Luhut Panjaitan, Medan
Geopolitik Baru
Oleh Luhut B
Pandjaitan
Lima tahun ke depan,
kita harus mewaspadai sebuah tatanan politik baru dunia dengan munculnya
beberapa pemimpin pemerintahan generasi baru bersamaan dengan semakin besarnya
pengaruh teknologi pada daya saing sebuah negara.Pengertian generasi
baru tidaklah selalu identik berusia muda, tetapi bisa juga karena tokoh
tersebut muncul dan melejit di luar perkiraan banyak kalangan, entah karena
sebelumnya hanya berkiprah di daerah atau belum pernah jadi elite politik di
tingkat nasional. Di kawasan Asia Tenggara, Presiden Joko Widodo dan Presiden
Filipina Rodrigo Duarte masuk kategori tersebut. Meskipun keduanya berbeda usia
cukup jauh, keduanya bukan pejabat di pusat pemerintahan, melainkan datang dari
”pinggiran”.
Para pemimpin politik
generasi baru umumnya melakukan gebrakan atau mengambil keputusan politik di
luar norma umum (out of the box) dan tindakannya berdampak strategis, baik di
kawasan maupun di tingkat dunia, tergantung dari siapa aktor bermain. Namun,
ini bisa memunculkan gesekan baru di antara dua negara yang sebelumnya tak ada
atau tak timbul di permukaan. Graham Allison dari John F Kennedy School di
Harvard menyebutnya ”Thucydides’s Trap” dalam bukunya teranyar, Destined for
War (2017). Thucydides adalah sejarawan Yunani kuno yang mengamati penyebab
meletusnya Perang Peloponnesia antara bangsa Athena dan Sparta pada 5 SM.
Kesimpulannya, kalau ada kekuatan (baca: negara) baru muncul dan dianggap bisa
mengancam kekuatan yang ada (ruling power), pasti terjadi bentrok dan kekerasan
dari yang merasa terganggu hegemoninya.
China yang muncul
sebagai kekuatan baru di dunia mengubah geopolitik masa kini. Daftar negara
yang berhubungan erat secara politik dan ekonomi kian banyak, dan pada sisi
lain AS kian ditinggalkan dan dianggap masa lalu. Presiden Xi Jinping dalam
pidato awal 2018 secara tegas mengatakan, ”China dengan positif mendorong
pembangunan bersama Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt, One Road/OBOR) selalu
menjadi pembangun bagi perdamaian dunia, kontributor perkembangan global, dan
pemelihara tata tertib internasional….” Diakui atau tidak, keadidayaan AS kini
meredup dan Washington terperangkap ”Jebakan Thucydides”.
Di kawasan lain,
tindakan agresif Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (32) di dalam
negeri dan langkah politik luar negerinya membuat peta kawasan Timur Tengah
berubah. Kunjungan Raja Salman ke China dan Rusia pertama kali dalam sejarah
hubungan diplomatik mereka (diikuti kontrak dagang dan militer dalam jumlah
besar) adalah bagian dari kebijakan baru Arab Saudi yang selama ini sangat
konservatif dan berkiblat ke AS. Arab Saudi sudah lama tak nyaman dengan Iran
karena penyebaran paham Syiah dan pengaruh politik mereka di Irak, Suriah,
Yaman, dan Lebanon; kini mendekati Rusia dan China yang dikenal dekat dengan
Iran.
Pangeran Salman
(dikenal sebagai MBS) juga membekukan hubungan politik dan ekonomi dengan
Qatar, padahal mereka sama-sama duduk di Dewan Kerja Sama Teluk. Dampaknya,
Emir Qatar Sheik Tamin al-Thani (37) kemudian bersekutu erat dengan Iran dan
Turki yang punya kepentingan strategis sejalan di kawasan itu mengingat Qatar
yang hanya sepertiga luas Jawa Barat punya cadangan gas ketiga terbesar di
dunia setelah Rusia dan Iran. Qatar juga aktif mencari sekutu dagang baru dan
kawan politik yang sejalan dengan kepentingannya di Teluk dan di luar kawasan
itu, seperti Indonesia.
Turki tadinya, seperti
Arab Saudi, adalah aliansi tradisional AS, kini di bawah Presiden Recep Erdogan
menjadi sangat aktif di kawasan dan kebijakannya tak selalu sejalan dengan AS.
Ungkapan populer di Arab, ”musuh dari kawanku adalah musuhku juga”, masih
relevan hingga kini dan terlihat bagaimana Erdogan amat aktif dalam diplomasi
masalah Palestina dengan antara lain jadi tuan rumah KTT Darurat OKI mengenai
sikap AS yang memindahkan kedubesnya di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Baik
Turki maupun Irak punya masalah serupa dengan suku Kurdi.
Hanya kondisi politik
dan ekonomi dalam negeri yang bisa membuat Arab Saudi, Iran, dan Turki
mengurangi ambisi persaingan pengaruh di kawasan itu, dan celakanya ketiga
negara masih menyimpan bom waktu di dalam negeri masing-masing. Gerakan
reformasi MBS memang menarik simpati generasi muda, tetapi membuat kelompok
tradisionalis, bangsawan yang tersingkir dan kaum Wahabi, tak senang.
Di Iran, aksi-aksi unjuk
rasa besar dengan alasan ketidakpuasan ekonomi oleh kaum muda tak bisa
dipandang enteng dan di Turki tangan besi tak serta-merta menjamin keamanan
dari bom dan teror. Gagalnya Arab Spring (Musim Semi Demokrasi) di Tunisia,
Libya, dan Mesir menunjukkan dinamika dalam negeri bisa menunjukkan hasil tak
terduga dan optimisme munculnya demokrasi dikalahkan oleh pertimbangan
pragmatis penguasa yang baru.
Teknologi dan
kekuasaan
Perkembangan teknologi
berpengaruh pada nilai tawar dalam politik internasional. Menurut mantan Menlu
AS Henry Kissinger dalam buku World Order (2014), yang pertama adalah teknologi
senjata nuklir. Monopoli teknologi itu pecah tahun 1949 ketika akhirnya Uni
Soviet berhasil melakukan percobaan bom nuklir pertamanya. Sejak itu anggota ”kelab
nuklir” bertambah banyak, entah karena teknologinya dibagi dengan sukarela,
dicuri, atau dibeli dengan cara tidak sah. Yang jelas sekarang Inggris,
Perancis, Israel, China, India, Pakistan, dan Korea Utara, serta Iran sampai
tingkatan tertentu, punya teknologi senjata nuklir.
Andaikata Korea Utara
tak punya senjata nuklir, pastilah leverage Kim Jong Un (33) terhadap AS tak
bisa seperti sekarang. Apabila Iran tak mendalami teknologi tersebut, negara
itu tentu tidak akan dianggap sebagai pesaing yang menakutkan oleh Arab Saudi
yang, walau kaya raya, tidak punya minat pada teknologi senjata nuklir.
Kedua, menurut
Kissinger, adalah teknologi informasi (TI). Ia melihat bagaimana pilpres di AS
yang mengoptimalkan TI sejak kampanye Obama pertama kali mengubah cara-cara dan
keterlibatan tatap mata menjadi kontes antarpakar internet di dunia maya.
Marketing of ideas dijalankan mesin-mesin yang mampu menyusup ke dalam pikiran
dan hati (hearts and mind) individu secara massal dan fungsi kandidat sekadar
pencari dana kampanye ketimbang pengelaborasi isu-isu politik.
TI juga telah mengubah
proses demokrasi di banyak negara. Jika ada kelompok masyarakat yang hendak
memberikan tekanan kepada pemerintahnya untuk berubah menjadi demokratis,
kelompok masyarakat itu cukup menyebarluaskan tuntutannya dan pesan-pesan
demokrasi secara digital, dan biasanya negara-negara Barat (termasuk AS) akan
cepat merespons dengan dukungan politik dan juga dana pada ”gerakan digital”
semacam yang dilakukan anak-anak muda di Iran sekarang, apa pun motif dukungan
tersebut.
Akan tetapi, jangan
lupa, teknologi canggih punya sisi lain yang memprihatinkan. Martin Ford dalam
buku The Rise of the Robots (2016) mengatakan, akibat kemajuan teknologi, ada
enam perkara besar yang dampaknya terasa di masyarakat, antara lain, pertama,
kenaikan pendapatan masyarakat berpenghasilan tetap menjadi stagnan. Kedua,
menurunnya lapangan kerja baru, sementara waktu tunggu untuk mencari pekerjaan
semakin lama. Ketiga, para lulusan baru perguruan tinggi kian sulit mencari
pekerjaan. Semua karena munculnya teknologi robotik yang kian canggih yang
mampu menggantikan kerja manusia dengan produktivitas berlipat dan biaya
menurun drastis karena robot tidak pernah menuntut kenaikan gaji!
Menurut Ford, tahun
1998, para pekerja di AS secara total bekerja selama 194 miliar jam. Lima belas
tahun kemudian, nilai hasil kerja itu tumbuh menjadi 3,5 triliun dollar AS,
naik 42 persen dibandingkan 15 tahun sebelumnya, tetapi jam kerjanya ternyata
tetap 194 miliar jam. Bisa disimpulkan, dalam 1,5 dekade tak ada pertambahan
jam kerja (no growth on man-hours) meski produktivitas naik akibat efisiensi
dan penggunaan robotik besar-besaran, padahal penduduk AS bertambah 40 juta
orang dan ribuan lapangan kerja baru tercipta. Penggunaan teknologi robotik
secara masif membuat China jadi salah satu negara manufaktur termaju di dunia.
Namun, selain itu, ada
yang tak disebutkan Kissenger, tetapi punya dampak strategis, yaitu teknologi
gas serpih (shale gas) di AS. Dengan teknologi yang kian hari kian canggih dan
membuat biayanya semakin murah, AS berubah dari negara importir neto minyak
jadi eksportir minyak. Menurut Institute for Energy Research (IER, 2016)
cadangan minyak AS sekarang 3,5 kali cadangan Arab Saudi berkat gas serpih
tadi. Ini salah satu alasan mengapa Presiden Trump berani mengambil keputusan
kontroversial memindahkan kedubesnya tanpa banyak mempertimbangkan pandangan
sekutu-sekutunya di Timteng.
AS tak dibebani lagi
tugas untuk mengamankan kawasan yang kaya minyak itu, seperti pada era pra-gas
serpih di mana pasokan minyak dari Teluk adalah sumber utama untuk menggerakkan
perekonomiannya. Kehadiran mereka di kawasan tersebut kini karena ada komitmen
politik lama dan menjaga keseimbangan belaka, terutama karena faktor Iran. Sementara
para penguasa di Teluk sadar betul ”kartu minyak” tak laku untuk dimainkan lagi
untuk menekan AS, lebih-lebih pada masa harga minyak merosot tajam dari 112,70
dollar AS pada 2012 menjadi hanya sekitar 50 dollar AS per barrel sekarang ini,
yang menyebabkan defisit pada APBN.
Arab Saudi mencoba
mengalihkan dana APBN-nya, yang 90 persen dari minyak, ke sumber lain yang
sebelumnya tak pernah terpikirkan. Beberapa minggu lalu untuk pertama kali
dalam sejarah, Arab Saudi menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 5 persen
pada semua jenis jualan dan sekaligus menaikkan harga BBM kendaraan di dalam
negeri (Kompas, 5/1). Implementasi PPN pada 2018 akan memberikan pemasukan 21
miliar dollar AS, cukup signifikan untuk menambal defisit APBN-nya,
negara-negara Teluk lain juga dalam tahun ini akan menerapkan PPN.
Posisi Indonesia
Kita di Indonesia
harus pandai-pandai membaca peta baru ini dan lincah berselancar pada era ini
untuk kepentingan nasional kita. Bung Hatta di depan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat, 2 September 1948, membacakan pidatonya yang amat
terkenal ”Mendayung di antara Dua
Karang”. Ia antara lain mengatakan, ”Tiap-tiap orang di antara kita tentu ada
mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi
perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi
hendaknya didasarkan kepada ’realitiet’ kepada kepentingan negara setiap
waktu….”
Istilah ”kepentingan
negara” yang didengungkan 70 tahun lalu sangat relevan dengan zaman sekarang
karena atas nama ”kepentingan negara”, kita membina hubungan baik dan menerima
investasi ekonomi dengan negara mana pun. Atas nama ”kepentingan negara” pula,
politik luar negeri yang bebas dan aktif meluweskan posisi Indonesia dekat
dengan sebanyak mungkin negara tanpa takut dicap sebagai anteknya. Di kawasan
ini hanya Indonesia dengan jumlah penduduk 262 juta dan punya potensi ekonomi
yang besar bisa menjadi counterweight bagi China, tetapi sekaligus mitra
ekonomi baru bagi negara itu (Howard W French, 2017).
Presiden Jokowi
memberikan arahan yang amat jelas mengenai siapa saja yang ingin berinvestasi
di Indonesia. Pertama, teknologi yang dibawa ke Indonesia harus ramah
lingkungan. Kedua, sebanyak mungkin menggunakan tenaga serta keahlian bangsa
Indonesia. Ketiga, investor harus mendidik tenaga-tenaga Indonesia menjadi
tenaga yang ahli di bidangnya. Keempat, harus ada alih teknologi dalam periode
waktu tertentu.
Ini syarat-syarat yang
jelas melindungi kepentingan negara dan jauh dari kepentingan pribadi atau
golongan. Karena itu, sangat disayangkan masih ada pihak-pihak yang mencurigai
hubungan ekonomi yang baik kita dengan satu atau dua kekuatan ekonomi baru di
dunia sebagai ancaman ketimbang peluang. Di Indonesia, tiga tahun terakhir
banyak kalangan lebih senang menyebarkan sikap- sikap pesimistis dan malahan
sinis terhadap apa pun yang dilakukan pemerintah, sering tanpa argumentasi yang
obyektif.
Pada era media sosial,
penyebaran informasi yang tidak tepat malahan sering dianggap sebagai kebenaran
oleh pembacanya, dan sayangnya pesimisme justru tumbuh dari data yang tidak
benar tersebut meski banyak ”generasi now” sulit mengerti mengenai hubungan
antara ancaman komunisme dan masa kelam Indonesia yang dulu. Apabila kita rela
dan sepakat tak membuang energi untuk bertengkar soal isu-isu yang tak
substansial, yakinlah tenaga berlebih itu bisa digunakan untuk membangun
Indonesia yang lebih baik. Tenaga yang berlebih sangat diperlukan karena untuk
mengatasi ketertinggalan, Indonesia tak cukup melakukan lompatan katak
(frog-leap), tetapi harus melakukan lompatan kuantum (quantum leap). Lompatan
jauh ke depan. Luhut B Pandjaitan,
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI
Sumber : Kompas.id, 22 Januari 2018