Minggu, 12 Juli 2009

Saparatisme, Bukan Untuk Ditakuti (2)



Melihat Konflik Sebagai Peluang Mempererat Bangsa 
 Tekanan Terhadap Peran Negara karena ketidak puasan terhadap situasi dan kondisi tertentu. Berbagai studi untuk mencoba memahami bagaimana kelompok-kelompok yang tidak puas berusaha untuk mengartikulasi keluhan-keluhan mereka dan melakukan mobilisasi untuk menentang para pemegang otoritas dalam persoalan-persoalan tertentu. Gurr (1993) menyatakan bahwa kelompok-kelompok di dalam suatu negara (etnis, sekte militan, separatis dan lain-lain) dapat secara bertahap menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kondisi tertentu, mulai dari protes secara damai, protes dengan diikuti pengrusakan, pembangkangan hingga kepada pemberontakan bersenjata (revolusi bersenjata). Untuk melakukan perubahan dari satu tahap aksi ke tahap berikutnya, kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan biasanya mempertimbangkan : 

Besar/kecilnya peluang untuk memenangkan perjuangan; Kebutuhan untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah; Antisipasi mereka terhadap risiko dan Adanya kelemahan di pihak lawan, seperti krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan diri, krisis legitimasi atau bahkan krisis ekonomi. Kemampuan negara untuk mengelola dan menyelesaikan jenis konflik akibat ketidakpuasan pada kondisi tertentu sangat tergantung pada kemampuan negara dalam memberikan respon yang tepat. Respon akomodatif biasanya diperlukan pada saat konflik masih pada tahap awal (proses damai dan demonstrasi) untuk mencegah terjadinya eskalasi. Respon represif barangkali juga diperlukan ketika protes telah menjurus ke arah pembrontakan yang dapat membahayakan stabilitas suatu negara. Namun demikian, upaya yang sangat ideal, sebagaimana dikatakan oleh Azar (1990) adalah built mechanism of conflict resolution, yakni sebuah upaya yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk terbiasa membicarakan perbedaan dalam suatu dialog dengan didampingi oleh pihak ketiga yang sungguh-sungguh netral....

 
Konflik di tingkat lokal dapat juga dipicu oleh ambisi-ambisi pribadi para pemimpin kelompok di dalam suatu negara dengan cara mengeksploitasi suasana pluralitas demi kepentingan pribadi/kelompoknya melalui penggalangan dukungan massa. Konflik yang melanda berbagai kawasan di Balkan maupun Afrika tidak lepas dari peran para pemimpin yang mengeksploitasi perbedaan dalam rangka memperoleh dukungan massa guna kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bentuk eksploitasi kaum elite terhadap massa yang plural dapat dalam berbagai bentuk seperti diskriminasi yang mengistimewakan kaum mayoritas dan menindas kaum minoritas; mendefinisikan partisipasi politik berdasarkan pembagian etnis atau agama tertentu; menyebarkan kebencian terhadap golongan tertentu secara terbuka di media massa atau bahkan membentuk satuan-satuan pembantai misalnya kelompok inter-ahamwe di Rwanda ketika “menghabisi” suku Huttu (Miall, et.al., 1999 ;90). Maka tidak dapat diragukan lagi bahwa ambisi pribadi elite ikut berperan dalam berbagai konflik yang mengakibatkan beban penderitaan bagi jutaan umat manusia. Konflik Primordial. Di luar bentuk eksploitasi pluralitas, konflik juga dapat terbangun dari akibat pola primordial. Ketika masih berlangsung pengelompokan negara menjadi Blok Barat dan Blok Timur atau Kapitalisme-liberal versus Marxisme-Leninisme, eksploitasi pluralitas menjadi tidak relevan. Namun ketika Perang Dingin berakhir, maka benih-benih primordialisme mulai muncul ke permukaan. 

Dengan meminjam enam unsur ikatan primordial yang dikembangkan oleh Geertz (1973), kita dapat memahami kecenderungan konflik primordial yang makin intensif sejak awal 1990-an, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Konflik primordial yang terkait dengan hubungan darah; yaitu suatu komunitas yang diikat oleh hubungan biologis/darah (kekeluargaan dan/atau kekerabatan) dimana setiap individu di dalamnya mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari suatu keluarga besar. Perikatan semacam ini lebih mudah ditemui di masyarakat Afrika dan Asia. Berbagai konflik lokal di kedua benua tersebut seringkali dipicu oleh hubungan darah. Konflik primordial dihubungkan dengan persoalan ras; suatu komunitas yang dipersatukan oleh kesamaan etno-biologis yang ditampilkan dalam ciri-ciri fisik yang sama, seperti warna kulit, jenis rambut, bentuk wajah dan lain-lain. Berdiasporanya kelompok ras tertentu Cina di Indonesia dan Malaysia, India dan Yahudi di Inggris serta Afrika di AS menempatkan mereka sebagai kelompok minoritas di negara-negara tertentu seringkali memicu konflik rasial. Konflik primordial yang terkait dengan hubungan agama; persoalan agama merupakan sumber konflik yang cukup krusial di berbagai kawasan dunia. Partisi antara India-Pakistan pada dekade 1950-an merupakan contoh paling jelas dari konflik agama berskala besar. Pada skala yang lebih kecil konflik agama terjadi di berbagai Asia, seperti India, Filipina, Indonesia dan Thailand. Konflik primordial dihubungkan dengan wilayah; Ikatan yang didasarkan atas kesamaan wilayah seringkali menjadi salah satu sumber konflik, baik dalam masyarakat pluralis maupun homogen. Fanatisme kedaerahan yang dimiliki kelompok tertentu biasanya berkembang menjadi semangat kedaerahan (nasionalisme lokal) sempit yang diwarnai oleh stereotype terhadap pendatang di daerah lain. Dalam masyarakat Indonesia dan India, misalnya semangat kedaerahan seringkali memicu intra–state conflict. Konflik yang terkait dengan ikatan adat istiadat. Suatu komunitas juga dapat diikat berdasarkan kesamaan, kebiasaan dan norma-norma yang dianut. 

 Dalam praktek kehidupan sehari-hari konflik adat istiadat seringkali terjadi menyertai konflik etnis dan wilayah karena pihak-pihak yang terlibat didalamnya biasanya mempersoalkan perbedaan norma dan kebiasaan-kebiasaan adat/budaya. Dalam suatu masyarakat yang terdiri dari kaum mayoritas dan minoritas, kaum mayoritas biasanya mendominasi norma dan nilai yang berlaku sehingga membuat “kebiasaan” kaum minoritas tersubordinasi. Walaupun kita jarang menemukan peperangan yang dipicu hanya oleh persoalan adat istiadat, tetapi faktor ikatan adat istiadat dapat membuat suatu konflik menjadi dahsyat dan lebih rumit. Konflik primordial dihubungkan dengan ikatan bahasa. Walaupun bahasa seringkali berfungsi sebagai sumber pemersatu komunitas, tetapi bahasa juga dapat menjadi sumber konflik seperti yang terjadi di Afrika dan Asia Selatan (India, Pakistan dan Srilanka). Pemaksaan bahasa kelompok etnis tertentu sebagai bahasa nasional biasanya menimbulkan ketidakpuasan dari kelompok etnis lain yang tidak jarang berkembang menjadi konflik kekerasan. Saparatisme, Bukan Untuk Ditakuti (3) Melihat Konflik Sebagai Peluang Mempererat Bangsa Oleh: Harmen Batubara. Dalam melihat ancaman separatisme, maka dari sisi Pertahanan perlu dilakukan pemberdayaan Kodam/Kowil, untuk bisa mengambil dan memiliki kewenangan pengambilan keputusan dan pengendalian (semacam organisasi komando gabungan di dunia militer) yang menangani operasi terpadu, yang bekerja sama dengan semua stack holder baik dalam pemberdayaan wilayah (sosial, ekonomi dan demokrasi) dan di tingkat pusat ditangani oleh satu organisasi serupa. Kepada organisasi ini harus diberi kewenangan dan tanggung jawab memadai menyangkut aspek penggunaan kekuatan militer, anggaran dan kepentingan pendukung lainnya. 

 Perlu untuk Diingat, bahwa separatisme itu adalah juga; a. Menangani Separatisme adalah upaya memprebutkan hati dan pikiran rakyat, dan separatis itu sendiri. Untuk itu memerlukan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum,politik, ekonomi dan juga sosio-budaya. Kegitan multi asfek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain berada dalam satu komando. Contoh untuk kasus seperti ini, bisa dipakai saat Inggris menangani saparatisme Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada dibawah satu manajemen yang dipimpin Mendagri. b. Secara Hukum, Operasi militer baru dibenarkan kalau kaum separatis sudah terorganisasi secara militer dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau aparat dengan menggunakan senjata serta melakukan tindakan kriminal dan kekerasan terhadap masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Demikian pula penegakan hukum/operasi justisi dilaksanakan dengan benar dan tegas, baik terhadap kaum separatis maupun aparat yang melakukan kesalahan sehingga msyarakat, harus bisa membedakan mana yang salah mana yang benar. c. Dalam penanganan kasus Ambon, Papua dan Aceh belum terlihat hadirnya suatu komando gabungan terpadu, didaerah maupun di pusat dan juga belum ada wacana memberdayakan Kowil secara khusus. 
Di tingkat pusat hanya berupa desk, dibawah Menko Polhukam, yang berfungsi memberikan masukan. Kelemahan lain adalah tidak adanya soliditas dalam sikap politik pada tataran eksekutif, legislatif dan yudikatif dan parpol. Banyak hal menunjukkan masih kentalnya kepentingan jangka pendek dan mengamankan kepentingan golongannya. Namun demikian setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh ada pemerintahan baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Pada umumnya, konflik terkonsentrasi di sejumlah daerah. 

Setiap konflik bisa diatasi. Kuncinya adalah mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masyalah kemanusiaan, dan memperbaiki kualitas demokrasi. d. Khusus untuk Papua, dari beberapa kajian Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, penanganan sejumlah gejolak yang muncul belakangan ini di Papua tidak dapat diselsaikan kalau hanya menngandalkan pendekatan keamanan atau dengan memberikan uang sebanyakbanyaknya ke daerah terebut. Menurut mereka, justeru pemerintah akan berhasil kalau mampu mengontrol penggunaan dana serta semakin melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan di wilayahnya, mulai dari perencaan hingga pelaksanaannya. Mereka menilai selama ini, warga masyarakat Papua belum merasakan manfaat dari adanya Otonomi khusus. Selama ini meskipun banyak dana yang telah disalurkan ke daerah ini, tetapi belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata dan adil.

Tidak ada komentar: