Indonesia
Ekspor Kapal Strategic Sealift Vessel
Oleh harmen
batubara
Saat ini, belanja
alutsista negara dari industri strategis nasional baru sekitar 1,5 persen dari
sekitar Rp 150 triliun total anggaran pertahanan dan keamanan. Pemerintah perlu
lebih serius mendukung penyerapan produk dalam negeri demi memacu kemandirian industri
strategis nasional. DPR mendorong Kemenhan bersama TNI menyusun perencanaan
pengadaan alutsista jangka panjang lengkap dengan rincian spesifikasi kebutuhan
agar dapat dipenuhi industri strategis nasional. Dengan demikian, kata
Supiadin, industri strategis nasional bisa membuat riset, uji coba, dan
memproduksi alutsista sesuai kebutuhan TNI dan Polri yang setelah diproduksi
massal juga dapat diekspor.
Secara terpisah,
Direktur Utama PT Pindad
Silmy Karim (2016) mengatakan pentingnya pemerintah, TNI, dan Polri menyusun
kebutuhan alutsista jangka panjang. “Dengan perencanaan yang jelas, perusahaan
bisa riset dari sekarang, mempersiapkan SDM, dan dalam masa tertentu targetnya
terpenuhi. Namun, tentu harus ada jaminan produk yang diproduksi akan dibeli.
Jangan sampai industri dalam negeri sudah memproduksi, tetapi malah pesanannya
yang tidak berkelanjutan,” katanya.
Industri alat utama
sistem persenjataan atau alutsista nasional di nilai berbagai kalangan kian
maju di pasar global. Kemampuan industri strategis nasional untuk memproduksi
dan mengekspor alutsista terus tumbuh seiring meningkatnya pembelian oleh para
pengguna di dalam negeri, antara lain TNI dan Polri. Peran TNI dan Polri meningkatkan
belanja alutsista pada industri strategis nasional, seperti PT Pindad, PT PAL,
PT Dirgantara Indonesia, dan PT LEN Industri, sangat penting. Apalagi, Presiden
Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna pada 3 November 2014 mengarahkan,
untuk memotivasi produksi dalam negeri, pemerintah harus berani memasukkan
anggaran bagi industri pertahanan, seperti PT Pindad atau PT PAL, untuk
menaikkan omzet 30 persen hingga 40 persen per tahun.
Anggota Komisi I DPR
dari Fraksi Partai Nasdem,
Supiadin Aries Saputra, di Jakarta, Minggu (4/10/2015), mengatakan, pengguna
produk industri strategis nasional, seperti TNI, Polri, dan Kementerian
Pertahanan, belum optimal menyerap produk dalam negeri. Padahal, dari sisi
kemampuan produksi dan teknologi, industri strategis nasional sebenarnya mampu
memproduksi alutsista berkualitas tinggi. Fakta ini di peroleh “Dari hasil
peninjauan Komisi I DPR ke sejumlah perusahaan, industri dalam negeri kita
mampu. Tinggal bagaimana TNI mengomunikasikan kebutuhan jangka panjang mereka lalu
perusahaan nasional mengembangkan dan memproduksi sesuai proyeksi itu,” kata
Supiadin, yang juga purnawirawan TNI.
“Terkadang pengguna mau
beli produk dalam negeri, tetapi tidak ada anggaran. Di sisi lain, industri
dalam negeri mengeluh, menyediakan banyak peluru dan senjata, tetapi tidak
dibeli. Kuncinya pada komitmen pemerintah untuk menyediakan anggaran yang cukup
bagi sektor hankam,” kata Supiadin.
Wakil Ketua Komisi III
DPR dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Trimedya Panjaitan mencontohkan, Polri
membutuhkan kapal patroli cepat untuk pengamanan wilayah perairan. Namun, Polri
membeli kapal asing. Ia meminta Polri membuat perencanaan dan menyinkronkannya
dengan industri strategis nasional. “Supaya ke depan, industri nasional dapat
menyediakan kebutuhan Polri akan kapal cepat,” ujarnya.
Ekspor Kapal SSV Perdana
PT PAL Indonesia
meluncurkan kapal perang jenis STRATEGIC SEALIFT VESSEL atau SSV pesanan
Kementerian Pertahanan Filipina, Senin (18/1/2016), di Surabaya, Jawa Timur.
Ekspor kapal perang perdana ini merupakan momentum bagi industri strategis
Indonesia menjadi salah satu produsen kapal terkemuka di pasar global khususnya
Asean.
Dalam sejarahnya ”
Dahulu industri kapal yang kuat itu ada di Eropa. Lalu, karena buruh dan bahan
baku mahal, kekuatan industri kapal bergeser ke Jepang, lalu ke Korea, dan
sekarang ke Vietnam dan Indonesia. Ini momentum kita,” kata Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman Rizal Ramli di Surabaya.Selain diuntungkan dengan kondisi
ekonomi global, Indonesia juga dimudahkan dengan ada produksi baja di dalam
negeri untuk memasok bahan baku kapal. Dari sisi sumber daya manusia, para
pelaku industri kapal di Eropa b erpeluang besar bersedia bertukar ilmu dengan
teknisi dari Indonesia. Alasannya, dengan adanya kerja sama strategis dengan
negara Asia, industri kapal di Eropa bisa kembali kompetitif. Untuk dapat lebih
diakui negara lain, Rizal meminta PT PAL Indonesia agar dapat menyerahkan kapal
perang tersebut lebih cepat 2-3 minggu sebelum jadwal yang disepakati. Sesuai
dengan jadwal, kapal SSV itu akan di serahkan kepada Pemerintah Filipina pada
Mei 2016. Pelayanan yang baik diharapkan mendorong negara-negara lainnya ikut
memesan kapal kepada Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Direktur Utama PT PAL Indonesia Muhammad
Firmansyah Arifin mengatakan, Filipina memesan dua kapal SSV. Kapal SSV kedua
baru akan dipasang lunasnya. Kapal SSV merupakan kapal pengangkut dengan
panjang 123 meter, berkecepatan 16 knot dan dapat berlayar selama 30 hari. PT
PAL Indonesia juga telah melengkapi kapal perang tersebut dengan alat pemandu
misil yang canggih.
Kedua kapal SSV pesanan
Filipina itu bernilai 90 juta dollar AS (Rp 125,3 miliar). PT PAL mendapat
pesanan pembuatan kapal itu setelah memenangi tender internasional dan harus
bersaing dengan enam negara. Selain itu, tim dari Filipina juga harus
memastikan kualitas kapal produksi Indonesia dan melihat kinerja PT PAL selama
satu tahun. Kapal-kapal buatan Indonesia juga beberapa kali didemonstrasikan di
Filipina.
Semua proses pembuatan kapal SSV itu dimulai dengan pemotongan
baja pertama pada 22 Januari 2015 dan peletakan lunas kapal (keel laying) pada
5 Juni 2016. PT PAL juga bekerja sama dengan galangan Daewoo Shipbuilding and
Marine Engineering (DSME) Korea. Kapal SSV untuk Filipina itu mirip dengan KRI
Banda Aceh, tetapi dengan ukuran lebih kecil. Kapal berjenis landing platform
dock (LPD) atau Landing Shift Tank yang dapat mengangkut 621 orang.
Selain itu, kapal ini bisa mengangkut kapal patroli, helikopter, dan tank.
Kapal tersebut telah didoakan
dan diberi nama “Tarlac”. Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Menteri
Pertahanan Filipina Voltaire T Gazmin dan Kepala Staf Angkatan Laut Filipina
Laksamana Madya Caesar Taccad. Kapal perang ini mulai menjalani serangkaian
pengujian sebelum diserahkan kepada Filipina. Voltaire T Gazmin mengatakan,
kapal itu sangat dibutuhkan. “Kami sangat senang, kapal ini bisa digunakan
untuk tugas kemanusiaan,” ujarnya.
Pemerintah Juga Melakukan Pesanan
Selain meluncurkan kapal
SSV pesanan Filipina, dalam kesempatan itu, PT PAL Indonesia juga meluncurkan
kapal perusak kawal rudal (PKR) pesanan Kementerian Pertahanan RI. Kapal
tersebut juga menjadi kebanggaan PT PAL Indonesia karena merupakan kapal
canggih jenis fregat hasil kerja sama dengan perusahaan perkapalan asal
Belanda, Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS). Kapal PKR yang memiliki
panjang 105 meter itu dibangun dengan pendekatan modular karena lebih fleksibel
dan efisien. Dari 6 modul, sebanyak 4 modul dikerjakan di PT PAL dan sebanyak 2
modul dibangun di Belanda.
Kepala Staf TNI Angkatan
Laut Laksamana Ade
Supandi menjelaskan, armada kapal perusak kawal rudal TNI AL saat ini sudah
berusia sedikitnya 35 tahun sehingga sudah perlu diperbarui. “Kami butuh
sekitar 25 unit kapal kombatan dan itu sudah diajukan ke Kementerian
Pertahanan,” kata KSAL. Dalam kesempatan ini, Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu mengatakan, “Selain kapal, persenjataan untuk Angkatan Darat juga bisa
dibuat di dalam negeri. Dalam 5 atau 6 tahun ke depan, Indonesia juga bisa buat
pesawat tempur sendiri,” kata Menhan. Pindad memproduksi senapan mesin ringan
SS2, mortir tanpa suara melengking, peluru tembus baja, dan kendaraan tempur
Anoa. SS2 sudah diekspor ke Afrika dan Timur Tengah. (Sumber : Kompas, 5
oktober 2015 dan 19 Januari 2016)
Catatan : Artikel ini pernah dibuat di www.wilayahpertahanan.com 22 Januari 2016