Rabu, 29 Juli 2009

Penataan Ruang Kawasan Pertahanan di Daerah Perbatasan


Oleh : Harmen Batubara 
Penataan Ruang Kawasan Pertahanan di Daerah Perbatasan, mencakup penataan ruang wilayah pertahanan yang bersifat : Dinamis, dengan sasaran menyiapkan ruang gelar penindakan/ operasional militer dalam menghadapi ancaman nyata, dimana konsepnya berlaku variabel jangka pendek bisa antara 1 - 3 tahun dan dirubah berdasarkan konteks strategis; adapun penataanya meliputi : Kawasan Pertahanan Lapis Pertama adalah ruang wilayah pertahanan lautan dan udara yang terletak di luar ZEEI.

Kawasan Pertahanan Lapis Kedua adalah ruang wilayah pertahanan lautan dan udara yang terletak di dalam ZEE dan Zona Tambahan. Kawasan Pertahanan Lapis Ketiga adalah ruang wilayah pertahanan daratan, lautan dan udara yang terletak mulai garis batas teritorial ke dalam. Penataan ruang wilayah pertahanan yang bersifat statis, dengan sasaran menyiapkan lokasi gelar kekuatan tetap (basis-basis militer, daerah-daerah latihan, dll) dan Savety Belt, sesuai hasil analisa ancaman dan penilaian medan, strategi serta doktrin operasi yang pembangunannya diprogramkan dalam pembangunan jangka panjang 15 – 20 tahun kedepan. 
Pertahanan dan Kemanan di Pulau-pulau kecil terluar. Sebagai dasar pertimbangan pentingnya pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dalam menjaga keutuhan wilayah negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu dipandang perlu melakukan pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang terintegrasi, mencakup rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu guna memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber dayanya. Untuk mengamankan wilayah nasional termasuk pulau-pulau terluar Departemen Pertahanan telah menetapkan berbagai kebijakan yang meliputi ; Patroli Keamanan di Laut. Ini dilakukan untuk meningkatkan intensitas kehadiran KRI diseluruh perairan Indonesia, termasuk Pulau-Pulau Kecil Terluar. 

Pameran Bendera (Show of Flag), dengan memasang tugu/tapal batas, serta menempatkan TNI. Kegiatan ini diarahkan untuk mendekati masyarakat yang tinggal di Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan untuk menggugah semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Operasi Bhakti TNI-AL. Operasi bhakti yang diberi nama Surya Bhaskara Jaya telah dilakukan sejak tahun 1980. Pada hakekatnya untuk menunjukkan kepedulian dan peran serta TNI khususnya TNI-AL dalam pembangunan daerah terpencil, khususnya Pulau-Pulau Kecil Terluar yang tidak terjangkau oleh transportasi darat dan udara. Operasi Pasar Berjalan (Mobile Market) TNI-AL. Dalam program ini kapal TNI-AL bergerak dari pulau ke pulau dengan membawa bantuan dan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat dan dapat diperoleh dengan harga murah serta melakukan barter dengan hasil maupun komoditas masarakat local. 
Kerjasama Pengamanan Daerah Perbatasan Antar Negara. Dalam rangka Pengamanan dan Penegasan Batas dan menyelesaikan masalah-masalah perbatasan antar Negara dan Pulau-Pulau Kecil Terluar dengan Negara Tetangga, telah dilakukan berbagai kerjasama bilateral yang diwadahi dalam lembaga Joint Border Committee ( JBC ) antara RI-PNG, RI-RDTL(Timor Leste) dan Genderal Border Committee ( GBC ) antara RI-Malaysia dengan kegiatan antara lain : Kerjasama pengamanan dan mempererat pertahanan antara kedua negara, seperti pertukaran informasi dalam bidang Intelijen, Latihan bersama, patroli perbatasan, dan menggelar Pos-pos pengamanan bersama. Demikian pula kerjasama dalam bidang sosial ekonomi, imigrasi serta kerjasama penyelesaian penegasan batas antar negara. 
 Perundingan penegasan batas dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara dua negara, beberapa kegiatan perundingan yang menonjol belakangan ini meliputi tegas batas darat antara RI-Malaysia, RI-PNG dan RI-RDTL, demikian pula dalam batas maritim/laut dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Kepulauan Palau. Pos-pos Pengamanan bersama atau atas persetujuan kedua negara telah di gelar disepanjang perbatasan, sebanyak 55 Pos (RI-Malaysia), 48 Pos (RI-RDTL), 14 Pos (RI-PNG) dan Pos-pos Sementara di Pulau-pulau Kecil Terluar.



Kamis, 23 Juli 2009

Negara Tetangga Melihat Indonesia



Oleh Harmen Batubara.
 
Kondisi dan Kinerja Pertahanan dan keamanan Indonesia diwarnai berbagai keterbatasan, yang berpengaruh terhadap wibawa dan integritas negara baik dalam lingkup internasional maupun regional. Permasalahan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang berbatasan dengan negara tetangga juga belum bisa tertangani secara proporsional, dan dapat dipastikan akan jadi suber bagi munculnya permasalahan perbatasan dengan negara tetangga dimasa yang akan datang. Beberapa fakta : Keputusan Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002 yang memenangkan Malaysia dalam pemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dan Keputusan International Court of Justice / ICJ pada tanggal 23 Mei 2008 telah memanangkan Singapura atas Malaysia terhadap kasus sengketa kedaulatan atas Pedra Branca / Pulau Batu Puteh Middle Rocks dan South Ledge, telah mewarnai penyelesaian sengketa batas antar Negara di Asean. 
Munculnya sengketa perairan antara Indonesia dan Malaysia tentang Klaim blok Ambalat yang kaya akan sumber daya minyak dan menimbulkan ketegangan hububgan antar dua Negara,dan masih adanya Sepuluh Masalah OBP (outstanding Boundary Problems) antara RI-Malaysia di perbatasan darat Pulau Kalimanatan. Kandasnya Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerja sama Pertahanan antara Indonesia-Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 ditambah Pemberian suaka politik Warga Negara Indonsia asal Papua oleh Pemerintah Australia, serta berbagai perlakuan pembatasan kebijakan ekonomi dari Negara tetangga terhadap Indonesia, misalnya kenaikan biaya masuk impor minyak kelapa sawit yang diterapkan India dari 75 % menjadi 90 %. Dll.... 
Kemampuan Penanganan Keamanan Perbatasan Kerjasama Pengamanan Daerah Perbatasan Antar Negara. Dalam rangka Pengamanan dan Penegasan Batas dan menyelesaikan masalah-masalah perbatasan antar Negara dan Pulau-Pulau Kecil Terluar dengan Negara Tetangga, telah dilakukan berbagai kerjasama bilateral yang diwadahi dalam lembaga Joint Border Committee ( JBC ) antara RI-PNG, RI-RDTL(Timor Leste) dan General Border Committee ( GBC ) antara RI-Malaysia dengan kegiatan antara lain : Kerjasama pengamanan dan mempererat pertahanan antara kedua negara, seperti pertukaran informasi dalam bidang Intelijen, Latihan bersama, patroli perbatasan, dan menggelar Pos-pos pengamanan bersama. Demikian pula kerjasama dalam bidang sosial ekonomi, imigrasi serta kerjasama penyelesaian penegasan batas antar negara. Perundingan penegasan batas dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara dua negara, beberapa kegiatan perundingan yang menonjol belakangan ini meliputi tegas batas darat antara RI-Malaysia, RI-PNG dan RI-RDTL, demikian pula dalam batas maritim/laut dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Kepulauan Palau. 
Pos-pos Pengamanan bersama atau atas persetujuan kedua negara telah di gelar disepanjang perbatasan, sebanyak 55 Pos (RI-Malaysia), 48 Pos (RI-RDTL), 14 Pos (RI-PNG) dan Pos-pos Sementara di Pulau-pulau Kecil Terluar. Memperkuat Kekuatan Pertahanan. Untuk mewujudkan sabuk keamanan di wilayah perbatasan diperlukan kekuatan-kekuatan pertahanan keamanan yang mampu melaksanakan : Deteksi dini berupa pos-pos keamanan dan keamanan swakarsa serta melalui sistem deteksi pemindaan lewat satelit, radar dll. Patroli keamanan darat,laut dan udara serta pengawasan lalu lintas manusia dan barang. Penindakan awal terhadap pelanggaran wilayah perbatasan. Pembinaan dan pemberdayaan wilayah teritorial. Pembinaan dan pemberdayaan Sosial Politik. 
Pertahanan dan Kemanan di Pulau-pulau kecil terluar. Sebagai dasar pertimbangan pentingnya pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dalam menjaga keutuhan wilayah negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu dipandang perlu melakukan pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang terintegrasi, mencakup rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu guna memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber dayanya. Untuk mengamankan wilayah nasional termasuk pulau-pulau terluar Departemen Pertahanan telah menetapkan berbagai kebijakan yang meliputi ; Patroli Keamanan di Laut. Ini dilakukan untuk meningkatkan intensitas kehadiran KRI diseluruh perairan Indonesia, termasuk Pulau-Pulau Kecil Terluar. 



Pameran Bendera (Show of Flag), dengan memasang tugu/tapal batas, serta menempatkan TNI. Kegiatan ini diarahkan untuk mendekati masyarakat yang tinggal di Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan untuk menggugah semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Operasi Bhakti TNI-AL. Operasi bhakti yang diberi nama Surya Bhaskara Jaya telah dilakukan sejak tahun 1980. Pada hakekatnya untuk menunjukkan kepedulian dan peran serta TNI khususnya TNI-AL dalam pembangunan daerah terpencil, khususnya Pulau-Pulau Kecil Terluar yang tidak terjangkau oleh transportasi darat dan udara. Operasi Pasar Berjalan (Mobile Market) TNI-AL. Dalam program ini kapal TNI-AL bergerak dari pulau ke pulau dengan membawa bantuan dan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat dan dapat diperoleh dengan harga murah serta melakukan barter dengan hasil maupun komoditas masarakat local.

Senin, 20 Juli 2009

Pembangunan Papua, Mencari Format Yang Pas


Dengan melihat berbagai fakta yang ada, yaitu implikasi kontra produktif yang muncul seiring dengan dinamika demokrasi, maka demokrasi di Indonesia perlu dikawal dengan hati-hati. Iklim demokrasi yang selama ini sudah mulai berkembang harus dihindarkan dari involusi (kemandegan), sebab proses involusi demokrasi memunculkan fenomena stagnasi demokrasi atau dikenal juga dengan istilah demokrasi beku (frozen democracy) yang ditandai dengan perilaku masyarakat yang anarkis, cenderung melawan hukum (civil disobedience/pembangkangan sipil) serta kurang menghargai simbol-simbol kedaulatan Negara, dan hal ini bisa dilihat pada phenomena Papua. Penomena Papua, bagi sebagian orang sering muncul pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan Papua, siapakah yang mengelola pemerintahan yang sesungguhnya. 
Sebab selama ini yang sering muncul adalah tidak harmonisnya antara aparat Pemda dengan Keamanan. Sepertinya Pemda merasa selalu dicurigai dalam melakukan pembangunan wilayahnya. Sementara dari pengamanan sulit percaya kepada pemda, banyak dana yang tidak tersalurkan sebagaimana mestinya, sementara Pemda melihat justeru dana terbesar di papua justeru masuk ke pos-pos pengamanan. Kita tidak mau masuk ke perangkap dikotomi itu, tetapi antara Pemda dan pihak-pihak terkait pengamanan ada sesuatu yang tidak sinergi, dan hal ini tidak ada yang memonitor.
Sepertinya kedua institusi besar tersebut, sibuk dengan jadwal mereka masing-masing. Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan melalui UU No. 21/2001 menjadi tonggak sejarah yang penting dalam menyelesaikan persoalan Papua yang sangat kompleks, yaitu membangun kerjasama yang konstruktif antara pemerintah dengan provinsi Papua serta menjadi fondasi dalam membangun kesejahteraan masyarakat Papua. Sehubungan dengan itu, pertanyaan mendasar yang menarik untuk diajukan adalah apakah pemberian otonomi khusus sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 21/2001 itu menjawab subtansi persoalan, yaitu memperbaiki kesejahteraan masyarakat Papua. Pembangunan ekonomi dan social di Papua tidak dengan serta merta menghapuskan tuntutan separatisme. 
Ketimpangan pembangunan ekonomi dan ekploitasi sumber daya alam yang dianggap berlebihan belum memberikan perbaikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini misalnya terlihat antara lain dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index yang rendah. Sampai tahun 2007, misalnya, kemiskinan mutlak (absolute poverty) di Papua mencapai 40,7 persen, angka itu jauh di atas kemiskinan nasional sebesar 16,5 persen. Tingginya angka pengangguran dan rendahnya beberapa indikator kesejahteraan lain menjadi sumber kekecewaan sekelompok masyarakat di Papua. Kondisi dan perkembangan di Papua, memerlukan prioritas dan perhatian dalam penanganannya agar keinginan dis-integrasi sebagian kelompok masyarakat dapat dihapuskan. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan sejak tahun tujuh puluhan untuk menegakkan stabilitas politik dan keamanan termasuk didalamnya memberikan kewenangan serta sumber daya ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat Papua melalui implementasi otonomi khusus yang diharapkan dapat mendorong pembangunan di Papua. 
 Sebenarnya Provinsi Papua dipastikan memperoleh dukungan financial yang lebih besar dari hasil pengelolaan sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan formula UU. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan Pusat dan Daerah, Provinsi Papua memperoleh 70 persen dalam hasil pengelolakan sumber-sumber kekayaan alamnya dalam bentuk dana bagi hasil. Namun pemberian insentif ekonomi tersebut mengalami kendala dalam implementasinya sehingga masyarakat Papua tidak merasakan adanya peningkatan kesejahteraanya. Tuntutan peningkatan kesejahteraan inilah yang sebenarnya mengemuka dengan beragam manifestasinya. Respon pemerintah terhadap tuntutan ini salah satunya dengan memberikan otonomi khusus kepada masyarakat Papua yang ditetapkan melalui UU No.21/2001. 
Dari sisi tataran peraturan dan perundang-uandangan sebenarnya Papua sudah memilikinya, hanya saja soliditas aparatlah yang belum bisa di transformasikan sehingga mereka jadi suatu system yang mampu membangun wilayah papua secara sinergis. Jadi selama ini yang ada sebenarnya adalah jalannya dus system yang saling disharmoni. Pemda berjalan dengan agendanya dan merasa kebijakannya dimata-matai oleh aparat keamanan. Sebaliknya aparat keamanan selalu datang dengan permintaan dukungan dana yang besar, tanpa mensinkronkannya dengan pembangunan yang dilakukan Pemda, sementara Pemerintah Pusat, tidak melakukan apa-apa. 
Mereka lemah dalam mengontrol pihak pengamanan (TNI,Polri) sementara ke Pemda mereka juga tidak punya pola pembinaan yang jelas. Maka jadilah pembangunan di Papua, berjalan sesuai dinamika kepemimpinan lapangan. Kalau kebetulan dari pimpinan keamanan yang menonjol, maka yang jalan adalah semua pembangunan yang berdimensi pengamanan. Tetapi kalau pimpinan sipil yang kuat, maka yang muncul adalah gonjang-ganjing kondisi keamanan. Hemat saya hal inilah selama ini yang terulang dan terulang. 


Masyarakat sendiri, tidak merasakan hasil pembangunan sementara dana pembangunannya di pakai dan dipergunakan oleh system pemerintahan yang tidak sinergis. Jadi kondisi yang ada saat ini, adalah lemahnya kemampuan system dalam mengelola dana-dana pembangunan secara benar. Pemerintah pusat sendiri sudah membuat sistemnya lebih baik, tetapi system tersebut tidak bisa berjalan optimal, sementara Pusat tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal kalau pemdanya diperkuat, dan system pengamanannya harus melebur dan bia sinergi dengan kemauan pemda, dan pemda mampu mengemban amanah pemerintahan Pusat, maka dapat dipercaya pembangunan di Papua akan dapat memberikan manfaat bagi warganya.

Papua Milik NKRI,  OPM Sudah Jadi Sejarah

Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan  Act of Free Choice  bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,  Act of Free Choice  bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). PEPERA diwakili 1,025 warga Papua, menurut OPM itu  Act of self-determination  mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote)

Tetapi mereka lupa bahwa pada saat itu kondisi Papua masih sangat tertutup sarana transportasi nyaris belum ada.  Semua serba terbatas Mereka juga lupa bahwa cara pemilu di Papua masih memakai sistem NOKEN artinya suara warga dopercayakan penuh pada kepala suku. Selama ini OPM selalu berdalih bahwa bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanahPapua. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilu hingga tahun 2021 di Papua masih dengan sistem “Noken” yang dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilakn oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Jadi bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu, tetapi ke wilayah lain yang bisa menerima mereka. Menurut hemat saya, berbagai alasan untuk mengevaluasi Otsus itu ide yang baik tetapi jika dilihat dengan realitas di lapangan kita masih perlu terlebih dahulu membangun Papua yang lebih baik lagi, Khususnya perlu dana yang lebih besar dan pemekaran wilayah. Soal ada yang tidak setuju hal itu ya sah-sah saja. Nanti setelah keadaan dan sistemnya lebih baik lagi maka evaluasi bisa dilakukan kembali. Sekarang lebih baik fokus sesuai konsep NKRI dan mensukseskan acara PON Papua.

Pembangunan Papua Masih Perlu Perjuangan

Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[1] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah “ kedederan” dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya. Dalam kondisi seperti itulah, para penggiat warga Papua yang pro kemerdekaan kian mendapat angin dan terus berusaha untuk mendiskreditkan pemerintah. Betul kelahiran Otsus sudah pada treknya, tetapi belum sepenuhnya terkelola secara baik. Namun satu hal yang telah memberikan warna adalah telah muncul dengan semarak para Pemimpin Papua dari warga Papua Asli.



[1] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/22/jumlah-penduduk-di-tanah-papua-diproyeksi-mencapai-578-juta-jiwa-pada-2045






Rabu, 15 Juli 2009

Separatisme, Perbatasan Dan Keamanan Nasional


Separatisme, Perbatasan Dan Keamanan Nasional


Oleh Harmen Batubara 

 VISI INDONESIA 2030; Indonesia pada abad ke-21 adalah bangsa yang maju dan sejahtera; mandiri,produktif, punya daya saing, mampu mengelola Sumda dan Sumer Daya lainnya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bangsa secara kerkelanjutan. Capaian itu diperoleh meliputi empat hal, pertama Indonesia akan masuk jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan perkapita US$18.000. Kedua, minimal 30 perusahaan Indonesia akan masuk dalam daftar 500 perusahaan terbesar Dunia; Ketiga, adanya pengelolaan Sumda Alam yang berkelanjutan; Keempat teruwujutnya kualitas kehidupan modern, demokratis dan merata. 

Strategi Indonesia ke depan harus dibangun dengan strategi nasional yang berorientasi pada penciptaan kesempatan ekonomi secara internal dicapai melalui sistem demokrasi dengan dukungan militer yang kuat. Indonesia di Posisi Silang Dunia Dekelarasi Djoeanda 13 Des 1957 secara geopolitik dan geoekonomi telah menjadikan 17504 pulau-pulau di kepulauan Nusantara menjadi NKRI, menjadikan Indonesia sebagai Negara kepulauan, dan telah diakui oleh masyarakat internasional, yakni dengan ditanda tanganinya UNCLOS 1982 pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Dewasa ini 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75 % barang yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1300 triliun pertahun. Kenyataan ini diharapkan dapat menginspirasi bagi pengembangan kekayaan laut nasional di 11 sektor yang meliputi ; a. Perikanan Tangkap b. Perikanan Budi Daya c. Industri pengolahan hasil perikanan, d. Industri bioteknologi, e. pertambangan dan energy f. Pariwisata Bahari g. Kehutanan, h. Perhubungan laut, i. Sumber Daya Pulau-pulau Kecil, . Industri dan Jasa Maritim, dan k. SDA Nonkonvensional. Dan semua itu membutuhkan infrastruktur yang kuat, baik di darat, laut dan udara.... Diperkirakan 132 juta jiwa (60% jumlah penduduk), hidup dan tinggal di daerah pesisir sebagai masyarakat desa pesisir. Ada sekitar 4.735 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dapat di kategorikan sebagai desa pesisir, sebagian diantaranya terletak diwilayah perkotaan dengan 75% kota-kota besar dan menengah yang berpenduduk diatas 100.000 jiwa berada di pantai selat malaka, laut cina selatan, laut jawa dan selat makasar, yang selama ini belum terpikirkan sarana transportasi yang mengkomunikasikannya secara terpadu (laut,darat,udara), peran komunitas pembangun Trans Asia dan Asean Highway sangat dinantikan. Separatisme dalam Sistem Pertahanan Nasional. Separatisme di Indonesia berlatar belakang ideologi, keadilan politik, dan ekonomi serta hadirnya kepentingan asing. Dengan melihat pola gerak separatis dan ciri kedaerahannya, seharusnya tidak semua masalah tersebut jadi domain Kepolisian. 


Dari sisi Pertahanan perlu dilakukan pemberdayaan Kodam/Kowil, yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan dan pengendalian (semacam organisasi komando gabungan di dunia militer) yang menangani operasi terpadu, yang bekerja sama dengan semua stack holder baik dalam pemberdayaan wilayah (sosial, ekonomi dan demokrasi) dan di tingkat pusat ditangani oleh satu organisasi serupa. Kepada organisasi ini harus diberi kewenangan dan tanggung jawab memadai menyangkut aspek penggunaan kekuatan militer, anggaran dan kepentingan pendukung lainnya. Menangani Separatisme adalah upaya memprebutkan hati dan pikiran rakyat, dan separatis itu sendiri. Untuk itu memerlukan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum,politik, ekonomi dan juga sosio-budaya. Kegitan multi asfek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain berada dalam satu komando. Contoh untuk kasus seperti ini, bisa dipakai saat Inggris menangani saparatisme Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada dibawah satu manajemen yang dipimpin Mendagri. Secara Hukum, Operasi militer baru dibenarkan kalau kaum separatis sudah terorganisasi secara militer dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau aparat dengan menggunakan senjata serta melakukan tindakan kriminal dan kekerasan terhadap masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Demikian pula penegakan hukum/operasi justisi dilaksanakan dengan benar dan tegas, baik terhadap kaum separatis maupun aparat yang melakukan kesalahan sehingga msyarakat, harus bisa membedakan mana yang salah mana yang benar. 
 Dalam penanganan kasus Ambon, Papua dan Aceh belum terlihat hadirnya suatu komando gabungan terpadu, didaerah maupun di pusat dan juga belum ada wacana memberdayakan Kowil secara khusus. Di tingkat pusat hanya berupa desk, dibawah Menko Polhukam, yang berfungsi memberikan masukan. Kelemahan lain adalah tidak adanya soliditas dalam sikap politik pada tataran eksekutif, legislatif dan yudikatif dan parpol. Banyak hal menunjukkan masih kentalnya kepentingan jangka pendek dan mengamankan kepentingan golongannya. Namun demikian setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh ada pemerintahan baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Pada umumnya, konflik terkonsentrasi di sejumlah daerah. Setiap konflik bisa diatasi. Kuncinya adalah mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masyalah kemanusiaan, dan memperbaiki kualitas demokrasi. Khusus untuk Papua, dari beberapa kajian Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, penanganan sejumlah gejolak yang muncul belakangan ini di Papua tidak dapat diselsaikan kalau hanya menngandalkan pendekatan keamanan atau dengan memberikan uang sebanyakbanyaknya ke daerah terebut. 
Menurut mereka, justeru pemerintah akan berhasil kalau mampu mengontrol penggunaan dana serta semakin melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan di wilayahnya, mulai dari perencaan hingga pelaksanaannya. Mereka menilai selama ini, warga masyarakat Papua belum merasakan manfaat dari adanya Otonomi khusus. Selama ini meskipun banyak dana yang telah disalurkan ke daerah ini, tetapi belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata dan adil. Kondisi wilayah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah – celah kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di wilayah perbatasan umumnya tergolong masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah. 
Ketertinggalan wilayah perbatasan juga berimplikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain. Kerawanan dan ketertinggalan tersebut, harus segera diatasi melalui pembangunan dengan usaha-usaha yang langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat perbatasan serta menitik beratkan pada pembukaan isolasi daerah perbatasan dari daerah-daerah lainnya di Indonesia sehingga mereka yang ada di perbatasan merasa merupakan bagian integral dari bangsa dan wilayah Indonesia. Masalahnya, wilayah perbatasan secara bukanlah sebagai wilayah prioritas pembangunan bagi Pemda setempat. Bagi pemda perioritas pembangunannya berada di ibu kota kabupaten, kota atau kecamatan, karena memang disanalah pemnduduknya secara mayoritas berkehidupan. Sementara pemerintah pusat sendiri prioritas pembangunannya adalah di Jawa, dimana konsentrasi 70 % penduduk nasional. Dengan demikian maka pembangunan di wilayah perbatasan menjadi tidak relevan. Secara politik perlu dibangun, tetapi secara realita tidak menjadi prioritas.

Minggu, 12 Juli 2009

Saparatisme, Bukan Untuk Ditakuti (2)



Melihat Konflik Sebagai Peluang Mempererat Bangsa 
 Tekanan Terhadap Peran Negara karena ketidak puasan terhadap situasi dan kondisi tertentu. Berbagai studi untuk mencoba memahami bagaimana kelompok-kelompok yang tidak puas berusaha untuk mengartikulasi keluhan-keluhan mereka dan melakukan mobilisasi untuk menentang para pemegang otoritas dalam persoalan-persoalan tertentu. Gurr (1993) menyatakan bahwa kelompok-kelompok di dalam suatu negara (etnis, sekte militan, separatis dan lain-lain) dapat secara bertahap menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi tertentu, mulai dari protes secara damai, protes dengan diikuti pengrusakan, pembangkangan hingga kepada pemberontakan bersenjata (revolusi bersenjata). Untuk melakukan perubahan dari satu tahap aksi ke tahap berikutnya, kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan biasanya mempertimbangkan : 

Besar/kecilnya peluang untuk memenangkan perjuangan; Kebutuhan untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah; Antisipasi mereka terhadap risiko dan Adanya kelemahan di pihak lawan, seperti krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan diri, krisis legitimasi atau bahkan krisis ekonomi. Kemampuan negara untuk mengelola dan menyelesaikan jenis konflik akibat ketidakpuasan pada kondisi tertentu sangat tergantung pada kemampuan negara dalam memberikan respon yang tepat. Respon akomodatif biasanya diperlukan pada saat konflik masih pada tahap awal (proses damai dan demonstrasi) untuk mencegah terjadinya eskalasi. Respon represif barangkali juga diperlukan ketika protes telah menjurus ke arah pembrontakan yang dapat membahayakan stabilitas suatu negara. Namun demikian, upaya yang sangat ideal, sebagaimana dikatakan oleh Azar (1990) adalah built mechanism of conflict resolution, yakni sebuah upaya yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk terbiasa membicarakan perbedaan dalam suatu dialog dengan didampingi oleh pihak ketiga yang sungguh-sungguh netral....

 
Konflik di tingkat lokal dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin kelompok di dalam suatu negara dengan cara mengeksploitasi suasana pluralitas demi kepentingan pribadi/kelompoknya melalui penggalangan dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan maupun Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang mengeksploitasi perbedaan dalam rangka memperoleh dukungan massa guna kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bentuk eksploitasi kaum elite terhadap massa yang plural dapat dalam berbagai bentuk seperti diskriminasi yang mengistimewakan kaum mayoritas dan menindas kaum minoritas; mendefinisikan partisipasi politik berdasarkan pembagian etnis atau agama tertentu; menyebarkan kebencian terhadap golongan tertentu secara terbuka di media massa atau bahkan membentuk satuan-satuan pembantai misalnya kelompok inter-ahamwe di Rwanda ketika “menghabisi” suku Huttu (Miall, et.al., 1999 ;90). Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa ambisi pribadi elite ikut berperan dalam berbagai konflik yang mengakibatkan beban penderitaan bagi jutaan umat manusia. Konflik Primordial. Di luar bentuk eksploitasi pluralitas, konflik juga dapat terbangun dari akibat pola primordial. Ketika masih berlangsung pengelompokan negara menjadi Blok Barat dan Blok Timur atau Kapitalisme-liberal versus Marxisme-Leninisme, eksploitasi pluralitas menjadi tidak relevan. Namun ketika Perang Dingin berakhir, maka benih-benih primordialisme mulai muncul ke permukaan. 

Dengan meminjam enam unsur ikatan primordial yang dikembangkan oleh Geertz (1973), kita dapat memahami kecenderungan konflik primordial yang makin intensif sejak awal 1990-an, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Konflik primordial yang terkait dengan hubungan darah; yaitu suatu komunitas yang diikat oleh hubungan biologis/darah (kekeluargaan dan/atau kekerabatan) dimana setiap individu di dalamnya mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu keluarga besar. Perikatan semacam ini lebih mudah ditemui di masyarakat Afrika dan Asia. Berbagai konflik lokal di kedua benua tersebut seringkali dipicu oleh hubungan darah. Konflik primordial dihubungkan dengan persoalan ras; suatu komunitas yang dipersatukan oleh kesamaan etno-biologis yang ditampilkan dalam ciri-ciri fisik yang sama, seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk wajah dan lain-lain. Berdiasporanya kelompok ras tertentu Cina di Indonesia dan Malaysia, India dan Yahudi di Inggris serta Afrika di AS menempatkan mereka sebagai kelompok minoritas di negara-negara tertentu seringkali memicu konflik rasial. Konflik primordial yang terkait dengan hubungan agama; persoalan agama merupakan sumber konflik yang cukup krusial di berbagai kawasan dunia. Partisi antara India-Pakistan pada dekade 1950-an merupakan contoh paling jelas dari konflik agama berskala besar. Pada skala yang lebih kecil konflik agama terjadi di berbagai Asia, seperti India, Filipina, Indonesia dan Thailand. Konflik primordial dihubungkan dengan wilayah; Ikatan yang didasarkan atas kesamaan wilayah seringkali menjadi salah satu sumber konflik, baik dalam masyarakat pluralis maupun homogen. Fanatisme kedaerahan yang dimiliki kelompok tertentu biasanya berkembang menjadi semangat kedaerahan (nasionalisme lokal) sempit yang diwarnai oleh stereotype terhadap pendatang di daerah lain. Dalam masyarakat Indonesia dan India, misalnya semangat kedaerahan seringkali memicu intra–state conflict. Konflik yang terkait dengan ikatan adat istiadat. Suatu komunitas juga dapat diikat berdasarkan kesamaan, kebiasaan dan norma-norma yang dianut. 

 Dalam praktek kehidupan sehari-hari konflik adat istiadat seringkali terjadi menyertai konflik etnis dan wilayah karena pihak-pihak yang terlibat didalamnya biasanya mempersoalkan perbedaan norma dan kebiasaan-kebiasaan adat/budaya. Dalam suatu masyarakat yang terdiri dari kaum mayoritas dan minoritas, kaum mayoritas biasanya mendominasi norma dan nilai yang berlaku sehingga membuat “kebiasaan” kaum minoritas tersubordinasi. Walaupun kita jarang menemukan peperangan yang dipicu hanya oleh persoalan adat istiadat, tetapi faktor ikatan adat istiadat dapat membuat suatu konflik menjadi dahsyat dan lebih rumit. Konflik primordial dihubungkan dengan ikatan bahasa. Walaupun bahasa seringkali berfungsi sebagai sumber pemersatu komunitas, tetapi bahasa juga dapat menjadi sumber konflik seperti yang terjadi di Afrika dan Asia Selatan (India, Pakistan dan Srilanka). Pemaksaan bahasa kelompok etnis tertentu sebagai bahasa nasional biasanya menimbulkan ketidakpuasan dari kelompok etnis lain yang tidak jarang berkembang menjadi konflik kekerasan. Saparatisme, Bukan Untuk Ditakuti (3) Melihat Konflik Sebagai Peluang Mempererat Bangsa Oleh: Harmen Batubara. Dalam melihat ancaman separatisme, maka dari sisi Pertahanan perlu dilakukan pemberdayaan Kodam/Kowil, untuk bisa mengambil dan memiliki kewenangan pengambilan keputusan dan pengendalian (semacam organisasi komando gabungan di dunia militer) yang menangani operasi terpadu, yang bekerja sama dengan semua stack holder baik dalam pemberdayaan wilayah (sosial, ekonomi dan demokrasi) dan di tingkat pusat ditangani oleh satu organisasi serupa. Kepada organisasi ini harus diberi kewenangan dan tanggung jawab memadai menyangkut aspek penggunaan kekuatan militer, anggaran dan kepentingan pendukung lainnya. 

 Perlu untuk Diingat, bahwa separatisme itu adalah juga; a. Menangani Separatisme adalah upaya memprebutkan hati dan pikiran rakyat, dan separatis itu sendiri. Untuk itu memerlukan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum,politik, ekonomi dan juga sosio-budaya. Kegitan multi asfek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain berada dalam satu komando. Contoh untuk kasus seperti ini, bisa dipakai saat Inggris menangani saparatisme Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada dibawah satu manajemen yang dipimpin Mendagri. b. Secara Hukum, Operasi militer baru dibenarkan kalau kaum separatis sudah terorganisasi secara militer dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau aparat dengan menggunakan senjata serta melakukan tindakan kriminal dan kekerasan terhadap masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Demikian pula penegakan hukum/operasi justisi dilaksanakan dengan benar dan tegas, baik terhadap kaum separatis maupun aparat yang melakukan kesalahan sehingga msyarakat, harus bisa membedakan mana yang salah mana yang benar. c. Dalam penanganan kasus Ambon, Papua dan Aceh belum terlihat hadirnya suatu komando gabungan terpadu, didaerah maupun di pusat dan juga belum ada wacana memberdayakan Kowil secara khusus. 
Di tingkat pusat hanya berupa desk, dibawah Menko Polhukam, yang berfungsi memberikan masukan. Kelemahan lain adalah tidak adanya soliditas dalam sikap politik pada tataran eksekutif, legislatif dan yudikatif dan parpol. Banyak hal menunjukkan masih kentalnya kepentingan jangka pendek dan mengamankan kepentingan golongannya. Namun demikian setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh ada pemerintahan baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Pada umumnya, konflik terkonsentrasi di sejumlah daerah. 

Setiap konflik bisa diatasi. Kuncinya adalah mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masyalah kemanusiaan, dan memperbaiki kualitas demokrasi. d. Khusus untuk Papua, dari beberapa kajian Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, penanganan sejumlah gejolak yang muncul belakangan ini di Papua tidak dapat diselsaikan kalau hanya menngandalkan pendekatan keamanan atau dengan memberikan uang sebanyakbanyaknya ke daerah terebut. Menurut mereka, justeru pemerintah akan berhasil kalau mampu mengontrol penggunaan dana serta semakin melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan di wilayahnya, mulai dari perencaan hingga pelaksanaannya. Mereka menilai selama ini, warga masyarakat Papua belum merasakan manfaat dari adanya Otonomi khusus. Selama ini meskipun banyak dana yang telah disalurkan ke daerah ini, tetapi belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata dan adil.

Rabu, 08 Juli 2009

Saparatisme, Bukan Untuk Ditakuti (1)


Melihat Konflik Sebagai Peluang Mempererat Bangsa 

Separatisme di Indonesia berlatar belakang ideologi, keadilan politik, dan ekonomi serta hadirnya kepentingan asing. Secara Umum, konflik terjadi ketika kepentingan maupun tujuan masyarakat tidak sejalan. Kalau dapat mengelolanya dengan baik berbagai perbedaan pendapat yang terjadi dapat diselesaikan tanpa adanya kekerasan dan bahkan sering menghasilkan situasi yang lebih baik dari sebelumnya.Karena itu melihat konflik janganlah melihatnya sebagai monster yang menakutkan. Tapi lihat jugalah, berbagai kemungkinan yang bisa dimanfaatkan disebaliknya. Karena itu harus diyakini bahwa kemungkinan konflik itu akan selalu ada, apalagi karena memang merupakan bagian dari dinamika dalam kehidupan. 
Dari tingkat mikro, antar pribadi hingga kelompok, organisasi, masyarakat dan negara, semua bentuk hubungan manusia–sosial, ekonomi dan kekuasaan mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbang-an antara hubungan-hubungan tersebut. Menurut Nicholson (1972) menyebutkan bahwa konflik dapat diartikan sebagai interaksi antara sedikitnya dua individu atau kelompok yang memiliki tujuan yang berbeda. Perbedaan ini secara umum merupakan puncak dari perbedaan persepsi dan pikiran, perkataan dan perbuatan (Chang, 2002: 34). Perbedaan pandangan dan tujuan sering dipandang sebagai masalah yang hanya dapat diselesaikan jika kita semua pihak memiliki maksud yang sama, atau ketika suatu pandangan lebih kuat dari pada pandangan yang lain.


Kemungkinan lainnya, perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat sebagai sumber daya yang menuntun ke arah pemahaman yang lebih luas terhadap suatu masalah dan perbaikan situasi yang sedang dihadapi.... Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara berbagai hubungan antar manusia (individu-kelompok-masyarakat) dalam berbagai aspek kehidupan, contohnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Terdapat empat tipe konflik yang masing-masingnya memiliki potensi dan tantangannya sendiri yaitu : Tanpa Konflik, secara umum pendapat semua orang hamper sama, tanpa konflik dianggap sesuatu yang lebih baik. Namun setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup bersemangat dan dinamis serta mampu mengatasi perbedaan pendapat, kepentingan dan tujuan secara proporsional.

Konflik Laten, sifatnya tersembunyi dan selama belum menemukan momen yang tepat dia tidak dapat muncul ke permukaan sehingga tidak dapat ditangani secara efektif. Konflik Terbuka, konflik yang berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik di Permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Karakteristik yang paling menonjol dari konflik adalah yang terkait identitas dan distribusi. Konflik identitas sering juga disebut konflik etnis. Etnisitas adalah konsep yang luas mencakup banyak sekali elemen : RAS, Kultur, Agama, keturunan, sejarah, bahasa dan seterusnya. Tetapi pada dasarnya merupakan isu identitas. Seringkali faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja. Dalam kasus-kasus dimana identitas dan isu distribusi dibaurkan, kesempatan bagi pemimpin yang oportunis untuk mengeksploitasi dan memanipulasinya, dan ini menjadi potensi konflik yang paling tinggi. Konflik juga banyak dipahami sebagai suatu situasi dimana terjadi persaingan untuk memenuhi tujuan yang tidak selaras dari kelompok- kelompok yang berbeda (Miall, et al., 1999: 21). Melalui penelusuran definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik dapat terjadi kapan saja dan dimana saja ketika benturan pikiran, perkataan dan perbuatan tidak menemukan jalan keluar oleh individu atau kelompok yang tengah berinteraksi. 

Pertanyaan yang muncul sekarang ialah, apakah makna dari perbedaan pikiran, perkataan dan perbuatan tersebut diatas ? Sosiolog Dahrendorf (1957: 206-207) melihat konflik sebagai dua pemaknaan yang bergumul. Makna yang pertama, konflik merupakan akibat dari proses integrasi di dalam masyarakat yang tidak tuntas. Dalam konteks ini konflik merupakan sebuah symptom (gejala penyakit) yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam intensitas yang tinggi, konflik semacam ini dapat membuat sebuah negara kesatuan hancur berkeping-keping. Konflik dapat dipahami sebagai sebuah proses alamiah dalam rangka sebuah rekonstruksi sosial. Dalam hal ini, konflik dapat dilihat secara fungsional sebagai suatu strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegrasi di dalam masyarakat yang tidak terintegrasi secara sempurna. Konflik Dilihat Dari Sumber-Sumber Konflik. Bila dilihat lebih seksama sumber-sumber konflik di tingkat lokal menyangkut beberapa aspek yaitu : Tekanan terhadap peran negara sebagai sebuah kekuatan yang berdaulat atas wilayah dan warganya. Walaupun hingga akhir abad ke-20 negara sebagai sebuah institusi yang masih eksis, namun berbagai tekanan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar telah meletakkan negara pada posisi yang defensif. 

Mau Tahu Harmen Batubara : Penulis Dari Perbatasan? Klik Disini

 Dari dalam, berbagai kekuatan faksional (berdasarkan ikatan – ikatan etnis, wilayah, agama dan lain-lain) terus - menerus berupaya merongrong posisi negara. Dari luar, fenomena globalisasi (sistem internasional) membuat garis batas negara makin berkurang relevansinya dari waktu ke waktu. Akibat lebih lanjut dari proses ini adalah makin rentannya perekatan negara bangsa dalam konteks nasionalisme. Namun patut disayangkan bahwa tidak banyak negara yang sanggup melaksanakan tugas ini dengan baik.” Rapuhnya posisi makin tampak jelas manakala rezim-rezim penguasa dibangun atas dasar legitimasi yang rendah sebagai-mana tampak pada negara berkembang, dimana pemerintahannya tidak memiliki kemampuan untuk merespon kebutuhan masyarakat yang memadai. Dalam banyak kasus, konflik mudah terjadi pada rezim-rezim kleptokratis (rentan terhadap korupsi), yang dibangun melalui pendekatan otoritarianisme.

Minggu, 05 Juli 2009

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(III)


Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(III) 

 III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Dalam rangka meningkatkan hasil-haisl yang telah dicapai serta mengatasi permasalahn yang dihadapi, maka dipelukan tindak lanut sebagai berikut : Pelaksanaan percepatan pembangunan kekuatan TNI meliputi pembangunan dan pengembangan pertahanan integrative, pengembangan pertahanan matra darat, laut dan udara. Dalam hal pengembangan pertahanan integrative, tindak lanjut yang diperlukan meliputi : 1) Pembangunan gelar pasukan/kekuatan yang berimbang antara kekuatan TNI dihadapkan kemampuan dan karakter wilayah pemeruintah daerah, sehingga dapat mendukung tuas, memenuhi kebutuhan keamanan luas wilayah, jumlag penduduk dan memenuhi kebutuhan keamanan terhadap nilai kekayaan nasional yang harus dijamin. 2) Kekuatan integrative terdiri dari (a) Melaksankan revisi peranti lunak guna meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas organisasi melalui penyempurnaan peraturan/keputusan sesuai dengan UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI); (b) Peningkatan pembangunan personil TNI dan PNS dalam rangka mempertahankan kekuatan yang ada sebagai upaya memenuhi standar TOP/DSPP dan meningkatkan kesejahteraan prajurit untuk memuhi kebutuhan perumahan, kesehatan dan jaminan kesejahteraan serta meningkatkan profesionalisme prajurit TNI melalui pembinaan, pendidikan dan latihan agar tugas pokok seorang prajurit dapat terlaksanakan dengan baik;... (c) Pembangunan materiil yang meliputi : - Pemeliharaan alutsista terdiri dari senjata, amunisis , rantis dan rampur; - Pemeliharaan non alutsista yang terdiri dari atas randis/ransus, alkom K41, Alpasus, alkes, alkomputer, mesin stationer dan alsintor; - Pengadaan pesawat tanpa awak; - Pembangunan fasilitas yang meliputi pembangunan pos pengamanan perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar/terdepan secara bertahap. 3) Peningkatan kesejahteraan prajurit yang diupayakan dapat ditempuh melalui kenaikan Uang Lauk Pauk (ULP) prajurit dan pemberian uang makan PNS. 4) Pemberdayaan ipertahanan nasional dengan mendorong penggunaan produk industri dalam negeri dalam pengadaan alutsista/materiil TNI seperti Panser APS, KKAL 36, KAL-40, pesawat angkut ringan, semua jenis senjata ringan beserta amunisinya, truk angkut pasukan, sarana angkut laut dan sungai dari jenis inflatable boat dan jenis hovercraft, paying udara orang (PUO). Disamping itu perlu dilakukan rekayakasa engineering bidang system control yang merupakan bagian yang sangat penting dalam system senjata teknologi yang digunakan TNI. 5) Peningkatan kerjasama militer luar negeri dengan mewujudkan pengendalian kebijakan satu pintu dalam kerja sama internasional dan terbinannya kerjasam internasional dengan Negara-negra sahabat. Dalam pengemabngan matra darat dintak lanjut yang diperlukan antara lain : !) Melanjutkan penataan validasi organisasi TNI AD, terdiri dari (a) Penyusunan 6 (enam) organisasi baru yaitu ; Pussenarmed, Pusenarhanud, Yonarmed-155/Tarik, Denhubrem, Denkes dan Denpa Divif/K; (b) Validasi 17 (tujuh belas) organisasi baru yaitu; Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Denintelpam, Infolahtadam, Seskoad, Secapa AD, Denma Mabessad, Puskodal TNI AD, Pekas, Yonwalprotneg, Denrudal, Bintal Kostrad, Pom kostrad dan Kum Kostrad; (c) Pengesahan 20 (dua puluh) oranisasi hasil uji coba yaitu : Zidam, Hubdam, Paldam, Bekangdam, Ajendam, Topdam, Kudam, Kumdam, Pomdam, Itjenad, RSGS Ditkesad, Dislitbangad, Drom Hellly 21/Sena, Dron hellly-11/serbu, Lanud Ahmad Yani, Denintel, Kostrad, Puslatpur Kodiklat TNI AD, Satdik Seraider Pusdikpasus dan Puspomad. 2) Pengemabangan dan pembangunan alutsista, melalui ; (a) Pengadaan alutsista untuk memenuhi TOP/DSPP satuan secara bertahap yaitu modifikasi SMB 12,7 mm HBFL ke QCB sebanyak 35 pucuk, peralatna oftik sebanyak 322 buha, Alpernika sebanyak 8 set, pesawat terbang sebanyak 1 unit, sucad psawat terbang sebanyak 7 paket, MKK sebanyak 660 ribu butir dan kapal apung KMC V-24 sebanyak 9 unit; (b) Pengadaan non alutsista untuk menenuhi TOP DSPP satuan secara bertahap brupa ranmor berbagai jenis sebanyak 435 unit, alkes sebayak 137 unit, altop sebnyak 74 set, alhub//alkomplek sebanyak 1.422 set alberzi sebanyak 7 unit, alzicil sebanyak 415.928 MT/BH/unit/set. Dalam pengembangan pertahanan matra laut tindak lanjutnya diperlukan: 1) Melanjutkan program multiyear dan bertahap dalam pengadaan korvet kelas Sigma, kapal perusak rudal, Sewaco kelas Sigma, kapal selam diesel electyrik (Kilo/amur), tank amfibi BPM-3F, pemasangan FCS dan rudal C-182, serta pengadaan rudal excocet MM-40 dan mistrak. 2) Pembangunan bidang materil pengadaan DG KRI kelas parchim, peralatan senjata elektronik korviet kelas Sigma, batteray torpedo SUT, rudal Yakont, pemeliharaan tingkat Depo, re-engine, reforing dan overhaul sejumlah KRI, penghapusan Pesud yang suda grounded, pemeliharaan harla pesud dan pengadaan suku cadang untuk mendukung pemeliharaan tingkat Depo pesud dan helly. 3) Pemabngunan dan renovasi pangkalan dengan fasilitas pendukungnya disesuaikan dengan tingkat/kelas pangkalan, pembentukan pangkalan Marinir dipangkalan Brandan, Pare-pare dan Sorong, peningkatan kelas pangkalan yang berada diwilayah perbatasan serta penambahan jumlah pangkalan melalui pembentukan pangkalan baru (LantamaL) di Marauke dan Teluk Bayur, menata kembali gelar pangkalan dengan merelokasi beberapa Lantamal sehingga lebih ideal dalam mendukung geostrategis pendekatan pertahanan. 4) Pengadaan senjata ringan, kendaraan bermotor, kendaran tempur, alat komunikasi, peralatan navigasi, amunisi dan peralatan pernika, Launcher anti tank, rudal arhanud dan meriam Howizcer, kapsatlap, alsus dan rantis secara bertahap untuk mendukung Yonif, saharlan dan Yon Taifob Marinir. Adapun tindak alnjut yang perluk ditempuh dalam pengembangan pertahanan matra udara adalah : 1) Pengembangan organisasi melalui : pembentukan Sjuadron Hely VIP/VVIP, validasi organisasi Lanud Eltari Kupang, Peningkatan Lanud Tarakan, Lanud Palangkaraya, dan peningkatan Lanud Hang Nasdim Batam. Disamping itu dilakukan pula pembentukan skuadron teknik di lanud Supadio Pontianak, Suryadharma di Kalijati, satuan pemeliharaan (Sathar) 34 di lanud Abdul Rachman Saleh, satuan radar (Satrad) Marauke, sastrad Saum Laki dan Timika, serta pembentukan skaodron Paskhas 467 di Medan. 2) Pembangunan materiil yang meliputi : (a) Pengadaan pesawat Sukhoi dan Helicopter NAS-332, upgrade dan retrofit pesawat C-130 Hercules; (b) Pengadaan suku cadang/engine//avionic pesawat tempur, angkut, latih dan helly (Sukhoi 27/30, F-16, Hawk 109/209, C-13-/CN-235, dan Puma/Twin pack; (c) Pengadaan armament dan amunisi pesawat tempur Sukhoi, F-16, F-5, KT-1B dan OV-10; (d) Pengadaan radar GCI/EW dan soc Kosek I/IV; (e) Pengadaan penangkis serangan udara (PSU); Pengadaan dan perbaikan simulator maintenance (SAMT) F-16 dan Hawk 209; (g) Melanjutkan program pengadaan pesawat CN-235 MPA, pesawat latih KT-1B; (h)Upgrade mission equipment pesawat Boing 737 SIP; (i) Refurbisment dan re-engine pesawat SA-330; (j) Check “d” Overhoul engine dan sucad kritis B-737-200; (k) Pengadaan CAD/PAD [pesawat tempur Hawk 109/209/MK-53/OV-10 dan KT-IB; (i) Pengadaan alpal fashar, suku cadang dan test bench radar; (m0 Pengadaan paracit troop MCI-IC; (N) Pengadaan peralatan pemotretan udara, instalasi CCTV diIswahyudi (Madiun), Pekanbaru, Rumkit dan alat instruksi/alat penolong instvruksi (Alins/alongin).