Selasa, 01 Oktober 2019

Buku Perbatasan : Kogabwilhan Pertahanan Negara Kepulauan




Kogabwilhan Memantapkan Pertahanan Negara Kepulauan


Satuan TNI Terintegrasi Kogabwilhan 1 di Tanjung Pinang sebagai penangkal ancaman dari Selat Malaka dan Laut Natuna Utara. Kepulauan Riau. Resmi diresmikan. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. saat memimpin upacara peresmian Kogabwilhan TNI I, II, III, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (27/9/2019) menyampaikan bahwa pembentukan Kogabwilhan merupakan salah satu upaya pembangunan kekuatan TNI sebagai daya tangkal (deterrence effect) terhadap berbagai kemungkinan potensi ancaman.
Panglima TNI menjelaskan bahwa Kogabwilhan merupakan representasi konsep kemampuan interoperabilitas TNI, yang saat ini menjadi kebijakan prioritas bagi pimpinan TNI.  "Ancaman dan tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia di masa mendatang akan terus berevolusi, sehingga membutuhkan keterpaduan kekuatan matra (darat, laut dan udara) dalam merespon ancaman tersebut," ujarnya. Menurut Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, kehadiran ancaman tersebut perlu diantisipasi dan dicermati dalam menyusun pembangunan kekuatan, pembinaan kemampuan, dan gelar kekuatan TNI di masa mendatang, sehingga dapat bersifat adaptif.
Pembangunan kekuatan ini menunjukkan respons TNI terhadap perkembangan geopolitik di kawasan, terutama eskalasi di Laut China Selatan. Hal itu disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat mengukuhkan  Satuan TNI Terintegrasi Natuna di Pelabuhan Faslabuh TNI Angkatan Laut, Selat Lampa, Natuna, Selasa (18/12/2018). Hadi mengatakan, satuan yang menggabungkan matra darat, laut, dan udara ini adalah bentuk pembangunan kekuatan TNI agar bisa memberikan daya tangkal terhadap ancaman di perbatasan. Menurut Hadi, tujuan pembangunan Satuan TNI Terintegrasi adalah sebagai bentuk respons atas situasi geopolitik di Laut China Selatan yang terus mengalami eskalasi. ”Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim, ada batas-batas maritim Indonesia yang bersentuhan dengan negara lain,” katanya.

Satuan TNI Terintegrasi mulai dibangun sejak tahun 2016. Hadi menjelaskan, ke depan Satuan TNI Terintegrasi direncanakan menjadi Komando Gabungan Wilayah Pertahanan. Komando Tri Mtra atau Komando Wilayah Gabungan telah mulai di rancang pada saat era Presiden SBY. Pada waktu itu, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah menyusun struktur baru untuk membangun pertahanan Indonesia yang lebih kuat. Struktur baru itu dinamakan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Panglima komando akan dijabat oleh jenderal bintang tiga. “Struktur baru ini dibentuk untuk memperkuat koordinasi operasi TNI dalam mempertahankan wilayah Indonesia.
Pembentukan Kogabwilhan secara prinsip diarahkan untuk mencapai kesiapsiagaan dalam penanganan krisis di wilayah Indonesia dengan membagi teritorial Indonesia ke dalam 3 (tiga) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) TNI. Menurut Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, kehadiran ancaman tersebut perlu diantisipasi dan dicermati dalam menyusun pembangunan kekuatan, pembinaan kemampuan, dan gelar kekuatan TNI di masa mendatang, sehingga dapat bersifat adaptif. Dijelaskannya bahwa selama ini jika terjadi situasi darurat seperti konflik atau bencana alam, Panglima TNI akan membentuk satuan tugas untuk mengendalikan situasi secepat mungkin. Nah, dengan dibentuknya Kogabwilhan yang sifatnya permanen, Panglima TNI tidak perlu lagi membentuk Satgas. “Sehingga tugas pokok yang ada di Panglima TNI itu akan dibagi habis ke Kogabwilhan 1, 2, dan 3,” urai Hadi.
Secara organisasi, Kogabwilhan dipimpin seorang panglima berbintang tiga dengan wakil kepala staf bintang dua. Sementara para asistennya dijabat perwira bintang satu. Hadi juga membeberkan alasan penetapan lokasi markas komando Kogabwilhan. Menurutnya, Kogabwilhan 1 di Tanjung Pinang sebagai penangkal ancaman dari Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.Sementara Kogabwilhan 2 untuk pengamanan ibukota dengan memperkuat sistem pertahanan udara ibukota (baru). Sedangkan Kogabwilhan 3 adalah untuk pengamanan wilayah perbatasan Papua dan perairan di sekitarnya.
Keberadaan Kogabwilhan tentu bukan berarti meniadakan fungsi Kodam, Koopsau, dan Armada. Ketiga jajaran ini adalah Kotama Ops TNI yang berada di bawah pembinaan Kepala Staf Angkatan dan penggunaannya dibawah Panglima TNI. “Kogabwilhan apabila memerlukan kekuatan bisa langsung mengambil dari Kodam, Koopsau, dan Armada,” jelas Hadi.
Ditambahkan Hadi, secara bertahap jumlah pasukan akan dipenuhi. Menurutnya, saat ini Mabes TNI baru memenuhi kebutuhan unsur pimpinan mulai dari Panglima, Kas Kogabwilhan, dan para asisten. Setelah itu akan menyusul unsur pelayanan dengan pangkat kolonel ke bawah. Peresmian Kogawilhan dimeriahkan aksi terjun payung prajurit TNI serta flypast pesawat tempur hawk 109/209. Upacara berlangsung di tengah persiapan upacara HUT TNI ke-74 yang akan berlangsung pada 5 Oktober 2019.


Pertimbangan Dari Aspek Komando
Selain itu juga sebagai kekuatan penangkal, bila terjadi ancaman dari luar sesuai dengan kebijakan Panglima TNI. Kedudukan Markas Kogabwilhan telah mempertimbangkan aspek komando dan kendali, strategi dan infrastruktur yang sudah ada saat ini. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka ditetapkan kedudukan Makogabwilhan I berada di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. “Sedangkan Makogabwilhan II di Balikpapan, Kalimantan Timur dan Makogabwilhan III berada di Biak, Papua. Keberadaan Kogabwilhan tentu telah diselaraskan dengan program pembangunan Pemerintah,” tegasnya. Dia menambahkan, pemerintah mencanangkan 35 Wilayah Pengembangan Strategis, membangun dari pinggiran serta menghadirkan negara untuk melindungi seluruh warga negara di seluruh wilayah NKRI.
Makogabwilhan I dipimpin oleh Pankogabwilhan I Laksda TNI Yudo Margono. Wilayahnya meliputi Darat (Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat dan Banten); Laut (Perairan di sekitar Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya); Udara (Wilayah di atas Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, DKI, Jawa Barat, Banten dan ALKI-1 beserta perairan sekitarnya).
Sedangkan Makogabwilhan II dipimpin oleh Pangkogabwilhan II Marsda TNI Fadjar Prasetyo. Wilayahnya meliputi Darat (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT); Laut (Perairan di sekitar Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan ALKI-2 serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya); Udara (Wilayah di atas Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT dan ALKI-2 serta ALKI-3a beserta perairan sekitarnya).
Sementara, Makogabwilhan III dipimpin oleh Pangkogabwilhan III Mayjen TNI Ganip Warsito. Yakni dengan wilayah  Darat (Maluku, Maluku Utara dan Papua); Laut (Perairan di sekitar Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta perairan sekitarnya);  Udara (Wilayah di atas Maluku, Maluku Utara, Papua dan ALKI-3b dan 3c beserta perairan sekitarnya).

Kogabwilhan dan Otoritas Pertahanan

Pertahanan merupakan kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan kebijakan negara. Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan pertahanan negara. Selama ini kita menganut pola defensif aktif dengan cita-cita akan membangun kekuatan yang dapat menghancurkan musuh selagi masih berada di wilayahnya sendiri. Bahwa ternyata sistem pertahanan kita tidak atau belum mampu menjangkau kekuatan seperti itu, ya persoalannya lain lagi.

Mencermati peta kekuatan tersebut diatas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk mampu menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika yang ada di kawasan. Menurut Achmad Soetjipto, mantan KSAL dan Ketua Persatuan Purnawirawan AL(Visi Baru Pertahanan Indonesia, Kompas.com Juni3,2014). “Kogabwilhan adalah salah satu langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi terhadap negara sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan Australia. Atas alasan ini pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua”. Tetapi apakah pemikiran seperti itu masih valid?

Meski sudah diresmikan, namun Kogabwilhan yang seperti apa sesungguhnya yang akan dibangun itu? Memang belum ada bentuk yang sudah mengemuka, kecuali masih berupa sketsa-sketsa saja. Acmad Sutjipto misalnya juga masih dalam tahapan mempertanyakan apakah Kogabwilhan yang akan dikembangkan itu nantinya; berupa suatu komando gabungan dengan cakupan maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang masing-masing membawahkan suatu theatre command? Menurutnya kalau membangun Kogabwilhan ya diharapkan ia harus punya kemampuan melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang kilat tuntas (sharp shorten war) guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi paling menguntungkan sampai hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga yang datang melerai.

Selanjutnya dan masih menurut achmad Soetjipto, untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini, kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet. Sistem yang berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat melakukan gelar tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem komando birokratis. Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini, yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan anggaran.
Saya juga sempat juga melihat konsep Kogabwilhan dalam versi Luhut B Pandjaitan dalam tulisan beliau (TNI ”Baru” yang Disegani, Kompas, September4,2014). Sebagai suatu konsekuensi dari penegasan kembali Indonesia sebagai negara kepulauan adalah pentingnya reorganisasi Markas Besar TNI dengan dibentuknya Komando Gabungan Kewilayahan sebagai perpanjangan tangan Panglima TNI di wilayah-wilayah Nusantara. Sekarang ini, sejak Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dibubarkan tahun 1984, Panglima TNI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan militer dari Sabang hingga Merauke. Jelas ini rentang kendali yang terlalu panjang untuk dapat ditangani oleh satu orang panglima di Jakarta.

Seperti jumlah Kowilhan dahulu, Komando Gabungan Kewilayahan yang ideal jumlahnya juga empat, yang membagi habis wilayah Indonesia dalam format organisasi kerangka atau permanen, bergantung pada kesiapan SDM dan kemampuan anggaran nasional. Pengembangan kekuatan TNI tentu saja nantinya disesuaikan dengan jumlah komando itu. Umpamanya, Kostrad harus punya empat divisi infanteri, atau TNI AL punya empat armada bernomor. Begitu pula komando operasional TNI AU disesuaikan dengan kebutuhan untuk melaksanakan operasi militer di wilayah tanggung jawabnya. Diyakini bahwa membangun angkatan bersenjata memang investasi mahal jangka panjang tanpa boleh ada pertimbangan untung-rugi yang normal. Apabila kita percaya adagium si vis pacem para bellum (jika hendak damai, bersiaplah untuk perang), keuntungan yang diperoleh adalah keamanan dan keselamatan negara dan bangsa berikut segala isinya secara optimal sehingga kerugian dalam artian konsekuensi anggaran otomatis jadi marginal.



Kamis, 15 Agustus 2019

Buku Perbatasan : China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?



China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?

Oleh : Simon Saragih

Asia sedang mengalami peningkatan pengeluaran untuk persenjataan. Antisipasi akan kekuatan militer China membuat Asia terlibat peningkatan persenjataan. Apakah hal ini terjadi murni karena ketakutan akan China? Ataukah semua itu hanya merupakan sebuah perkembangan alamiah tetapi telah membuat AS dan koalisinya di Asia ketakutan?
Anggaran persenjataan di Asia sedang meningkat. Salah satu dugaan penyebabnya adalah ketakutan akan China yang berpotensi hegemonik dan invasif. Pandangan ini dipicu para pakar dengan paradigma “super power politics”, yang menekankan rivalitas negara-negara adidaya. Jika disimak saksama, peningkatan persenjataan di Asia tidak menakutkan.
Benar dan adalah fakta kini sedang terjadi peningkatan volume dan kualitas persenjataan di Asia. Anggaran tahunan untuk persenjataan di sejumlah negara di Asia Pasifik naik lebih dua kali dari tahun 2000 menjadi sekitar 450 miliar dollar AS sekarang ini. Dari jumlah itu sebesar 200 miliar AS adalah porsi China berdasarkan data dari Departemen Pertahanan Australia.
China sendiri menganggarkan dana 207 miliar dollar AS pada 2019 untuk pertahanan. China pembelanja kedua terbesar di dunia untuk pertahanan setelah AS, dengan rencana anggaran 717 miliar dollar AS pada 2019. China pun mendorong riset persenjataan berkualitas tinggi. Ini mulai dari persenjataan dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) hingga rudal pesawat pemburu dan pesawat siluman.
Riset ini sudah menghasilkan secara nyata. Pada 26 April 2017 seperti diberitakan kantor berita Xinhua, China memiliki armada kapal pengangkut jet tempur kedua buatan sendiri. Ini menambah armada pertama, Laoning, buatan Uni Soviet yang dimofidikasi.

Pada 28 Januari 2019 The Newsweek memberitakan peluncuran rudal balistik oleh militer China yang dijuluki “Guam killer”. Rudal balistik bernama Dongfeng-26 (DF-26) memiliki jangkauan antara 1.864 hingga 3.567 mil, artinya bisa menjangkau Guam, AS.
“Beijing ingin menunjukkan bahwa persenjataannya bisa menjangkau aset strategi AS seperti kapal perang dan pangkalan militer,” kata Adam Ni, seorang pakar tentang persenjataan China di Macquarie University, Australia. (China Releases Footage of Succesful Launch of Missile That Could Strike US Territory)
Think-tank dari Inggris, The International Institute for Strategic Studies (IISS), pada hari Jumat (15 Januari 2019) di Munich Security Conference meluncurkan laporan berjudul “The Military Balance”. Disebutkan, China sedang mengalami percepatan kekuatan Angkatan Laut. Anggaran militer China juga naik signifikan dalam 10 tahun terakhir. Ditambahkan, modernisasi militer China mencengangkan, baik soal ambisi maupun tahapan pengembangan persenjataan. IISS menekankan kekuatan militer AS masih terkuat di dunia tetapi sedang memudar. China juga menekankan perubahan kekuatan militer yang tidak lagi menekankan Angkatan Darat.

Tetangga menandingi
Entah itu untuk menandingi atau tidak, hal serupa dilakukan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Jepang pun turut meningkatkan kemampuan persenjataan. Pada Desember 2018 Perdana Menteri Shinzo Abe menyetujui anggaran 5,19 triliun yen untuk pembelian pesawat jet tempur F-35. Pesawat F-35 ini mampu menjangkau hingga ke daratan Korea Utara dan China. Jepang juga akan membeli lima kapal selam, tiga kapal perusak, 12 pesawat tempur, sepuluh kapal patrol dan 39 helikopter.
Demikian pula Australia pada Juli 2018 telah memesan 26 buah fregat tipe 26 dari BAE Systems (korporasi Inggris) berbiaya 100 miliar dollar Australia. BAE akan menyerahkan 54 kapal perang untuk Royal Australian Navy hingga akhir 2040. Fregat ini akan melengkapi persenjataan dengan tujuan bisa menghantam kapal selam. Total anggaran pembelian Australia sebesar 279 miliar dollar Australia selama 20 tahun ke depan. (Battle Stations: Asia’s Arms Race Hots Up)
Korea Selatan dan Vietnam juga menambah armada persenjataan berupa kapal selam. Malaysia diberitakan akan membeli senjata lain. Singapura menambah dua lagi kapal selam. Korea Selatan akan menambah pengeluaran untuk menghadapi Korea Utara termasuk pembelian kapal perusak dan juga kelas F-35 dan kemungkinan F-35s. (Asia’s New Arm Race)




Tak ketinggalan, India sudah membeli delapan pesawat anti-kapal selam dari Boeing Co pada 2009. Pemerintah India sudah menyetujui pembelian empat pesawat serupa. Di samping itu India meneken kontrak pengadaan 126 pesawat tempur.
India melakukan peningkatan persenjataan hingga memunculkan kritikan bahwa negara ini lebih mengutamakan persenjataan ketimbang pemberantasan kemiskinan. “Konyol, kita memperkuat persenjataan dengan mengorbankan kebutuhan kaum miskin,” kata Praful Bidwai dari Coalition of Nuclear Disarmament and Peace. (Asia’s Mad Arm Race)
Secara keseluruhan pada 2029 kawasan Asia Pasifik akan menjadi pembelanja terbesar untuk persenjataan, berdasarkan prediksi “Jane’s Defence Budgets” yang dituliskan IHS Markit.

Faktor China
Berderet kisah soal peningkatan persenjataan di Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir. Ketakutan psikologis tentang China menjadi salah satu alasan di balik peningkatan kualitas persenjataan. “Ini terjadi dengan sendirinya tanpa menyebutkan tentang kekhawatiran akan kebangkitan ekonomi dan militer China,” kata Ashwani Kumar, anggota parlemen India dari Partai Kongres.
Kawasan mulai dari Laut Arab hingga Samudera Pasifik disebutkan takut akan kedahsyatan China. Kawasan juga khawatir AS tidak tertarik lagi melakukan intervensi atau terlibat di kawasan. Ini diduga turut menyebabkan perlombaan senjata untuk pertahanan diri, kata Jeff Kingston, Direktur Asian Studies dari Temple University (Jepang).
Untuk mengimbangi China, aliansi pertahanan juga diperkuat seperti antara Australia dengan India dan Jepang serta ASEAN terutama Singapura, Filipina dan Indonesia. Pihak Australia mengamati betul soal kemampuan pertahanan ini.
“Saya tidak mau ada toleransi sekecil apapun. Saya ingin menekankan keamanan nasional dan perlindungan bagi militer kita,” kata Christopher Pyne, Menteri Pertahanan Australia.
“Kita hidup di kawasan yang kini lebih tidak aman jika dibandingkan beberapa dekade lalu. Salah satu perkembangan di kawasan kita dalam beberapa tahun terakhir adalah militerisasi China di Laut China Selatan dan Semenanjung Korea yang tidak stabil,” kata Payne.

Nada serupa disampaikan pakar lain. “Ketakutan akan perkembangan pesat ekonomi, militer dan strategi China kemungkinan menjadi pendorong utama di balik penguatan militer,” kata James Johnson, profesor tamu di University of Leicester (Inggris) dan penulis buku ‘The US-China Military & Defense Relationship’. “Skala dan momentum berisiko memunculkan perlombaan senjata yang mendestabilisasi.”
Faktor China telah diumbar habis-habisan. Sejarah perebutan wilayah Arunachal Pradesh oleh China dari India dicuatkan. Sengketa Kepulauan Senkaku (disebut Diaoyu oleh China) antara China dan Jepang pun muncul. China didudukkan sebagai negara yang menakutkan dan mengancam.
“Jepang, Taiwan, Korea Selatan, India, Vietnam, dan negara-negara lain telah mengekspresikan keprihatinan soal pengembangan militer China yag berisiko mendestabilisasi. Ini mendorong penguatan militer,” Demikian dituliskan oleh Scott N. Romaniuk dan Tobias Burgers di situs The Diplomat. (Is China Fueling An East Asian Arm Race?)




Para analis Jepang menilai China telah mendorong perlombaan senjata. “Ada kenaikan besar untuk anggaran persenjataan. Jangan dilupakan anggaran militer China jauh lebih besar dari pengumuman resmi,” demikian kata Yoichi Shimada, seorang profesor bidang hubungan internasional dari Fukui Prefectural University. (Asian Arms Race is On, Stoked by China’s Booming Defence Budget, Japanese Analysts Say).(AP/AFP/REUTERS)
Sumber :  Kompas.id., 19 Februari 2019

Rabu, 24 Juli 2019

Buku Perbatasan : Perbatasan Darat RI – Timor Leste Disepakati



Garis Perbatasan Darat RI – Timor Leste  Disepakati
Oleh Harmen Batubara

Pemerintah Indonesia bersama dengan Pemerintah Timor Leste telah sepakat atas batas darat terkait  “two unresolved segments” yaitu di Noel Besi, Citrana dan Bidjael Sunan Oben. Itu bermakna kedua Negara telah sepakat tentang Garis batas Darat ke dua Negara. Selain itu juga telah disepakati pengaturan teknis terkait dengan Haumeniana-Passabe dan Motaain-Batugede. “Dalam pertemuan yang dilangsungkan dalam suasana bersahabat, kedua negara telah sepakat mengenai penyelesaian batas darat “two unresolved segments” yaitu di Noel Besi, Citrana dan Bijael Sunan Oben. Selain itu juga telah disepakati tentang pengaturan teknis yang terkait dengan Haumeniana-Passabe dan Motaain-Batugede,” ujar Menko Polhukam Wiranto bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Xanana Gusmao di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Menko Polhukam mengatakan, dengan selesainya two unresolved segments ini maka dapat disampaikan kepada masyarakat bahwa semua perundingan batas darat SECARA PRINSIP sudah selesai dan akan dilanjutkan untuk perbatasan maritim. Selanjutnya kesepakatan ini akan difinalisasi oleh Senior Officials’ Consultation untuk dituangkan dalam Addendum No. 2 dari Perjanjian Batas Tahun 2005 dan nantinya serta tentunya akan dituangkan dalam perjanjian komprehensif Republik Indonesia dan Timor Leste.
Adapun Dua wilayah sengketa yang sudah disepakati adalah Noel Besi-Citrana dan Bidjael Sunan-Oben. Perbatasan Noel Besi-Citrana merupakan wilayah di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Oecusse-Ambeno, bagian dari wilayah Timor Leste. Sedangkan Bidjael Sunan-Oben merupakan wilayah yang berada di Manusasi, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Perundingan Panjang Ditengah Persahabatan

Persetujuan Penegasan dan Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalam komunike bersama yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirajuda dan Ketua UNTAET Sergio Viera de Mello di Denpasar pada tanggal 2 Februari 2002. Kemudian dituangkan lagi dalam Provisional Agreement yang disepakati di Dili tanggal 8 April 2005. Pada Provisional Agreementtahun 2005 terdapat tiga wilayah unresolved segment, yaitu Noelbesi-Citrana, Bijael Sunan-Oben dan Dilumil-Memo.
Masalah  Noel Besi / Citrana : Daerah sengketa terletak di Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069 Ha, berawal dari sengketa lahan. Pada waktu Timor Timur masih bergabung dengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana merupakan daerah perbatasan Kabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno (wilayah Timor Timur). Daerah ini dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di selat Ombai dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri daerah sengketa.




Oleh karena adanya perubahan iklim sepanjang tahun/perubahan alam, menyebabkan aliran sungai bergeser kearah kanan daerah sengketa yang merupakan lahan pertanian subur dan lahan tersebut merupakan warisan turun temurun dengan batas sungai Noel Besi yang sekarang ada. Dari aspek yuridis, batas Negara menurut Treaty/Traktat 1904 Belanda-Portugis disebutkan muara Sungai Noel Besi mempunyai Azimuth kompas 300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek Teknis (menurut Toponimi) nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur Sungai Nono Noemna. Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam tentang batas darat kedua Negara, masing-masing merasa perlu adanya data/analisis yang lebih lengkap dan akurat

Bijael Sunan/Manusasi : Daerah sengketa meliputi daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan adanya perbedaan persepsi traktat/Treaty juga di sebabkan karena masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai oleh masyarakat Timor Barat, namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat Timor Timur (Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai Noel Miomafo digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit (watershed) mulai dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut Oben yang ditandai dengan pilar Ampu Panalak.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemindahan batas wilayah yang dilakukan secara adat dengan melintasi batas antar Negara/batas Internasional, disaksikan oleh Gubenur Portugis dan NTT pada saat itu. Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup menarik, pertama menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun prinsip median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas mengikuti punggung bukit (Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan watershed/punggung bukit juga dianut dalam Treaty 1904.
Dilumil/Memo : Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah seluas ± 41,9 Ha, berawal dari sengketa lahan yang berada di delta S. Malibaka sebagai hasil proses pengendapan. Dalam hal ini, pihak RI pada awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah timur Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004), pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang membagi dua river island/delta.
Keinginan RI ini mengacu pada kesepakatan median line sebagai pengganti metode thalweg di S. Malibaka yang apabila di tarik lebih lanjut akan melalui tengah Delta tersebut. Disisi lain untuk memberi rasa keadilan bagi kedua masyarakat RI-RDTL yang sama-sama menggarap lahan/tanah di Delta tersebut. Penyelesaian permasalahan batas, di perkirakan akan lebih mudah dilakukan untuk disepakati dalam waktu tidak terlalu lama dibandingkan 2 daerah unresolved lainnya. Hal ini mengingat, adanya faktor kebersamaan dan tidak adanya konflik yang menonjol dari masyarakat setempat kedua Negara, serta luas daerah yang dipermasalahkan kedua Negara tidak seluas di Manusasi maupun Noel Besi.

Beberapa Catatan Yang Tinggal Kenangan

Pada November 2008 telah dilaksanakan pembangunan Pos Imigrasi RDTL di daerah Unresiolved Segment Noel Besi-Citrana namun kegiatan pembangunan gedung tersebut dapat dihentikan setelah diadakan musyawarah yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat.
Tetapi kemudian telah ditemukan adanya bangunan baru untuk Kantor Pertanian, Balai Pertemuan, Gudang Dolog dan tempat penggilingan padi di  area yang sama, yang diperkirakan dibangun pada bulan September 2008 dan diresmikan oleh Menteri Pertanian RDTL bulan Mei 2009.
Pada minggu ke empat bulan April 2010 ditemukan pemasangan  nama Gedung  yang bertuliskan  “ MENESTERIO DA AGRI KULTURA “ dan penggunaan mesin pertanian (Traktor) didaerah Naktuka. Di area ini juga terdapat LSM OACP( Oecussee Ambeno Community Programme).  Bahwa Pemerintah Indonesia (Kementerin Luar Negeri) telah mengeluarkan Nota Protes No. D/00172/01/2010/59  tanggal 27 Januari 2010  tentang keberadaan bangunan dan aktivitas masyarakat Timor Leste di Unresolved Segment Noel  Besi-Citrana. 
Pada tahun 2013 dilakukan adendum terhadap Provisional Agreement tahun 2005. Salah satu isi dari perubahan kesepakatan tersebut adalah mengenai UNRESOLVED SEGMENT Dilumil-Memo. Kedua negara akhirnya menemukan titik temu untuk menyepakati garis batas negara di segmen Dilumil-Memo. Sejak saat itu perbatasan Indonesia-Timor Leste masih menyisakan dua unresolved segment yaitu Noelbesi-Citrana dan Bijael Sunan-Oben.  Tapi semua itu sudah bagian dari masa lalu.  Garis perbatasan darat itu kini telah disepakati.
Awal tahun 2017 di Jakarta, Menkopolhukam Wiranto didamping Menlu Retno Marsudi melakukan pertemuan pertama kali dengan Xanana Gusmao. Pertemuan itu menyepakati pembentukan Senior Official Consultation (SOC) yaitu sebuah grup kecil yang akan membahas secara teknis kesepahaman atau kesepakatan untuk menyelesaikan dua titik batas darat tersebut.

Pertemuan pertama SOC kali pertama dilaksanakan pada 10 Maret di Bali. Kala itu delegasi SOC dari Timor Leste akan dikepalai oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Roberto Soares. Sedangkan Indonesia diketuai oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Desra Percaya.  Pertemuam SOC ke 4 pada Desember 2018 silam, telah disepakati Term of Reference (TOR) Joint Field Visit (JFV) on the Resolution of the Noel Besi-Citrana and Bidjael Sunan-Oben Segments. JFV ini bertujuan untuk menelusuri seluruh elemen relevan yang ada pada Traktat 1904.

Untuk mempercepat penyelesaian batas itu, Badan Informasi Geospasial (BIG) mengambil peran sebagai leading sector pada kegiatan JFV dalam menyelesaikan unresolved segment pada perbatasan Republik Indonesia (RI) dengan Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL).
Kepala Bidang Pemetaan Batas Negara BIG waktu itu, Astrit Rimayanti menjelaskan untuk menyelesaikan sengketa, JFV dilaksanakan oleh BIG bersama Dittopad, Kementerian Pertahanan, dan perwakilan dari Timor-Leste pada tanggal 28 April hingga 15 Mei 2019. Hasil dari survei tersebut kemudian dipresentasikan pada pertemuan SOC ke-5 di Bali pertengahan tahun 2019.

"Survei dilaksanakan menyusuri thalweg (bagian terdalam dari aliran sungai) hingga muara Sungai Noel Besi. Selain itu, dilakukan juga pengukuran azimut ke Pulau Batek. Sebagai tambahan, dilakukan pula perekaman video Noel Besi dan Nono Tu-Inaan menggunakan pesawat nirawak, dan delineasi wilayah manusasi," jelas Astrit. Bagaimana pun proses panjang yang dilalui, Xanana Gusmao mengatakan kedua Negara memiliki rasa persaudaraan dan atas nama Timor Leste, dirinya mengucapkan rasa terimakasih kepada Menkopolhukam Wiranto dan Menlu Retno Marsudi. "Saya bilang bahwa hari esok akan lebih baik," ujar Xanana dengan senyuman dan memeluk Menkopolhukan Wiranto.







Senin, 28 Januari 2019

Membangun Industri Pertahanan Negara Kepulauan



Membangun Industri Pertahanan Negara Kepulauan


Rencana dan keinginan pemerintah mandiri dalam produksi persenjataan dan memajukan industri pertahanan nasional tentu harus dilaksanakan konsisten. Konsistensi tersebut menjadi tuntutan karena Indonesia perlu terus mengembangkan kemampuan industri pertahanan nasional. Faktanya kemampuan Industri kita terus membaik, ditambah lagi dan terbukti produk alat persenjataannya  juga diminati sejumlah negara. Tuntutan pada konsistensi pemerintah terasa berbeda di tengah keputusan TNI AU kala itu untuk membeli satu helikopter AgustaWestland (AW) 101. Alasan pembelian tersebut adalah kebutuhan TNI AU akan helikopter multifungsi, yaitu untuk angkut berat, evakuasi, rumah sakit bergerak, dan pertolongan pertama (SAR). Apakah kita memilih kecanggihannya atau pada fungsinya? Suatu hal yang bisa diperdebatkan.
Membangun industri pertahanan dalam negeri bukan hanya untuk meminimalkan ketergantungan kepada negara lain. Namun jauh dari itu. Penguasaan industri pertahanan, seperti di banyak negara, akan meningkatkan penguasaan teknologi yang pada gilirannya memberikan efek berganda terhadap pengembangan industri di luar pertahanan itu sendiri. Hal ini mengingat industri pertahanan selalu memerlukan teknologi yang lebih maju, presisi tinggi serta inovasi. Penguasaan teknologi seperti itu juga akan meningkatkan rasa percaya diri sebagai bangsa. Dalam produksi pesawat, kita memiliki PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Indonesia patut bersukur, produk PTDI telah dibeli sejumlah negara, sahabat antara lain Thailand, Filipina, Malaysia, Brunai dan Senegal. PTDI juga memproduksi helikopter EC725 Cougar (Super Puma) yang memiliki spesifikasi mirip dengan AW 101.
Semua negara yang maju industrinya, termasuk industri pertahanan, pada tahap awal hampir pasti mengandalkan pasar dalam negeri. Tujuannya, mendapat kapasitas produksi yang memungkinkan industri tumbuh sehat berkelanjutan secara ekonomi tanpa tambahan investasi. Karena itu, kita berharap kepada Pemerintah agar terus mendukung dan bahkan mewajibkan pengguna, yaitu TNI,  Polri, dan instansi lainnya konsisten menggunakan produksi dalam negeri supaya kemandirian seperti yang dicita-citakan terwujud.

Produk dan Kualitasnya Kian Unggul
PT Dirgantara Indonesia atau PTDI telah merampungkan hampir seluruh pesanan pesawat udara dan helikopter dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Tinggal satu unit heli yang rencananya akan dimodifikasi penuh dengan persenjataan.PTDI membuat 11 unit Heli Anti Kapal Selam (AKS) dan dua unit pesawat CN235-220 Maritime Patrol Aircraft (MPA). Bayangkan harga "Heli AKS 120 juta euro untuk MPA US$ 59 juta," ucap Kepala Staff Umum (Kasum) Panglima TNI Laksamana Madya TNI Didit Herdyawan usai serah terima pesawat dan heli di Gedung PTDI, Bandung, Kamis (24/1/2019).
Sementara itu Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Laksamana Muda TNI Agus Setiadji tidak merinci harga per unit dari alutista itu. Namun dia hanya membocorkan angka untuk heli AKS. "Untuk basic (tanpa full spesifikasi) 10 juta (euro). Kalau full 17 juta (euro)," kata dia.

Agus mengatakan dari 11 heli tersebut, dua di antaranya akan dilengkapi dengan teknologi canggih yang akan mendukung kebutuhan TNI AL di laut. Satu heli yang belum diserahkan Akan dilengkapi terlebih dahulu, sementara dari heli yang sudah diserahkan, akan dibawa kembali ke PT DI untuk dipasang peralatannya. Heli dengan full spesifikasi ini akan dilengkapi dengan pemasangan torpedo dan sonar varian terbaru berjenis Helicopter Long-Range Actice Sonar (Helras). Sonar HELRAS dapat beroperasi optimal di area laut dangkal dan laut dalam. Teknologi HELRAS menggunakan frekuensi rendah dengan resolusi tinggi pada sistem Doppler dan rentang gelombang panjang untuk mengetahui keberadaan kapal selam dari jarak jauh.
Helikopter itu memiliki kemampuan untuk mendeteksi keberadaan kapal selam, serta dilengkapi dengan dipping sonar L-3 Ocean System DS-100 Helicopter Long-Range Active Sonar (HLRS). Sebelumnya, pada 2017-2018 TNI AL juga sudah menerima 5 unit helikopter AKS yang dipesan PT DI. Lima unit helikopter jenis Panther tipe AS565 MBe hasil kerja sama PT DI dan perusahaan Perancis, Airbus Helicopters, merupakan yang pertama di Indonesia. Namun, untuk fase integrasi AKS sejak didesain hingga perakitan sepenuhnya hasil karya PT DI.
Sedangkan pesawat udara CN 235-220 MPA dengan serial number N067 merupakan pesawat kedua yang dipesan dari PT DI. Pesawat ini dapat digunakan untuk berbagai macam misi, seperti patroli perbatasan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), pengawasan pencurian ikan dan pencemaran laut, pengawasan imigrasi, penyelundupan narkoba, serta penyelamatan korban bencana.
CN 235-220 MPA juga memiliki keunggulan, yaitu mampu lepas landas dengan jarak yang pendek, khususunya dengan kondisi landasan yang belum beraspal dan berumput, mampu terbang selama 10-11 jam dengan sistem abiotik full glass cockpit yang lebih modern, autopilot, dan adanya winglet di ujung sayap agar lebih stabil dan irit bahan bakar.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengemukakan penyerahan beberapa alutsista itu merupakan salah satu program pembangunan kekuatan pertahanan yang dialokasikan melalui pinjaman luar negeri/kredit ekspor dari dua rencana strategis (Renstra) TA 2010-2014. "Mengingat alutsista ini merupakan salah satu senjata strategis serta memiliki efek deterence serta mampu memberikan efek gentar negara-negara yang mau mengganggu kedaulatan NKRI.  Harapannya, dengan perawatan dan pemeliharaan yang baik, pesawat ini mampu memiliki usia yang panjang untuk memperkuat jajaran TNI AL ke depan,” ujar Ryamizard.
Sementara itu Menteri Rini mengatakan hal ini terwujud atas sinergitas Kemenhan dengan BUMN. Hal ini sejalan dengan tujuan BUMN untuk memperkuat perekonomian sekaligus menghasilkan produk bermutu tinggi. "Ini pentingnya kerja sama erat BUMN danln kementerian teknis paling utama Kemenhan meningkatkan kemampuan BUMN khususnya PT DI untuk dapat memberikan atau menghasilkan produk bermutu yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Bukan hanya dimanfaatkan, tapi kita membuat produk bermutu tinggi dan memberikan kepercayaan ke prajurit kita kalau mau pakai mereka merasa aman dan pasti bisa mempertahankan kedaulatan Indonesia," kata Rini.

Harus Jadi Acuan
Dalam bahasa sederhana, kolaborasi pengguna alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan industri produsen alutsista di dalam negeri sangat penting. Hal ini sudah bisa  dirujuk pada UU Industri Pertahanan yang mendefinisikan pengguna adalah TNI, Polri, kementerian dan lembaga, serta pihak yang diberi izin sesuai undang-undang. Hanya dengan cara inilah industri pertahanan dalam negeri bisa maju. “Kesempurnaan meraih teknologi itu ada penahapannya. Di situ perlunya kerja sama antara pengguna dan industri,” saling sinergi.  Anggota Komisi I DPR dari PDI-P, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, sikap Komisi I dari awal adalah meminta agar UU Industri Pertahanan dijadikan acuan. Pasalnya, negara memiliki tujuan jangka panjang agar pada saat tertentu tercapai kemandirian dalam industri pertahanan. Pembelian dan penggunaan produksi dalam negeri oleh institusi seperti TNI, Polri serta kementerian dan lembaga juga bisa menjadi bentuk pemasaran. “Siapa lagi kalau bukan kita yang memakai, baru nanti negara lain beli,”  begitu katanya suatu masa dahulu.

Program Pengembangan Pesawat Tempur
Meski sempat tertunda dan menghadapi kendala, program pengembangan pesawat tempur produksi kerja sama Indonesia-Korea Selatan yang dinamakan Korean Fighter (KF)-X/Indonesian Fighter (IF)-X terus berlanjut. Saat ini, program itu sudah memasuki fase kedua dari tiga fase yang ada, yaitu pengembangan teknik industri (engineering manufacture development), yang akan menghasilkan prototipe pada 2021. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Anne Kusmayati, di Kementerian Pertahanan, Jumat (28/7/2017), mengatakan, saat ini tahap EMD mencapai 14 persen. PT Dirgantara Indonesia (DI), telah mengirimkan 81 insinyur ke Korean Aerospace Industry (KAI). Mereka akan mendalami konfigurasi pesawat sesuai kebutuhan Indonesia dan Korsel.
“Program ini jadi awal kemandirian industri pertahanan karena kita akan buat pesawat tempur,” kata Anne. Produksi itu akan memengaruhi peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan PT DI secara umum. Selanjutnya akan dibutuhkan CLUSTER-CLUSTER INDUSTRI yang memproduksi alat-alat berteknologi sesuai pesawat generasi 4,5 ini. “Seperti alat elektronik radar dan GPS,” ucapnya. Menurut dia, program tersebut juga harus ditopang kebijakan politik karena program ini butuh waktu yang panjang, terutama dari segi komitmen dan pembiayaan. “Presiden menyatakan mendukung penuh program ini. Hal itu disampaikan saat kami presentasi,” ujar Anne waktu itu.
Sejauh ini, fase pertama, yaitu pengembangan teknologi pesawat tempur produksi bersama Korsel, sudah dilalui. Setelah selesainya fase kedua tahun 2021, KF-X/IF-X akan dibuatkan prototipe yang terus diuji hingga produksi tahun 2026. Namun, baru pada fase ketiga, tahun 2040, KF-X/IF-X akan diproduksi secara massal oleh PT DI. Kepala Sub-Dinas Penerangan Umum Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Kolonel Fajar Adriyanto mengatakan, pihaknya senang dengan pembangunan KF-X/IF-X. Program ini tak hanya dilihat dari sisi pertahanan udara, tetapi juga upaya pemerintah mengadopsi teknologi. “Untuk kesiapan pesawat tempur, F16 C/D masa pakainya masih sampai 2030. Juga masih ada Sukhoi,” kata Fajar soal kebutuhan TNI AU selama KF-X/IF-X belum ada.Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Totok Sugiharto menambahkan, jika Indonesia membuat sendiri, kebutuhan operasi TNI AU akan diakomodasi lewat desain pesawat. Selain juga kebebasan menentukan konfigurasi pesawat sehingga menjamin kemampuan pengembangan teknologi berkelanjutan.
Sumber : http://www.wilayahpertahanan.com/pertahanan-bangga-dengan-produk-alutsista-sendiri/