China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?
Oleh : Simon Saragih
Asia sedang mengalami peningkatan pengeluaran untuk
persenjataan. Antisipasi akan kekuatan militer China membuat Asia terlibat
peningkatan persenjataan. Apakah hal ini terjadi murni karena ketakutan akan
China? Ataukah semua itu hanya merupakan sebuah perkembangan alamiah tetapi
telah membuat AS dan koalisinya di Asia ketakutan?
Anggaran persenjataan di Asia sedang meningkat. Salah satu
dugaan penyebabnya adalah ketakutan akan China yang berpotensi hegemonik dan
invasif. Pandangan ini dipicu para pakar dengan paradigma “super power
politics”, yang menekankan rivalitas negara-negara adidaya. Jika disimak
saksama, peningkatan persenjataan di Asia tidak menakutkan.
Benar dan adalah fakta kini sedang terjadi peningkatan volume
dan kualitas persenjataan di Asia. Anggaran tahunan untuk persenjataan di
sejumlah negara di Asia Pasifik naik lebih dua kali dari tahun 2000 menjadi
sekitar 450 miliar dollar AS sekarang ini. Dari jumlah itu sebesar 200 miliar
AS adalah porsi China berdasarkan data dari Departemen Pertahanan Australia.
China sendiri menganggarkan dana 207 miliar dollar AS pada 2019
untuk pertahanan. China pembelanja kedua terbesar di dunia untuk pertahanan
setelah AS, dengan rencana anggaran 717 miliar dollar AS pada 2019. China pun
mendorong riset persenjataan berkualitas tinggi. Ini mulai dari persenjataan
dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) hingga rudal pesawat
pemburu dan pesawat siluman.
Riset ini sudah menghasilkan secara nyata. Pada 26 April 2017
seperti diberitakan kantor berita Xinhua, China memiliki armada kapal
pengangkut jet tempur kedua buatan sendiri. Ini menambah armada pertama,
Laoning, buatan Uni Soviet yang dimofidikasi.
Pada 28 Januari 2019 The Newsweek memberitakan peluncuran rudal
balistik oleh militer China yang dijuluki “Guam killer”. Rudal balistik bernama
Dongfeng-26 (DF-26) memiliki jangkauan antara 1.864 hingga 3.567 mil, artinya
bisa menjangkau Guam, AS.
“Beijing ingin menunjukkan bahwa persenjataannya bisa menjangkau
aset strategi AS seperti kapal perang dan pangkalan militer,” kata Adam Ni,
seorang pakar tentang persenjataan China di Macquarie University,
Australia. (China Releases
Footage of Succesful Launch of Missile That Could Strike US Territory)
Think-tank dari Inggris, The International Institute for
Strategic Studies (IISS), pada hari Jumat (15 Januari 2019) di Munich Security
Conference meluncurkan laporan berjudul “The Military Balance”. Disebutkan,
China sedang mengalami percepatan kekuatan Angkatan Laut. Anggaran militer
China juga naik signifikan dalam 10 tahun terakhir. Ditambahkan, modernisasi
militer China mencengangkan, baik soal ambisi maupun tahapan pengembangan
persenjataan. IISS menekankan kekuatan militer AS masih terkuat di dunia tetapi
sedang memudar. China juga menekankan perubahan kekuatan militer yang tidak
lagi menekankan Angkatan Darat.
Tetangga menandingi
Entah itu untuk menandingi atau tidak, hal serupa dilakukan
negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Jepang pun turut meningkatkan kemampuan
persenjataan. Pada Desember 2018 Perdana Menteri Shinzo Abe menyetujui anggaran
5,19 triliun yen untuk pembelian pesawat jet tempur F-35. Pesawat F-35 ini
mampu menjangkau hingga ke daratan Korea Utara dan China. Jepang juga akan
membeli lima kapal selam, tiga kapal perusak, 12 pesawat tempur, sepuluh kapal
patrol dan 39 helikopter.
Demikian pula Australia pada Juli 2018 telah memesan 26 buah
fregat tipe 26 dari BAE Systems (korporasi Inggris) berbiaya 100 miliar dollar
Australia. BAE akan menyerahkan 54 kapal perang untuk Royal Australian Navy
hingga akhir 2040. Fregat ini akan melengkapi persenjataan dengan tujuan bisa
menghantam kapal selam. Total anggaran pembelian Australia sebesar 279 miliar
dollar Australia selama 20 tahun ke depan. (Battle Stations: Asia’s Arms Race Hots Up)
Korea Selatan dan Vietnam juga menambah armada persenjataan
berupa kapal selam. Malaysia diberitakan akan membeli senjata lain. Singapura
menambah dua lagi kapal selam. Korea Selatan akan menambah pengeluaran untuk
menghadapi Korea Utara termasuk pembelian kapal perusak dan juga kelas F-35 dan
kemungkinan F-35s. (Asia’s New Arm Race)
Tak ketinggalan, India sudah membeli delapan pesawat anti-kapal
selam dari Boeing Co pada 2009. Pemerintah India sudah menyetujui pembelian
empat pesawat serupa. Di samping itu India meneken kontrak pengadaan 126
pesawat tempur.
India melakukan peningkatan persenjataan hingga memunculkan
kritikan bahwa negara ini lebih mengutamakan persenjataan ketimbang
pemberantasan kemiskinan. “Konyol, kita memperkuat persenjataan dengan
mengorbankan kebutuhan kaum miskin,” kata Praful Bidwai dari Coalition of
Nuclear Disarmament and Peace. (Asia’s Mad Arm Race)
Secara keseluruhan pada 2029 kawasan Asia Pasifik akan menjadi
pembelanja terbesar untuk persenjataan, berdasarkan prediksi “Jane’s Defence
Budgets” yang dituliskan IHS Markit.
Faktor China
Berderet kisah soal peningkatan persenjataan di Asia Pasifik
dalam beberapa tahun terakhir. Ketakutan psikologis tentang China menjadi salah
satu alasan di balik peningkatan kualitas persenjataan. “Ini terjadi dengan
sendirinya tanpa menyebutkan tentang kekhawatiran akan kebangkitan ekonomi dan
militer China,” kata Ashwani Kumar, anggota parlemen India dari Partai Kongres.
Kawasan mulai dari Laut Arab hingga Samudera Pasifik disebutkan
takut akan kedahsyatan China. Kawasan juga khawatir AS tidak tertarik lagi
melakukan intervensi atau terlibat di kawasan. Ini diduga turut menyebabkan
perlombaan senjata untuk pertahanan diri, kata Jeff Kingston, Direktur Asian
Studies dari Temple University (Jepang).
Untuk mengimbangi China, aliansi pertahanan juga diperkuat
seperti antara Australia dengan India dan Jepang serta ASEAN terutama
Singapura, Filipina dan Indonesia. Pihak Australia mengamati betul soal
kemampuan pertahanan ini.
“Saya tidak mau ada toleransi sekecil apapun. Saya ingin
menekankan keamanan nasional dan perlindungan bagi militer kita,” kata
Christopher Pyne, Menteri Pertahanan Australia.
“Kita hidup di kawasan yang kini lebih tidak aman jika
dibandingkan beberapa dekade lalu. Salah satu perkembangan di kawasan kita
dalam beberapa tahun terakhir adalah militerisasi China di Laut China Selatan
dan Semenanjung Korea yang tidak stabil,” kata Payne.
Nada serupa disampaikan pakar lain. “Ketakutan akan perkembangan
pesat ekonomi, militer dan strategi China kemungkinan menjadi pendorong utama
di balik penguatan militer,” kata James Johnson, profesor tamu di University of
Leicester (Inggris) dan penulis buku ‘The US-China Military & Defense
Relationship’. “Skala dan momentum berisiko memunculkan perlombaan senjata yang
mendestabilisasi.”
Faktor China telah diumbar habis-habisan. Sejarah perebutan
wilayah Arunachal Pradesh oleh China dari India dicuatkan. Sengketa Kepulauan
Senkaku (disebut Diaoyu oleh China) antara China dan Jepang pun muncul. China
didudukkan sebagai negara yang menakutkan dan mengancam.
“Jepang, Taiwan, Korea Selatan, India, Vietnam, dan
negara-negara lain telah mengekspresikan keprihatinan soal pengembangan militer
China yag berisiko mendestabilisasi. Ini mendorong penguatan militer,” Demikian
dituliskan oleh Scott N. Romaniuk dan Tobias Burgers di situs The Diplomat. (Is China Fueling An East Asian Arm Race?)
Para analis Jepang menilai China telah mendorong perlombaan
senjata. “Ada kenaikan besar untuk anggaran persenjataan. Jangan dilupakan
anggaran militer China jauh lebih besar dari pengumuman resmi,” demikian kata
Yoichi Shimada, seorang profesor bidang hubungan internasional dari Fukui
Prefectural University. (Asian Arms Race is On,
Stoked by China’s Booming Defence Budget, Japanese Analysts Say).(AP/AFP/REUTERS)
Sumber
: Kompas.id., 19 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar