Selasa, 09 Maret 2010

Sustainabilitas Terorisme



”Nothingness is the source of not only absolute freedom but also existential horror and emotional anguish. Nihilism has only one truth to declare, namely, that ultimately nothingness prevails and the world is meaningless.” Helmut Thielicke (1969) Saat hati diri mencermatinya, teror bom bunuh diri di Kuningan kemarin sungguh mengerikan. Namun, di mata para teroris, itu menjanjikan ganjaran indah di dunia entah, nothingness. Terorisme meminati konsep mimpi meta-hidup. Artinya, terorisme menggusur nilai indah kehidupan nyata. Kematian dipuja. Hidup orang lain dinafikan, juga hidupnya sendiri. Jangan dilupakan eulogia juru bicara Al Qaeda 2001, The thousands of our young people look forward to death, like the pagans (kafir) look forward to living. Bunuh diri adalah cetusan final-banalnya. 
 Dua tahun lalu, pada headline sebuah koran di Jawa Timur ada judul Terorisme Rekrut 32.000 Bomber. Sebanyak itukah? Mengapa? Bagi mereka, bom menjelma bak pesta, ekspresi totalitas komitmen diri. Sangat banal. Ideologis Terorisme bukan sebuah paham, tetapi gerakan. Dalam skenario gerakan, efektivitas tindakan memiliki berbagai variasi strategis dan simbolis. Secara strategis, bom menghancurkan; secara simbolis, itu tanda keberadaan. Simbolisme dalam ranah teroris memiliki karakter mengecoh. Kecohan pertama langsung terkait atribut ideologis. Di sinilah rumitnya, terorisme gandeng atau tidak gandeng dengan agama atau ideologi apa pun. Jika tokoh-tokoh bangsa tergiring fokus ke sana, itu berarti strategi teroris sukses. Asal dipahami, Erich From mengingatkan, tindakan teror bukan ekspresi kengawuran. Teror pasti merupakan produk tindakan sistematis. 
Ada rancangan, ada kepastian metodologi, ada target, ada sistem rekrutmen, ada pelatihan, ada organisasi. Dan, yang pasti mendasari adalah ideologi. Dari metodologi dramaturgi sosiolog Erving Goffman, diketahui, aktivitas terorisme memakai dua panggung, yaitu setting panggung depan (yang kita lihat) dan belakang (tak terlihat). Jangan keliru tebak, panggung belakang bukan sekadar aneka pertemuan rahasia dan tersembunyi untuk merancang pengeboman (panggung depan). Yang tak tampak justru memiliki sofistikasi cetusan berlapis-lapis. Artinya, pelaku bunuh diri yang amat kejam, misalnya, di panggung belakang bisa tampil sebagai pribadi yang amat taat beribadah, setia kepada keluarga, cerdas, berpendidikan, dan seterusnya. Abu (sebutlah begitu pelakunya) bukan orang ngawur. Ia kalem, santun, bertanggung jawab terhadap istri dan anak, rajin beribadat. 
Seorang ”N” bisa jadi sehari-harinya tampil sederhana, cerdas, penuh komitmen, amat rajin berdoa. Demikian puluhan atau ratusan yang lain. Bahkan, mereka juga tinggal di rumah sebelah. Terorisme mengalami erosi kengerian kehadiran. Sebab, ternyata teroris itu santun dan mungkin tampak rajin beragama. Bisa dibayangkan, apabila dalam setting panggung belakang yang ada adalah sebuah organisasi! Cetusannya pasti canggih. Organisasi filantropik yang dengan simpatik menyokong pembangunan rumah ibadat, dapat terjadi pada saat yang sama menyuntik dana organisasi teroristik pula. Menjadi lebih rumit lagi saat organisasi ini memainkan pola ideologi agamis. Penonton akan mudah terkecoh, dari mengutuk kepada memuji. Kekejian bunuh diri menjadi ekspresi kemartiran. Kematian ngeri menjadi simbol pencapaian janji surgawi di dunia entah. Dalam logika manajerial bom bunuh diri, tindakan taktis bukan saja meminta keterampilan, tetapi juga komitmen. Komitmen menjadi mungkin hanya apabila melibatkan totalitas pemberian diri. Totalitas pastilah mengandaikan fondasi ideologis yang kokoh. ”Sustainable” Organisasi terorisme beda dengan organisasi politik.
 Membubarkan organisasi politik berarti mencabut izin, membuyarkan kantor pusat, menghancurkan simbol-simbol politisnya. Membubarkan organisasi teroristik? Tidak mudah. Terorisme memiliki karakter sustainabilitas yang kental. Justru karena tidak merupakan sebuah wacana, tetapi gerakan. Gerakan terorisme ada dalam ranah model ”amoeba”, ia menggandakan diri secara cepat dalam berbagai lapis. Sejauh ini, yang kita simak pada masa lalu dari penangkapan Detasemen 88 adalah pelaku seputar pengajar agama, pemuda yang rajin beribadat, para penganggur juga sarjana, peracik bom, kurir. 
 Tidak bisa disepelekan di luar lapis kelompok yang disebut ini, yaitu lapis mondial organisasi gerakan mereka. Terorisme sustainable karena memiliki jaringan, jaringan mondial, internasional. Strategi memutus jaringan membutuhkan kecanggihan dan ketekunan. Perangkat lunak Terorisme memiliki komponen perangkat lunak dan perangkat keras strategis. Perangkat kerasnya tampak dari teknologi canggih meracik bom berdaya ledak tinggi. Sementara perangkat lunak terorisme adalah ideologi (dapat pula agamis) dengan kompleksitas jaringan organisasi yang berlapis-lapis. Jelas, perangkat lunak semacam ini tidak mungkin dihadapi sistem keamanan paling canggih sekalipun. 
 Diperlukan kritik diri pada tataran menyeluruh, termasuk religiusitas (yang dekat dengan cara hidup beragama). Dalam melawan terorisme, nihilistik diperlukan berbagai kesadaran baru yang humanis. Orang tidak boleh lega dengan model-model kesalehan formal, macam pembangunan fisik rumah-rumah ibadat, kemeriahan upacara ritual atau ratifikasi aneka peraturan agamis. Tidak dari sendirinya penampilan tampak suci mengatakan kesejatian beriman. Perangkat lunak aktivitas teroristik akan runtuh bila bangsa ini rajin mempromosikan nilai-nilai kehidupan dan kearifan sendiri, seperti solidaritas, kesetiakawanan, dialog, persahabatan, silaturahim. Solidaritas memungkinkan satu sama lain membangun nurani dalam cita rasa demikian: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang lain adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kita juga. 
 Kesetiakawanan adalah nilai menjadi kawan setia tanpa memandang agama, nasionalitas, suku, tingkat ekonomi, atau pengetahuan satu sama lain. Kebersamaan memproduksi entusiasme dan kegembiraan. Tanpa kebersamaan, yang ada hanyalah kesunyian. Persahabatan berarti orang bertindak sebagai bagian dari hidup orang lain. Demikian juga orang lain kita pandang sebagai bagian dari hidupku. Sementara silaturahim merupakan nilai relasi yang saling membagi berkat. Dan, demikian seharusnya dalam seluruh tahun-tahun kehidupan kita, mendulang kearifan hidup bersama. Sumber: Kompas/ 21/7/ 2009/Armada Riyanto Dosen Filsafat Politik; Ketua STFT Widya Sasana, Malang

Tidak ada komentar: