Sabtu, 03 Oktober 2015

70 Tahun RI di Panggung Global



70 Tahun RI di Panggung Global
Oleh Beni Sindhunata

Ketika merdeka, Indonesia bermodalkan 70 juta lebih  penduduk sebagai satu kesatuan yang kukuh (pidato Ir Soekarno di sidang BPUPKI, 1 Juni 1945). Lebih rinci, menurut Angus Maddison, jumlahnya 73,3 juta orang.Jauh di ujung utara dua hari sebelumnya Syngman Rhee memproklamasikan kemerdekaan Korea Selatan dari Jepang. Lima tahun kemudian, Korea Selatan dan Indonesia sama-sama miskin. Indonesia berpenduduk 79 juta dengan PDB  per kapita 840 dollar AS, lebih rendah 2 persen dari Korea Selatan yang berpenduduk 20 juta orang dengan PDB per kapita 854 dollar AS (Maddison, 2001).
https://www.tokopedia.com/bukuperbatasan

Akan tetapi, tujuh dasawarsa setelah merdeka, keduanya tampil  beda. Korea Selatan jadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-14 terbesar (PDB 1,3 triliun dollar AS, 2013), mengalahkan Indonesia di peringkat ke-16 (PDB 868 miliar dollar AS). Pendapatan per kapita rakyat Korea Selatan  tujuh kali lebih besar daripada Indonesia, padahal  dulu  hanya selisih 2 persen.
Mengapa bisa demikian?  Kami memilih Korea Selatan sebagai perbandingan, bahan introspeksi, karena kedua negara ini sama-sama miskin  dan sebaya, hanya selisih dua hari. Jangan hanya berkaca pada Amerika Serikat yang sudah berusia 169 tahun ketika RI merdeka.Sebaliknya juga kita perlu belajar dari krisis di Yunani. Yunani adalah negeri  kaya mitologi yang melegenda, sudah merdeka 185 tahun lampau dengan PDB nomor 44 terbesar dunia (2013), tetapi sekarang berjuang keras agar tidak terlempar dari Uni Eropa akibat kebangkrutan. Indonesia harus belajar dari pengalaman Yunani supaya tidak hilang dari radar dunia atau menjadi catatan sejarah.
Indonesia baru mulai membangun teratur tanpa konflik setelah 23 tahun merdeka, tepatnya sejak Juni 1968 di era Presiden Soeharto, berlanjut sampai tujuh Pelita. Atau, sudah membangun 47  tahun sampai saat ini. Dua dasawarsa sejak merdeka, Indonesia masih dipenuhi konflik militer, konflik politik, dan kehidupan demokrasi juga sedang mencari bentuk. Selama dua dasawarsa tersebut, ada 41 kabinet silih berganti memerintah dengan usia kerja rata-rata 1,5 tahun. Praktis tak banyak kebijakan strategis dan mendasar yang bisa dijalankan untuk membangun perekonomian negara.
Demikian pula Korea Selatan, juga tidak luput dari konflik politik, konflik militer, sampai perang internasional. Perang Korea (1950-1953) telah menghancurkan  infrastruktur di seluruh negeri ginseng ini. Pembangunan strategis baru dimulai sejak era Park Chung-hee (1961-1979), khususnya setelah dikeluarkannya kebijakan HCI (heavy and chemical industry) Januari 1973. Pembangunan di negeri ini sudah berjalan 54 tahun.
Saat kebijakan HCI diluncurkan,  di Jakarta terjadi peristiwa Malari. Dua peristiwa penting dengan visi berbeda dan berdampak besar ke depan serta ikut memengaruhi maju mundurnya perekonomian negara. Ini menunjukkan, gaya kepemimpinan yang kuat sama-sama di bawah rezim militer juga memberi hasil berbeda. Korea Selatan sudah bekerja 54 tahun dan Indonesia 47 tahun, sedangkan Indonesia relatif lebih stabil dibandingkan dengan Korea Selatan yang tak asing dengan kudeta. Namun, visi ekonomi strategis yang jauh ke depan serta dukungan rakyat terdidik jadi kunci penting lainnya.
Inklusivisme  Kemakmuran dan kemiskinan atau maju mundurnya negara dan bangsa bukan ditentukan kondisi geografis, budaya, atau warisan leluhur, tetapi oleh kemampuan pemimpin mengelola institusi (masyarakat dan negara) dengan pendekatan inklusif, pluralis, didukung sistem pendidikan yang cukup, membuka kesempatan setara untuk berkreasi dan berinovasi guna mencapai  kesejahteraan dan kemajuan negara (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Ketimpangan ekonomi mencolok antarnegara dan wilayah satu bukti pentingnya inklusivisme di bidang politik dan ekonomi. Jika kedua pakar ini mengambil Nogales (Arizona) sebagai contoh ketimpangan, dalam skala makro, Francis Fukuyama (2008) mengambil contoh melebarnya ketimpangan ekonomi Amerika Latin dibandingkan dengan Amerika Serikat. Jelas, tak ada rumus baku dan berlaku universal karena bergantung pada ruang dan waktu, termasuk eksistensi sang pakar.
Berbagai indikator ekonomi ini memang hanya sebatas angka yang terkadang absurd seperti tak membumi, tetapi PDB per kapita bisa memberi warna lain yang lebih berarti. Indonesia dengan PDB per kapita 3.475 dollar AS di peringkat ke-119 dari 214 negara. Belanda di peringkat ke-13,  warganya 15 kali lebih makmur daripada Indonesia. Korea Selatan di peringkat ke-31 tujuh kali lebih makmur daripada Indonesia. Ini indikator global yang diakui dan tak perlu diingkari yang tanpa sadar dalam berbagai aspek membuat orang terbiasa memandang rendah atau meremehkan  eksistensi bangsa sendiri dibanding dengan  negara luar yang lebih baik. Padahal, tak semua benar karena kemiskinan dan ketimpangan sudah mengglobal, jadi musuh bersama.
Suka atau tidak, tujuh presiden selama 70 tahun ini sudah memimpin dan  membangun Indonesia dengan hasil yang patut disyukuri sampai hari ini. Inilah Indonesia setelah 70 tahun tampil di panggung global.Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pemimpin dan rakyat perlu bersatu padu optimistis membangun hari depan negara yang lebih sejahtera dan kuat. Terutama kita perlu pemimpin yang berjiwa besar, visioner, nasionalis, berani, dan bersih hanya untuk kepentingan negara. Di bawah kepemimpinan yang kuat disertai  partisipasi rakyat yang bersatu, negara ini bisa jadi  negara ke-4 terbesar pada 2050, di saat negara berumur 105 tahun (EIU, Juni 2015).
Memang untuk jangka panjang di masa depan kita semua sudah mati, tetapi sekarang kita perlu melihat, mengisi, dan menyongsong seabad Indonesia dari perspektif baru yang lebih obyektif, positif, dan optimistis tanpa harus minder bermental inlander yang menghamba, sebaliknya harus berani dan bisa jadi bangsa  besar dan bermartabat. Dirgahayu Indonesia.
Beni Sindhunata Direktur INBRA ( Sumber Kompas, 13 Agustus 2015)

Tidak ada komentar: