Sabtu, 12 Juni 2021

RI Irian Kapal Perang Andalan Indonesia Era Tahun 60 an


BUKU JEJAK LANGKAH TNI ANGKATAN LAUT
Kapal perang RI Irian sebelumnya dinamakan “Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut Uni Soviet. Karena diperuntukkan beroperasi di perairan tropis, kapal ini dimodifikasi secara khusus.
Di pengujung 1962, kapal penjelajah Republik Indonesia Irian atau RI Irian tiba di perairan Indonesia. Kapal perang RI itu disiapkan untuk kampanye perebutan Irian Barat dalam Operasi Mandala yang dicanangkan Presiden Soekarno di atas Kapal Perang RI atau KRI Teluk Tomini. KRI Tomini eks USS Bledsoe County adalah salah satu kapal angkut jenis landing ship tank yang terlibat saat pendaratan Jenderal Dwight D Eisenhower (Ike) dalam serangan yang dikenal dengan Hari-H (D-Day) di pantai Normandia, Perancis, 1944.
RI Irian sebelumnya bernama ”Ordzhonikidze” dari kelas Sverdlov milik Angkatan Laut Uni Soviet yang dimodifikasi khusus untuk beroperasi di perairan tropis. Tahun ini genap 55 tahun sejarah keberadaan kapal perang terbesar RI yang nasibnya berakhir tragis seiring pergantian rezim Soekarno ke Soeharto.
Sebelumnya, awal Indonesia merdeka dalam kurun 1945- 1950, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) hanya memiliki kapal-kapal kayu sisa rampasan dari Jepang. Pada 1950, barulah TNI AL memiliki kapal hibah eks Belanda setelah pengakuan kedaulatan RI, yakni korvet RI Hang Tuah dan RI Pati Unus. Kapal hibah lainnya adalah RI Rajawali dan RI Banteng, serta beberapa kapal lainnya. Kapal modern selanjutnya yang dihibahkan ke pemerintah adalah kapal perusak, destroyer RI Gadjah Mada. Kapal korvet berukuran panjang 60 meter dan diawaki 85 orang. Sementara kapal destroyer Gadjah Mada berbobot 1.700 ton dengan panjang 108 meter.
Sejarawan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Boogie Wibowo, menyebutkan, RI Irian adalah kapal perang terbesar di Asia saat itu. Kapal tersebut dibangun di galangan kapal Admiralty di Saint Petersburg. Saint Petersburg adalah pusat modernisasi Rusia zaman Tsar Peter. Kota tersebut adalah pusat modernisasi sektor maritim yang mengacu ke Eropa Barat, terutama Belanda dan Inggris.
Salah satu jejak modernisasi era Tsar tersebut adalah sebutan Matroos—bahasa Belanda—untuk kelasi di Rusia. Galangan Admiralty yang dibangun pada 1704 itu dapat menampung kapal dengan panjang 250 meter dan lebar 35 meter dengan bobot maksimal 70.000 ton.
Galangan tersebut, menurut Boogie, dalam kurun 1740-1917, memproduksi lebih dari 1.000 kapal. Pada 1959, di sana sudah diproduksi kapal sipil bertenaga nuklir dan kapal pemecah es terbesar yang diberi nama Lenin.
Kelahiran RI Irian alias ”Ordzhonikidze” diawali pada dekade 1950-an ketika Uni Soviet merencanakan pembangunan kapal penjelajah yang didasari desain Italia masa Perang Dunia II. Spesifikasi teknis kapal tersebut harus mampu melaju di perairan ganas Atlantik Utara dan dilengkapi radar dan artileri pertahanan udara. ”Semula dirancang 40 kapal bersama dengan pembangunan kapal perang Stalingrad dan kapal induk. Proyeksi tersebut untuk menyaingi kekuatan Inggris di Atlantik Utara. Namun, perkembangannya, pembangunan kapal tersebut dibatalkan Nikita Kruschev pada tahun 1954 setelah 14 unit kapal penjelajah selesai. Ke-14 unit kapal itu adalah bagian dari 21 unit kapal yang direncanakan dibuat pada tahap awal,” kata Boogie.
”Ordzhonikidze” dibangun mulai 19 Oktober 1949 dan diluncurkan 17 September 1950, serta beroperasi pada 18 Agustus 1952. Kapal itu kemudian bertugas di Armada Baltik Angkatan Laut Uni Soviet. Karena hubungan baik Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev, kapal itu dijual ke Indonesia pada tahun 1961. ”Kapal dimodifikasi di Armada Laut Hitam di Sevastopol hingga Juni 1962 agar cocok beroperasi di perairan tropis. Pada Juli hingga awal Agustus 1962, kapal berlayar dari Sevastopol hingga ke Surabaya,” kata Boogie.
Pada masa itu, Indonesia membeli pesawat pengebom Tu 16, jet tempur Mig dari berbagai varian, Ilyushin, peluru kendali, 12 unit kapal selam dan kapal penjelajah RI Irian dari Uni Soviet. Saat bersamaan, sejumlah perlengkapan militer dari Amerika Serikat juga dibeli. Misalnya, pesawat angkut dan kapal angkut, tank dan kendaraan taktis Perancis dan pesawat intai maritim Inggris. Tujuannya, kampanye merebut Irian Barat.
Sejarawan Maritim Pusat Sejarah Militer Kementerian Pertahanan Belanda, Anselm van der Piet, menceritakan adanya riset di Belanda tentang keberadaan perwira dan pelaut Uni Soviet dalam armada angkatan perang yang disiapkan untuk Operasi Mandala. Hal itu dibenarkan almarhum Laksamana Pertama (Pur) RP Poernomo, yang menjadi Komandan Satuan Kapal Selam ALRI saat itu.
Dalam satu kesempatan Poernomo mengakui memang ada personel Rusia dalam satgas yang dipimpinnya untuk berperang. Hal itu menarik mengingat di masa Perang Dingin, Uni Soviet hanya memberikan penasihat militer kepada negara sahabatnya, seperti Vietnam, Kuba, dan Yaman.
Spesifikasi RI Irian
Secara teknis, RI Irian punya dua turbin uap dan enam ketel uap yang menghasilkan daya 110.000 tenaga kuda sehingga dapat melaju hingga kecepatan 33,7 knot. Daya jelajahnya juga dapat mencapai jarak 5.220 mil laut pada kecepatan 18 knot atau setara lebih dari 8.500 kilometer dengan kecepatan jelajah hampir 30 kilometer per jam di darat. Kapal punya tangki bahan bakar berkapasitas 3.900 ton.
Kapal tersebut juga punya dua lunas sehingga lincah bermanuver ekstrem dalam kecepatan tinggi. Konstruksi lunas ganda tersebut sangat tak lazim di zamannya sehingga pihak NATO penasaran. Boogie menceritakan, seorang agen rahasia MI-6 Inggris, Lionel Crabb, hilang ketika berusaha menyelam memata- matai kapal tersebut saat AL Uni Soviet mengadakan muhibah ke Pelabuhan Portsmouth, Inggris, 1956.
RI Irian juga dilengkapi 12 meriam dalam empat kubah dengan laras berukuran 152 milimeter dan 6 meriam ganda dalam enam kubah ukuran 100 milimeter. Sebagai pembanding, baru pada tahun 2014 TNI kembali mempunyai meriam kaliber besar, yakni meriam Howitzer Caesar buatan Perancis ukuran 155 milimeter dan kanon pada tank tempur Leopard dengan ukuran sama. Selain itu, terdapat 16 pucuk meriam anti-serangan udara berukuran 37 milimeter dan berbagai radar pelacak serangan udara, radar permukaan laut, radar pembidik meriam, radar navigasi, dan sonar bawah laut. Singkat kata, dengan fasilitas itu, RI Irian ”Benteng Terapung” di Asia Tenggara.


Osa Kurniawan Ilham, pegiat sejarah asal Surabaya yang mengenal pelaku sejarah Irian Barat, menceritakan, kapal tersebut pada akhir 1962 bergabung di pangkalan depan Operasi Mandala di Bitung, Sulawesi Utara. Komandan pertamanya Frits Suak. ”Kapal dengan 1.250 awak itu diberi nomor lambung 2 untuk kelas Cruiser dan diberi nama pulau besar, yakni Irian. Hingga kini belum ada lagi kapal perang kita yang diberi nama pulau besar dan kode 2,” kata Osa.
RI Irian pernah bersenggolan dengan kapal selam sehingga harus menjalani perawatan di Galangan Dalzavod, Uni Soviet. Kapal RI Irian akhirnya mengantarkan Bung Karno mengunjungi Irian yang sudah kembali ke Indonesia. Sayangnya, saat peralihan ke Orde Baru, RI Irian ditelantarkan. Dari kapal sejenis buatan Uni Soviet, hanya RI Irian yang tak diketahui nasibnya.  Oleh : Iwan Santosa ( Kompas.id, 3 Desember 2017)




Tidak ada komentar: