70
Tahun RI di Panggung Global
Oleh
Beni Sindhunata
Ketika
merdeka, Indonesia bermodalkan 70 juta lebih
penduduk sebagai satu kesatuan yang kukuh (pidato Ir Soekarno di sidang
BPUPKI, 1 Juni 1945). Lebih rinci, menurut Angus Maddison, jumlahnya 73,3 juta
orang.Jauh di ujung utara dua hari sebelumnya Syngman Rhee memproklamasikan
kemerdekaan Korea Selatan dari Jepang. Lima tahun kemudian, Korea Selatan dan
Indonesia sama-sama miskin. Indonesia berpenduduk 79 juta dengan PDB per kapita 840 dollar AS, lebih rendah 2
persen dari Korea Selatan yang berpenduduk 20 juta orang dengan PDB per kapita
854 dollar AS (Maddison, 2001).
Akan
tetapi, tujuh dasawarsa setelah merdeka, keduanya tampil beda. Korea Selatan jadi negara dengan
kekuatan ekonomi ke-14 terbesar (PDB 1,3 triliun dollar AS, 2013), mengalahkan
Indonesia di peringkat ke-16 (PDB 868 miliar dollar AS). Pendapatan per kapita
rakyat Korea Selatan tujuh kali lebih
besar daripada Indonesia, padahal
dulu hanya selisih 2 persen.
Mengapa
bisa demikian? Kami memilih Korea
Selatan sebagai perbandingan, bahan introspeksi, karena kedua negara ini
sama-sama miskin dan sebaya, hanya
selisih dua hari. Jangan hanya berkaca pada Amerika Serikat yang sudah berusia
169 tahun ketika RI merdeka.Sebaliknya juga kita perlu belajar dari krisis di
Yunani. Yunani adalah negeri kaya
mitologi yang melegenda, sudah merdeka 185 tahun lampau dengan PDB nomor 44
terbesar dunia (2013), tetapi sekarang berjuang keras agar tidak terlempar dari
Uni Eropa akibat kebangkrutan. Indonesia
harus belajar dari pengalaman Yunani supaya tidak hilang dari radar dunia atau
menjadi catatan sejarah.
Indonesia baru mulai membangun
teratur tanpa konflik setelah 23 tahun merdeka, tepatnya sejak Juni 1968 di era
Presiden Soeharto, berlanjut sampai tujuh Pelita. Atau, sudah membangun 47 tahun sampai saat ini. Dua dasawarsa sejak
merdeka, Indonesia masih dipenuhi konflik militer, konflik politik, dan
kehidupan demokrasi juga sedang mencari bentuk. Selama dua dasawarsa
tersebut, ada 41 kabinet silih berganti memerintah dengan usia kerja rata-rata
1,5 tahun. Praktis tak banyak kebijakan strategis dan mendasar yang bisa
dijalankan untuk membangun perekonomian negara.
Demikian
pula Korea Selatan, juga tidak luput dari konflik politik, konflik militer,
sampai perang internasional. Perang Korea (1950-1953) telah menghancurkan infrastruktur di seluruh negeri ginseng ini.
Pembangunan strategis baru dimulai sejak era Park Chung-hee (1961-1979),
khususnya setelah dikeluarkannya kebijakan HCI (heavy and chemical industry)
Januari 1973. Pembangunan di negeri ini sudah berjalan 54 tahun.
Saat
kebijakan HCI diluncurkan, di Jakarta
terjadi peristiwa Malari. Dua peristiwa penting dengan visi berbeda dan
berdampak besar ke depan serta ikut memengaruhi maju mundurnya perekonomian
negara. Ini menunjukkan, gaya kepemimpinan yang kuat sama-sama di bawah rezim
militer juga memberi hasil berbeda. Korea Selatan sudah bekerja 54 tahun dan
Indonesia 47 tahun, sedangkan Indonesia relatif lebih stabil dibandingkan
dengan Korea Selatan yang tak asing dengan kudeta. Namun, visi ekonomi
strategis yang jauh ke depan serta dukungan rakyat terdidik jadi kunci penting
lainnya.
Inklusivisme Kemakmuran
dan kemiskinan atau maju mundurnya negara dan bangsa bukan ditentukan kondisi
geografis, budaya, atau warisan leluhur, tetapi oleh kemampuan pemimpin
mengelola institusi (masyarakat dan negara) dengan pendekatan inklusif,
pluralis, didukung sistem pendidikan yang cukup, membuka kesempatan setara
untuk berkreasi dan berinovasi guna mencapai
kesejahteraan dan kemajuan negara (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Ketimpangan
ekonomi mencolok antarnegara dan wilayah satu bukti pentingnya inklusivisme di
bidang politik dan ekonomi. Jika kedua pakar ini mengambil Nogales (Arizona)
sebagai contoh ketimpangan, dalam skala makro, Francis Fukuyama (2008)
mengambil contoh melebarnya ketimpangan ekonomi Amerika Latin dibandingkan
dengan Amerika Serikat. Jelas, tak ada rumus baku dan berlaku universal karena
bergantung pada ruang dan waktu, termasuk eksistensi sang pakar.
Berbagai
indikator ekonomi ini memang hanya sebatas angka yang terkadang absurd seperti
tak membumi, tetapi PDB per kapita bisa memberi warna lain yang lebih berarti.
Indonesia dengan PDB per kapita 3.475 dollar AS di peringkat ke-119 dari 214
negara. Belanda di peringkat ke-13,
warganya 15 kali lebih makmur daripada Indonesia. Korea Selatan di peringkat
ke-31 tujuh kali lebih makmur daripada Indonesia. Ini indikator global yang
diakui dan tak perlu diingkari yang tanpa sadar dalam berbagai aspek membuat
orang terbiasa memandang rendah atau meremehkan
eksistensi bangsa sendiri dibanding dengan negara luar yang lebih baik. Padahal, tak semua
benar karena kemiskinan dan ketimpangan sudah mengglobal, jadi musuh bersama.
Suka
atau tidak, tujuh presiden selama 70 tahun ini sudah memimpin dan membangun Indonesia dengan hasil yang patut
disyukuri sampai hari ini. Inilah Indonesia setelah 70 tahun tampil di panggung
global.Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemimpin dan rakyat perlu
bersatu padu optimistis membangun hari depan negara yang lebih sejahtera dan
kuat. Terutama kita perlu pemimpin yang berjiwa besar, visioner, nasionalis,
berani, dan bersih hanya untuk kepentingan negara. Di bawah kepemimpinan yang
kuat disertai partisipasi rakyat yang
bersatu, negara ini bisa jadi negara
ke-4 terbesar pada 2050, di saat negara berumur 105 tahun (EIU, Juni 2015).
Memang
untuk jangka panjang di masa depan kita semua sudah mati, tetapi sekarang kita
perlu melihat, mengisi, dan menyongsong seabad Indonesia dari perspektif baru
yang lebih obyektif, positif, dan optimistis tanpa harus minder bermental
inlander yang menghamba, sebaliknya harus berani dan bisa jadi bangsa besar dan bermartabat. Dirgahayu Indonesia.
Beni
Sindhunata Direktur INBRA ( Sumber Kompas, 13 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar