara besar.
(
Sumber : Kompas, 2 november 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar