Komando
Gabungan Wilayah Pertahanan, Masihkah Relevan?
Oleh harmen batubara
Indonesia adalah negara kesatuan yang sejak dulu mengambil jalan non aliansi dengan mengambil jalan politik bebas aktif. Indonesia tidak punya kawan sehidup semati dalam pertahanan dan tidak punya teman yang bisa membantu meski suatu saat Indonesia membutuhkannya. Itulah Indonesia. Kita memilih sebagai Bangsa yang bebas aktif.Tetapi bila dilihat dari pertahanan kekuatan dan Komando yang dimiliknya. Sungguh sangat riskan melihat keberlangsungan kehidupan negara bangsa ini. Sejatinya, diatas kertas kekuatan pertahanan kita selalu mendapat pujian dari negara sahabat, mereka selalu menyebut kekuatan pertahanan kita tidak memerlukan Alutsista modern, karena menurut mereka, dengan bambu runcing sajapun para agresor akan berpikir puluhan kali. Sebagai anak bangsa, kita senang mendengarkan pujian seperti itu. Tetapi kalau kita peka, sesungguhnya bisa saja mereka hanya mengolok-olok kita.
Secara fakta, Indonesia
sebenarnya sudah dikelilingi oleh kekuatan militer dengan aliansi yang
mendunia. Pertama Indonesia dikeliling oleh negara-negara Five Power Defence
Arrangements yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura,
dan Inggris yang sudah lama eksis dan itu sudah operasional takkala Indonesia
melakukan ganyang Malaysia ditahun 60an dahulu. AS sejatinya adalah pemegang
supremasi kekuatan militer di kawasan ini yang terus memelihara dan terus
mempererat persekutuannya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan,
Australia dan Singapura. Dalam rangka menjaga Sustaining US Global Leadership
khususnya bagi sepeuluh tahun kedepan, AS sudah menempatkan sekitar 60 persen
kekuatan armadanya di Asia Pasifik, termasuk di antaranya 2.500 marinir di
Darwin, Australia, dan pangkalan sementara bagi Littoral Combat Ships Armada
Ketujuhnya di Singapura.Tetapi dengan munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru
di kawasan? Apakah Amerika dan sekutunya memerlukan penyesuaian? Meski secara
teoritis kekuatan Tiongkok baru tidaklah ada apa-apanya bila di sandingkan
dengan kekuatan AS apalagi ditambah sekutunya.
Ketegangan yang terjadi
di Laut Tiongkok selatan, sesungguhnya dengan nyata memperlihatkan kepada kita
bahwa aliansi kekuatan AS dan sekutunya berikut negara-negara Five Power
Defence Arrangements berdiri di satu pihak, berhadapan dengan negeri Tiongkok
dan sekutunya di sisi lain. Diatas kertas kita bisa mengatakan Amerika dan
sekutunya tidak akan berbuat sebagaimana yang mereka lakukan di Timur Tengah,
tidak ada imbalan yang pantas untuk melakukan konflik secara terbuka di kawasan
ini. Imbalannya jauh dari memadai. Tetapi Amerika dipercaya tidak akan
membiarkan kalau sekutunya diobok-obok oleh Tiongkok. Tiongkok sendiri
sebenarnya sepanjang sejarahnya, justeru lebih banyak dijarah daripada dianggap
sebagai negara yang kuat oleh negara Barat malah oleh Jepang sekalipun. Kalau
saja kita misalkan Tiongkok berlaku nekat, maka saya juga percaya Amerika juga
tidak akan berbuat sesuatu-dan kalaupun terpaksa hanya dalam skala terbatas.
Kogabwilhan dan Otoritas
Pertahanan
Pertahanan merupakan
kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan negara. Karena
itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan kebijakan negara.
Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara,
baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002
menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan pertahanan
negara. Selama ini kita menganut pola defensif aktif dengan cita-cita akan
membangun kekuatan yang dapat menghancurkan musuh selagi masih berada di
wilayahnya sendiri. Bahwa ternyata sistem pertahanan kita tidak atau belum
mampu menjangkau kekuatan seperti itu, ya persoalannya lain lagi.
Mencermati peta kekuatan tersebut
diatas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu
menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika yang ada di kawasan. Menurut
Achmad Soetjipto, mantan KSAL dan Ketua Persatuan Purnawirawan AL(Visi Baru
Pertahanan Indonesia, Kompas.com Juni3,2014). “Kogabwilhan adalah salah satu
langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara
sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan Australia. Atas alasan ini
pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh,
Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua”.
Tetapi apakah pemikiran seperti itu masih valid?
Kogabwilhan yang seperti
apa sesungguhnya yang akan dibangun itu? Memang belum ada bentuk yang sudah
mengemuka, kecuali masih berupa sketsa-sketsa saja. Acmad Sutjipto misalnya
juga masih dalam tahapan mempertanyakan apakah Kogabwilhan yang akan
dikembangkan itu nantinya; berupa suatu komando gabungan dengan cakupan
maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu
theatre command? Menurutnya kalau membangun Kogabwilhan ya diharapkan ia harus
punya kemampuan melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang
kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi
paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak
ketiga yang datang melerai.
Selanjutnya dan masih
menurut achmad Soetjipto, untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan
harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema
selama ini, kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di
wilayah terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet. Sistem
yang berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat
pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik
untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar
tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis.
Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran
Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini, yang berarti tak ada
hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata
rantai komando dan pemborosan anggaran.
Saya juga sempat juga melihat konsep Kogabwilhan dalam versi Luhut B Pandjaitan dalam tulisan beliau (TNI ”Baru” yang Disegani, Kompas, September4,2014). Sebagai suatu konsekuensi dari penegasan kembali Indonesia sebagai negara kepulauan adalah pentingnya reorganisasi Markas Besar TNI dengan dibentuknya Komando Gabungan Kewilayahan sebagai perpanjangan tangan Panglima TNI di wilayah-wilayah Nusantara. Sekarang ini, sejak Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dibubarkan tahun 1984, Panglima TNI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan militer dari Sabang hingga Merauke. Jelas ini rentang kendali yang terlalu panjang untuk dapat ditangani oleh satu orang panglima di Jakarta.
Seperti jumlah Kowilhan dahulu, Komando Gabungan Kewilayahan yang ideal jumlahnya juga empat, yang membagi habis wilayah Indonesia dalam format organisasi kerangka atau permanen, bergantung pada kesiapan SDM dan kemampuan anggaran nasional. Pengembangan kekuatan TNI tentu saja nantinya disesuaikan dengan jumlah komando itu. Umpamanya, Kostrad harus punya empat divisi infanteri, atau TNI AL punya empat armada bernomor. Begitu pula komando operasional TNI AU disesuaikan dengan kebutuhan untuk melaksanakan operasi militer di wilayah tanggung jawabnya. Diyakini bahwa membangun angkatan bersenjata memang investasi mahal jangka panjang tanpa boleh ada pertimbangan untung-rugi yang normal. Apabila kita percaya adagium si vis pacem para bellum (jika hendak damai, bersiaplah untuk perang), keuntungan yang diperoleh adalah keamanan dan keselamatan negara dan bangsa berikut segala isinya secara optimal sehingga kerugian dalam artian konsekuensi anggaran otomatis jadi marginal. Tetapi kalau negara untuk memberi makan penduduknya saja masih sulit. Apakah ada maknanya memikirkan Kogabwilhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar