Senin, 20 Juli 2009

Pembangunan Papua, Mencari Format Yang Pas


Dengan melihat berbagai fakta yang ada, yaitu implikasi kontra produktif yang muncul seiring dengan dinamika demokrasi, maka demokrasi di Indonesia perlu dikawal dengan hati-hati. Iklim demokrasi yang selama ini sudah mulai berkembang harus dihindarkan dari involusi (kemandegan), sebab proses involusi demokrasi memunculkan fenomena stagnasi demokrasi atau dikenal juga dengan istilah demokrasi beku (frozen democracy) yang ditandai dengan perilaku masyarakat yang anarkis, cenderung melawan hukum (civil disobedience/pembangkangan sipil) serta kurang menghargai simbol-simbol kedaulatan Negara, dan hal ini bisa dilihat pada phenomena Papua. Penomena Papua, bagi sebagian orang sering muncul pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan Papua, siapakah yang mengelola pemerintahan yang sesungguhnya. 
Sebab selama ini yang sering muncul adalah tidak harmonisnya antara aparat Pemda dengan Keamanan. Sepertinya Pemda merasa selalu dicurigai dalam melakukan pembangunan wilayahnya. Sementara dari pengamanan sulit percaya kepada pemda, banyak dana yang tidak tersalurkan sebagaimana mestinya, sementara Pemda melihat justeru dana terbesar di papua justeru masuk ke pos-pos pengamanan. Kita tidak mau masuk ke perangkap dikotomi itu, tetapi antara Pemda dan pihak-pihak terkait pengamanan ada sesuatu yang tidak sinergi, dan hal ini tidak ada yang memonitor.
Sepertinya kedua institusi besar tersebut, sibuk dengan jadwal mereka masing-masing. Otonomi Khusus bagi Papua yang ditetapkan melalui UU No. 21/2001 menjadi tonggak sejarah yang penting dalam menyelesaikan persoalan Papua yang sangat kompleks, yaitu membangun kerjasama yang konstruktif antara pemerintah dengan provinsi Papua serta menjadi fondasi dalam membangun kesejahteraan masyarakat Papua. Sehubungan dengan itu, pertanyaan mendasar yang menarik untuk diajukan adalah apakah pemberian otonomi khusus sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 21/2001 itu menjawab subtansi persoalan, yaitu memperbaiki kesejahteraan masyarakat Papua. Pembangunan ekonomi dan social di Papua tidak dengan serta merta menghapuskan tuntutan separatisme. 
Ketimpangan pembangunan ekonomi dan ekploitasi sumber daya alam yang dianggap berlebihan belum memberikan perbaikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini misalnya terlihat antara lain dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index yang rendah. Sampai tahun 2007, misalnya, kemiskinan mutlak (absolute poverty) di Papua mencapai 40,7 persen, angka itu jauh di atas kemiskinan nasional sebesar 16,5 persen. Tingginya angka pengangguran dan rendahnya beberapa indikator kesejahteraan lain menjadi sumber kekecewaan sekelompok masyarakat di Papua. Kondisi dan perkembangan di Papua, memerlukan prioritas dan perhatian dalam penanganannya agar keinginan dis-integrasi sebagian kelompok masyarakat dapat dihapuskan. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan sejak tahun tujuh puluhan untuk menegakkan stabilitas politik dan keamanan termasuk didalamnya memberikan kewenangan serta sumber daya ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat Papua melalui implementasi otonomi khusus yang diharapkan dapat mendorong pembangunan di Papua. 
 Sebenarnya Provinsi Papua dipastikan memperoleh dukungan financial yang lebih besar dari hasil pengelolaan sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan formula UU. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan Pusat dan Daerah, Provinsi Papua memperoleh 70 persen dalam hasil pengelolakan sumber-sumber kekayaan alamnya dalam bentuk dana bagi hasil. Namun pemberian insentif ekonomi tersebut mengalami kendala dalam implementasinya sehingga masyarakat Papua tidak merasakan adanya peningkatan kesejahteraanya. Tuntutan peningkatan kesejahteraan inilah yang sebenarnya mengemuka dengan beragam manifestasinya. Respon pemerintah terhadap tuntutan ini salah satunya dengan memberikan otonomi khusus kepada masyarakat Papua yang ditetapkan melalui UU No.21/2001. 
Dari sisi tataran peraturan dan perundang-uandangan sebenarnya Papua sudah memilikinya, hanya saja soliditas aparatlah yang belum bisa di transformasikan sehingga mereka jadi suatu system yang mampu membangun wilayah papua secara sinergis. Jadi selama ini yang ada sebenarnya adalah jalannya dus system yang saling disharmoni. Pemda berjalan dengan agendanya dan merasa kebijakannya dimata-matai oleh aparat keamanan. Sebaliknya aparat keamanan selalu datang dengan permintaan dukungan dana yang besar, tanpa mensinkronkannya dengan pembangunan yang dilakukan Pemda, sementara Pemerintah Pusat, tidak melakukan apa-apa. 
Mereka lemah dalam mengontrol pihak pengamanan (TNI,Polri) sementara ke Pemda mereka juga tidak punya pola pembinaan yang jelas. Maka jadilah pembangunan di Papua, berjalan sesuai dinamika kepemimpinan lapangan. Kalau kebetulan dari pimpinan keamanan yang menonjol, maka yang jalan adalah semua pembangunan yang berdimensi pengamanan. Tetapi kalau pimpinan sipil yang kuat, maka yang muncul adalah gonjang-ganjing kondisi keamanan. Hemat saya hal inilah selama ini yang terulang dan terulang. 


Masyarakat sendiri, tidak merasakan hasil pembangunan sementara dana pembangunannya di pakai dan dipergunakan oleh system pemerintahan yang tidak sinergis. Jadi kondisi yang ada saat ini, adalah lemahnya kemampuan system dalam mengelola dana-dana pembangunan secara benar. Pemerintah pusat sendiri sudah membuat sistemnya lebih baik, tetapi system tersebut tidak bisa berjalan optimal, sementara Pusat tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal kalau pemdanya diperkuat, dan system pengamanannya harus melebur dan bia sinergi dengan kemauan pemda, dan pemda mampu mengemban amanah pemerintahan Pusat, maka dapat dipercaya pembangunan di Papua akan dapat memberikan manfaat bagi warganya.

Papua Milik NKRI,  OPM Sudah Jadi Sejarah

Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan  Act of Free Choice  bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,  Act of Free Choice  bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). PEPERA diwakili 1,025 warga Papua, menurut OPM itu  Act of self-determination  mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote)

Tetapi mereka lupa bahwa pada saat itu kondisi Papua masih sangat tertutup sarana transportasi nyaris belum ada.  Semua serba terbatas Mereka juga lupa bahwa cara pemilu di Papua masih memakai sistem NOKEN artinya suara warga dopercayakan penuh pada kepala suku. Selama ini OPM selalu berdalih bahwa bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanahPapua. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilu hingga tahun 2021 di Papua masih dengan sistem “Noken” yang dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilakn oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Jadi bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu, tetapi ke wilayah lain yang bisa menerima mereka. Menurut hemat saya, berbagai alasan untuk mengevaluasi Otsus itu ide yang baik tetapi jika dilihat dengan realitas di lapangan kita masih perlu terlebih dahulu membangun Papua yang lebih baik lagi, Khususnya perlu dana yang lebih besar dan pemekaran wilayah. Soal ada yang tidak setuju hal itu ya sah-sah saja. Nanti setelah keadaan dan sistemnya lebih baik lagi maka evaluasi bisa dilakukan kembali. Sekarang lebih baik fokus sesuai konsep NKRI dan mensukseskan acara PON Papua.

Pembangunan Papua Masih Perlu Perjuangan

Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[1] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah “ kedederan” dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya. Dalam kondisi seperti itulah, para penggiat warga Papua yang pro kemerdekaan kian mendapat angin dan terus berusaha untuk mendiskreditkan pemerintah. Betul kelahiran Otsus sudah pada treknya, tetapi belum sepenuhnya terkelola secara baik. Namun satu hal yang telah memberikan warna adalah telah muncul dengan semarak para Pemimpin Papua dari warga Papua Asli.



[1] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/22/jumlah-penduduk-di-tanah-papua-diproyeksi-mencapai-578-juta-jiwa-pada-2045






Tidak ada komentar: