Selasa, 23 Agustus 2016

Perbatasan RI-RDTL Bertahan Dengan Hukum Adat




Masalah perbatasan negara di darat dan di laut dengan 10 negara tetangga sampai saat ini belum ada satupun yang sudah selesai. Kalaupun sudah ada, misalnya dengan Australia tetapi hasilnya belum diratifikasi karena Indonesia merasa sangat merugikan warga nelayan tradisional Indonesia. Kali ini mari kita lihat perbatasan RI-RDTL (Timor Leste) seperti apa masalahnya dan seperti apa solusinya, semoga bisa bermanfaat bagi para pemerhati perbatasan kedua negara.
Masalah perbatasan antara RI-RDTL memang masih menyisakan permasalahan di dua lokasi yakni wilayah “unresolved area” dan “unsurveyed area”. Meski hubungan baik antar kedua negara tetap terjaga dengan baik. Tetapi permasalahan di tingkat akar rumput tetap saja ada. Sejak awal kedua belah pihak sebenarnya saling percaya, bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan batas di dua lokasi tersebut, sesungguhnya tidaklah susah. Selama ini yang jadi masalah adalah pola pendekatan penyelesaian yang di ketengahkan masing-masing pihak. Di satu sisi pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEAD (waktu itu) menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika “adat istiadat “ yang berkembang di wilayah tersebut (Hukum Adat)
Sementara dari pihak Indonesia menginginkan disamping berpegang pada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 juga agar memperhatikan berbagai kesepakatan warga adat yang sudah pernah ada diantara kedua belah pihak. Karena itu pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ini ikut dipertimbangkan. Maka tentu saja terjadilah “jalan Buntu”. Kalau kedua belah pihak, sama-sama berpegang pada “kepentingannya” masing-masing, maka sampai kapanpun akan sulit mencarikan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena itu harus ada pendekatan baru, mencari “win-win solution” dengan catatan warga setempat tidak dirugikan tetapi sebaliknya di untungkan. Kalau hal seperti itu bisa diterima, maka batas itu bisa dicarikan posisinya yang bisa diterima para pihak.

Kebetulan saya kembali lagi ke daerah sengketa ini pada tanggal 9-13 Agustus 2016, dalam rangka mencari data terkait “jalur-jalur” illegal di sepanjang perbatasan antara Distrik Oecusee dengan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara. Penulis lalu menyempatkan diri untuk menemui tokoh-tokoh formal terkait perbatasan kedua negara di wilayah tersebut- yakni BNPP Dearah di Kafemenanu (Fransiskus Ilis) dan Pam Tas Perbatasan RI-RDTL YonIf Raider 321/GT (Galuh Taruna) khususnya Perwira Topografi Letda CTP Suyadi sebagai personil yang diperbantukan pada PamTas terkait batas kedua negara.

Dari beberapa kali pertemuan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh tersebut, terkait dua area bermasalah yakni pada “unresolved area” (Manusasi-Bijael Sunan) dan “unsurveyed area” ( Bikome Nilulat ada 4 lokasi dan Naibenu 1 lokasi), memang belum ada perubahan atau perkembangan baru. Malah untuk wilayah “unresolved area” terkesan malah mengendor. Mengendor dalam artian, sebagai daerah “unresolved area” daerah itu statusnya masih harus “steril” dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Padahal dari kedua Pam Tas (TNI-UPF) sampai saat ini belum bisa melakukan Patroli bersama di wilayah tersebut. Kedua Pam Tas saat ini tengah melakukan berbagai upaya koordinasi, agar patrol bersama bisa dilakukan oleh kedua Pam Tas perbatasan tersebut.

Cerita Lama Yang Tidak di Tuntaskan Noel Besi / Citrana. Saya kembali membuka arsip terkait masalah ini.  Dalam data saya, pada tahun 2010, daerah sengketa terletak di dusun Naktuka, dengan luas + 1.069 Ha, Warga yang berada di wilayah tersebut berasal dari Kec. Citrana Distrik Oecusee (Timor Leste) dan ber KTP Timor Leste; masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat RI yang berada di Desa Natemnanu Utara Kec. Amfoang Timur Kab. TTU-NTT.jumlah warga yang tinggal di Dusun Naktuka sebanyak 44 KK terdiri atas 36 KK beragama Katholik dan 8 KK beragama Protestan dengan jumlah  200 jiwa dengan Kepala dusun Sdr. Ignasius Lake.
Terdapat bangunan baru yaitu Balai Pertanahan dan Perkebunan (Balai Pertanian, Perkebunan, Rumah Dinas, Aula Pertemuan dan gudang) yang berjarak ± 2 Km dad Pos Pamtas Yonif 744/SYB yang terletak di Oepoil Sungai; di daerah tersebut juga terdapat LSM OACP (Oecusssee Ambono Community Programme).
Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos Imigrasi RDTL di daerah Unresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat. Tetapi kemudian telah ditemukan adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan tempat penggilingan padi di  area yang sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009. Pada minggu ke empat bulan April 2010 ditemukan pemasangan  nama Gedung  yang bertuliskan “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA“ dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).

Pada 15 Agustus 2012 Tim terpadu yang diketuai T.H Susetyo (Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara) bersama 17 anggotanya melakukan peninjauan ke lokasi konflik perbatasan di Desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nailulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), selama dua hari. Ketua Tim Terpadu dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), T.H. Susetyo, mengatakan perbatasan di wilayah “Unresolved dan Unsurveyed area” masih belum bisa ditemukan solusinya.

Pada awal 2016 Wilayah perbatasan antara Republik Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste kembali memanas. Timor Leste melakukan pembangunan di daerah yang selama ini masih bersengketa. Sengketa batas kedua negara itu berada di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, meminta pemerintah bertindak tegas. “Jika dugaan tersebut benar maka pemerintah harus melakukan nota protes resmi,” kata Mahfudz kepada VIVA.co.id, Selasa, 19 Januari 2016. Selain itu menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, pemerintah Indonesia harus mendesak pembentukan tim investigasi bersama Timor Leste. “Jika hasil temuan tim ini membuktikan dugaan tersebut maka pihak Timor Leste punya kewajiban mengosongkan daerah tersebut,” ujarnya menambahkan. Sebelumnya, Panglima Kodam IX Udayana, Mayor Jenderal TNI M Setyo Sularso mengatakan., kedua negara masih bersengketa terkait klaim wilayah tersebut. Sehingga, wilayahnya masih berstatus steril, tak boleh dimanfaatkan oleh kedua negara.
“Jadi, kita menghendaki garis batas negara pada sebelah barat sungai kecil dan status tanah masih merupakan daerah steril, tidak boleh dikelola kedua negara,” kata Setyo saat memberi keterangan resmi di Markas Kodam IX Udayana, Senin, 18 Januari 2016. Namun, fakta di lapangan, Timor Leste telah membangun secara permanen sejumlah bangunan di wilayah tersebut, seperti kantor pertanian, balai pertemuan, gudang dolog, tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan diperkeras.(viva co.id 19 jan 2016)

Penyelesaian Dengan Cara Baru

Dalam berbagai diskusi selama kunjungan saya terahir seperti yang diutarakan oleh ketua BNPP Kafemenanu (Fransiskus Ilis) ada ketidak jelasan antara “kebijakan Penegasan Batas” antara Pusat dan Daerah dalam artian mereka kesulitan untuk berkunsultasi dengan “siapa”? Hal ini memang ada juga benarnya. Karena setiap para petugas Survei batas negara yang datang dari Pusat (BNPP atau BIG) ke lapangan, mereka selalu mengutarakan bahwa mereka hanya bicara soal teknis. Karena sesungguhnya tadinya pada level kebijakan terkait batas negara dan daerah masih berada di tangan Kemdagri (dahulu dikelola Dit Jen PUM) tetapi kemudian berubah jadi Dit Jen Bid Admin Kewilayahan) tentu ada perubahan lagi. Sementara yang menangani perbatasan darat dan laut negara itu sendiri ada pada panitia Adhoq yang tidak punya Sekretariat yang bisa dihubungi. Jadi wajar saja kalau BNPP di daerah tidak tahu harus menghubungi siapa? Jadilah masalah perbatasan itu, masalah gelap yang tidak bisa dikomunikasikan  oleh siapapun.
Kendala masalah pengorganisasian perbatasan ini sudah ada sejak perbatasan itu mulai akan ditegaskan lagi pada tahun tahun 60 sampai 70 an atau tepatnya  sejak MOU perbatasan dengan negara tetangga di tanda tangani. Sejak dari awal perbatasan ini memang ditangani secara adhoq (kepanitiaan dan keanggotaannya terdiri dari berbagai K/L) yang setiap tahunnya diperbaharui. Jadi secara organisasi orang tidak punya alamat untuk membicarakan masalah perbatasan ini. Jadi seperti kata Fransiskus Ilis kalau terjadi bentrok antar warga maka BNPP daerah ya otomatis “memihak” pada kepentingan yang diinginkan oleh warga dan hal itu sering malah tidak menyelesaikan masalah.
Solusi Masalah Wilayah “Unsurveyed Area”
Secara sederhana masalah unsurveyed area ini, muncul karena warga tidak mau wilayahnya diukur oleh Tim Tegas Batas kedua negara. Mereka beranggapan Tugu-tugu Batas yang ada di wilayah mereka itu sebenarnya sangat merugikan warga. Padahal sesungguhnya Tugu Batas yang ada di daerah mereka itu adalah tugu-tugu batas yang dipasang pada saat Timor Leste dan Indonesia masih jadi satu negara. Sehingga penempatan tugu-tugu batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan posisi batas antar negara yang sebenarnya (karena masih dalam satu NKRI). Karena batas negara itu sesuai Traktat 1904 umumnya ada di punggung gunung (Watershed) atau di tengah-tengah Sungai. Kesalahan persepsi ini tidak bisa di konfirmasi karena warga tidak mau wilayahnya di survey.
Idealnya kalau masalah ini bisa disosialisasikan dengan warga, tentu masyalahnya akan berbeda. Bisa di diduga siapa yang akan mensosialisasikannya adalah suatu masalah sebab yang bertanggung jawab dan tahu persoalannya adalah para “Working Group” batas yang menangani perbatasan itu. Padahal mereka baru berkumpul atau bekerja kalau sudah ada kegiatan baru sesuai program tahunan mareka (sifatnya kepanitiaan). Di luar itu ya tidak ada “person” yang tahu persis masalah batas tersebut. Kalaupun secara perseorangan mereka tahu dan mengerti, tetapi informasi mereka jelas hanya sekedar atas nama pendapat peribadi. Memang sangat nelongso, negara sebesar NKRI tidak punya Badan yang menjadi penanggung jawab perbatasan negaranya. Hal itu sudah berjalan selama rentang sejak kemerdekaan hingga saat ini. Banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang menangani perbatasan tetapi tidak satupun dari K/L itu yang mempunyai Tupoksi untuk menangani perbatasan. Kalau kebijakan seperti ini masih berlanjut. Ya perbatasan itu hanya akan menjadi bagian dari permasalahan bangsa dengan negara tetangga.




Minggu, 07 Agustus 2016

Pertahanan Indonesia Di Tengah Perubahan Lingkungan Strategis



Kekuatan asing selalu akan menguji kesiapan negara dalam menjaga kedaultan bangsa. Kita masih ingat insiden masuknya lima pesawat F-18 dalam formasi tempur milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pulau Bawean. Peristiwa tanggal 3 Juli 2003 bisa disebut sebagai titik nadir bagi TNI dalam menjaga kedaulatan Tanah Air dari infiltrasi asing. Bukti bahwa pertahanan Indonesia pada saat itu sangat mudah ditembus oleh militer asing. Insiden Bawean terjadi karena Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri terlalu sibuk untuk mereformasi Fungsi TNI secara kelembagaan. Ada anggapan pembangunan kekuatan militer akan memperlambat proses reformasi TNI menjadi tentara profesional. Ada kesan pembiaran, meski untuk alasan yang juga sangat penting.

Kebijakan Pemerintah di bidang pertahanan periode 1999-2004 pada saat negara-negara seperti Singapura, Malaysia, China, Australia, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan India tengah membangun kapabilitas militer melalui peningkatan anggaran pertahanan dan modernisasi alutsista khususnya matra laut dan udara. Indonesia malah tidak mempertimbangkan perkembangan geopolitik di kawasan Asia Pasifik dan malah  menurunkan kemampuan postur, anggaran, dan strategi pertahanan sehingga melemahkan kapabilitas TNI mengamankan dan menjaga wilayah kedaulatan Tanah Air dari ancaman eksternal.

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dalam bentuk peningkatan anggaran pertahanan, modernisasi alutsista, pengembangan postur pertahanan, serta rencana pembentukan komponen cadangan. Kebijakan ini fokus untuk membangun kekuatan militer untuk mengimbangi kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Pasifik mengingat Indonesia telah tertinggal jauh. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Minimum Essential Force (MEF) pada tahun 2010. Kebijakan MEF tertuang dalam dokumen Postur Pertahanan Indonesia Periode 2009-2029 yang disesuaikan dengan rencana strategis Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2008.
MEF terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap pertama (2010-2014), tahap kedua (2015-2019), tahap ketiga (2020-2024), dan tahap keempat (2025-2029). MEF tahap pertama diberikan alokasi anggaran berkisar 1,8% hingga 2,1% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 32%. MEF tahap kedua diberikan alokasi anggaran berkisar 2,2% hingga 2,61% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap ketiga diberikan alokasi anggaran berkisar 2,74% hingga 3,14% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap keempat diberikan alokasi anggaran berkisar 3,28 hingga 3,9% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 30%.

Akan tetapi, realisasi anggaran pertahanan dalam empat tahun MEF tahap pertama hanya mencapai persentase maksimal 0,9% dari PDB. Indonesia menjadi negara dengan persentase anggaran pertahanan terkecil di kawasan Asia Pasifik. Kondisi ini membuat pembangunan postur pertahanan tidak mampu mengimbangi pembangunan postur pertahanan negara-negara di Kawasan Asia Pasifik yang memiliki persentase anggaran pertahanan yang lebih tinggi.
Perubahan Lingkungan Strategis
Namun, beberapa tahun terakhir, empat perubahan arus strategis di kawasan mengharuskan kita mengkaji ulang asumsi yang kita amini selama ini. Pertama, kembalinya pertarungan politik negara-negara besar di tengah melemahnya berbagai institusi kawasan. Perang Amerika Serikat di Irak, Libya, Afganistan, serta keterlibatan Rusia di Suriah, dan kemudian bekerja sama menghancurkan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), telah menggoyahkan stabilitas sistem internasional dan mendorong berbagai kekuatan kawasan, seperti Tiongkok dan Rusia, untuk membentuk aliansi baru baik formal maupun tidak formal sebagai perimbangan. Menguatnya peran ekonomi dan militer Tiongkok juga mendorong “normalisasi” Jepang sebagai kekuatan militer dan peningkatan peran keamanan dan politik India dan Australia di kawasan.
Pada saat yang sama, peran ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang keamanan regional makin menurun dan sebagaian anggotanya seolah terkooptasi di tengah berbagai persoalan sengketa wilayah dan kegagalan menyelesaikan berbagai krisis, seperti pengungsi Rohingya, konflik perbatasan dan prompak laut. Belum lagi tajamnya perbedaan politik dan ekonomi antar negara Asia Tenggara maritim (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura) dan daratan (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand) yang dimanfaatkan Tiongkok untuk memecah-belah ASEAN.
Berbagai ancaman militer itu dapat muncul terutama dari kawasan sengketa, seperti Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, yang kian memanas. Saat ini, rivalitas antara AS dan Tiongkok tengah mencari bentuk format baru yang akan menentukan arah strategis rivalitas antara Tiongkok dan Jepang atau India dan Tiongkok dan berikutnya antara Tiongkok dengan anggota Asean ( Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunai Darussalam.

Eskalasi ketegangan di Kawasan Asia Pasifik diisebabkan oleh munculnya kekuatan baru Tiongkok baik secara ekonomi, politik, dan militer. Modernisasi militer yang dilakukan Tiongkok dengan visi BLUE WATER NAVY seolah menganggu eksistensi Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan baru telah direspon oleh Amerika Serikat. Pada tahun 2011, Amerika dibawah kepemimpinan Obama tidak punya pilihan dan meningkatkan kekuatannya di kawasan Asia Pasifik. Dalam dua puluh tahun kedepan, 2/3 kekuatan Amerika Serikat akan dikonsentrasikan di kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat mulai membangun pangkalan-pangkalan militer baru di Darwin dan Pulau Cocos, Australia.  Artinya, kepentingan dua negara besar di kawasan ini, sepenuhnya dikendalikan Washington DC dan Beijing yang mempunyai berbagai kepentingan yang berseberangan. Tetapi masalahnya kian mengkristal dan dipercaya penyelesaian sengketa wilayah makin menitikberatkan peran kekuatan militer.
Melihat konstelasi kekuatan militer yang terdapat di Kawasan Asia Pasifik dan potensi konflik di Laut China Selatan, Indonesia seperti terjebak di antara kekuatan besar. Jika Indonesia tidak mempersiapkan pembangunan kekuatan militer dengan baik dan terukur, maka besar kemungkinan Indonesia akan menjadi arena konflik diantara kekuatan-kekuatan besar. Untuk menghindari hal tersebut Indonesia wajib meningkatkan kapasitas pertahanan dengan melakukan modernisasi alutsista dan memaksimalkan strategi pertahanan rakyat semesta.
Kekuatan TNI di Sekitar Laut China Selatan
Untuk saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur. Untungnya sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dengan tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut, termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta. Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat, bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Kita bersukur, karena kegiatan ILLEGAL FISHING Tiongkok ini telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus diubah jadi tipe B Plus. Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan pesawat tempur,  jadi pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.
Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat.  Saat ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Saat ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV). Rencananya ( sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI itu masih bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi.TNI yang kuat adalah TNI yang tidak terpapar Korupsi. Kalau korupsi sudah ada di institusi ini, maka sebesar apapun anggarannya tidak akan membuatnya menjadi kekuatan apa apa.
Catatan-tulisan ini pernah dimuat di www.wilayahpertahanan.com yang menjadi affiliasi blog ini