Konsep
dasar PP ini adalah fungsi sosial hak atas tanah. Setiap pemegang hak atas
tanah wajib mengu sahakan atau menggu nakan tanahnya secara bertanggung jawab.
Ketika
kewajiban itu dilanggar, melalui suatu proses, tanah yang bersangkutan
dinyatakan telantar, hak atas tanahnya hapus dan tanahnya dikuasai oleh negara,
untuk selanjutnya didayagunakan untuk berbagai keperluan. Adapun masalahnya
meliputi;
Pertama,
walaupun HPL disebut sebagai obyek penertiban tanah telantar, tetapi tidak
dijabarkan lebih lanjut. Mengapa? Karena pencantuman HPL itumenimbulkan
kontradiksi: (1) HPL itu bukan hak atas tanah, tidak ada jangka waktunya, tidak
dapat hapus/dihapuskan, tetapi berakhir jika dilepaskan/diserahkan kembali
kepada negara oleh pemegang HPL; (2) jika HPL tersebut berstatus sebagai barang
milik negara/daerah, justru dikecualikan sebagai obyek tanah telantar.
Kedua,
pengaturan tentang pengecualian sebagai obyek tanah telantar menimbulkan
pertanyaan sebagai berikut (1) jika HM/HGB atas nama perorangan dikecualikan,
bagaimana dengan HP atas nama perorangan; (2) mengingat banyaknya jenis dan
status penguasaan tanah yang ada, di mana kedudukan tanah ulayat masyarakat
hukum adat dan tanah-tanah milik adat yang belum selesai proses
administrasinya, dalam PP ini.
Baca Juga : China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?
Kemudian,
(3) bila tanah tidak diusahakan/digunakan karena dikuasai pihak lain (dalam
sengketa) atau sedang menjadi obyek sengketa/perkara di pengadilan, bagaimana
sikap PP terhadap hal ini?
Ketiga,
hasil kerja Panitia C dapat berujung pada penetapan sebagai tanah telantar.
Perlu ditegaskan dalam PP bahwa penelitian terhadap tanah yang diindikasikan
sebagai telantar itu secara teknis operasional dilaksanakan sesuai dengan
peraturan instansi terkait. Masyarakat perlu memahami bahwa proses itu makan
waktu.
Hal Tanah Ulayat
Begitu
juga yang disampaikan Kompas 15/10/2010; Eksplorasi dan eksploitasi
besar-besaran atas tanah dan kekayaan alam di Kalimantan dan Papua tidak hanya
menghabiskan cadangan dan sumber hidup warga asli, tetapi juga berdampak
terhadap terjaminnya hak hidup masyarakat asli. Bahkan, eksploitasi
besar-besaran itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga. Namun,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah justru abai dan cenderung
represif ketika masyarakat asli menolak atau menuntut penghentian eksploitasi
tersebut.
Pembukaan
besar-besaran perkebunan sawit dan penambangan batu bara di Kalimantan serta
pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke,
Papua, menjadi contoh nyata atas persoalan tersebut. Hal itu terungkap dalam
pertemuan antara komunitas masyarakat adat Kalimantan dan orang asli Papua
dengan Redaksi Kompas, Kamis (14/10) di Jakarta.
Ketua
Lembaga Masyarakat Adat Merauke Albert Moiwend mengatakan, masyarakat adat
tidak pernah dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan MIFEE di Merauke.
Mereka baru sadar setelah pemerintah dan pengusaha perlahan-lahan mengambil dan
menguasai lahan milik masyarakat asli Merauke. Hal serupa juga terjadi di
beberapa wilayah di Kalimantan, seperti Tanjung Selor dan Sintang. Benediktus
Benglui, seorang kepala desa di Tanjung Selor, mengatakan, warga tidak pernah
tahu wilayahnya telah dimasukkan ke dalam peta yang dikembangkan untuk
perkebunan kelapa sawit. Pemberian izin lokasi oleh pemerintah setempat kepada
pengusaha sama sekali tidak memerhatikan keberadaan mereka. ”Bupati mengatakan,
tidak ada tanah adat di wilayah itu, yang ada adalah tanah negara,” kata
Benediktus Benglui.
Menurut
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia Danny
Sanusi, kebijakan pemerintah atas nama pembangunan itu nyatanya justru
mengancam hak hidup masyarakat asli di dua wilayah tersebut. Mereka tidak hanya
kehilangan tanah dan mata pencarian yang menjadi modal dan jaminan hidup
mereka. Masifnya eksplorasi dan eksploitasi itu juga melahirkan kooptasi dan
represi terus-menerus terhadap komunitas masyarakat adat.
Di
Papua dan Kalimantan, hal itu tidak hanya memunculkan ancaman bencana ekologis,
tetapi juga marjinalisasi. Bahaya yang dihadapi tidak hanya pada sektor
ekonomi, tetapi juga meliputi sosial dan budaya. Untuk itu, pemerintah
diharapkan mampu melakukan tindakan konkret dan berpihak kepada keberadaan dan
perkembangan masyarakat adat, baik di Kalimantan maupun kepada orang asli di
Papua. (JOS)
Jadi
Indonesia yang luas wilayahnya dan kaya akan SDA nya tetapi tidak bisa di
optimalkan, tidak bisa di manfaatkan secara berdaya guna, karena pemerintah dan
pemda tidak mampu membuat aturan yang bisa memanfaatkan wilayah secara optimal;
wilayah kita justeru sangat rentan bila dilihat dari kacamata pertahanan.