Rabu, 03 Februari 2010

Rumah Para Purnawirawan, Masihkah Ada Keadilan Itu?

Oleh Windoro Adi dan M Clara Wresti

Hari-hari ini keluarga purnawirawan TNI yang tinggal di perumahan negara waswas. Rumah yang telah dihuni sejak lama itu

diminta segera dikosongkan. Pro-kontra pun muncul. Terhadap rumah dinas yang sudah berulang kali direnovasi itu, menurut mereka, sudah selayaknya diberi kesempatan memilikinya.

Pengosongan rumah dinas memang selalu meninggalkan kepedihan. Para penghuninya merasa seperti dicabut dari akar rumputnya. Mereka yang telah tinggal di sana selama puluhan tahun, beranak pinak, dan menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya tiba-tiba harus keluar.

Kepedihan makin terasa manakala yang harus pindah adalah pensiunan atau keluarga tentara berpangkat rendah. Jangankan untuk membeli rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan. Bahkan, ada keluarga yang tidak bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang tinggi sehingga anaknya tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

”Mestinya hanya rumah dinas murni yang bisa diambil kembali, rumah yang seluruh tagihan listrik, air, pajak, dan perawatannya dibayar negara. Yang kami tempati ini tak lagi bisa disebut rumah dinas. Kami sudah puluhan tahun tinggal di sini dan sudah merenovasi habis rumah ini,” kata Danu Wibowo, penghuni di Kompleks Cakrawala II, Lagoa, Jakarta Utara.

Walaupun waswas, warga di Kompleks Cakrawala I dan II yang sudah pensiun atau anak- anak yang orangtuanya sudah meninggal hingga kini masih bisa menempati rumah mereka. Tahun lalu Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan TNI AL tak bisa mengambil alih kompleks ini. Namun, warga juga tak bisa membeli atau mendapatkan ganti rugi atas tanah dan rumah yang mereka huni.

TNI AL tidak bisa mengambil alih kompleks ini karena tidak bisa membuktikan kepemilikan atas tanah dan bangunan di kedua kompleks tersebut. Rumah yang mereka bangun untuk anggotanya juga sudah tidak bersisa lagi. Kawasan Lagoa, yang kerap banjir, membuat warga kompleks Cakrawala harus meninggikan lantai rumah.

”Saya sudah tiga kali meninggikan lantai, hingga sudah hampir 2 meter tingginya dibandingkan bangunan awal,” kata Letkol (Purn) Syaifuddin (70).

Tak hanya lantai yang sudah tidak asli lagi. Dinding dan kuda-kuda atap rumah juga sudah diganti. ”Seluruh tabungan kami habis untuk merenovasi rumah ini,” kata Syaifuddin yang tinggal di kompleks ini sejak tahun 1963.

Biaya besar yang sudah dikeluarkan warga ini tentu saja membuat warga tidak rela jika mereka harus keluar dari kompleks ini, dan hanya diberikan uang ”kerahiman”. Mereka ingin diberi kesempatan memiliki hak atas tanah dan rumah tersebut.

Langkah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) menertibkan penggunaan rumah dinas yang selama ini ditempati para pensiunan TNI, sebagaimana dikemukakan Panglima TNI Djoko Santoso dalam jumpa pers pada Selasa pekan lalu, dilakukan karena TNI kesulitan memenuhi kebutuhan rumah dinas untuk anggota TNI aktif. Menurut Djoko, saat ini 77,5 persen rumah dinas masih ditempati para purnawirawan.

Rumah negara

Menurut Koordinator Bidang Hukum Forum Koordinasi Penghuni Perumahan Negara Prastopo, apa yang disampaikan Djoko tentang rumah dinas adalah rumah negara golongan satu, yaitu rumah negara yang berfungsi langsung mendukung kerja instansi. Contohnya perumahan anggota Batalyon Artileri Pertahanan Udara di Serpong, Tangerang Selatan, atau rumah dinas perwira tinggi di belakang Gedung Pertemuan Balai Kartini, Jakarta Selatan, yang sudah digusur.

Rumah negara, kata Prastopo, merujuk UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara adalah rumah yang dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara dan atau diperoleh secara legal oleh negara.

Pengosongan kompleks rumah negara yang belakangan dilakukan, kata Prastopo, berlangsung di kawasan rumah negara golongan dua, yaitu rumah negara yang tidak berfungsi langsung mendukung kerja instansi. ”Rumah negara golongan dua umumnya berpenghuni dari berbagai korps atau kecabangan, seperti Perumahan Berland dan Perumahan Bulak Rantai di Jakarta Timur. Berbeda dengan rumah negara golongan satu, yang penghuninya berasal dari satu korps,” tutur Prsatopo.

Penghuni rumah negara golongan dua rata-rata sudah tinggal di sana lebih dari 30 tahun. Sebab, kata Prastopo, sejak 1970-an TNI tidak lagi membangun rumah bagi anggotanya. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, itu artinya para penghuninya bisa mendaftarkan kepemilikan tanah.

”Penguasaan tanpa titel dan menghuni lebih 20 tahun berturut-turut, dan selama itu tidak ada yang mengganggu dan menanyakan, maka yang menghuni berhak mendaftarkan kepemilikan tanah,” kata Prastopo.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya para penghuni kompleks diberi kesempatan membeli tanah dan rumah yang sudah mereka huni selama lebih dari 30 tahun. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2008 menguatkan hal itu. Keputusan tentang tata cara pengadaan penetapan status, pengalihan status, dan pengalihan hak atas rumah negara itu menyebutkan, anak anggota TNI, baik kandung maupun adopsi yang sah, berhak mengajukan kepemilikan rumah.

Didit, wakil warga penghuni Kompleks Bulak Rantai, Kramatjati, Jakarta Timur, sependapat. Ia dan semua penghuni kompleks yang didiami purnawirawan dan keluarganya di Jakarta berharap, TNI mau mendengarkan mereka.

”Kalau TNI saat ini menganggap kami bukan lagi bagian dari mereka, setidaknya kami pernah menjadi bagian dari mereka, keluarga besar TNI, bagian dari keluarga besar bernama Indonesia,” ujarnya. (Sumber: Kompas, Rabu, 3 Februari 2010 )

Tidak ada komentar: