Rabu, 15 Juli 2009

Separatisme, Perbatasan Dan Keamanan Nasional


Separatisme, Perbatasan Dan Keamanan Nasional


Oleh Harmen Batubara 

 VISI INDONESIA 2030; Indonesia pada abad ke-21 adalah bangsa yang maju dan sejahtera; mandiri,produktif, punya daya saing, mampu mengelola Sumda dan Sumer Daya lainnya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bangsa secara kerkelanjutan. Capaian itu diperoleh meliputi empat hal, pertama Indonesia akan masuk jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan perkapita US$18.000. Kedua, minimal 30 perusahaan Indonesia akan masuk dalam daftar 500 perusahaan terbesar Dunia; Ketiga, adanya pengelolaan Sumda Alam yang berkelanjutan; Keempat teruwujutnya kualitas kehidupan modern, demokratis dan merata. 

Strategi Indonesia ke depan harus dibangun dengan strategi nasional yang berorientasi pada penciptaan kesempatan ekonomi secara internal dicapai melalui sistem demokrasi dengan dukungan militer yang kuat. Indonesia di Posisi Silang Dunia Dekelarasi Djoeanda 13 Des 1957 secara geopolitik dan geoekonomi telah menjadikan 17504 pulau-pulau di kepulauan Nusantara menjadi NKRI, menjadikan Indonesia sebagai Negara kepulauan, dan telah diakui oleh masyarakat internasional, yakni dengan ditanda tanganinya UNCLOS 1982 pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Dewasa ini 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75 % barang yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1300 triliun pertahun. Kenyataan ini diharapkan dapat menginspirasi bagi pengembangan kekayaan laut nasional di 11 sektor yang meliputi ; a. Perikanan Tangkap b. Perikanan Budi Daya c. Industri pengolahan hasil perikanan, d. Industri bioteknologi, e. pertambangan dan energy f. Pariwisata Bahari g. Kehutanan, h. Perhubungan laut, i. Sumber Daya Pulau-pulau Kecil, . Industri dan Jasa Maritim, dan k. SDA Nonkonvensional. Dan semua itu membutuhkan infrastruktur yang kuat, baik di darat, laut dan udara.... Diperkirakan 132 juta jiwa (60% jumlah penduduk), hidup dan tinggal di daerah pesisir sebagai masyarakat desa pesisir. Ada sekitar 4.735 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dapat di kategorikan sebagai desa pesisir, sebagian diantaranya terletak diwilayah perkotaan dengan 75% kota-kota besar dan menengah yang berpenduduk diatas 100.000 jiwa berada di pantai selat malaka, laut cina selatan, laut jawa dan selat makasar, yang selama ini belum terpikirkan sarana transportasi yang mengkomunikasikannya secara terpadu (laut,darat,udara), peran komunitas pembangun Trans Asia dan Asean Highway sangat dinantikan. Separatisme dalam Sistem Pertahanan Nasional. Separatisme di Indonesia berlatar belakang ideologi, keadilan politik, dan ekonomi serta hadirnya kepentingan asing. Dengan melihat pola gerak separatis dan ciri kedaerahannya, seharusnya tidak semua masalah tersebut jadi domain Kepolisian. 


Dari sisi Pertahanan perlu dilakukan pemberdayaan Kodam/Kowil, yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan dan pengendalian (semacam organisasi komando gabungan di dunia militer) yang menangani operasi terpadu, yang bekerja sama dengan semua stack holder baik dalam pemberdayaan wilayah (sosial, ekonomi dan demokrasi) dan di tingkat pusat ditangani oleh satu organisasi serupa. Kepada organisasi ini harus diberi kewenangan dan tanggung jawab memadai menyangkut aspek penggunaan kekuatan militer, anggaran dan kepentingan pendukung lainnya. Menangani Separatisme adalah upaya memprebutkan hati dan pikiran rakyat, dan separatis itu sendiri. Untuk itu memerlukan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum,politik, ekonomi dan juga sosio-budaya. Kegitan multi asfek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain berada dalam satu komando. Contoh untuk kasus seperti ini, bisa dipakai saat Inggris menangani saparatisme Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada dibawah satu manajemen yang dipimpin Mendagri. Secara Hukum, Operasi militer baru dibenarkan kalau kaum separatis sudah terorganisasi secara militer dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah atau aparat dengan menggunakan senjata serta melakukan tindakan kriminal dan kekerasan terhadap masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Demikian pula penegakan hukum/operasi justisi dilaksanakan dengan benar dan tegas, baik terhadap kaum separatis maupun aparat yang melakukan kesalahan sehingga msyarakat, harus bisa membedakan mana yang salah mana yang benar. 
 Dalam penanganan kasus Ambon, Papua dan Aceh belum terlihat hadirnya suatu komando gabungan terpadu, didaerah maupun di pusat dan juga belum ada wacana memberdayakan Kowil secara khusus. Di tingkat pusat hanya berupa desk, dibawah Menko Polhukam, yang berfungsi memberikan masukan. Kelemahan lain adalah tidak adanya soliditas dalam sikap politik pada tataran eksekutif, legislatif dan yudikatif dan parpol. Banyak hal menunjukkan masih kentalnya kepentingan jangka pendek dan mengamankan kepentingan golongannya. Namun demikian setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh ada pemerintahan baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Pada umumnya, konflik terkonsentrasi di sejumlah daerah. Setiap konflik bisa diatasi. Kuncinya adalah mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masyalah kemanusiaan, dan memperbaiki kualitas demokrasi. Khusus untuk Papua, dari beberapa kajian Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, penanganan sejumlah gejolak yang muncul belakangan ini di Papua tidak dapat diselsaikan kalau hanya menngandalkan pendekatan keamanan atau dengan memberikan uang sebanyakbanyaknya ke daerah terebut. 
Menurut mereka, justeru pemerintah akan berhasil kalau mampu mengontrol penggunaan dana serta semakin melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan di wilayahnya, mulai dari perencaan hingga pelaksanaannya. Mereka menilai selama ini, warga masyarakat Papua belum merasakan manfaat dari adanya Otonomi khusus. Selama ini meskipun banyak dana yang telah disalurkan ke daerah ini, tetapi belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata dan adil. Kondisi wilayah perbatasan Indonesia umumnya merupakan wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan dan masih mengandung celah – celah kerawanan yang mengakibatkan masyarakat di wilayah perbatasan umumnya tergolong masyarakat yang miskin dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah. 
Ketertinggalan wilayah perbatasan juga berimplikasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya menjadi tidak terkontrol, rentan terhadap penyalahgunaan dan kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain. Kerawanan dan ketertinggalan tersebut, harus segera diatasi melalui pembangunan dengan usaha-usaha yang langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat perbatasan serta menitik beratkan pada pembukaan isolasi daerah perbatasan dari daerah-daerah lainnya di Indonesia sehingga mereka yang ada di perbatasan merasa merupakan bagian integral dari bangsa dan wilayah Indonesia. Masalahnya, wilayah perbatasan secara bukanlah sebagai wilayah prioritas pembangunan bagi Pemda setempat. Bagi pemda perioritas pembangunannya berada di ibu kota kabupaten, kota atau kecamatan, karena memang disanalah pemnduduknya secara mayoritas berkehidupan. Sementara pemerintah pusat sendiri prioritas pembangunannya adalah di Jawa, dimana konsentrasi 70 % penduduk nasional. Dengan demikian maka pembangunan di wilayah perbatasan menjadi tidak relevan. Secara politik perlu dibangun, tetapi secara realita tidak menjadi prioritas.

1 komentar:

Sastra Minahasa mengatakan...

Ketidakseimbangan prioritas pemerintah inilah yang memicu menjalarnya pemikiran separatisme di daerah-daerah.