Jumat, 30 Oktober 2015

Bela Negara Dalam Kacamata HAM

Bela Negara dan HAM
Oleh Hendardi

Kecuali berpegang pada Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945, tak ada legitimasi lain yang dapat menjelaskan proyek "bela negara" yang dibuka pada 22 Oktober lalu oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Sebanyak 4.500 calon pembina nasional dari 45 kabupaten/kota telah disasarkan dengan banderol total Rp 45 miliar.Selain tanpa berdasarkan UU, tujuan bela negara juga terlalu umum, yaitu membentuk warga negara yang setia dan siap berkorban bagi bangsa dan negara. Maka, sangatlah penting untuk membandingkan kehendak bela negara dengan pembelaan hak asasi manusia (HAM). Lagi pula, situasi politik telah berubah dan kediktatoran militer Soeharto telah berakhir.

Asal-usul bela negara di Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 mengawali peralihan dari rezim fasisme-militerisme Jepang dan warisan birokrasi kolonial Hindia Belanda ke negara pasca kolonial bernama Republik Indonesia. UUD 1945 diberlakukan dan presiden membentuk kabinet. Hukum pidana dan perdata serta lembaga penegak hukum dan kehakiman warisan kolonial pun diadopsi. Masuk kembalinya pasukan tentara Belanda yang membonceng Sekutu pasca Perang Dunia II diiringi munculnya perlawanan berbagai kelompok di Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan atau kedaulatan RI selama 1945-1949. Dalam situasi inilah sikap dan perilaku bela negara menjadi konkret dan tak sedikit yang gugur di medan pertempuran.

Pada awal 1960-an, Soekarno pernah menggelembungkan patriotisme dan nasionalisme dengan jargon "ganyang Malaysia" dan anti neokolonialisme. Setelah itu, giliran Jenderal Soeharto yang memerintah dan membentuk kediktatoran militer dalam negara Orde Baru. Namun, bela negara diabdikan untuk kepentingan rezim militer dan kroni-kroni bisnisnya. Bercokolnya kepentingan itu tidak saja membentuk identitas negara yang korup, juga pelanggar HAM dan sebagian mereka terlibat dalam kejahatan perang dengan TNI dapat sorotan paling buruk. Secara politik, rezim militernya selalu memberikan kemenangan mutlak kepada Golkar setiap pemilu dan tambahan jatah TNI/Polri 100 kursi DPR. Dan, berkali-kali tanpa batasan, Soeharto menjabat presiden.
Reformasi dan HAM. Berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 1998 juga mengakhiri rezim militernya. Reformasi politik menandai upaya membentuk negara demokratis, seperti pemisahan kekuasaan pemerintah dari parlemen dan kehakiman. Tak ada lagi supremasi militer, tetapi bergerak ke supremasi sipil. TNI pun dikembalikan pada tugas dan fungsi pertahanan.
Jika sebelumnya TNI dominan dalam politik ataupun terlibat berbagai bisnis tak kompetitif dan pemungut upeti, reformasi mendorongnya ke arah tentara profesional. TNI diharapkan tak lagi jadi pengabdi pada penguasa yang korup dan pelanggar HAM, tetapi tentara yang dapat melindungi sumber-sumber kekayaan negara dan menghormati hak-hak setiap orang.

Tak gampang TNI melepas kepentingan masa lalu yang berakar di bawah Orde Baru, tetapi tantangan sebagai tentara yang profesional juga telah menjadi bagian reformasi yang harus dijalankan. Kepentingan politik telah dilepasnya. Setelah mereka pensiun dari dinas militer, terbuka masuk partai-partai politik. Begitu juga dalam kaitannya dengan HAM. Reformasi TNI telah mengurangi keterlibatannya atas dugaan pelanggaran HAM, kecuali beberapa insiden di Papua dan daerah lain dalam sengketa lahan. Relasi TNI dengan berbagai kelompok paramiliter, seperti "rakyat terlatih", telah sangat menyusut.

Negara RI pasca reformasi kian dituntut menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. RI telah menjadi bagian dari subyek hukum HAM internasional, tak hanya kewajibannya atas hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Perdamaian sebagai upaya mengakhiri konflik telah menjadi solusi yang disambut hangat. Konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh telah diselesaikan dengan perdamaian, konflik horizontal di Ambon juga telah disemai dengan situasi kondusif, dan Poso telah mereda sehingga dugaan kejahatan perang pun telah berlalu.
Hak atas kebebasan berserikat kian dihormati oleh negara. Tak ada lagi "wadah-wadah tunggal" yang memaksa berbagai kelompok kepentingan hanya boleh bergabung dengan satu organisasi yang dikontrol negara. Pegawai, guru, buruh, petani, nelayan, perempuan, dan pemuda bebas memilih organisasi sesuai dengan pilihannya. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengoperasikan sistem pendidikan dan kurikulum mengenai moral, etika, dan pemikiran. Meskipun masih terdapat kelemahan, tampak tak menyeret para peserta didik ke dalam kegaduhan politik. Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai kalangan pun dapat belajar secara lebih terbuka.

Karena itu, patriotisme dan nasionalisme-paham yang berkaitan dengan bela negara-tak bisa lagi dimonopoli hanya oleh satu lembaga dalam situasi politik yang demokratis dan akses informasi yang begitu terbuka. Problem sehari-hari akan menjadi realitas yang memupuk kebutuhan orang atas pentingnya patriotisme dan nasionalisme. Dengan memahami kondisi negeri yang rawan bencana, tak sedikit orang jatuh simpati kepada para korban. Ketika ratusan ribu orang menjadi korban kabut asap, banyak pihak mendesak pemerintah menghentikannya dan sebagian memberikan bantuan. Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berteriak untuk menyelamatkan sumber pangan di lautan dari para maling ikan yang merajalela, banyak dukungan mengalir. Begitu pun dengan para TKI yang terancam di negeri orang, berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan mereka.


Semangat itu juga dapat diterjemahkan ke bidang-bidang lain, seperti olahraga, kesenian dan produk seni, peningkatan daya saing, serta kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Artinya, dengan lebih menghormati HAM, bela negara tak perlu disempitkan hanya dengan gaya gegap gempita seperti paramiliter. (Hendardi   Ketua Badan Pengurus Setara Institute Sumber : Kompas, 30 Oktober 2015)

Kamis, 15 Oktober 2015

Semangat Adu Domba dibalik Isu Tolikara dan Singkil Aceh



Semangat Adu Domba dibalik Isu Tolikara dan Singkil Aceh

Kalau kita peka, dan mau membaca berbagai fakta yang ada di sekitar kita, maka sebenarnya secara lamat-lamat kita akan bisa melihat bagaimana berbagai kejadian gejolak social yang ada di sekitar kita. Katakanlah di Timur Tengah, di Asia Timur, di Afrika dan di tanah-tanah bekas jajahan eks colonial zaman dahulu maka kita akan dapat melihat siapa berbuat apa, siapa yang maunya apa dan siapa yang melakukan apa dan siapa yang mendapatkan apa-apa.
https://www.bukalapak.com/bukubatas
Indonesia sebagai NKRI sudah dipersatukan oleh perilaku colonial sejak zaman kuda gigit besi, zaman takkala anak negeri masih jadi masyarakat peramu, masyarakat yang hidupnya tergantung sepenuhnya pada alam. Saat alam jadi sumber kehidupan maka penguasaan wilayah adalah suatu keharusan. Lalu muncullah raja-raja kecil yang kian menyadari bahwa kehidupan tidak mungkin hanya bergantung pada wilayahnya saja, dan datanglah bangsa Eropa yang memang dari sananya berniat mencari wilayah baru untuk menambah penghasilan bagi Rajanya.
Datangnya orang – orang Eropa ini diwakili oleh para pendekar petualang, yang otaknya hanya mau mencari dan mencuri apa saja yang bisa didapat. Bagi mereka penduduk asli tidak lebih dari dan sama saja dengan hewan-hewan yang ada di wilayah itu. Mereka bisa menangkapnya, memakannya dan sepenuhnya terserah mereka mau diapakan. Mereka dengan gampang mengadu domba sesama saudara, dan dengan terang-terangan, dengan semua cara tidak ada garis moral di sana. Mereka menguasai wilayah NKRI ini untuk waktu 350 tahun, begitu juga dengan Jepang untuk selama 3,5 tahun. Intinya sama mereka melakukan apa saja asal wilayah nusantara ini tetap berada dibawah kekuasaan mereka.
Semangat Negara Kolonial Zaman Ini
Peradaban dan budaya memang kian berkembang, kalau zaman dahulu orang eropa dengan mudahnya meracuni sumur-sumur kehidupan orang pribumi dan mematikan warga kampong perkampung maka sekarang cara bar bar seperti itu jelas tidak mungkin lagi. Tetapi cara lain kan masih banyak? Yang penting tidak bertentangan dengan aturan internasional yang ada. Maka yang terjadi kemudian adalah pola lama zaman baheula; dimana bangsa barat yang lebih maju mengerjain bangsa-bangsa Timur Tengah, Asia dan Afrika yang masih bisa mereka “kerjakan” dengan pola lama tetapi dengan cara baru yang lebih terhormat. Tetapi semuanya sama, kalau dahulu mereka cari rempah-rempah kini mereka cari Minyak, Emas, Tembaga, Batubara, Timah, kayu dll.
Kalau dahulu yang datang adalah perusahaan semacam VOC nya maka sekarang jenis nya juga sama seperti,  dalam artian perusahaan besar ( kalau dahulu zaman VOCnya boleh dikatakan adalah milik negera) maka sekarang para perusahaan besar itu adalah milik swasta 100 persen tetapi di dalamnya sejatinya adalah para ahli intelijen (Negara) yang menggalang dan  berkolaborasi dengan aparat intelijen local (Negara tempat mereka beroperasi). Jadi jangan heran, kalau kader-kader yang pro pergerakan mereka sebenarnya sudah tertangani dengan baik. Baik itu yang ada di jajaran Kementerian/Lembaga, di BUMN, di Swasta murni dan bahkan dalam jajaran LSM-LSM itu sendiri. Kader-kader mereka sudah menjadi para petinggi di jajaran yang kita punya.
Ketika terjadi peristiwa Tolikara, maka cobalah catat bagaimana pandangan para pejabatnya, para petinggi di Kementerian/Lembaga di kalangan BUMN, kalangan swasta dan LSM-LSM yang ada. Kemudian takkala terjadi lagi hal yang mirip di Singkil Aceh. Maka cobalah rekam kembali pendapat para pihak. Sayangnya saya tidak mau membuka catatan saya, karena dengan membuka catatan-catatan sederhana itu saja, Kita sudah sangat mudah di adu domba. Kita beruntung masih punya Tokoh-tokoh lintas agama, dan masih punya tokoh-tokoh NU yang membuat percikan-percikan api yang sengaja di siramkan ke bensin yang telah tertumpah itu ternyata bisa mati dan tidak nyala. VOC-VOC zaman sekarang jauh lebih canggih dan tertata dengan baik. Kita sebagai bangsa, kalau tidak hati-hati maka akan jadi bahan bancaan mereka lewat berbagai isu kerusuhan dan perang saudara.Semoga warga dan pimpinan kita sadar akan kondisi yang ada.    

Sabtu, 03 Oktober 2015

70 Tahun RI di Panggung Global



70 Tahun RI di Panggung Global
Oleh Beni Sindhunata

Ketika merdeka, Indonesia bermodalkan 70 juta lebih  penduduk sebagai satu kesatuan yang kukuh (pidato Ir Soekarno di sidang BPUPKI, 1 Juni 1945). Lebih rinci, menurut Angus Maddison, jumlahnya 73,3 juta orang.Jauh di ujung utara dua hari sebelumnya Syngman Rhee memproklamasikan kemerdekaan Korea Selatan dari Jepang. Lima tahun kemudian, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama miskin. Indonesia berpenduduk 79 juta dengan PDB  per kapita 840 dollar AS, lebih rendah 2 persen dari Korea Selatan yang berpenduduk 20 juta orang dengan PDB per kapita 854 dollar AS (Maddison, 2001).
https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan

Akan tetapi, tujuh dasawarsa setelah merdeka, keduanya tampil  beda. Korea Selatan jadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-14 terbesar (PDB 1,3 triliun dollar AS, 2013), mengalahkan Indonesia di peringkat ke-16 (PDB 868 miliar dollar AS). Pendapatan per kapita rakyat Korea Selatan  tujuh kali lebih besar daripada Indonesia, padahal  dulu  hanya selisih 2 persen.
Mengapa bisa demikian?  Kami memilih Korea Selatan sebagai perbandingan, bahan introspeksi, karena kedua negara ini sama-sama miskin  dan sebaya, hanya selisih dua hari. Jangan hanya berkaca pada Amerika Serikat yang sudah berusia 169 tahun ketika RI merdeka.Sebaliknya juga kita perlu belajar dari krisis di Yunani. Yunani adalah negeri  kaya mitologi yang melegenda, sudah merdeka 185 tahun lampau dengan PDB nomor 44 terbesar dunia (2013), tetapi sekarang berjuang keras agar tidak terlempar dari Uni Eropa akibat kebangkrutan. Indonesia harus belajar dari pengalaman Yunani supaya tidak hilang dari radar dunia atau menjadi catatan sejarah.
Indonesia baru mulai membangun teratur tanpa konflik setelah 23 tahun merdeka, tepatnya sejak Juni 1968 di era Presiden Soeharto, berlanjut sampai tujuh Pelita. Atau, sudah membangun 47  tahun sampai saat ini. Dua dasawarsa sejak merdeka, Indonesia masih dipenuhi konflik militer, konflik politik, dan kehidupan demokrasi juga sedang mencari bentuk. Selama dua dasawarsa tersebut, ada 41 kabinet silih berganti memerintah dengan usia kerja rata-rata 1,5 tahun. Praktis tak banyak kebijakan strategis dan mendasar yang bisa dijalankan untuk membangun perekonomian negara.
Demikian pula Korea Selatan, juga tidak luput dari konflik politik, konflik militer, sampai perang internasional. Perang Korea (1950-1953) telah menghancurkan  infrastruktur di seluruh negeri ginseng ini. Pembangunan strategis baru dimulai sejak era Park Chung-hee (1961-1979), khususnya setelah dikeluarkannya kebijakan HCI (heavy and chemical industry) Januari 1973. Pembangunan di negeri ini sudah berjalan 54 tahun.
Saat kebijakan HCI diluncurkan,  di Jakarta terjadi peristiwa Malari. Dua peristiwa penting dengan visi berbeda dan berdampak besar ke depan serta ikut memengaruhi maju mundurnya perekonomian negara. Ini menunjukkan, gaya kepemimpinan yang kuat sama-sama di bawah rezim militer juga memberi hasil berbeda. Korea Selatan sudah bekerja 54 tahun dan Indonesia 47 tahun, sedangkan Indonesia relatif lebih stabil dibandingkan dengan Korea Selatan yang tak asing dengan kudeta. Namun, visi ekonomi strategis yang jauh ke depan serta dukungan rakyat terdidik jadi kunci penting lainnya.
Inklusivisme  Kemakmuran dan kemiskinan atau maju mundurnya negara dan bangsa bukan ditentukan kondisi geografis, budaya, atau warisan leluhur, tetapi oleh kemampuan pemimpin mengelola institusi (masyarakat dan negara) dengan pendekatan inklusif, pluralis, didukung sistem pendidikan yang cukup, membuka kesempatan setara untuk berkreasi dan berinovasi guna mencapai  kesejahteraan dan kemajuan negara (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Ketimpangan ekonomi mencolok antarnegara dan wilayah satu bukti pentingnya inklusivisme di bidang politik dan ekonomi. Jika kedua pakar ini mengambil Nogales (Arizona) sebagai contoh ketimpangan, dalam skala makro, Francis Fukuyama (2008) mengambil contoh melebarnya ketimpangan ekonomi Amerika Latin dibandingkan dengan Amerika Serikat. Jelas, tak ada rumus baku dan berlaku universal karena bergantung pada ruang dan waktu, termasuk eksistensi sang pakar.
Berbagai indikator ekonomi ini memang hanya sebatas angka yang terkadang absurd seperti tak membumi, tetapi PDB per kapita bisa memberi warna lain yang lebih berarti. Indonesia dengan PDB per kapita 3.475 dollar AS di peringkat ke-119 dari 214 negara. Belanda di peringkat ke-13,  warganya 15 kali lebih makmur daripada Indonesia. Korea Selatan di peringkat ke-31 tujuh kali lebih makmur daripada Indonesia. Ini indikator global yang diakui dan tak perlu diingkari yang tanpa sadar dalam berbagai aspek membuat orang terbiasa memandang rendah atau meremehkan  eksistensi bangsa sendiri dibanding dengan  negara luar yang lebih baik. Padahal, tak semua benar karena kemiskinan dan ketimpangan sudah mengglobal, jadi musuh bersama.
Suka atau tidak, tujuh presiden selama 70 tahun ini sudah memimpin dan  membangun Indonesia dengan hasil yang patut disyukuri sampai hari ini. Inilah Indonesia setelah 70 tahun tampil di panggung global.Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemimpin dan rakyat perlu bersatu padu optimistis membangun hari depan negara yang lebih sejahtera dan kuat. Terutama kita perlu pemimpin yang berjiwa besar, visioner, nasionalis, berani, dan bersih hanya untuk kepentingan negara. Di bawah kepemimpinan yang kuat disertai  partisipasi rakyat yang bersatu, negara ini bisa jadi  negara ke-4 terbesar pada 2050, di saat negara berumur 105 tahun (EIU, Juni 2015).
Memang untuk jangka panjang di masa depan kita semua sudah mati, tetapi sekarang kita perlu melihat, mengisi, dan menyongsong seabad Indonesia dari perspektif baru yang lebih obyektif, positif, dan optimistis tanpa harus minder bermental inlander yang menghamba, sebaliknya harus berani dan bisa jadi bangsa  besar dan bermartabat. Dirgahayu Indonesia.
Beni Sindhunata Direktur INBRA ( Sumber Kompas, 13 Agustus 2015)