Selasa, 23 Agustus 2016

Perbatasan RI-RDTL Bertahan Dengan Hukum Adat




Masalah perbatasan negara di darat dan di laut dengan 10 negara tetangga sampai saat ini belum ada satupun yang sudah selesai. Kalaupun sudah ada, misalnya dengan Australia tetapi hasilnya belum diratifikasi karena Indonesia merasa sangat merugikan warga nelayan tradisional Indonesia. Kali ini mari kita lihat perbatasan RI-RDTL (Timor Leste) seperti apa masalahnya dan seperti apa solusinya, semoga bisa bermanfaat bagi para pemerhati perbatasan kedua negara.
Masalah perbatasan antara RI-RDTL memang masih menyisakan permasalahan di dua lokasi yakni wilayah “unresolved area” dan “unsurveyed area”. Meski hubungan baik antar kedua negara tetap terjaga dengan baik. Tetapi permasalahan di tingkat akar rumput tetap saja ada. Sejak awal kedua belah pihak sebenarnya saling percaya, bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan batas di dua lokasi tersebut, sesungguhnya tidaklah susah. Selama ini yang jadi masalah adalah pola pendekatan penyelesaian yang di ketengahkan masing-masing pihak. Di satu sisi pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEAD (waktu itu) menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika “adat istiadat “ yang berkembang di wilayah tersebut (Hukum Adat)
Sementara dari pihak Indonesia menginginkan disamping berpegang pada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 juga agar memperhatikan berbagai kesepakatan warga adat yang sudah pernah ada diantara kedua belah pihak. Karena itu pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ini ikut dipertimbangkan. Maka tentu saja terjadilah “jalan Buntu”. Kalau kedua belah pihak, sama-sama berpegang pada “kepentingannya” masing-masing, maka sampai kapanpun akan sulit mencarikan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Karena itu harus ada pendekatan baru, mencari “win-win solution” dengan catatan warga setempat tidak dirugikan tetapi sebaliknya di untungkan. Kalau hal seperti itu bisa diterima, maka batas itu bisa dicarikan posisinya yang bisa diterima para pihak.

Kebetulan saya kembali lagi ke daerah sengketa ini pada tanggal 9-13 Agustus 2016, dalam rangka mencari data terkait “jalur-jalur” illegal di sepanjang perbatasan antara Distrik Oecusee dengan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara. Penulis lalu menyempatkan diri untuk menemui tokoh-tokoh formal terkait perbatasan kedua negara di wilayah tersebut- yakni BNPP Dearah di Kafemenanu (Fransiskus Ilis) dan Pam Tas Perbatasan RI-RDTL YonIf Raider 321/GT (Galuh Taruna) khususnya Perwira Topografi Letda CTP Suyadi sebagai personil yang diperbantukan pada PamTas terkait batas kedua negara.

Dari beberapa kali pertemuan dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh tersebut, terkait dua area bermasalah yakni pada “unresolved area” (Manusasi-Bijael Sunan) dan “unsurveyed area” ( Bikome Nilulat ada 4 lokasi dan Naibenu 1 lokasi), memang belum ada perubahan atau perkembangan baru. Malah untuk wilayah “unresolved area” terkesan malah mengendor. Mengendor dalam artian, sebagai daerah “unresolved area” daerah itu statusnya masih harus “steril” dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Padahal dari kedua Pam Tas (TNI-UPF) sampai saat ini belum bisa melakukan Patroli bersama di wilayah tersebut. Kedua Pam Tas saat ini tengah melakukan berbagai upaya koordinasi, agar patrol bersama bisa dilakukan oleh kedua Pam Tas perbatasan tersebut.

Cerita Lama Yang Tidak di Tuntaskan Noel Besi / Citrana. Saya kembali membuka arsip terkait masalah ini.  Dalam data saya, pada tahun 2010, daerah sengketa terletak di dusun Naktuka, dengan luas + 1.069 Ha, Warga yang berada di wilayah tersebut berasal dari Kec. Citrana Distrik Oecusee (Timor Leste) dan ber KTP Timor Leste; masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat RI yang berada di Desa Natemnanu Utara Kec. Amfoang Timur Kab. TTU-NTT.jumlah warga yang tinggal di Dusun Naktuka sebanyak 44 KK terdiri atas 36 KK beragama Katholik dan 8 KK beragama Protestan dengan jumlah  200 jiwa dengan Kepala dusun Sdr. Ignasius Lake.
Terdapat bangunan baru yaitu Balai Pertanahan dan Perkebunan (Balai Pertanian, Perkebunan, Rumah Dinas, Aula Pertemuan dan gudang) yang berjarak ± 2 Km dad Pos Pamtas Yonif 744/SYB yang terletak di Oepoil Sungai; di daerah tersebut juga terdapat LSM OACP (Oecusssee Ambono Community Programme).
Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos Imigrasi RDTL di daerah Unresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat. Tetapi kemudian telah ditemukan adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan tempat penggilingan padi di  area yang sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009. Pada minggu ke empat bulan April 2010 ditemukan pemasangan  nama Gedung  yang bertuliskan “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA“ dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).

Pada 15 Agustus 2012 Tim terpadu yang diketuai T.H Susetyo (Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara) bersama 17 anggotanya melakukan peninjauan ke lokasi konflik perbatasan di Desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nailulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), selama dua hari. Ketua Tim Terpadu dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), T.H. Susetyo, mengatakan perbatasan di wilayah “Unresolved dan Unsurveyed area” masih belum bisa ditemukan solusinya.

Pada awal 2016 Wilayah perbatasan antara Republik Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste kembali memanas. Timor Leste melakukan pembangunan di daerah yang selama ini masih bersengketa. Sengketa batas kedua negara itu berada di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq, meminta pemerintah bertindak tegas. “Jika dugaan tersebut benar maka pemerintah harus melakukan nota protes resmi,” kata Mahfudz kepada VIVA.co.id, Selasa, 19 Januari 2016. Selain itu menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, pemerintah Indonesia harus mendesak pembentukan tim investigasi bersama Timor Leste. “Jika hasil temuan tim ini membuktikan dugaan tersebut maka pihak Timor Leste punya kewajiban mengosongkan daerah tersebut,” ujarnya menambahkan. Sebelumnya, Panglima Kodam IX Udayana, Mayor Jenderal TNI M Setyo Sularso mengatakan., kedua negara masih bersengketa terkait klaim wilayah tersebut. Sehingga, wilayahnya masih berstatus steril, tak boleh dimanfaatkan oleh kedua negara.
“Jadi, kita menghendaki garis batas negara pada sebelah barat sungai kecil dan status tanah masih merupakan daerah steril, tidak boleh dikelola kedua negara,” kata Setyo saat memberi keterangan resmi di Markas Kodam IX Udayana, Senin, 18 Januari 2016. Namun, fakta di lapangan, Timor Leste telah membangun secara permanen sejumlah bangunan di wilayah tersebut, seperti kantor pertanian, balai pertemuan, gudang dolog, tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan diperkeras.(viva co.id 19 jan 2016)

Penyelesaian Dengan Cara Baru

Dalam berbagai diskusi selama kunjungan saya terahir seperti yang diutarakan oleh ketua BNPP Kafemenanu (Fransiskus Ilis) ada ketidak jelasan antara “kebijakan Penegasan Batas” antara Pusat dan Daerah dalam artian mereka kesulitan untuk berkunsultasi dengan “siapa”? Hal ini memang ada juga benarnya. Karena setiap para petugas Survei batas negara yang datang dari Pusat (BNPP atau BIG) ke lapangan, mereka selalu mengutarakan bahwa mereka hanya bicara soal teknis. Karena sesungguhnya tadinya pada level kebijakan terkait batas negara dan daerah masih berada di tangan Kemdagri (dahulu dikelola Dit Jen PUM) tetapi kemudian berubah jadi Dit Jen Bid Admin Kewilayahan) tentu ada perubahan lagi. Sementara yang menangani perbatasan darat dan laut negara itu sendiri ada pada panitia Adhoq yang tidak punya Sekretariat yang bisa dihubungi. Jadi wajar saja kalau BNPP di daerah tidak tahu harus menghubungi siapa? Jadilah masalah perbatasan itu, masalah gelap yang tidak bisa dikomunikasikan  oleh siapapun.
Kendala masalah pengorganisasian perbatasan ini sudah ada sejak perbatasan itu mulai akan ditegaskan lagi pada tahun tahun 60 sampai 70 an atau tepatnya  sejak MOU perbatasan dengan negara tetangga di tanda tangani. Sejak dari awal perbatasan ini memang ditangani secara adhoq (kepanitiaan dan keanggotaannya terdiri dari berbagai K/L) yang setiap tahunnya diperbaharui. Jadi secara organisasi orang tidak punya alamat untuk membicarakan masalah perbatasan ini. Jadi seperti kata Fransiskus Ilis kalau terjadi bentrok antar warga maka BNPP daerah ya otomatis “memihak” pada kepentingan yang diinginkan oleh warga dan hal itu sering malah tidak menyelesaikan masalah.
Solusi Masalah Wilayah “Unsurveyed Area”
Secara sederhana masalah unsurveyed area ini, muncul karena warga tidak mau wilayahnya diukur oleh Tim Tegas Batas kedua negara. Mereka beranggapan Tugu-tugu Batas yang ada di wilayah mereka itu sebenarnya sangat merugikan warga. Padahal sesungguhnya Tugu Batas yang ada di daerah mereka itu adalah tugu-tugu batas yang dipasang pada saat Timor Leste dan Indonesia masih jadi satu negara. Sehingga penempatan tugu-tugu batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan posisi batas antar negara yang sebenarnya (karena masih dalam satu NKRI). Karena batas negara itu sesuai Traktat 1904 umumnya ada di punggung gunung (Watershed) atau di tengah-tengah Sungai. Kesalahan persepsi ini tidak bisa di konfirmasi karena warga tidak mau wilayahnya di survey.
Idealnya kalau masalah ini bisa disosialisasikan dengan warga, tentu masyalahnya akan berbeda. Bisa di diduga siapa yang akan mensosialisasikannya adalah suatu masalah sebab yang bertanggung jawab dan tahu persoalannya adalah para “Working Group” batas yang menangani perbatasan itu. Padahal mereka baru berkumpul atau bekerja kalau sudah ada kegiatan baru sesuai program tahunan mareka (sifatnya kepanitiaan). Di luar itu ya tidak ada “person” yang tahu persis masalah batas tersebut. Kalaupun secara perseorangan mereka tahu dan mengerti, tetapi informasi mereka jelas hanya sekedar atas nama pendapat peribadi. Memang sangat nelongso, negara sebesar NKRI tidak punya Badan yang menjadi penanggung jawab perbatasan negaranya. Hal itu sudah berjalan selama rentang sejak kemerdekaan hingga saat ini. Banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang menangani perbatasan tetapi tidak satupun dari K/L itu yang mempunyai Tupoksi untuk menangani perbatasan. Kalau kebijakan seperti ini masih berlanjut. Ya perbatasan itu hanya akan menjadi bagian dari permasalahan bangsa dengan negara tetangga.




Tidak ada komentar: