Minggu, 24 Mei 2015

Pertahanan Kedaulatan Negara, Pertahanan Poros Maritim Nusantara



http://nulisbuku.com/books/view_book/7332/panduan-tes-masuk-prajurit-tni
Pertahanan Kedaulatan Negara, Pertahanan Poros Maritim Nusantara

Oleh harmen batubara

Indonesia telah berhasil  melahirkan konsep negara kepulauan (archipelagic state) sebagai jati diri bangsa bahari. Melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957, Indonesia berhasil memasukkan konsep negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Konsep yang menjadikan kantong-kantong laut di antara pulau-pulau menjadi ”penyatu” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia telah memperluas wilayahnya dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.025 km2. Sayangnya keberhasilan itu belum diikuti oleh keinginan untuk  mengembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi wilayah kepulauan itu sebagaimana mestinya hingga munculnya presiden ke 7 Indonesia. Padahal semua tahu potensinya sungguh luar biasa. Sebagai contoh-Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa  potensi ekonomi sektor kelautan  bisa mengganti penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi. Pendapatan dari sektor laut bisa mencapai 18,7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 200 triliun. Ini dikatakannya berdasarkan pengalamannya di Pangandaran yang bisa mengekspor 20-30 juta dollar AS per tahun meskipun garis pantainya hanya sepanjang  91 kilometer, sementara garis pantai Indonesia panjangnya 85.000 kilometer. (Koran Tempo, 9/11/2014)
107 Tahun Kebangkitan Nasional

Ketika Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional pemerintah waktu itu mengagas apa yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk  10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Sebagai masterplan MP3EI jelas sangat konprehensif, dengan pembangunan 6 koridor nasional yang seluruhnya bertumpu pada matra darat. Terobosan Bersejarah Penyusunan MP3EI: Awal Perjalanan Percepatan Transformasi Ekonomi Indonesia. MP3EI memiliki semangat Not Business as Usual. Semangat ini tercermin dari sejak proses penyusunannya di mana rumusan strategi dan kebijakan yang awalnya disusun oleh Pemerintah diperkaya dengan mendengarkan pandangan dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, terutama dari dunia usaha, melalui serial dialog intensif, interaktif dan partisipatif. Kita melihat dari kacamata Kebangkitan bangsa ada kelanjutan antara MP3EI dengan Tol Laut Maritim Indonesia. Kalau konsep MP3EI itu bertumpu pada darat sementara Tol Laut Maritim menngembangkan potensi itu lewat laut.
Dalam kacamata MP3EI potensi laut juga sangat jelas menonjol dan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Dalam pandangannya potensi maritim Indonesia terlihat dari : Indonesia Sebagai Negara Maritim Total panjang garis pantai Indonesia yang terbentang sepanjang Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan di wilayah kecil lainnya. Melekat dengan Kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan Selat Makassar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3). Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya.
MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC maupun ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) tersebut di atas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas maritim ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya Kawasan Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan  ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia perlu memanfaatkan keberadaan SLoC dan ALKI sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.
Garis Depan Konektivitas Global Indonesia Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara optimal keberadaan SLoC dan ALKI tersebut di atas sebagai modalitas utama percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Konsepsi  tersebut akan menjadi tulang-punggung yang membentuk postur konektivitas nasional dan sekaligus diharapkan berfungsi  menjadi instrumen pendorong dan penarik keseimbangan ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi dapat juga menciptakan membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid. Dalam konsep MP3EI wilayah perbatasan RI-PNG menjadi bagian pembangunan koridor 6 perpaduan pengembangan Pusat Ekonomi Kepulauan Maluku dan Papua. Hal yang sama tidak terlihat di Koridor 3 Kalimantan, wilayah perbatasan sama sekali tidak tersentuh.
Tol Laut Maritim Nusantara
Berbeda dengan MP3EI yang mempunyai Blue Print, maka Tol Maritim yang kita tahu baru dari berbagai sumber khususnya tokoh-tokoh tertentu. Misalnya pada saat Presiden Joko Widodo melakukan lawatannya ke Jepang dan Tiongkok kita dengar akan menawarkan peluang investasi untuk membangun 24 pelabuhan yang menjadi pilar proyek infrastruktur tol laut. Begitu juga kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago waktu itu. Andrinof mengatakan, hingga saat ini pemerintah masih menunggu minat serius investor untuk berpartisipasi dalam proyek maritim itu, yang secara total dapat menghabiskan Rp 700 triliun, termasuk belanja pengadaan kapal.
Selain tol laut, kata Andrinof, Presiden juga akan menawarkan investasi untuk proyek infrastruktur jalan raya dan pembangkit listrik dalam lawatannya ke dua negara raksasa di Asia itu. Andrinof tidak menampik keberangkatan Jokowi ke Tiongkok juga karena misi serupa negara Tirai Bambu itu, yang ingin membangun Jalur Sutera, sebuah jalur konektivitas tata niaga dari berbagai wilayah di Asia ke Eropa dan Afrika."Kami ingin lihat dulu apa dari Jepang dan Tiongkok," ujarnya. Kebutuhan investasi untuk tol laut yang diperkirakan Rp 700 triliun itu untuk jangka waktu lima tahun dan akan diupayakan dari investasi pemerintah, BUMN dan BUMD serta swasta. Berdasarkan catatan Bappenas mengenai konsep awal tol laut, sebanyak 24 pelabuhan itu akan dibagi menjadi pelabuhan "hub", pelabuhan utama, dan pelabuhan pengumpul yang mampu mendistribusikan barang ke kota-kota kecil.
Sebanyak 24 pelabuhan itu adalah Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Pangkal Pinang, Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Batam, dan Pelabuhan Padang. Kemudian Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Cilacap, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Lombok, Pelabuhan Kupang, Pelabuhan Banjarmasin, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Palangka Raya, Pelabuhan Maloy dan Pelabuhan Bitung,. Selanjutnya adalah Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Ambon, Pelabuhan Halmahera, Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Jayapura dan Pelabuhan Merauke.  Selain sarana fisik 24 pelabuhan strategis, pemerintah juga berencana membangun infrastruktur penunjang tol laut, "short sea shipping", fasilitas kargo dan kapal, pengembangan pelabuhan komersial, dan pembangunan transportasi multimoda. Namun pada 2015, pemerintah fokus memulai pembangunan tol laut dari Indonesia Timur.
Akan tetapi satu hal yang menggembirakan adalah bahwa 24 pelabuhan yang menjadi bagian Tol Laut tersebut adalah pelabuhan-pelabuhan yang ada di ke 6  koridor pembangunan MP3EI tersebut. Namun demikian kalau dilihat dari kacamata perbatasan, kedua konsep tersebut (MP3EI dan Tol Laut) di wilayah Kalimantan sama sekali belum menjangkau wilayah perbatasan dan bahkan tidak terkoneksi dengan semangat kerja sama regional Asean yang meliputi Indonesia-Malaysia-Berunai dan Philipina. Jadi kalau kita kaitkan dengan semngat kebangkitan Bangsa pola pembangunan NKRI masih terlihat kesinambungannya antara MP3EI dengan Tol laut Maritim. Kalau dahulu eranya umumnya di darat, maka kini beralih ke laut. Harapan kita pembangunan itu bisa terus berkelanjutan dan mewujud serta tidak melupakan wilayah perbatasan. Selama ini kita selalu mendengarkan bahwa perbatasan itu merupakan halaman depan bangsa. Tapi tiba di konsep sama sekali tidak terikutkan.
Pengamanan Kedaulatan Negara Kepulauan
Konsep negara kepulauan terasa sekali pengaruhnya dalam pembangunan kekuatan pertahanan nasional (TNI) yang mempertahankan Nusantara. Selama ini kita seolah melihat konsep kekuatan trimarta (TNI) kita mengemuka menjadi kekuatan wilayah darat yang terkotak-kotak ke dalam konsep pertahanan Teritorial dalam belasan Komando Kewilayahan. Padahal sejatinya kalau kita mengacu pada kekuatan pertahanan kita di era tahun 60an khususnya di era sebelum Orde Baru, kekuatan TNI ada di laut dan di udara.  Masa itu, kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di seluruh belahan bumi timur-selatan. Kekuatan utama Indonesia di saat itu terlihat dari salah satu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Sovyet kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi, dinamai KRI Irian, dengan bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebanyak 1270 orang termasuk 60 perwira. Sovyet, tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain manapun, kecuali Indonesia. (bayangkan kapal-kapal terbaru Indonesia sekarang dari kelas Sigma hanya berbobot 1600 ton).

Demikian pula dengan angkatan udara Indonesia, juga menjadi salah satu skuadron udara paling ditakuti di dunia sat itu, yang terdiri dari lebih dari 100 pesawat tercanggih di zamannya yang terdiri dari : 20 pesawat  pemburu supersonic MiG-21 Fishbed ; 30 pesawat MiG-15; 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17; dan 10 pesawat supersonic MiG-19. Pesawat MiG-21 Fishbed misalnya adalah salah satu pesawat supersonic tercanggih di dunia saat itu, yang telah mampu terbang dengan kecepatan mencapai Mach 2. Pesawat ini bahkan lebih hebat dari pesawat tercanggih Amerika kala itu, pesawat supersonic F-104 Starfighter dan F-5 Tiger. Sementara Belanda sendiri masih mengandalkan pesawat-pesawat peninggalan Perang Dunia II seperti P-51 Mustang. Indonesia juga masih memiliki armada 26 pembom jarak jauh strategis Tu-16 Tupolev. Fakta ini membuat Indonesia menjadi salah satu dari hanya 4 bangsa di dunia yang mempunyai pesawat pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia, dan Inggris. Pangkalannya terletak di Lapangan Udara Iswahyudi, Surabaya.

Kalau kita mengacu pada negara kepulauan, secara kasat mata Indonesia sesungguhnya membutuhkan lima Armada (terserah soal namanya) Pangkalan Utama TNI-AL  dengan lokasi Belawan, Natuna, Surabaya, Makassar dan Sorong hal yang sama untuk TNI-AU. Dengan demikian kita akan melihat 24 pelabuhan utama yang jadi tulang punggung poros maritim itu akan jadi satu keutuhan dengan pertahanan Laut, Udara dan Darat nasional kita. Dan kita percaya dengan pola seperti itu TNI kita akan mampu menjaga kedaulatan bangsa. Dan kalaupun suatu saat konsep pertahanan Nusantara  Jebol maka masih ada belasan komando kewilahan di darat yang  akan mampu berperang secara mandiri sampai tetes darah terahir.

Senin, 18 Mei 2015

Ancaman Anggaran Pertahanan Tiongkok



 Ancaman Anggaran Pertahanan Tiongkok

Oleh  Darma Agung

Perbandingan anggaran pertahanan Tiongkok dengan negara lainnya dilihat dari berbagai aspek menunjukkan bahwa anggaran pertahanan Tiongkok memang cukup besar. Meskipun hal tersebut merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan penguatan sektor anggaran pertahanan merupakan kebijakan Tiongkok terkait stabilitas kawasan dan integritas teritorial. Akan tetapi, pengaruhnya terhadap negara lain merupakan ancaman tersendiri terhadap stabilitas kawasan. Menilik data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran pertahanan Tiongkok mengalami peningkatan secara signifikan yang pertumbuhannya melesat sejak 2005 hingga sekarang. Peningkatan tersebut telah melampaui anggaran pertahanan Jepang yang selama ini mendominasi anggaran pertahanan terbesar di kawasan sejak pasca-Perang Dingin (1989).

Kesenjangan antara anggaran pertahanan Tiongkok dengan negara lain di kawasan terlihat sangat lebar. Bahkan, sejak 2011, baik secara nominal maupun konstan, anggaran pertahanan Tiongkok merupakan anggaran terbesar jika dibandingkan dengan total gabungan anggaran pertahanan Jepang, Korea Selatan, India, dan Vietnam, negara-negara yang selama ini menjadi rival tradisional Tiongkok. Namun, secara rasio persentase terhadap PDB, anggaran belanja pemerintah, dan per kapita, anggaran pertahanan Tiongkok masih kalah apabila dibandingkan dengan negara lainnya. Rata-rata persentase anggaran pertahanan Tiongkok terhadap PDB sejak pasca-Perang Dingin cenderung stabil, yaitu 1,97 persen. Rata-rata persentase tersebut lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata persentase anggaran pertahanan Brunei, Pakistan, Singapura, Korea Selatan, India, Vietnam, terhadap PDB setiap negara, dan hanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan Australia (1.93 persen). Jika diubah tahun dasarnya ke 2000, posisi Tiongkok hanya kalah dari Singapura, Pakistan, Brunei, India, dan Korea Selatan.

Hanya, jika menggunakan acuan rata-rata persentase anggaran pertahanan terhadap anggaran belanja pemerintah sejak 1989, persentase anggaran pertahanan Tiongkok (11 persen) hanya lebih rendah dari Singapura (24 persen) dan Pakistan (18 persen). Sementara India memiliki rata-rata persentase yang sama dengan Tiongkok. Tiongkok sering kali menggunakan luas wilayahnya sebagai dalih besaran anggaran pertahanannya dan menggunakan rasio anggaran pertahanan per kapita untuk menunjukkan bahwa anggaran pertahanan mereka relatif kecil dan tidak pantas dianggap sebagai ancaman oleh negara lainnya. Penyangkalan juga didasari atas ketiadaan hubungan sebab-akibat jika dikaitkan pengadaan senjata oleh Tiongkok dengan pengadaan senjata yang dilakukan negara lain. Di lain sisi, banyak yang menyoroti perubahan anggaran pertahanan Tiongkok yang menaikkan anggaran untuk kepentingan riset dan kesejahteraan prajuritnya.

Sejarah konflik
Pendekatan rivalitas berdasarkan pola sejarah sengketa militer antarnegara sejak 1945 menunjukkan Tiongkok merupakan negara dengan jumlah konflik terbesar dengan negara tetangga di kawasan.Jika pola rivalitas antarnegara ini kemudian diasumsikan sebagai pola musuh potensial sebuah negara, secara jejaring anggaran pertahanan di kawasan, Tiongkok merupakan ancaman bersama. Anggaran pertahanan Tiongkok dipersepsikan sebagai ancaman karena hubungan antarnegara di Asia cenderung dipengaruhi oleh pola permusuhan, rivalitas, dan sejarah konflik pada masa lalu, yang kemudian diinterpretasi sebagai persepsi ancaman dan ketakutan. Pada negara yang memiliki hubungan anggaran pertahanan, sengketa wilayah dan hubungan tidak harmonis pada masa lalu yang belum terselesaikan turut memperburuk persepsi suatu negara terhadap negara lain sehingga setiap upaya memperkuat negara di sektor militer dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang mengancam.
.
 
Dari hasil riset pribadi, anggaran pertahanan Tiongkok diketahui memengaruhi anggaran pertahanan Korea Selatan, India, Pakistan, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Indonesia, Australia, sekaligus menempatkan Tiongkok sebagai sentralitas jejaring anggaran pertahanan di kawasan. Hubungan sebab-akibat ditunjukkan pada anggaran pertahanan Tiongkok dengan Australia, Tiongkok dengan Pakistan, Tiongkok dengan Korea Selatan, dan Tiongkok dengan Vietnam. Hubungan anggaran pertahanan Tiongkok dan Pakistan merupakan pengecualian karena kedua negara terlibat dalam berbagai kerja sama di bidang pertahanan. Ketidakpastian dari intensi dibalik peningkatan anggaran pertahanan, diikuti kemajuan teknologi militer, penguatan pertahanan maritim, dan berbagai aksi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan merupakan sorotan terhadap Tiongkok sebagai ancaman di kawasan atau bukan.

Pakar hubungan internasional, Profesor Amitav Acharya, menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap Tiongkok didasari atas ketidakpastian arah perkembangan Tiongkok sebagai kekuatan besar regional dan global "... uncertainty in the form of Tiongkok's behaviour once she attained her great power status. Will she conform to international or regional rules or will she be a new military power which acts in whatever ways she sees fit." Proses sekuritisasi isu anggaran pertahanan kemudian melahirkan pemahaman kolektif terkait negara yang menjadi ancaman bersama di kawasan. Hal ini kemudian ditunjukkan dalam hubungan anggaran pertahanan antarnegara, di mana anggaran pertahanan suatu negara dimaknai sebagai ancaman eksternal, seperti yang terjadi pada Tiongkok. Darma Agung, Pemerhati Isu Pertahanan; Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia ( Sumber : Kompas 11 Mei 2015)

Selasa, 12 Mei 2015

Desain Sistem Jaminan Sosial TNI/Polri



http://www.kqzyfj.com/click-7123713-11343840-1430412086000
Desain Sistem Jaminan Sosial TNI/Polri

Oleh : Lukman Cahyono

MUNGKIN kita lebih sering mendengar istilah BPJS ketimbang SJSN. Bahkan, BPJS yang dimaksud sering kali merujuk pada BPJS Kesehatan. Ya, BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, sedangkan SJSN adalah sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU 40/2004. Sederhananya, SJSN adalah programnya dan BPJS adalah badan yang menyelenggarakannya.


Terdapat beberapa isu yang cukup menarik dari berlakunya dua UU tersebut. Khususnya bagi anggota TNI/Polri. Salah satu isu yang paling krusial adalah perbedaan antara manfaat yang diberikan kelima jaminan dalam UU SJSN dan manfaat-manfaat yang selama ini diberikan bagi anggota TNI/Polri. Manfaat yang diberikan SJSN sepertinya lebih sedikit daripada manfaat yang diberikan sebelum ini. Kemudian, isu lainnya adalah pengalihan program pembayaran pensiun dan program Asabri dari PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029. Dalam hal ini, PT Asabri diperintah membuat road map transformasi yang harus selesai pada 2014. Perlu diketahui, bagian program pembayaran pensiun dan program Asabri yang dialihkan adalah bagian yang sesuai dengan UU SJSN. Ini cukup menarik di mana dalam road map transformasinya, PT Asabri mengklaim tidak ada satu pun bagian dua program tersebut yang sesuai dengan UU SJSN.

Adapun BPJS Ketenagakerjaan sempat mengklaim bahwa bukan hanya bagian program yang sesuai dengan UU SJSN yang dialihkan, tapi juga aset dan kelembagaannya. Tentu saja hal itu membuat Asabri bersikap defensif dengan mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang akan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan, PT Asabri dan PT Taspen ingin penyelenggaraan program SJSN Ketenagakerjaan bagi para pesertanya dijalankan oleh mereka, bukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Sebenarnya, bila kita cermati, BPJS adalah badan yang fungsinya menyelenggarakan program jaminan sosial sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Dalam UU SJSN, jaminan sosial adalah program yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat. Pertanyaannya adalah apakah PT Asabri (termasuk PT Taspen) bisa dianggap sebagai BPJS? Sebagaimana kita ketahui, dua badan tersebut hanya menyelenggarakan program-program bagi para aparatur negara, bukan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dua lembaga itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai BPJS sehingga tidak dapat menyelenggarakan program-program SJSN Ketenagakerjaan yang hanya bisa diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Begitu pula sebaliknya, BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat menyelenggarakan program-program di luar program-program SJSN Ketenagakerjaan. Sebab, sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPJS Ketenagakerjaan hanya menyelenggarakan program-program SJSN Ketenagakerjaan. Bila kita baca pengalaman-pengalaman internasional, ada skema yang cukup menarik yang mungkin bisa diterapkan, yaitu skema multipilar. Skema multipilar itu diprakarsai Bank Dunia yang diterapkan pada beberapa negara. Skema tersebut sama dengan konsep social security staircase yang diprakarsai ILO. Pada skema multipilar, seluruh pekerja, termasuk tentara/polisi, mengikuti program jaminan sosial yang memberikan manfaat dasar dengan besaran yang sama (tidak dibeda-bedakan berdasar profesi) yang disebut sebagai pilar 1 yang bersifat wajib bagi seluruh warga negara.

Tujuan program jaminan sosial adalah peserta tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, pilar 1 adalah SJSN yang diselenggarakan kedua BPJS. Di atas pilar 1, pemberi kerja dapat memberikan program tambahan sebagai daya tarik pasar kerja dan atau mempertahankan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan si pemberi kerja dan pegawai yang disebut sebagai pilar 2 yang bersifat wajib bagi pegawai si pemberi kerja yang menyelenggarakannya. Dalam konteks manfaat tambahan bagi anggota TNI/Polri, program pilar 2 dapat diselenggarakan PT Asabri. Posisi teratas (pilar 3) diisi perusahaan-perusahaan asuransi komersial di mana apabila peserta menginginkan manfaat yang lebih dapat mengikuti program-program komersial tersebut secara sukarela. Prinsipnya, dalam satu kesatuan pilar 1 dan pilar 2, total manfaat bagi anggota TNI/Polri yang diberikan selama ini tidak boleh berkurang.

Walaupun demikian, terdapat beberapa tantangan dalam menjalankan skema multipilar tersebut bagi anggota TNI/Polri. Tantangan pertama: apakah secara finansial pemerintah selaku pemberi kerja bagi anggota TNI/Polri mampu menyelenggarakan program dua pilar? Kemudian, apakah memang tidak ada bagian program pembayaran pensiun dan program Asabri yang sesuai dengan UU SJSN? Tantangan berikutnya adalah bagaimana perlindungan data/informasi anggota TNI/Polri yang mengalami kecelakaan kerja pada operasi-operasi khusus yang bersifat rahasia?

Bila memang skema multipilar akan dijalankan bagi anggota TNI/Polri, pemerintah harus meredesain program-program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri yang selama ini diberikan. Terutama bagian program yang tidak dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan karena tidak sesuai dengan UU SJSN. Redesain itu tentu mensyaratkan perubahan beberapa peraturan perundang-undangan terkait seperti UU 6/1966 dan PP 67/1991. Apakah hal tersebut akan dilakukan pemerintah ke depan atau adakah skema yang lain? Kita lihat saja nanti. ( Sumber : Jawa Pos, 11 Mei 2015 ;  Lukman CahyonoKomisaris Polisi, Pasis Sespimmen Polri Dikreg 55)