ADIZ China, Menegakkan Kedaulatan Tanpa
Basa Basi[1]
Oleh: Budhi Achmadi
BELUM lama ini media dunia menyoroti
semakin memanasnya suhu politik di kawasan Asia Timur. Kondisi ini bermula
dari klaim sepihak China: sejak 23 November 2013 telah memberlakukan Zona
Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Laut China Timur yang memasukkan wilayah
udara Kepulauan Senkaku atau Diaoyu yang masih berstatus sengketa. Pemerintah
AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Uni Eropa pun secara resmi mengecam
manuver politik China itu. Namun, China masih bergeming hingga saat ini, bahkan
menyatakan bahwa ADIZ Laut China Timur adalah sekadar defensive emergency
measures bagi kepentingan negaranya.
Pemberlakuan ADIZ
sebenarnya menjadi hal lazim, hak setiap negara berdaulat di dalam wilayahnya,
dan aplikasinya tidak memerlukan perjanjian regional atau internasional sehingga
banyak negara memberlakukan ADIZ dengan pertimbangan sepihak dan diumumkan
secara resmi via Aeronautical Information Publication(AIP) yang
diterbitkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Sebagai contoh,
Amerika Serikat memiliki empat ADIZ, yaitu perairan yang mengelilingi wilayah
daratan negara, Alaska, Guam, dan Hawaii; sedangkan Indonesia memiliki ADIZ di
atas Pulau Jawa dan Bali. Namun, ADIZ Laut China Timur menjadi kontroversial
karena titik-titik koordinat yang diundangkan secara sepihak oleh China telah
meliputi Kepulauan Senkaku yang disengketakan dengan Jepang (didukung AS) dan
Taiwan.
Bagi AS, Jepang, dan
Taiwan, ADIZ China dianggap tidak lagi sekadar ”pagar” kedaulatan negara,
tetapi instrumen untuk melegitimasi klaim teritorialnya. Kontroversi ADIZ China
tersebut makin menjadi-jadi ketika pemberlakuannya terjadi di tengah derasnya
tekanan AS yang meminta China menghormati kedaulatan Jepang atas wilayah
Kepulauan Senkaku di bawah ADIZ Laut China Timur itu.
Saat membaca peraturan
ADIZ Laut China Timur yang diumumkan Kementerian Pertahanan China pada 23
November 2013, sekilas tidak banyak perbedaan mencolok dengan ketentuan ADIZ
lain pada umumnya.
Pertama, semua pesawat
sipil atau militer yang melintas dalam ADIZ Laut China Timur harus tunduk pada
peraturan yang ditetapkan oleh negara yang menerapkan ADIZ (China). Kedua,
semua pesawat yang akan melintasi ADIZ harus dilengkapi dengan perangkat yang
ditentukan: melaporkan rencana penerbangan kepada Kementerian Luar Negeri atau
Otoritas Penerbangan Sipil, radio untuk berkomunikasi dengan komando pertahanan
udara China, transponder untuk identifikasi posisi, dan mewajibkan adanya logo
negara di pesawat.
Ketiga, setiap pesawat
yang melintas harus tunduk kepada perintah atau menaati perintah komando
pertahanan udara China. Keempat, Kementerian Pertahanan China adalah institusi
yang bertanggung jawab atas operasionalisasi dan pembuatan peraturan pelengkap
terkait ADIZ. Berdasarkan isi naskah itu, operasionalisasi penerbangan
komersial dalam ADIZ Laut China Timur relatif akan sama amannya ketika terbang
di ADIZ lain.
Hal ini disebabkan
sejatinya ADIZ Laut China Timur bukan merupakan zona larangan
terbang, zona bahaya terbang, atau zona pembatasan
terbang, penerbangan komersial dari semua negara masih bisa menikmati
”Lima Kebebasan di Udara” yang diamanahkan ICAO, yaitu lintas damai,
pemberhentian teknis, embarkasi tujuan, embarkasi pemberangkatan, dan embarkasi
perlintasan.
”Coba-coba”
Namun, hal paling
mengkhawatirkan bagi Jepang dan Taiwan justru bukan pada masalah keamanan dan
keselamatan penerbangan komersial bagi maskapainya, melainkan terkait
agresivitas China untuk ”coba-coba” mengambil paksa atas hak pengamanan wilayah
udara di wilayah tersebut melalui deklarasi ADIZ. Dengan adanya ADIZ Laut China
Timur, semua penerbangan sipil dan militer yang akan melintas di sana harus
memproses izin lintas kepada otoritas China. Hal itu sama saja dengan mengakui
kedaulatan China di wilayah udara Kepulauan Senkaku.
Terlepas bahwa isi
peraturan ADIZ Laut China Timur memiliki kesamaan dengan ADIZ lainnya, tetapi
keberadaannya dipastikan memicu masalah besar jika dihadapkan pada teori dan
prinsip internasional yang menjadi dasar keabsahan ADIZ. Landasan utama
pembuatan ADIZ mengacu pada Bab 1 Konvensi Chicago tahun 1944 bahwa ”setiap
negara memiliki kedaulatan yang eksklusif dan komplet atas ruang udara di atas
wilayah kedaulatannya”. ADIZ hanya boleh dibuat di wilayah udara
kedaulatan yang sah. Maka, keputusan China memberlakukan ADIZ dengan
memasukkan wilayah Senkaku yakin tidak disebabkan oleh ketidaktahuan China atas
aturan dalam Konvensi Chicago, tetapi untuk mengirim sinyal ke dunia bahwa
Kepulauan Senkaku adalah wilayah kedaulatannya.
Pemberlakuan ADIZ Laut
Cina Timur adalah pertanda buruk bagi masa depan Asia Timur. Konflik senjata
pasti tak akan terhindarkan jika China tidak menarik mundur batas ADIZ itu ke
dalam wilayah kedaulatannya. Jika China bersikeras, Jepang dan Taiwan bisa
ikut-ikutan pasang badan menerapkan ADIZ dalam wilayah yang sama dengan ADIZ
China. Maka, tak bisa dihindari, China, Jepang, dan Taiwan akan berebut menjadi
otoritas keamanan di wilayah sengketa dan bisa jadi, ketiganya akan menjadikan
wilayah udara ADIZ Laut China Timur sebagai palagan pertempuran udara dalam
waktu dekat.
Tren ke arah itu sudah
terlihat ketika China telah rutin patroli pesawat tempur di dalam ADIZ.
Ternyata dua pesawat pengebom AS jenis B-52 dan puluhan jet tempur Jepang juga
sengaja masuk ke wilayah yang sama beberapa hari lalu. Ini jelas
menciptakan berbahaya. Beberapa hari ke depan, kita akan melihat komitmen China
dalam empat pilihan: membatalkan ADIZ, menarik mundur batas ADIZ, batas ADIZ
dipertahankan tetapi tanpa manuver penindakan bagi yang melanggar, dan yang
paling ditakutkan adalah pilihan keempat, yakni ADIZ dipertahankan disertai
manuver penindakan.
Pilihan ketiga adalah
yang paling mungkin menghindarkan China dari penghinaan politik dan menghindari
konflik lebih besar. Namun, jika situasi makin tak terkontrol, pilihan terakhir
masuk akal. Jika demikian, Perang Pasifik Jilid II di ambang mata.
Sumber : Kompas 13 Januari 2014, Adiz
China dan Risiko Perang Pasifik Jilid II oleh Budhi Achmadi, Perwira TNI AU dan Mahasiswa Program Doktor
Universitas Brawijaya
[1] Sumber : Kompas 13 Januari 2014, Adiz China dan Risiko Perang Pasifik Jilid II oleh Budhi Achmadi, Perwira TNI AU dan Mahasiswa Program Doktor
Universitas Brawijaya