Sabtu, 14 November 2015

Pertahanan, Situasi Baru Geopolitik Asia
Oleh René L Pattiradjawane


Geopolitik di kawasan Asia akan berubah drastis mengikuti dinamika perkembangan pada interaksi negara-negara kawasan dan luar kawasan dalam memproyeksikan kerja sama dan kepentingan nasional masing-masing. Kehadiran kapal perusak berpeluru kendali Amerika Serikat USS Lassen ke wilayah perairan "pulau palsu" Subi di Laut Tiongkok Selatan dan keputusan Pengadilan Permanen Arbitase (PCA) di Den Haag, Belanda, dalam kasus Filipina di LTS menjadi momentum baru.

Kehadiran USS Lassen dan keputusan PCA mengenai kewenangan meneruskan tuntutan Filipina di Laut Tiongkok Selatan (LTS), termasuk penentuan sembilan garis putus-putus, pekan lalu, sama-sama memiliki nuansa penting atas norma dan nilai hukum internasional. Dari dua peristiwa ini, Tiongkok sebagai aktor negara dalam persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di LTS maupun pembangunan "pulau palsu" akan dihadapkan pada berbagai persoalan sesuai hukum internasional sekaligus perlu menata ulang yurisdiksi kedaulatan wilayahnya di LTS.

Kawasan LTS yang dikelilingi sejumlah negara menjadi titik kerumitan yang memuncak pada abad ke-21 karena negara-negara kawasan ini memiliki latar belakang budaya dan sejarah yang serupa. Kesamaan latar belakang ini tidak ditunjang sistem politik internal yang sama. Apalagi, tingkat pembangunan ekonomi, kesetaraan ekonomi, dan politik yang beragam.

Justifikasi Tiongkok selama ini selalu dilawan oleh skeptisme masyarakat internasional bahwa kawasan LTS adalah alur komunikasi laut bagi perdagangan global yang bernilai 5,3 triliun dollar AS. Dari jumlah ini, 1,2 triliun dollar AS berasal dari perdagangan dengan AS. Kepentingan nasional AS di kawasan ini menjadi sangat krusial.

Pulau buatan di Kepulauan Spratly pada gugusan karang dan beting kosong yang muncul di permukaan saat air surut menjadi kecenderungan negatif yang bisa mengancam kepentingan RRT dalam memperluas dan memperdalam kerja sama, khususnya dengan negara-negara Asia Tenggara. Kehadiran USS Lassen dan keputusan PCA akan menghadirkan dimensi hukum internasional sebagai fenomena baru geopolitik Asia.

Ini kenyataan baru yang harus dihadapi RRT. Yang menarik, para penguasa Tiongkok tidak seperti biasanya memberikan komentar berlebihan. Tampaknya, ada kekhawatiran perubahan dimensi dengan bertambahnya norma dan nilai hukum internasional di wilayah klaim tumpang tindih LTS akan memicu kobaran nasionalisme dalam negeri.

Ini, misalnya, terlihat hanya pada berita pernyataan Kementerian Luar Negeri RRT di halaman dalam Renmin Ribao (Harian Rakyat), organ utama Partai Komunis Tiongkok, mengenai keputusan PCA atas isu yurisdiksi pengadilan arbitrase di LTS. Jejaring sosial media Tiongkok pun tidak banyak yang mempersoalkan keputusan PCA ini dan insiden USS Lassen.

Pernyataan Kemlu RRT ini sangat normatif, menekankan tidak ada perubahan posisi Tiongkok. Bahkan, kalimat pertama pernyataan ini menyebutkan keputusan PCA sebagai tidak sah (wuxiao de) dan tidak memiliki kekuatan mengikat (meiyou jushu li) Tiongkok. Posisi Tiongkok ini jelas merumitkan persoalan serta menjadi ancaman dan tantangan tersendiri dalam menata dan mengelola resolusi damai di LTS.

Kehadiran dimensi hukum internasional di LTS mengisyaratkan perlunya Tiongkok melakukan kerja sama secara intensif dengan ASEAN dan tidak membuang waktu menunda penyusunan dan penataan tata perilaku LTS (code of conduct), berharap ASEAN terpecah dalam isu ini.

Bagi Tiongkok, ASEAN yang bersatu dalam memelihara perdamaian dan stabilitas kawasan lebih menguntungkan ketimbang ASEAN yang terpecah dan teraliansi dalam blok negara-negara besar.

( Sumber : Kompas, 2 november 2015)