BUKU
JEJAK LANGKAH TNI ANGKATAN LAUT
Kapal perang RI Irian
sebelumnya dinamakan “Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut
Uni Soviet. Karena diperuntukkan beroperasi di perairan tropis, kapal ini
dimodifikasi secara khusus.
Di pengujung 1962,
kapal penjelajah Republik Indonesia Irian atau RI Irian tiba di perairan
Indonesia. Kapal perang RI itu disiapkan untuk kampanye perebutan Irian Barat
dalam Operasi Mandala yang dicanangkan Presiden Soekarno di atas Kapal Perang
RI atau KRI Teluk Tomini. KRI Tomini eks USS Bledsoe County adalah salah satu
kapal angkut jenis landing ship tank yang terlibat saat
pendaratan Jenderal Dwight D Eisenhower (Ike) dalam serangan yang dikenal
dengan Hari-H (D-Day) di pantai Normandia, Perancis, 1944.
RI Irian sebelumnya
bernama ”Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut Uni Soviet yang
dimodifikasi khusus untuk beroperasi di perairan tropis. Tahun ini genap 55
tahun sejarah keberadaan kapal perang terbesar RI yang nasibnya berakhir tragis
seiring pergantian rezim Soekarno ke Soeharto.
Sebelumnya, awal
Indonesia merdeka dalam kurun 1945- 1950, Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut (TNI AL) hanya memiliki kapal-kapal kayu sisa rampasan dari Jepang. Pada
1950, barulah TNI AL memiliki kapal hibah eks Belanda setelah pengakuan
kedaulatan RI, yakni korvet RI Hang Tuah dan RI Pati Unus. Kapal hibah lainnya
adalah RI Rajawali dan RI Banteng, serta beberapa kapal lainnya. Kapal modern
selanjutnya yang dihibahkan ke pemerintah adalah kapal perusak, destroyer RI
Gadjah Mada. Kapal korvet berukuran panjang 60 meter dan diawaki 85 orang.
Sementara kapal destroyer Gadjah Mada berbobot 1.700 ton
dengan panjang 108 meter.
Sejarawan Universitas
Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Boogie Wibowo, menyebutkan, RI Irian adalah
kapal perang terbesar di Asia saat itu. Kapal tersebut dibangun di galangan
kapal Admiralty di Saint Petersburg. Saint Petersburg adalah pusat modernisasi
Rusia zaman Tsar Peter. Kota tersebut adalah pusat modernisasi sektor maritim
yang mengacu ke Eropa Barat, terutama Belanda dan Inggris.
Salah satu jejak
modernisasi era Tsar tersebut adalah sebutan Matroos—bahasa Belanda—untuk
kelasi di Rusia. Galangan Admiralty yang dibangun pada 1704 itu dapat menampung
kapal dengan panjang 250 meter dan lebar 35 meter dengan bobot maksimal 70.000
ton.
Galangan tersebut,
menurut Boogie, dalam kurun 1740-1917, memproduksi lebih dari 1.000 kapal. Pada
1959, di sana sudah diproduksi kapal sipil bertenaga nuklir dan kapal pemecah
es terbesar yang diberi nama Lenin.
Kelahiran RI Irian
alias ”Ordzhonikidze” diawali pada dekade 1950-an ketika Uni Soviet
merencanakan pembangunan kapal penjelajah yang didasari desain Italia masa
Perang Dunia II. Spesifikasi teknis kapal tersebut harus mampu melaju di
perairan ganas Atlantik Utara dan dilengkapi radar dan artileri pertahanan
udara. ”Semula dirancang 40 kapal bersama dengan pembangunan kapal perang
Stalingrad dan kapal induk. Proyeksi tersebut untuk menyaingi kekuatan Inggris
di Atlantik Utara. Namun, perkembangannya, pembangunan kapal tersebut
dibatalkan Nikita Kruschev pada tahun 1954 setelah 14 unit kapal penjelajah
selesai. Ke-14 unit kapal itu adalah bagian dari 21 unit kapal yang
direncanakan dibuat pada tahap awal,” kata Boogie.
”Ordzhonikidze”
dibangun mulai 19 Oktober 1949 dan diluncurkan 17 September 1950, serta
beroperasi pada 18 Agustus 1952. Kapal itu kemudian bertugas di Armada Baltik
Angkatan Laut Uni Soviet. Karena hubungan baik Presiden Soekarno dan Perdana
Menteri Nikita Kruschev, kapal itu dijual ke Indonesia pada tahun 1961. ”Kapal
dimodifikasi di Armada Laut Hitam di Sevastopol hingga Juni 1962 agar cocok
beroperasi di perairan tropis. Pada Juli hingga awal Agustus 1962, kapal
berlayar dari Sevastopol hingga ke Surabaya,” kata Boogie.
Pada masa itu,
Indonesia membeli pesawat pengebom Tu 16, jet tempur Mig dari berbagai varian,
Ilyushin, peluru kendali, 12 unit kapal selam dan kapal penjelajah RI Irian
dari Uni Soviet. Saat bersamaan, sejumlah perlengkapan militer dari Amerika
Serikat juga dibeli. Misalnya, pesawat angkut dan kapal angkut, tank dan
kendaraan taktis Perancis dan pesawat intai maritim Inggris. Tujuannya,
kampanye merebut Irian Barat.
Sejarawan Maritim
Pusat Sejarah Militer Kementerian Pertahanan Belanda, Anselm van der Piet,
menceritakan adanya riset di Belanda tentang keberadaan perwira dan pelaut Uni
Soviet dalam armada angkatan perang yang disiapkan untuk Operasi Mandala. Hal
itu dibenarkan almarhum Laksamana Pertama (Pur) RP Poernomo, yang menjadi
Komandan Satuan Kapal Selam ALRI saat itu.
Dalam satu kesempatan
Poernomo mengakui memang ada personel Rusia dalam satgas yang dipimpinnya untuk
berperang. Hal itu menarik mengingat di masa Perang Dingin, Uni Soviet hanya
memberikan penasihat militer kepada negara sahabatnya, seperti Vietnam, Kuba,
dan Yaman.
Spesifikasi RI Irian
Secara teknis, RI
Irian punya dua turbin uap dan enam ketel uap yang menghasilkan daya 110.000
tenaga kuda sehingga dapat melaju hingga kecepatan 33,7 knot. Daya jelajahnya
juga dapat mencapai jarak 5.220 mil laut pada kecepatan 18 knot atau setara
lebih dari 8.500 kilometer dengan kecepatan jelajah hampir 30 kilometer per jam
di darat. Kapal punya tangki bahan bakar berkapasitas 3.900 ton.
Kapal tersebut juga
punya dua lunas sehingga lincah bermanuver ekstrem dalam kecepatan tinggi.
Konstruksi lunas ganda tersebut sangat tak lazim di zamannya sehingga pihak
NATO penasaran. Boogie menceritakan, seorang agen rahasia MI-6 Inggris, Lionel
Crabb, hilang ketika berusaha menyelam memata- matai kapal tersebut saat AL Uni
Soviet mengadakan muhibah ke Pelabuhan Portsmouth, Inggris, 1956.
RI Irian juga
dilengkapi 12 meriam dalam empat kubah dengan laras berukuran 152 milimeter dan
6 meriam ganda dalam enam kubah ukuran 100 milimeter. Sebagai pembanding, baru
pada tahun 2014 TNI kembali mempunyai meriam kaliber besar, yakni meriam
Howitzer Caesar buatan Perancis ukuran 155 milimeter dan kanon pada tank tempur
Leopard dengan ukuran sama. Selain itu, terdapat 16 pucuk meriam anti-serangan
udara berukuran 37 milimeter dan berbagai radar pelacak serangan udara, radar
permukaan laut, radar pembidik meriam, radar navigasi, dan sonar bawah laut.
Singkat kata, dengan fasilitas itu, RI Irian ”Benteng Terapung” di Asia
Tenggara.
Osa Kurniawan Ilham,
pegiat sejarah asal Surabaya yang mengenal pelaku sejarah Irian Barat,
menceritakan, kapal tersebut pada akhir 1962 bergabung di pangkalan depan
Operasi Mandala di Bitung, Sulawesi Utara. Komandan pertamanya Frits Suak.
”Kapal dengan 1.250 awak itu diberi nomor lambung 2 untuk kelas Cruiser dan diberi
nama pulau besar, yakni Irian. Hingga kini belum ada lagi kapal perang kita
yang diberi nama pulau besar dan kode 2,” kata Osa.
RI Irian pernah
bersenggolan dengan kapal selam sehingga harus menjalani perawatan di Galangan
Dalzavod, Uni Soviet. Kapal RI Irian akhirnya mengantarkan Bung Karno
mengunjungi Irian yang sudah kembali ke Indonesia. Sayangnya, saat peralihan ke
Orde Baru, RI Irian ditelantarkan. Dari kapal sejenis buatan Uni Soviet, hanya
RI Irian yang tak diketahui nasibnya.
Oleh : Iwan Santosa ( Kompas.id, 3 Desember 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar