Jumat, 26 Februari 2010

Peluang Bisnis, Coba dan Gabunglah

KENAPA HARUS GABUNG

Apakah kita bisa langsung dapat duit jika bergabung dengan program ini..? Bagaimana jaminannya? Lebih lagi, kalau anda masih pemula, dan ingin memulai bisnis atau mencoba peruntungan di dunia maya, berarti anda membutuhkan sahabat pendamping, teman yang bisa anda Tanya kalau anda menghadapi persoalan. Anda harus percaya bahwa sebenarnya semua pekerjaan itu dapat dikerjakan, dengan syarat kita mau belajar, mau menbaca, mau bertanya dan berusaha untuk bisa. Kalau niat itu sudah ada, maka yang perlu anda cari adalah kumpulan atau group yang anda bisa merasa betah dan enjoi di dalamnya. Maka saran saya bergabunglah di UANG PANAS. COM Anda akan diberi tahu, cara berbisnis di dunia maya, dunia internet dan sekaligus anda punya potensi menghasilkan uang. Enak kan? Enak bangat. COBA LIHAT



Ada beberapa alasan saya merekomendasikan anda untuk bergabung dengan progam uangpanas.com
Pertama, saya melihat profile Personalnya yang mempunyai pribadi yang baik, dan bisa dipercaya. Pernah ga dengar apa modal utama seorang wirausaha? Dengarlah apa yang dikatakan Arifin Ponigoro (pemilik ; Medco group), menurutnya “ Ada sembilan prinsip bisnis yang perlu dipegang dalam mengembangkan sebuah usaha ; yaitu intuisi (memadukan kata hati dan akal sehat), kesetaraan (bersikap adil kepada lawan sekalipun), kejujuran (jujur itu langgeng), percaya diri (yakinkan diri, pengaruhi orang lain), jejaring (sejuta kawan kurang, satu lawan jangan), tanggung jawab (tunaikan kewajiban, hadapi persoalan), sumber daya manusia (pilih yang terbaik dan berdayakan), inovasi (berkarya tanpa jeda), serta peduli (menumbuhkan entrepreneurship). Artinya anda juga dapat berhasil kalau “mau”.
Cobalah berkunjung ke Uang Panas.Com. Anda akan dapat minimal, merasakan aromanya.
Kedua, Saya juga ingin membangun bisnis online seperti program ini, tetapi untuk sementara coba belajar dulu dengan produk kawan, apakah anda juga mempunyai pemikiran yang sama seperti saya...? Ketiga, mencoba usaha nyata di dunia internet. Keempat. Saya masih pemula dalam hal blogging, internet marketing atau bisnis internet lainnya, orang bisa berhasil dan sukses tentu saya juga bisa berhasil, kalau kerjanya benar. BISA LIHAT DISINI



Kelima, saya percaya, tidak ada yang bisa menjamin keberhasilan 100%, hanya DIA lah yang menentukan segalanya. semua itu tergantung dari keuletan dan kesabaran kita dalam mengelola usaha. Sudah banyak yang gagal dengan kehilangan modalnya, tetapi banyak juga yang berhasil dan berlimpah. Kalah dan menang adalah permainan upaya Asa, sakit dan senang adalah permainan hidup. Ada susah ada senang. Kenapa harus bingung? Semua usaha punya peluang untuk bisa maju, dan juga untuk tidak berhasil sama sekali. Yang penting usaha, pake pikiran dan akal budi secara benar.

Ingin sukses.. Mari kita jalani usaha ini dengan sungguh-sungguh. dan jangan lupa Ingat semangatnya SEDEKAH, anda berikan satu Tuhan akan membalasnya dengan Tiga, Lima dst. Anda harus percaya itu. Kalau anda ihlas, sebenarnya berbisnis dengan tuhan itu paling nikmat. Gunakan uang anda dengan benar dan ihklas, tanpa mengharap balasan dari NYA. Percayalah anda akan memperoleh semua kebaikan dan kelimpahannya kembali. Ga percaya? Cobalah. Buat penelitian kecil-kecilan. Bagaimana perimbangan harta yang dengan ihklas di pergunakan dan sedekahkan dengan balasan yang anda terima. Bukan di akhirat, tetapi di dunia ini. Ga percaya. Buktikan sendiri. Daftar DISINI ....

Sabtu, 20 Februari 2010

Berakhirnya "Era TNI", Penjuru Yang Berubah

Oleh : Roch Basoeki Mangoenpoerojo

Berakhirnya tahun 2009, berakhir pula aroma TNI dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Sekalipun masih ada nama-nama purnawirawan TNI, tetapi tidak terasa kaitannya dengan keperkasaan TNI. Presiden SBY telah menuntaskan reformasi TNI, dan TNI tidak lagi berada di depan.

Mewakili aspirasi rakyat tentang kondisi ini, benarkah TNI tak dibutuhkan lagi oleh masyarakat? Bagi yang merasa masih perlu, harus meninjau ulang kemampuan TNI.

Dua TNI

TNI wadag (tampil fisik) yang bersenjata berbeda dengan TNI nurani (sarat nilai). Era 1945- 1965, TNI unjuk prestasi dengan nilai dan karya. Mereka dihormati rakyat, dibutuhkan pemuka masyarakat kendati dibenci politisi. Sementara pada era 1968- 1998, TNI unjuk kekuasaan ikut Soeharto. Mereka ditakuti rakyat, dibutuhkan cukong dan membikin iri hati para politisi. Di era Reformasi, peranannya menurun dan berakhir pada tahun 2009.

Kemenangan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945, mengantar Kolonel Sudirman (pimpinannya) menjadi Panglima Besar TNI. Anggota Laskar Muhamadiyah Purwokerto mampu menyatukan laskar lain ke dalam tubuh TNI untuk berkarya bagi bangsanya. Ia pernah tercemari saat berhubungan dengan insan politik (Tan Malaka) dan berhadapan dengan Soekarno, tetapi dari situ muncullah semboyan ”Politik TNI adalah politik Negara (Soekarno-Hatta)”.

Ketangguhan TNI sangat bermanfaat untuk meningkatkan percaya diri bangsa dalam menghadapi Belanda yang memakai kekuatan teknologi, dan didukung Sekutu. Bukan cuma itu, dikembangkannya kesisteman berdasarkan kemampuan senyatanya sebagai bangsa, disebut sishankamrata. Sistem tersebut dikawal seperangkat santi-aji made in Indonesia, seperti Dharma Pusaka dan Pinaka Baladika, antara lain berisi Sapta-Marga, 11 Kepemimpinan, dan banyak lagi (bandingkan dengan sekarang, yang semua serbabuatan asing). Di sisi teknik lahir ”ilmu gerilya” beserta antinya, yang kemudian digunakan oleh Vietnam untuk mengusir Amerika Serikat.

Karya itu membuat TNI dicintai rakyat, tetapi dianggap ”setan desa” oleh para politisi. Sampai pada saatnya, TNI (AD) menolak adanya Angkatan V yang membuat PKI marah besar, berujung pada pembunuhan tujuh pahlawan revolusi.

Sejak 1968, mereka menjadi ABRI. Dari sekadar stabilisator dan dinamisator di tengah rakyat menjadi penguasa di atas rakyat. Masuk gelanggang kekuasaan menjadi Muspika, Muspida, dan seterusnya. Titah Presiden, satu- satunya software yang harus dipatuhi. Hardware, digunakan- nya Babinsa sampai Kodam (aparat teritorial) yang telah terlembaga. Akibatnya, Sapta Marga tidak efektif ketika UUD 1945 (marga kesatu) diamandemen pun TNI tidak merasa dipecundangi.

Komandan koramil mendua pribadinya ketika harus menjabat Muspika. Dulu, dinamisator masyarakat, menjadi agen untuk perubahan sistem (konteks ruang, alat, dan kondisi juang), tetapi dijadikan agen intelijen untuk abadinya kekuasaan. Setelah 30 tahun, budaya memenangkan hati rakyat (teritorial) ternyata kalah oleh konsep ”agen kekuasaan yang memata-matai rakyat”.

Masihkah diperlukan?

Akibat menduanya kepribadian tersebut terlihat ketika pensiun. Predikat ”pejuang tak kenal menyerah” sulit direalisasikan, apalagi saat era-Reformasi berjalan dan Soeharto telah tiada. Ajakan kalangan pemuda kepada purnawirawan untuk mengatasi kezaliman kekuasaan parpol yang mengatasnamakan demokrasi, ditolaknya. Mereka sulit menunjukkan kecintaannya kepada rakyat.

Kini, di tengah hangatnya kemelut politik cicak-buaya sampai skandal Bank Century, mungkinkah TNI aktif come back? Perlu waktu panjang untuk itu. Ada tiga masalah. Satu, TNI tidak nyaman dengan pendekatan hukum yang sekarang harus diikuti. Dua, manajemen tidak match antara software dan hardware. Tiga, kecintaannya kepada rakyat diragukan.

Ketiga hal tersebut terlihat dalam satu kasus, penggusuran ”kompleks militer” yang terjadi di mana-mana. Purnawirawan tetap digusur kendati urusan berada di tangan pengadilan. Penggusuran itu jelas menunjukkan tidak disiplinnya ”manajemen perumahan” di kalangan TNI. Seolah tanpa perencanaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Bila terhadap purnawirawan saja sulit menghargainya (apalagi menghormati), rasionalkah rakyat mengharapkan untuk dicintai oleh TNI?

Tanpa dicintai rakyat, tentara itu mungkin ABRI yang tidak peduli pada rakyat dari mana ia berasal. Pak Dirman pernah berucap ”Saya lebih suka berjuang bersama rakyat di desa dan hutan” (1948). Peluang untuk dibutuhkan masih terbuka luas, misalnya lewat penanggulangan bencana dan menjauhi kekuasaan.

( Kompas/ 21/1/ 2010; S Roch Basoeki M Ketua M-3, Masyarakat Musyawarah Mufakat)

Minggu, 14 Februari 2010

Ancaman Disintegrasi, Melatih Kesiagaan TNI

Penulis : Dinny Mutiah

Ancaman disintegrasi bangsa dari luar secara fisik tak lagi terlihat nyata. Meski demikian, TNI tetap menghadirkan ancaman disintegrasi bangsa tersebut untuk menyiagakan pasukan.

Hal ini disampaikan oleh Wakil KSAL Laksamana Madya Soeparno kepada wartawan di Jakarta, Jumat (12/2).

"Dari segi TNI, kita harus tetap waspada. Untuk ancaman fisik kita tetap prediksikan yang terburuk. Harus tetap dianggap ada ancaman. Kalau kita sebagai tentara menganggap tidak ada ancaman, kesiapan kita kurang," ujar Soeparno.

Pendapat ini mengomentari pendapat Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan ancaman disintegrasi fisik dari luar semakin melemah pada saat sekarang. Ancaman disintegrasi lebih banyak ditimbulkan dari dalam. Itu, kata dia, disebabkan oleh dua tantangan, yakni kemerosotam pemahaman paham kebangsaan dan meluasnya sikap lokalisasi atau etnosentris.

"Sekarang ini, konsep nasionalisme kita sudah berubah. Waktu bangsa ini mulai tercipta yang ada adalah menolak penjajahan, sikap patriotik meluas. Sekarang basis nasionalisme berubah menjadi keadilan dan penegakan hukum. Ancaman disintegrasi fisik dari luar tidak ada dan bisa dideteksi. Kalau adapun, kecil dan sembunyi-sembunyi," urainya.

Ia menekankan kunci untuk pengikat di masa depan bukanlah musuh dari luar, tetapi musuh dari dalam. Keadilan yang diterapkan pejabat penegak hukum akan menentukan apakah bangsa ini bertahan atau hancur.

"Pejabat hukum bisa adil atau tidak, kalau tidak tinggal tunggu kehancuran. Yang paling penting arah kebijakan dari pemerintah adalah pada prinsip keadilan. Keadilan itu yang penting orang tidak curang, ga usah konsep yang canggih-canggih. Orang yang kecil bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang yang besar," tandasnya. Sumber MI:(DM/OL-7/12/2/ 2010

Senin, 08 Februari 2010

Keterkaitan Perang Dengan Pengamanan Energi



Oleh : Antara/Regina Safri
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berbicara blak-blakan dengan sejumlah pimpinan media massa nasional soal keterkaitan perang dengan perebutan sumber daya alam.

"Bicara soal perang dan perebutan dalam pengelolaan sumber daya alam memang terkait. Presiden dalam salah satu acara bahkan menekankan ancaman keamanan masa depan adalah perang non-konvensional," katanya dalam tatap muka dengan pimpinan media massa di Jakarta, Jumat (5/2).

Purnomo juga bicara banyak hal termasuk soal pemilihan dirinya untuk menduduki jabatan menteri pertahanan yang sebelumnya menjabat sebagai menteri energi dan sumber daya mineral. Ia lantas menyebutkan ancaman non-perang seperti, perang yang terkait dengan energi, terorisme, perdagangan manusia, perubahan iklim dan pembalakan liar.

Purnomo kemudian menceritakan pengalamannya semasa menjabat menteri energi dan sumber daya mineral, tatkala salah satu perusahaan minyak multinasional hendak mengeksplorasi di perairan Ambalat melalui perusahaan minyak Malaysia.

"Pola yang dipakai sama persis seperti yang digunakan terhadap Brunei yaitu memunculkan kawasan yang disengketakan namun menawarkan kerja sama untuk melakukan kegiatan eksplorasi bersama," katanya.

Indonesia, katanya, tidak mau dan tetap bersikukuh untuk menyelesaikan dulu persoalan perbatasannya baru kemudian berbicara soal kerjasama. Kalau mengikuti keinginan tersebut , maka selamanya akan tetap menjadi kawasan sengketa sementara kekayaan alamnya sudah tergali lebih dulu.

Pada pertemuan itu, pemimpin redaksi media massa menyingung berbagai persoalan mulai dari polemik rumah dinas TNI yang ditempati purnawirawan dan rakyat umum lainnya, hingga daerah perbatasan yang memerlukan pengawalan patroli secara rutin.

"Untuk perumahan dinas TNI, kalau berdasarkan peraturan yang ada maka hal itu merupakan aset negara yang diprioritaskan bagi prajurit aktif. Namun kita juga memiliki toleransi. Toleransi inilah yang perlu disosialisasikan," katanya.

Mengenai konsep keamanan Indonesia yang ideal, ia mengatakan bahwa untuk saat ini yang terbaik adalah berupaya mewujudkan sistem kekuatan minimum yang multipurpose, yakni memiliki kemampuan berperang (strike force function) sekaligus non-perang (non strike function) secara memadai.

Menhan mengemukakan hal itu juga terkait dengan program seratus hari Kementerian Pertahanan. "Kita memang tidak muluk-muluk membangun kekuatan pertahanan besar dengan kondisi saat ini. Namun kita tetap menyadari bahwa jika ingin ada perdamaian kita juga memerlukan kesiapan untuk berperang," katanya.

Kementrian pertahanan, katanya, memahami bahwa perlu ongkos yang sangat besar untuk memenuhi tuntutan ideal akan kebutuhan pertahanan yang bisa menjaga kedaulatan Negara kesatuan Indonesia secara maksimal.

Mantan Wakil Gubernur Lemhannas itu kemudian memberikan perbandingan mengenai anggaran pertahanan di negara-negara Asia Tenggara yang rata-rata mencapai satu-dua persen dari Gross Domestic Product (GDP). Sedangkan TNI baru bisa memenuhi 0,6 persen dari GDP-nya.

"Untuk itulah kementerian pertahanan mewujudkan konsep sistem keamanan yang pro kesejahteraan bagi prajuritnya lebih dulu," katanya. (Sumber: MI/Ant/OL-03/6/2/2010)

Rabu, 03 Februari 2010

Rumah Para Purnawirawan, Masihkah Ada Keadilan Itu?

Oleh Windoro Adi dan M Clara Wresti

Hari-hari ini keluarga purnawirawan TNI yang tinggal di perumahan negara waswas. Rumah yang telah dihuni sejak lama itu

diminta segera dikosongkan. Pro-kontra pun muncul. Terhadap rumah dinas yang sudah berulang kali direnovasi itu, menurut mereka, sudah selayaknya diberi kesempatan memilikinya.

Pengosongan rumah dinas memang selalu meninggalkan kepedihan. Para penghuninya merasa seperti dicabut dari akar rumputnya. Mereka yang telah tinggal di sana selama puluhan tahun, beranak pinak, dan menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya tiba-tiba harus keluar.

Kepedihan makin terasa manakala yang harus pindah adalah pensiunan atau keluarga tentara berpangkat rendah. Jangankan untuk membeli rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan. Bahkan, ada keluarga yang tidak bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang tinggi sehingga anaknya tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

”Mestinya hanya rumah dinas murni yang bisa diambil kembali, rumah yang seluruh tagihan listrik, air, pajak, dan perawatannya dibayar negara. Yang kami tempati ini tak lagi bisa disebut rumah dinas. Kami sudah puluhan tahun tinggal di sini dan sudah merenovasi habis rumah ini,” kata Danu Wibowo, penghuni di Kompleks Cakrawala II, Lagoa, Jakarta Utara.

Walaupun waswas, warga di Kompleks Cakrawala I dan II yang sudah pensiun atau anak- anak yang orangtuanya sudah meninggal hingga kini masih bisa menempati rumah mereka. Tahun lalu Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan TNI AL tak bisa mengambil alih kompleks ini. Namun, warga juga tak bisa membeli atau mendapatkan ganti rugi atas tanah dan rumah yang mereka huni.

TNI AL tidak bisa mengambil alih kompleks ini karena tidak bisa membuktikan kepemilikan atas tanah dan bangunan di kedua kompleks tersebut. Rumah yang mereka bangun untuk anggotanya juga sudah tidak bersisa lagi. Kawasan Lagoa, yang kerap banjir, membuat warga kompleks Cakrawala harus meninggikan lantai rumah.

”Saya sudah tiga kali meninggikan lantai, hingga sudah hampir 2 meter tingginya dibandingkan bangunan awal,” kata Letkol (Purn) Syaifuddin (70).

Tak hanya lantai yang sudah tidak asli lagi. Dinding dan kuda-kuda atap rumah juga sudah diganti. ”Seluruh tabungan kami habis untuk merenovasi rumah ini,” kata Syaifuddin yang tinggal di kompleks ini sejak tahun 1963.

Biaya besar yang sudah dikeluarkan warga ini tentu saja membuat warga tidak rela jika mereka harus keluar dari kompleks ini, dan hanya diberikan uang ”kerahiman”. Mereka ingin diberi kesempatan memiliki hak atas tanah dan rumah tersebut.

Langkah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) menertibkan penggunaan rumah dinas yang selama ini ditempati para pensiunan TNI, sebagaimana dikemukakan Panglima TNI Djoko Santoso dalam jumpa pers pada Selasa pekan lalu, dilakukan karena TNI kesulitan memenuhi kebutuhan rumah dinas untuk anggota TNI aktif. Menurut Djoko, saat ini 77,5 persen rumah dinas masih ditempati para purnawirawan.

Rumah negara

Menurut Koordinator Bidang Hukum Forum Koordinasi Penghuni Perumahan Negara Prastopo, apa yang disampaikan Djoko tentang rumah dinas adalah rumah negara golongan satu, yaitu rumah negara yang berfungsi langsung mendukung kerja instansi. Contohnya perumahan anggota Batalyon Artileri Pertahanan Udara di Serpong, Tangerang Selatan, atau rumah dinas perwira tinggi di belakang Gedung Pertemuan Balai Kartini, Jakarta Selatan, yang sudah digusur.

Rumah negara, kata Prastopo, merujuk UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara adalah rumah yang dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara dan atau diperoleh secara legal oleh negara.

Pengosongan kompleks rumah negara yang belakangan dilakukan, kata Prastopo, berlangsung di kawasan rumah negara golongan dua, yaitu rumah negara yang tidak berfungsi langsung mendukung kerja instansi. ”Rumah negara golongan dua umumnya berpenghuni dari berbagai korps atau kecabangan, seperti Perumahan Berland dan Perumahan Bulak Rantai di Jakarta Timur. Berbeda dengan rumah negara golongan satu, yang penghuninya berasal dari satu korps,” tutur Prsatopo.

Penghuni rumah negara golongan dua rata-rata sudah tinggal di sana lebih dari 30 tahun. Sebab, kata Prastopo, sejak 1970-an TNI tidak lagi membangun rumah bagi anggotanya. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, itu artinya para penghuninya bisa mendaftarkan kepemilikan tanah.

”Penguasaan tanpa titel dan menghuni lebih 20 tahun berturut-turut, dan selama itu tidak ada yang mengganggu dan menanyakan, maka yang menghuni berhak mendaftarkan kepemilikan tanah,” kata Prastopo.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya para penghuni kompleks diberi kesempatan membeli tanah dan rumah yang sudah mereka huni selama lebih dari 30 tahun. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2008 menguatkan hal itu. Keputusan tentang tata cara pengadaan penetapan status, pengalihan status, dan pengalihan hak atas rumah negara itu menyebutkan, anak anggota TNI, baik kandung maupun adopsi yang sah, berhak mengajukan kepemilikan rumah.

Didit, wakil warga penghuni Kompleks Bulak Rantai, Kramatjati, Jakarta Timur, sependapat. Ia dan semua penghuni kompleks yang didiami purnawirawan dan keluarganya di Jakarta berharap, TNI mau mendengarkan mereka.

”Kalau TNI saat ini menganggap kami bukan lagi bagian dari mereka, setidaknya kami pernah menjadi bagian dari mereka, keluarga besar TNI, bagian dari keluarga besar bernama Indonesia,” ujarnya. (Sumber: Kompas, Rabu, 3 Februari 2010 )