Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (KSAD), George Toisutta menyatakan akan diadakan komando daerah militer baru di Papua. Sementara itu, kodam di Kalimantan Barat juga sedang dalam perencanaan. Hal itu disampaikan George seusai upacara serah terima jabatan dari Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo di Jakarta, Rabu (11/11). Walaupun demikian, George menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari pimpinan. ”Jadi, di Kalbar dan Papua akan ada kebijakan dari atas,” ungkapnya. George tidak menjelaskan lebih jauh alasan pendirian komando daerah militer (kodam) di Papua. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini menekankan pentingnya komando teritorial.
Saat ini TNI AD memiliki 12 kodam. Pertama, Kodam Iskandar Muda di Banda Aceh. Kedua, Kodam I/Bukit Barisan di Medan. Ketiga, Kodam II/Sriwijaya di Palembang. Keempat, Kodam III/Siliwangi di Bandung. Kelima, Kodam Jakarta Raya di Jakarta. Keenam, Kodam IV/Diponegoro di Semarang. Ketujuh, Kodam V/Brawijaya di Surabaya. Kedelapan, Kodam VI/Tanjungpura di Balikpapan. Kesembilan, Kodam VII/Wirabuana di Makassar. Ke-10, Kodam IX/Udayana di Denpasar. Ke-11, Kodam XVI/Pattimura di Ambon. Ke-12, Kodam XVII/Cendrawasih di Jayapura.
Pada tahun anggaran 2007 Departemen Pertahanan telah merumuskan Postur Pertahanan Negara, atau di kalangan sipil sering disebut dengan Cetak Biru Pertahanan, yang telah menuangkannya dalam konsep MEF(Minimum Essential Force) yakni terkait kekuatan, kemampuan, dan gelar pertahanan negara. Sebagaimana diketahui Postur pertahanan negara yang dirumuskan tersebut, adalah dalam rangkan membangun pertahanan negara pada 4 Renstra kedepan yang merupakan postur ideal pertahanan negara, oleh karena keterbatasan anggaran maka pembangunan postur pertahan negara diarahkan untuk mewujudkan kekuatan pokok minimum (MEF) yakni kekuatan yang dibutuhkan untuk mampu menghadapi ancaman faktual yang bersifat mendesak.
Masalahnya persoalan pertahanan tidaklah statis, karena itu sering terlihat tidak adanya konsistensi, khususnya dalam pendanaan.
Para pemerhati Kebijakan pengalokasian anggaran pertahanan menilai adanya inkonsistensi dalam alokasi anggaran. Sering sekali Kebijakan itu tidak memperlihatkan skala prioritas antara kesejahteraan prajurit dan pengadaan peralatan pertahanan. Hal itu antara lain disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darma Putra, (26/10), seusai peluncuran buku Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia di Jakarta.
Rizal mengemukakan, rencana strategis Departemen Pertahanan kurang mencerminkan skala prioritas. ”Dephan memiliki arah kebijakan untuk mengatasi kesenjangan peralatan pertahanan dengan negara tetangga, tetapi di sisi lain juga kerepotan dengan anggaran rutin seperti kesejahteraan prajurit,” Beberapa kebijakan lain Dephan, seperti menambah jumlah komando teritorial, justru dipastikan menambah beban bagi anggaran. Selain itu, ada juga rancangan undang-undang mengenai komponen cadangan yang mengatur tentang wajib militer sehingga dipastikan semakin menyedot anggaran.
Dikaitkan dengan pembentukan Kodam, sebelumnya, TNI menyatakan tengah melakukan studi untuk mendirikan kodam di Kalimantan Barat. Alasannya, panjang garis 2.004 kilometer terlalu panjang untuk hanya ditangani oleh satu kodam yang ada saat ini, yaitu Kodam VI/Tanjungpura. Saat itu Agustadi menyatakan belum ada rencana pengembangan kodam untuk pulau lain (Kompas, 15/10/2009). Menurut catatan Kompas, saat ini ada penambahan satu divisi pasukan tempur cadangan di Papua. Di Papua sendiri sudah terdapat dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Menanggapi hal ini, mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo mengatakan, kewenangan untuk menambah atau mengurangi kodam ada di tangan Panglima TNI. Agus mempertanyakan apa pertimbangan sehingga harus diadakan kodam baru di Papua. Menurut dia, pertahanan itu berhubungan dengan negara di luar perbatasan, sementara masalah yang saat ini mencuat di Papua adalah masalah keamanan sehingga merupakan wilayah penegakan hukum. (EDN) Sumber : Kompas oktober, November 2009.
Sabtu, 28 November 2009
Rabu, 18 November 2009
Cicak VS Buaya, Itu Memang Bukan Krisis
Catatan Blogger; tulisan Eep Saefulloh Fatah judul Disfungsi Presiden dibawah ini, hemat saya sangat bagus, kena, tegas dengan bahasa politik yang rada vulgar, semoga kebebasan pers di Indonesia tidak akan mengebiri hal-hal yang seperti ini. Terus terang, tulisan seperti itu untuk konsumsi masyarakat dengan intelektual rata-rata keatas. Terus terang apa yang lagi di “perankan oleh “ presiden SBY adalah tipikal penyelesaian budaya ala Indonesia, yang justeru menghendaki “Ketidak Tegasan” dalam setiap persoalan genting. Karena apa, budaya kita itu adalah “budaya tepo seliro”,
Kebenaran tidak perlu diungkapkan secara jelas dan vulgar. Pak Eep, jangan ikuti irama “timur tengah”, yang mau tumpahkan darah, hanya karena dia merasa benar. Sebab kebenaran itu sebenarnya “nisbi” dan sesaat. Karena itu soal presiden yang terlihat tidak bersikap tegas, ya kerena hal seperti itu memang tidak di perlukan. Itu kalau anda berada di Indonesia. Jadi idenya adalah biarkan Cicak vs Buaya bertarung dan yang lain silahkan pilih mau memihak siapa. Yang penting lewat jalur “hukum” ala Indonesia.
Disfungsi Presiden
Oleh : Eep Saefulloh Fatah
Di banyak sekali tempat dan forum yang saya datangi belakangan ini, saya bersua dengan beragam kalangan yang memiliki keheranan serupa. Mereka heran, mengapa Presiden terlihat sangat lamban dan tak tegas dalam perkara percekcokan yang semakin panas di antara institusi kepolisian dan Kejaksaan Agung di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di sisi lain.
Alih-alih tercitrakan sebagai pemimpin yang pandai menjaga langkah dalam koridor hukum, Presiden di mata banyak kalangan itu tampil sebagai pemimpin yang kikuk dan seolah terpasung dalam ruang gerak amat terbatas. Presiden tampil sebagai pemilik kekuasaan besar yang seolah tak tahu menggunakan kekuasaan itu dengan sepatutnya.
Izinkan saya menamai gejala itu sebagai ”disfungsi Presiden”. Presiden yang semestinya menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan berpendirian justru tergagap-gagap bersikap dan tertatih-tatih dalam ruang gerak sempit.
Bukankah Presiden baru saja meraup dukungan legitimasi yang amat kuat dari 60,8 persen pemilih? Bukankah Presiden sekarang disokong oleh Partai Demokrat yang berpostur tiga kali lebih besar dibandingkan dengan postur partai ini selepas Pemilu 2004 dulu? Mengapa dalam situasi yang penuh keleluasaan itu justru terbangun disfungsi Presiden? Apa konsekuensi-konsekuensi genting dari situasi ini?
Empat dugaan
Dengan data serba terbatas, sulit menjawab rentetan pertanyaan di atas secara meyakinkan. Namun, sebagai langkah awal, mari kita buat sejumlah dugaan.
Pertama, boleh jadi Presiden adalah korban dari kalut dan tidak kredibelnya lingkaran-lingkaran politik atau birokrasi di sekitarnya. Presiden menerima informasi dan data yang tidak akurat mengenai situasi sehingga akhirnya mengambil langkah atau kebijakan yang tak layak.
Meminjam terminologi yang kerap digunakan di Amerika Latin, yang terjadi adalah gejala ”buramnya kaca istana”. Lingkaran politik dan birokrasi di sekitar Presiden alih-alih memperjelas justru mengaburkan pandangan Presiden ke luar istananya. Buramnya kaca istana membuat Presiden keliru menilai situasi dan mengambil langkah.
Rakyat, yang berteriak marah di luar istana, dari balik kaca itu terlihat seperti tersenyum bersukacita. Suasana gaduh centang-perenang di luar terlihat dari balik kaca itu sebagai tenteram penuh kedamaian.
Begitulah, dalam kasus perseteruan kepolisian melawan KPK, Presiden yang semestinya mengambil langkah sigap dan patut sejak beberapa bulan lampau akhirnya tak mengambil langkah apa pun. Menurut teori ini, disfungsi Presiden adalah akibat serta-merta dari ketidakmampuan dan tiadanya kredibilitas lingkaran politik dan birokrasi dalam istana.
Kedua, ketidaksigapan Presiden dalam kasus cicak melawan buaya ini boleh jadi menggambarkan karakter atau tabiat Presiden yang memang tak mampu bersigap-sigap. Boleh jadi, disfungsi Presiden menunjukkan tabiat sejati Presiden sebagai seseorang yang cenderung lamban dalam menjejeri dinamika publik yang serba cepat.
Jika teori ini digunakan, yang kita temukan di balik ketidaksigapan langkah Presiden adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang bermasalah. Artinya, Presiden terlampau lemah untuk mengatasi percekcokan antara kepolisian-kejaksaan dan KPK.
Ketiga, Presiden memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam kaitan dengan kasus ini. Banyak orang makin keras menduga bahwa kasus cicak versus buaya sebetulnya merupakan puncak sebuah gunung es. Di baliknya diduga ada tumpukan persoalan atau skandal lain yang sejauh ini masih tersamar atau tersembunyi.
Dalam teori ini, Presiden pun menjadi kikuk berhadapan dengan tuntutan dan aspirasi khalayak lantaran berkepentingan menyelamatkan diri dan/atau orang-orang di sekitarnya.
Keempat, sebagian kalangan menduga, jangan-jangan ketidaksigapan dan ketaklayakan Presiden dalam perseteruan cicak melawan buaya sesungguhnya menegaskan betapa Presiden sesungguhnya tak menyokong penegakan hukum secara genuine. Sebagian kalangan bahkan mulai menduga, jangan-jangan Presiden justru berkepentingan membikin percekcokan itu tak selesai secara tuntas.
Manajemen krisis
Sebagaimana lazimnya dugaan, keempat penjelasan itu mungkin saja keliru. Namun, terlepas dari kemungkinan kekeliruan ini, ada satu fakta yang sulit disembunyikan: Presiden sejauh ini tidak berhasil menjalankan fungsi manajemen krisis.
Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin yang dinilai berhasil lantaran mampu memainkan fungsi manajemen krisis. Bahkan, untuk menjawab tuntutan antisipasi, banyak pemimpin yang bekerja berdasarkan ”skenario krisis di tengah tak adanya krisis”. Arjen Boin dan kawan-kawan (The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure, 2005) menyebut cara kerja semacam itu sebagai salah satu garansi sukses kepemimpinan dalam meminimalkan risiko.
Hari-hari ini saya gundah sebab Presiden justru bekerja dengan logika sebaliknya. Di tengah krisis yang makin menegas—krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, kepresidenan, peradilan, dan penegakan hukum—Presiden justru bekerja berbasis ”skenario tanpa krisis”. Saya gundah karena jika cara kerja ini dilanjutkan, boleh jadi kita sedang menabur banyak angin untuk akhirnya harus menuai badai.
Tentu saja, sebagai warga negara, saya berharap kegundahan dan kekhawatiran itu bertepuk sebelah tangan.
(Kompas, Selasa, 17 /11/ 2009, Eep Saefulloh Fatah, CEO PolMark Indonesia)
Kebenaran tidak perlu diungkapkan secara jelas dan vulgar. Pak Eep, jangan ikuti irama “timur tengah”, yang mau tumpahkan darah, hanya karena dia merasa benar. Sebab kebenaran itu sebenarnya “nisbi” dan sesaat. Karena itu soal presiden yang terlihat tidak bersikap tegas, ya kerena hal seperti itu memang tidak di perlukan. Itu kalau anda berada di Indonesia. Jadi idenya adalah biarkan Cicak vs Buaya bertarung dan yang lain silahkan pilih mau memihak siapa. Yang penting lewat jalur “hukum” ala Indonesia.
Disfungsi Presiden
Oleh : Eep Saefulloh Fatah
Di banyak sekali tempat dan forum yang saya datangi belakangan ini, saya bersua dengan beragam kalangan yang memiliki keheranan serupa. Mereka heran, mengapa Presiden terlihat sangat lamban dan tak tegas dalam perkara percekcokan yang semakin panas di antara institusi kepolisian dan Kejaksaan Agung di satu sisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di sisi lain.
Alih-alih tercitrakan sebagai pemimpin yang pandai menjaga langkah dalam koridor hukum, Presiden di mata banyak kalangan itu tampil sebagai pemimpin yang kikuk dan seolah terpasung dalam ruang gerak amat terbatas. Presiden tampil sebagai pemilik kekuasaan besar yang seolah tak tahu menggunakan kekuasaan itu dengan sepatutnya.
Izinkan saya menamai gejala itu sebagai ”disfungsi Presiden”. Presiden yang semestinya menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan berpendirian justru tergagap-gagap bersikap dan tertatih-tatih dalam ruang gerak sempit.
Bukankah Presiden baru saja meraup dukungan legitimasi yang amat kuat dari 60,8 persen pemilih? Bukankah Presiden sekarang disokong oleh Partai Demokrat yang berpostur tiga kali lebih besar dibandingkan dengan postur partai ini selepas Pemilu 2004 dulu? Mengapa dalam situasi yang penuh keleluasaan itu justru terbangun disfungsi Presiden? Apa konsekuensi-konsekuensi genting dari situasi ini?
Empat dugaan
Dengan data serba terbatas, sulit menjawab rentetan pertanyaan di atas secara meyakinkan. Namun, sebagai langkah awal, mari kita buat sejumlah dugaan.
Pertama, boleh jadi Presiden adalah korban dari kalut dan tidak kredibelnya lingkaran-lingkaran politik atau birokrasi di sekitarnya. Presiden menerima informasi dan data yang tidak akurat mengenai situasi sehingga akhirnya mengambil langkah atau kebijakan yang tak layak.
Meminjam terminologi yang kerap digunakan di Amerika Latin, yang terjadi adalah gejala ”buramnya kaca istana”. Lingkaran politik dan birokrasi di sekitar Presiden alih-alih memperjelas justru mengaburkan pandangan Presiden ke luar istananya. Buramnya kaca istana membuat Presiden keliru menilai situasi dan mengambil langkah.
Rakyat, yang berteriak marah di luar istana, dari balik kaca itu terlihat seperti tersenyum bersukacita. Suasana gaduh centang-perenang di luar terlihat dari balik kaca itu sebagai tenteram penuh kedamaian.
Begitulah, dalam kasus perseteruan kepolisian melawan KPK, Presiden yang semestinya mengambil langkah sigap dan patut sejak beberapa bulan lampau akhirnya tak mengambil langkah apa pun. Menurut teori ini, disfungsi Presiden adalah akibat serta-merta dari ketidakmampuan dan tiadanya kredibilitas lingkaran politik dan birokrasi dalam istana.
Kedua, ketidaksigapan Presiden dalam kasus cicak melawan buaya ini boleh jadi menggambarkan karakter atau tabiat Presiden yang memang tak mampu bersigap-sigap. Boleh jadi, disfungsi Presiden menunjukkan tabiat sejati Presiden sebagai seseorang yang cenderung lamban dalam menjejeri dinamika publik yang serba cepat.
Jika teori ini digunakan, yang kita temukan di balik ketidaksigapan langkah Presiden adalah sebuah kualitas kepemimpinan yang bermasalah. Artinya, Presiden terlampau lemah untuk mengatasi percekcokan antara kepolisian-kejaksaan dan KPK.
Ketiga, Presiden memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam kaitan dengan kasus ini. Banyak orang makin keras menduga bahwa kasus cicak versus buaya sebetulnya merupakan puncak sebuah gunung es. Di baliknya diduga ada tumpukan persoalan atau skandal lain yang sejauh ini masih tersamar atau tersembunyi.
Dalam teori ini, Presiden pun menjadi kikuk berhadapan dengan tuntutan dan aspirasi khalayak lantaran berkepentingan menyelamatkan diri dan/atau orang-orang di sekitarnya.
Keempat, sebagian kalangan menduga, jangan-jangan ketidaksigapan dan ketaklayakan Presiden dalam perseteruan cicak melawan buaya sesungguhnya menegaskan betapa Presiden sesungguhnya tak menyokong penegakan hukum secara genuine. Sebagian kalangan bahkan mulai menduga, jangan-jangan Presiden justru berkepentingan membikin percekcokan itu tak selesai secara tuntas.
Manajemen krisis
Sebagaimana lazimnya dugaan, keempat penjelasan itu mungkin saja keliru. Namun, terlepas dari kemungkinan kekeliruan ini, ada satu fakta yang sulit disembunyikan: Presiden sejauh ini tidak berhasil menjalankan fungsi manajemen krisis.
Di berbagai belahan dunia, banyak pemimpin yang dinilai berhasil lantaran mampu memainkan fungsi manajemen krisis. Bahkan, untuk menjawab tuntutan antisipasi, banyak pemimpin yang bekerja berdasarkan ”skenario krisis di tengah tak adanya krisis”. Arjen Boin dan kawan-kawan (The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure, 2005) menyebut cara kerja semacam itu sebagai salah satu garansi sukses kepemimpinan dalam meminimalkan risiko.
Hari-hari ini saya gundah sebab Presiden justru bekerja dengan logika sebaliknya. Di tengah krisis yang makin menegas—krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, kepresidenan, peradilan, dan penegakan hukum—Presiden justru bekerja berbasis ”skenario tanpa krisis”. Saya gundah karena jika cara kerja ini dilanjutkan, boleh jadi kita sedang menabur banyak angin untuk akhirnya harus menuai badai.
Tentu saja, sebagai warga negara, saya berharap kegundahan dan kekhawatiran itu bertepuk sebelah tangan.
(Kompas, Selasa, 17 /11/ 2009, Eep Saefulloh Fatah, CEO PolMark Indonesia)
Jumat, 13 November 2009
Kongres AS Mulai Ragu dengan Misi di Afganistan
Memasuki tahun kedelapan perang di Afganistan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama kian ditekan untuk menyelesaikan perang itu dengan benar. Obama mengumpulkan anggota Kongres dari Partai Demokrat dan Republik, Selasa (6/10), Washington, guna mengkaji strategi paling tepat meneruskan perang tersebut. Namun, Kongres mulai ragu dengan misi di Afganistan.
Para anggota Kongres keluar dari pertemuan 90 menit itu pada posisi yang sama saat mereka masuk. Senator Judd Gregg dari Partai Republik mengatakan tidak ada konsensus dalam pertemuan. Ketua DPR AS Nancy Pelosi juga menuturkan tentang keberagaman pendapat yang mengemuka.
Partai Demokrat meminta Obama tidak buru-buru menambah pasukan di Afganistan. Banyak anggota Demokrat menentang penambahan pasukan di Afganistan karena khawatir perang akan lama dan tidak populer. Mereka khawatir misi di Afganistan akan berbalik menjadi jebakan serta mengeringkan harapan Obama akan sebuah kepresidenan yang reformis.
Tak mau tarik pasukan
Obama telah menyingkirkan pilihan untuk menarik keluar pasukan AS. Dia juga menyatakan tidak akan mengurangi jumlah pasukan, tetapi tidak mengisyaratkan akan menambah jumlah pasukan sesuai dengan yang diminta McChrystal.
Tahun ini, Obama telah menambah 21.000 tentara untuk Afganistan sehingga total jumlahnya mencapai 68.000 tentara. ”Meninggalkan Afganistan bukanlah sebuah pilihan,” kata juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs.
Obama menyatakan, perang di Afganistan tidak akan diturunkan menjadi semata-mata upaya kontraterorisme yang dangkal. Dia juga memperingatkan bahwa keputusan yang nanti diambilnya tidak akan membuat semua orang senang. Yang paling jelas, kata Obama, misi di Afganistan tidak berubah. Fokusnya tetap menjaga agar kelompok Al Qaeda tidak memiliki basis untuk melancarkan serangan ke AS atau sekutunya.
Kubu Republik mendesak Obama mengikuti permintaan komandan pasukan AS di Afganistan, Jenderal Stanley McChrystal, agar menambah kekuatan pasukan dengan lebih dari 40.000 tentara.
Senator John McCain dari Partai Republik mengatakan agar Obama tidak ”setengah-setengah”. ”Faktanya, kita semua tahu bahwa jika Taliban kembali, Al Qaeda akan kembali. Saya sangat yakin bahwa analisis Jenderal McChrystal tidak hanya benar, tetapi harus dilaksanakan sesegera mungkin. Langkah setengah-setengah adalah yang saya khawatirkan,” katanya.
”Kami menyadari bahwa dia (Obama) menghadapi keputusan sulit dan perlu waktu untuk membuat keputusan yang benar. Terus terang, saya mendukung itu, tetapi kita harus ingat bahwa pada setiap hari yang berlalu, pasukan kita di sana berada dalam bahaya yang semakin besar,” ujar Pemimpin Partai Republik di DPR AS, John Boehner.
Dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan kembali merosot menjadi 40 persen, turun dari 44 persen pada Juli, berdasarkan jajak pendapat oleh Associated Press-GfK. Dalam jajak pendapat itu juga ditemukan bahwa 69 persen responden yang mendukung Republik setuju dengan penambahan pasukan di Afganistan. Sebanyak 57 persen responden yang mendukung Demokrat menyatakan menolak.
800 tentara tewas
Perang di Afganistan diluncurkan oleh pemerintahan mantan Presiden George W Bush menyusul terjadinya serangan terhadap gedung WTC di AS pada 11 September 2001. Perang itu bertujuan mengalahkan kelompok Taliban dan Al Qaeda yang dituding berada di balik serangan itu. Akhir-akhir ini, situasi di Afganistan kian memburuk bagi pasukan AS dengan hampir 800 tentara tewas. Tekanan psikis bagi tentara juga meningkat.
Situasi diperburuk dengan hasil pemilu presiden Afganistan yang dimenangi Presiden Hamid Karzai. Pemilu itu dinilai sarat kecurangan.
Gedung Putih menyatakan, Obama tidak akan mendasarkan keputusannya pada suasana hati di Capitol Hill, tempat Kongres bertemu. Obama juga tidak akan mengambil keputusan yang akan mengikis dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan.
Obama akan kembali menggelar pertemuan dengan tim penasihat perang, termasuk Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, dan Menteri Pertahanan Robert Gates di Gedung Putih.
Keputusan akhir Obama tentang perang di Afganistan kemungkinan akan diumumkan pada pekan depan.(Kompas, ap/afp/reuters/bbc/fro, 8 Oktober 2009)
Para anggota Kongres keluar dari pertemuan 90 menit itu pada posisi yang sama saat mereka masuk. Senator Judd Gregg dari Partai Republik mengatakan tidak ada konsensus dalam pertemuan. Ketua DPR AS Nancy Pelosi juga menuturkan tentang keberagaman pendapat yang mengemuka.
Partai Demokrat meminta Obama tidak buru-buru menambah pasukan di Afganistan. Banyak anggota Demokrat menentang penambahan pasukan di Afganistan karena khawatir perang akan lama dan tidak populer. Mereka khawatir misi di Afganistan akan berbalik menjadi jebakan serta mengeringkan harapan Obama akan sebuah kepresidenan yang reformis.
Tak mau tarik pasukan
Obama telah menyingkirkan pilihan untuk menarik keluar pasukan AS. Dia juga menyatakan tidak akan mengurangi jumlah pasukan, tetapi tidak mengisyaratkan akan menambah jumlah pasukan sesuai dengan yang diminta McChrystal.
Tahun ini, Obama telah menambah 21.000 tentara untuk Afganistan sehingga total jumlahnya mencapai 68.000 tentara. ”Meninggalkan Afganistan bukanlah sebuah pilihan,” kata juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs.
Obama menyatakan, perang di Afganistan tidak akan diturunkan menjadi semata-mata upaya kontraterorisme yang dangkal. Dia juga memperingatkan bahwa keputusan yang nanti diambilnya tidak akan membuat semua orang senang. Yang paling jelas, kata Obama, misi di Afganistan tidak berubah. Fokusnya tetap menjaga agar kelompok Al Qaeda tidak memiliki basis untuk melancarkan serangan ke AS atau sekutunya.
Kubu Republik mendesak Obama mengikuti permintaan komandan pasukan AS di Afganistan, Jenderal Stanley McChrystal, agar menambah kekuatan pasukan dengan lebih dari 40.000 tentara.
Senator John McCain dari Partai Republik mengatakan agar Obama tidak ”setengah-setengah”. ”Faktanya, kita semua tahu bahwa jika Taliban kembali, Al Qaeda akan kembali. Saya sangat yakin bahwa analisis Jenderal McChrystal tidak hanya benar, tetapi harus dilaksanakan sesegera mungkin. Langkah setengah-setengah adalah yang saya khawatirkan,” katanya.
”Kami menyadari bahwa dia (Obama) menghadapi keputusan sulit dan perlu waktu untuk membuat keputusan yang benar. Terus terang, saya mendukung itu, tetapi kita harus ingat bahwa pada setiap hari yang berlalu, pasukan kita di sana berada dalam bahaya yang semakin besar,” ujar Pemimpin Partai Republik di DPR AS, John Boehner.
Dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan kembali merosot menjadi 40 persen, turun dari 44 persen pada Juli, berdasarkan jajak pendapat oleh Associated Press-GfK. Dalam jajak pendapat itu juga ditemukan bahwa 69 persen responden yang mendukung Republik setuju dengan penambahan pasukan di Afganistan. Sebanyak 57 persen responden yang mendukung Demokrat menyatakan menolak.
800 tentara tewas
Perang di Afganistan diluncurkan oleh pemerintahan mantan Presiden George W Bush menyusul terjadinya serangan terhadap gedung WTC di AS pada 11 September 2001. Perang itu bertujuan mengalahkan kelompok Taliban dan Al Qaeda yang dituding berada di balik serangan itu. Akhir-akhir ini, situasi di Afganistan kian memburuk bagi pasukan AS dengan hampir 800 tentara tewas. Tekanan psikis bagi tentara juga meningkat.
Situasi diperburuk dengan hasil pemilu presiden Afganistan yang dimenangi Presiden Hamid Karzai. Pemilu itu dinilai sarat kecurangan.
Gedung Putih menyatakan, Obama tidak akan mendasarkan keputusannya pada suasana hati di Capitol Hill, tempat Kongres bertemu. Obama juga tidak akan mengambil keputusan yang akan mengikis dukungan publik AS terhadap perang di Afganistan.
Obama akan kembali menggelar pertemuan dengan tim penasihat perang, termasuk Wakil Presiden Joe Biden, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, dan Menteri Pertahanan Robert Gates di Gedung Putih.
Keputusan akhir Obama tentang perang di Afganistan kemungkinan akan diumumkan pada pekan depan.(Kompas, ap/afp/reuters/bbc/fro, 8 Oktober 2009)
Minggu, 08 November 2009
TNI dan Tantangan Keamanan Regional
Langganan:
Postingan (Atom)