Oleh
harmen batubara
Masalah perbatasan negara di darat dan di laut dengan
10 negara tetangga sampai saat ini belum ada satupun yang sudah selesai.
Kalaupun sudah ada, misalnya dengan Australia tetapi hasilnya belum
diratifikasi karena Indonesia merasa sangat merugikan warga nelayan tradisional
Indonesia. Kali ini mari kita lihat perbatasan RI-RDTL (Timor Leste) seperti
apa masalahnya dan seperti apa solusinya, semoga bisa bermanfaat bagi para
pemerhati perbatasan kedua negara.
Masalah perbatasan antara RI-RDTL memang masih
menyisakan permasalahan di dua lokasi yakni wilayah “unresolved area” dan
“unsurveyed area”. Meski hubungan baik antar kedua negara tetap terjaga dengan
baik. Tetapi permasalahan di tingkat akar rumput tetap saja ada. Sejak awal
kedua belah pihak sebenarnya saling percaya, bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan batas di dua lokasi
tersebut, sesungguhnya tidaklah susah. Selama ini yang jadi masalah adalah pola
pendekatan penyelesaian yang di ketengahkan masing-masing pihak. Di satu sisi pihak
Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEAD (waktu itu) menekankan
bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada Traktat antara
Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan
dinamika “adat istiadat “ yang berkembang di wilayah tersebut (Hukum Adat)
Sementara dari pihak Indonesia menginginkan disamping
berpegang pada Traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 juga agar
memperhatikan berbagai kesepakatan warga adat yang sudah pernah ada diantara
kedua belah pihak. Karena itu pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat
masyarakat adat ini ikut dipertimbangkan. Maka tentu saja terjadilah “jalan
Buntu”. Kalau kedua belah pihak, sama-sama berpegang pada “kepentingannya”
masing-masing, maka sampai kapanpun akan sulit mencarikan solusi yang bisa
diterima kedua belah pihak. Karena itu harus ada pendekatan baru, mencari
“win-win solution” dengan catatan warga setempat tidak dirugikan tetapi
sebaliknya di untungkan. Kalau hal seperti itu bisa diterima, maka batas itu
bisa dicarikan posisinya yang bisa diterima para pihak.
Kebetulan saya kembali lagi ke daerah sengketa ini
pada tanggal 9-13 Agustus 2016, dalam rangka mencari data terkait “jalur-jalur”
illegal di sepanjang perbatasan antara Distrik Oecusee dengan daerah Kabupaten
Timor Tengah Utara. Penulis lalu menyempatkan diri untuk menemui tokoh-tokoh formal
terkait perbatasan kedua negara di wilayah tersebut- yakni BNPP Dearah di
Kafemenanu (Fransiskus Ilis) dan Pam Tas Perbatasan RI-RDTL YonIf Raider 321/GT
(Galuh Taruna) khususnya Perwira Topografi Letda CTP Suyadi sebagai personil
yang diperbantukan pada PamTas terkait batas kedua negara.
Dari beberapa kali pertemuan dan berdiskusi dengan
tokoh-tokoh tersebut, terkait dua area bermasalah yakni pada “unresolved area”
(Manusasi-Bijael Sunan) dan “unsurveyed area” ( Bikome Nilulat ada 4 lokasi dan
Naibenu 1 lokasi), memang belum ada perubahan atau perkembangan baru. Malah
untuk wilayah “unresolved area” terkesan malah mengendor. Mengendor dalam
artian, sebagai daerah “unresolved area” daerah itu statusnya masih harus
“steril” dalam artian tidak boleh melakukan kegiatan di wilayah tersebut.
Padahal dari kedua Pam Tas (TNI-UPF) sampai saat ini belum bisa melakukan
Patroli bersama di wilayah tersebut. Kedua Pam Tas saat ini tengah melakukan
berbagai upaya koordinasi, agar patrol bersama bisa dilakukan oleh kedua Pam
Tas perbatasan tersebut.
Cerita Lama Yang Tidak
di Tuntaskan Noel Besi / Citrana.
Saya kembali membuka arsip terkait masalah ini.
Dalam data saya, pada tahun 2010, daerah sengketa terletak di dusun
Naktuka, dengan luas + 1.069 Ha, Warga yang berada di wilayah tersebut berasal
dari Kec. Citrana Distrik Oecusee (Timor Leste) dan ber KTP Timor Leste; masih
memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat RI yang berada di Desa
Natemnanu Utara Kec. Amfoang Timur Kab. TTU-NTT.jumlah warga yang tinggal di
Dusun Naktuka sebanyak 44 KK terdiri atas 36 KK beragama Katholik dan 8 KK
beragama Protestan dengan jumlah 200
jiwa dengan Kepala dusun Sdr. Ignasius Lake.
Terdapat bangunan baru yaitu Balai Pertanahan dan
Perkebunan (Balai Pertanian, Perkebunan, Rumah Dinas, Aula Pertemuan dan
gudang) yang berjarak ± 2 Km dad Pos Pamtas Yonif 744/SYB yang terletak di
Oepoil Sungai; di daerah tersebut juga terdapat LSM OACP (Oecusssee Ambono
Community Programme).
Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos
Imigrasi RDTL di daerah Unresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan
pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang
melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat. Tetapi kemudian telah ditemukan
adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan
tempat penggilingan padi di area yang
sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh
Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009. Pada minggu ke empat bulan April 2010
ditemukan pemasangan nama Gedung yang bertuliskan “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA“
dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga
terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).
Pada 15 Agustus 2012 Tim terpadu yang diketuai T.H
Susetyo (Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara) bersama 17 anggotanya
melakukan peninjauan ke lokasi konflik perbatasan di Desa Haumeni Ana,
Kecamatan Bikomi Nailulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), selama dua hari.
Ketua Tim Terpadu dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), T.H.
Susetyo, mengatakan perbatasan di wilayah “Unresolved dan Unsurveyed area” masih
belum bisa ditemukan solusinya.
Pada awal 2016 Wilayah perbatasan antara Republik
Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste kembali memanas. Timor Leste
melakukan pembangunan di daerah yang selama ini masih bersengketa. Sengketa
batas kedua negara itu berada di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara,
Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketua Komisi I
DPR, Mahfudz Siddiq, meminta pemerintah bertindak tegas. “Jika dugaan tersebut
benar maka pemerintah harus melakukan nota protes resmi,” kata Mahfudz kepada
VIVA.co.id, Selasa, 19 Januari 2016. Selain itu menurut politisi Partai
Keadilan Sejahtera itu, pemerintah Indonesia harus mendesak pembentukan tim
investigasi bersama Timor Leste. “Jika hasil temuan tim ini membuktikan dugaan
tersebut maka pihak Timor Leste punya kewajiban mengosongkan daerah tersebut,”
ujarnya menambahkan. Sebelumnya, Panglima Kodam IX Udayana, Mayor Jenderal TNI
M Setyo Sularso mengatakan., kedua negara masih bersengketa terkait klaim
wilayah tersebut. Sehingga, wilayahnya masih berstatus steril, tak boleh
dimanfaatkan oleh kedua negara.
“Jadi, kita menghendaki garis batas negara pada
sebelah barat sungai kecil dan status tanah masih merupakan daerah steril,
tidak boleh dikelola kedua negara,” kata Setyo saat memberi keterangan resmi di
Markas Kodam IX Udayana, Senin, 18 Januari 2016. Namun, fakta di lapangan,
Timor Leste telah membangun secara permanen sejumlah bangunan di wilayah
tersebut, seperti kantor pertanian, balai pertemuan, gudang dolog, tempat
penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan diperkeras.(viva co.id
19 jan 2016)
Penyelesaian Dengan
Cara Baru
Dalam berbagai diskusi selama kunjungan saya terahir
seperti yang diutarakan oleh ketua BNPP Kafemenanu (Fransiskus Ilis) ada
ketidak jelasan antara “kebijakan Penegasan Batas” antara Pusat dan Daerah
dalam artian mereka kesulitan untuk berkunsultasi dengan “siapa”? Hal ini
memang ada juga benarnya. Karena setiap para petugas Survei batas negara yang
datang dari Pusat (BNPP atau BIG) ke lapangan, mereka selalu mengutarakan bahwa
mereka hanya bicara soal teknis. Karena sesungguhnya tadinya pada level kebijakan
terkait batas negara dan daerah masih berada di tangan Kemdagri (dahulu
dikelola Dit Jen PUM) tetapi kemudian berubah jadi Dit Jen Bid Admin
Kewilayahan) tentu ada perubahan lagi. Sementara yang menangani perbatasan
darat dan laut negara itu sendiri ada pada panitia Adhoq yang tidak punya
Sekretariat yang bisa dihubungi. Jadi wajar saja kalau BNPP di daerah tidak
tahu harus menghubungi siapa? Jadilah masalah perbatasan itu, masalah gelap
yang tidak bisa dikomunikasikan oleh
siapapun.
Kendala masalah pengorganisasian perbatasan ini sudah
ada sejak perbatasan itu mulai akan ditegaskan lagi pada tahun tahun 60 sampai
70 an atau tepatnya sejak MOU perbatasan
dengan negara tetangga di tanda tangani. Sejak dari awal perbatasan ini memang
ditangani secara adhoq (kepanitiaan dan keanggotaannya terdiri dari berbagai
K/L) yang setiap tahunnya diperbaharui. Jadi secara organisasi orang tidak
punya alamat untuk membicarakan masalah perbatasan ini. Jadi seperti kata
Fransiskus Ilis kalau terjadi bentrok antar warga maka BNPP daerah ya otomatis
“memihak” pada kepentingan yang diinginkan oleh warga dan hal itu sering malah
tidak menyelesaikan masalah.
Solusi Masalah Wilayah “Unsurveyed Area”
Secara sederhana masalah unsurveyed area ini, muncul
karena warga tidak mau wilayahnya diukur oleh Tim Tegas Batas kedua negara.
Mereka beranggapan Tugu-tugu Batas yang ada di wilayah mereka itu sebenarnya sangat
merugikan warga. Padahal sesungguhnya Tugu Batas yang ada di daerah mereka itu
adalah tugu-tugu batas yang dipasang pada saat Timor Leste dan Indonesia masih
jadi satu negara. Sehingga penempatan tugu-tugu batas itu sama sekali tidak
mempertimbangkan posisi batas antar negara yang sebenarnya (karena masih dalam
satu NKRI). Karena batas negara itu sesuai Traktat 1904 umumnya ada di punggung
gunung (Watershed) atau di tengah-tengah Sungai. Kesalahan persepsi ini tidak
bisa di konfirmasi karena warga tidak mau wilayahnya di survey.
Idealnya kalau masalah ini bisa disosialisasikan
dengan warga, tentu masyalahnya akan berbeda. Bisa di diduga siapa yang akan
mensosialisasikannya adalah suatu masalah sebab yang bertanggung jawab dan tahu
persoalannya adalah para “Working Group” batas yang menangani perbatasan itu.
Padahal mereka baru berkumpul atau bekerja kalau sudah ada kegiatan baru sesuai
program tahunan mareka (sifatnya kepanitiaan). Di luar itu ya tidak ada
“person” yang tahu persis masalah batas tersebut. Kalaupun secara perseorangan
mereka tahu dan mengerti, tetapi informasi mereka jelas hanya sekedar atas nama
pendapat peribadi. Memang sangat nelongso, negara sebesar NKRI tidak punya
Badan yang menjadi penanggung jawab perbatasan negaranya. Hal itu sudah
berjalan selama rentang sejak kemerdekaan hingga saat ini. Banyak
Kementerian/Lembaga (K/L) yang menangani perbatasan tetapi tidak satupun dari
K/L itu yang mempunyai Tupoksi untuk menangani perbatasan. Kalau kebijakan
seperti ini masih berlanjut. Ya perbatasan itu hanya akan menjadi bagian dari
permasalahan bangsa dengan negara tetangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar