Jumat, 15 Oktober 2010

Tanah Ulayat, Tanah Bermakna Bagi Pertahanan Wilayah



Konsep dasar PP ini adalah fungsi sosial hak atas tanah. Setiap pemegang hak atas tanah wajib mengu sahakan atau menggu nakan tanahnya secara bertanggung jawab.

Ketika kewajiban itu dilanggar, melalui suatu proses, tanah yang bersangkutan dinyatakan telantar, hak atas tanahnya hapus dan tanahnya dikuasai oleh negara, untuk selanjutnya didayagunakan untuk berbagai keperluan. Adapun masalahnya meliputi;

Pertama, walaupun HPL disebut sebagai obyek penertiban tanah telantar, tetapi tidak dijabarkan lebih lanjut. Mengapa? Karena pencantuman HPL itumenimbulkan kontradiksi: (1) HPL itu bukan hak atas tanah, tidak ada jangka waktunya, tidak dapat hapus/dihapuskan, tetapi berakhir jika dilepaskan/diserahkan kembali kepada negara oleh pemegang HPL; (2) jika HPL tersebut berstatus sebagai barang milik negara/daerah, justru dikecualikan sebagai obyek tanah telantar.

Kedua, pengaturan tentang pengecualian sebagai obyek tanah telantar menimbulkan pertanyaan sebagai berikut (1) jika HM/HGB atas nama perorangan dikecualikan, bagaimana dengan HP atas nama perorangan; (2) mengingat banyaknya jenis dan status penguasaan tanah yang ada, di mana kedudukan tanah ulayat masyarakat hukum adat dan tanah-tanah milik adat yang belum selesai proses administrasinya, dalam PP ini.

Baca   Juga  :  China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?

Kemudian, (3) bila tanah tidak diusahakan/digunakan karena dikuasai pihak lain (dalam sengketa) atau sedang menjadi obyek sengketa/perkara di pengadilan, bagaimana sikap PP terhadap hal ini?

Ketiga, hasil kerja Panitia C dapat berujung pada penetapan sebagai tanah telantar. Perlu ditegaskan dalam PP bahwa penelitian terhadap tanah yang diindikasikan sebagai telantar itu secara teknis operasional dilaksanakan sesuai dengan peraturan instansi terkait. Masyarakat perlu memahami bahwa proses itu makan waktu.

Hal Tanah Ulayat

Begitu juga yang disampaikan Kompas 15/10/2010; Eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran atas tanah dan kekayaan alam di Kalimantan dan Papua tidak hanya menghabiskan cadangan dan sumber hidup warga asli, tetapi juga berdampak terhadap terjaminnya hak hidup masyarakat asli. Bahkan, eksploitasi besar-besaran itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga. Namun, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah justru abai dan cenderung represif ketika masyarakat asli menolak atau menuntut penghentian eksploitasi tersebut.

Pembukaan besar-besaran perkebunan sawit dan penambangan batu bara di Kalimantan serta pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua, menjadi contoh nyata atas persoalan tersebut. Hal itu terungkap dalam pertemuan antara komunitas masyarakat adat Kalimantan dan orang asli Papua dengan Redaksi Kompas, Kamis (14/10) di Jakarta.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Merauke Albert Moiwend mengatakan, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan MIFEE di Merauke. Mereka baru sadar setelah pemerintah dan pengusaha perlahan-lahan mengambil dan menguasai lahan milik masyarakat asli Merauke. Hal serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan, seperti Tanjung Selor dan Sintang. Benediktus Benglui, seorang kepala desa di Tanjung Selor, mengatakan, warga tidak pernah tahu wilayahnya telah dimasukkan ke dalam peta yang dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit. Pemberian izin lokasi oleh pemerintah setempat kepada pengusaha sama sekali tidak memerhatikan keberadaan mereka. ”Bupati mengatakan, tidak ada tanah adat di wilayah itu, yang ada adalah tanah negara,” kata Benediktus Benglui.

Menurut Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia Danny Sanusi, kebijakan pemerintah atas nama pembangunan itu nyatanya justru mengancam hak hidup masyarakat asli di dua wilayah tersebut. Mereka tidak hanya kehilangan tanah dan mata pencarian yang menjadi modal dan jaminan hidup mereka. Masifnya eksplorasi dan eksploitasi itu juga melahirkan kooptasi dan represi terus-menerus terhadap komunitas masyarakat adat.

Di Papua dan Kalimantan, hal itu tidak hanya memunculkan ancaman bencana ekologis, tetapi juga marjinalisasi. Bahaya yang dihadapi tidak hanya pada sektor ekonomi, tetapi juga meliputi sosial dan budaya. Untuk itu, pemerintah diharapkan mampu melakukan tindakan konkret dan berpihak kepada keberadaan dan perkembangan masyarakat adat, baik di Kalimantan maupun kepada orang asli di Papua. (JOS)

Jadi Indonesia yang luas wilayahnya dan kaya akan SDA nya tetapi tidak bisa di optimalkan, tidak bisa di manfaatkan secara berdaya guna, karena pemerintah dan pemda tidak mampu membuat aturan yang bisa memanfaatkan wilayah secara optimal; wilayah kita justeru sangat rentan bila dilihat dari kacamata pertahanan.