Jumat, 28 Agustus 2009

Mandiri Berdikari dan Merdeka

Oleh Siswono Yudo Husodo

Sudah 64 tahun kita merdeka, suatu jembatan emas untuk mencapai bangsa yang antara lain ”berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari)” dalam bidang ekonomi (menurut ajaran Bung Karno dalam Trisakti).

Namun, justru saat ini terasa tingkat ketergantungan kita pada barang-barang impor (yang sebenarnya dapat diproduksi sendiri) amat tinggi. Banyak potensi ekonomi yang sebenarnya mampu kita kelola sendiri diserahkan kepada asing. Memang, pada era globalisasi ini banyak pihak ingin menjadikan negeri ini sebagai pasar bagi produk dan jasa mereka.

Kita telah menjadi bangsa yang kurang percaya diri dengan tingkat ketergan- tungan yang amat tinggi, menjauh dari cita-cita membangun bangsa yang mandiri yang mengelola berbagai potensi ekonomi yang ada pada dirinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kecenderungan dominasi asing dalam berbagai kegiatan ekonomi kian nyata dan porsi nasional kian menurun.

Sedikitnya ada 23 bank umum nasional dimiliki asing dengan penguasaan di atas 44,5 persen dari total saham yang agresif menggarap pasar hingga ke pedesaan dan menyebabkan menyusutnya pangsa pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di sektor mikro, kecil, dan menengah atau MKM (Kompas, 19/8/2009). Dengan margin imbal hasil lebih besar dari segmen korporasi, bisnis MKM amat menggiurkan dan menjadi motif akuisisi bank lokal oleh investor asing. Banyak BPR gulung tikar.

Ini adalah potret kian terpinggirkannya pelaku usaha nasional sejak pemerintah dipaksa berbagai kekuatan internasional untuk meningkatkan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.

Pasar pangan domestik sudah dibanjiri impor, mulai dari daging sapi (30 persen kebutuhan nasional), susu (90 persen), garam (60 persen), kedelai (70 persen), bawang putih hingga gula tebu (40 persen), dan buah-buahan. Sebenarnya, produk-produk itu dapat kita produksi sendiri dan menghemat devisa. Pedagang pasar tradisional di kota-kota besar sudah merasakan hebatnya dampak kehadiran hypermarket milik asing....

Sebagai negara yang telah berpengalaman lebih dari 100 tahun di bidang eksploitasi migas, dari 120 KPS (kontraktor profit sharing), 90 persennya milik asing. Produksi minyak kita juga terus turun, dengan cost recovery (biaya yang ditanggung pemerintah) meningkat tinggi. Dalam RAPBN 2010, pemerintah menetapkan biaya cost recovery 13,1 miliar dollar AS, naik dari 11,05 miliar dollar AS tahun 2009. Ini hanya untuk meningkatkan produksi minyak 5.000 barrel per hari dan gas 232 MMBTU per hari.

Dari total produksi nasional sekitar 1 juta barrel/hari, yang dihasilkan Pertamina hanya 75.000 barrel/hari, sama dengan Medco, swasta nasional. Mayoritasnya asing, terbesar Chevron, 450.000 barrel/ hari. Secara bertahap, ladang minyak dan gas nasional kita dikuasai asing karena aturan untuk menggarap berbagai proyek eksplorasi minyak bumi dan gas di Tanah Air harus melalui tender internasional.

Mayoritas pertambangan perak, nikel, batu bara, dan lainnya juga dikelola asing, bahkan tembaga dan emas, 100 persen dikuasai asing (Freeport dan Newmont). Perkebunan kelapa sawit 30 persennya dimiliki perusahaan asing, padahal kebun sawit efektif untuk pemerataan kesejahteraan, meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui konsep inti plasma. Kini ada sekitar 300.000 TKI terampil bekerja di kebun-kebun sawit di Malaysia. Jika saja, dulu, masing-masing diberi kesempatan membeli kebun sawit yang dilelang amat murah oleh BPPN seluas 2-3 ha/KK, tentu naiknya harga CPO sampai tiga kali lipat dinikmati petani kita sendiri.

Sektor telekomunikasi yang amat menguntungkan juga sudah jatuh ke tangan asing. Tragisnya, saat kita ingin memilikinya kembali, pihak asing menawarkan dengan harga berlipat.

Mengavling laut

Indonesia telah membiarkan berbagai kebijakan ekonomi diatur konsultan asing. Bertahun-tahun mereka ada di sejumlah instansi pemerintah. Ini menghapus banyak sektor dari daftar negatif bagi investor asing tanpa memperkuat pengusaha lokal dan mengobral aset ekonomi yang amat prospektif dengan harga amat murah. Pengusaha Indonesia juga terkendala dengan mahal dan seretnya kredit.

Pemerintah bersemangat mengundang investor asing, sementara modal amat besar pengusaha nasional disimpan di luar negeri.

Menteri Kehutanan menawarkan ratusan ribu hektar lahan kepada investor asing untuk bidang perkebunan. Bila hal ini tak dikoreksi, dalam tempo singkat perkebunan di Tanah Air akan dilahap asing. Pertanyaannya, apa bedanya dengan masa penjajahan Belanda?

Kini sedang berkembang diskusi untuk mengavling laut dan menjualnya kepada investor. Tak terbayang bila sebentar lagi pengelolaan laut dan kekayaan di dalamnya juga dikuasai asing. Sekarang saja ruang perairan kita praktis dikuasai asing. Sekitar 96,6 persen muatan angkutan laut dari Indonesia ke luar negeri diambil kapal asing dan 46,8 persen muatan laut dalam negeri dikuasai kapal berbendera asing (Media Indonesia, 6/12/2007).

China, negara yang bersama-sama kita melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi, tidak mengalami hal seperti itu. China berusaha agar kegiatan ekonomi dikuasai warga sendiri dan menghindari intervensi asing dalam kebijakan ekonomi. Kepemilikan asing dalam jumlah mayoritas relatif tak diizinkan.

Syarat investasi asing di China untuk otomotif tidaklah ringan. Para investor wajib memiliki mitra lokal dan melakukan alih teknologi dalam jadwal ketat. Kini, China menjadi produsen otomotif mandiri dan berdaya saing tinggi.

Saya berdoa agar di tengah persaingan sengit dalam memperebutkan dana dan investasi asing, pemerintah dapat bertindak tepat dalam melindungi pelaku usaha domestik. Jangan sampai demi meningkatkan pertumbuhan PDB, BUMN dijual murah, porsi mayoritas asing diizinkan pada lebih banyak sektor, bahkan instrumen untuk melindungi pelaku dalam negeri berupa daftar negatif investasi asing dihapus seluruhnya.

Kita perlu membangun kesadaran umum bahwa kita memiliki pasar amat besar, kaya sumber daya alam. Dan potensi pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan harus pertama-tama digunakan untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat sendiri.(kompas, Senin, 24 /8/ 2009)
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

Minggu, 23 Agustus 2009

Tak Dihadiri Mantan Presiden, Momentum Dalam Persiapkan Kader Pemimpin

Jakarta, Kompas - Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. Menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik Proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta.

Guruh datang bersama Sukmawati Soekarnoputri. Keduanya selalu hadir selama lima tahun pemerintahan Yudhoyono. Sebelumnya telah datang Dewi Soekarno (salah satu istri Presiden Soekarno), Rachmawati Soekarnoputri, dan Bayu Soekarnoputra. Rachmawati sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga selalu hadir dalam lima tahun pemerintahan Yudhoyono.

Dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid, yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan. Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurrahman masih terbaring sakit.

Dalam kesempatan sebelumnya, Presiden Yudhoyono menegaskan, perayaan Hari Ulang Tahun Ke-64 RI diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kembali persatuan pasca-Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009.

Diguyur hujan

Pada acara malam hari, sebelum Presiden dan Wapres yang didampingi Ny Ani Yudhoyono dan Ny Mufidah Jusuf Kalla menerima ucapan selamat dari para duta besar dan perwakilan negara sahabat, hujan deras tiba-tiba turun dan membasahi seluruh areal taman tengah Istana, termasuk meja-meja dan kursi para tamu undangan serta panggung tempat pertunjukan orkestra yang dipimpin Dwiki Dharmawan.

Pemusik dan penyanyi yang tengah memainkan sejumlah lagu sebelum acara dimulai berlarian untuk berteduh.

Presiden dan Wapres berkoordinasi dengan protokol dan sejumlah ajudan untuk mempersiapkan tempat resepsi kenegaraan. Sambil tersenyum, Presiden dan Ny Ani Yudhoyono mengawasi taplak meja dan kursi diganti dengan cepat. Gelas-gelas yang bercampur dengan air hujan diganti. Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal sempat meminta maaf kepada para tamu dan meminta mereka menunggu sambil meja dan kursi kembali dipersiapkan....

Lahirkan pemimpin

Sejumlah politisi muda, yaitu Yuddy Chrisnandi (Partai Golkar), Budiman Sudjatmiko (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Lukman Hakim Saifuddin (Partai Persatuan Pembangunan), dalam perbincangan dengan Kompas, Senin (17/8), menyampaikan refleksinya terkait HUT Kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, partai politik saat ini terjebak pada kepentingan pragmatis dan melupakan tugas pentingnya untuk melakukan pendidikan politik dan membangun sistem pengaderan yang mampu melahirkan calon pemimpin berkualitas.

Yuddy mengakui, saat ini parpol belum mampu menjadi institusi yang mampu mengartikulasikan suara rakyat. Parpol juga tidak mampu menyediakan calon pemimpin nasional yang mumpuni. Bahkan, parpol juga tidak mampu melakukan pengaderan terencana untuk regenerasi kepemimpinan internalnya. ”Parpol lebih asyik berkolaborasi dengan kepentingan jangka pendek daripada memperjuangkan demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya. Parpol terjebak pada pragmatisme sempit materialistis, tidak lagi ideologis,” katanya.

Ini semua karena pemimpin parpol tidak berorientasi pada strategi mempersiapkan sumber daya manusia parpol yang berkualitas dan berintegritas. Kondisi ini pada akhirnya melemahkan daya tawar parpol sendiri di mata kekuasaan.

Lukman menilai parpol terlalu tersita perhatiannya pada upaya menggapai dan menyikapi secara kritis pemerintahan. Parpol kurang memerhatikan pendidikan politik pada rakyat, sementara rakyatnya dididik pihak lain dengan ajaran atau paham yang justru bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Pada masa mendatang, lanjutnya, parpol dan semua elemen bangsa harus lebih mengintensifkan pendidikan wawasan kebangsaan dengan bertumpu pada nilai-nilai moralitas dan spiritualitas yang benar. ”Dengan begitu, keindonesiaan kita tidak terkoyak oleh paham ekstrem garis keras,” katanya.

Budiman berpandangan, pembangunan kepartaian di Indonesia seharusnya mampu melahirkan kader-kader yang bisa menjadi pemimpin bangsa untuk menjalankan amanat tujuan dari kemerdekaan yang diamanatkan UUD 1945.

Kemerdekaan itu memberi amanat kepada bangsa Indonesia untuk membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. ”Setelah 10 tahun hidup dalam sistem multipartai, kualitas kader parpol masih dipertanyakan,” ucapnya.

Sekarang ini bahkan ada kecenderungan orang lebih memercayai apa yang disebut sebagai kaum profesional ketimbang orang partai, misalnya untuk menduduki jabatan menteri. Ada kesan kuat bahwa orang partai politik itu tidak profesional.

Karena itu, pola perekrutan dan pengaderan kepartaian harus dibenahi. ”Harus diakui sampai hari ini belum banyak prasyarat keteguhan ideologis dan keterampilan teknis itu bisa dipenuhi kebanyakan parpol kita. Ada juga orang berpartai sekadar untuk membangun jaringan bisnis tanpa visi bangsa. Logika seperti ini bukan logika seorang kader partai yang militan dan progresif,” katanya. (INU/DAY/HAR/SUT, Selasa, 18 Agustus 2009)

Selasa, 18 Agustus 2009

Tanah Air Merdeka,

Oleh : Sukardi Rinakit

Malam. 11 Agustus 2009. Seorang teman mengajak menonton peluncuran film Merah Putih. Sebuah film perjuangan yang dimaksudkan untuk meneguhkan pewarisan ingatan tentang nasionalisme dan terbentuknya republik. Sebuah upaya untuk melawan lupa atas sejarah bangsa dan kebinekaan Indonesia.

Hal yang membuat saya terkejut, kognitariat (pekerja otak) di belakang pembuatan film tersebut adalah Hasyim Djojohadikusumo. Ini menambah daftar panjang ”orang-orang yang tak terduga” di dalam catatan penulis. Arifin Panigoro, misalnya, secara konsisten menjadikan rumahnya sebagai pusat persemaian intelektual dan gerakan kebangsaan ketika banyak tempat diskusi menjadi layu. Ada juga Franky Welirang yang mencoba membuat gerak kebudayaan tradisional, terutama wayang kulit, agar tetap bisa meliuk di tengah budaya instan yang ganas saat ini.

Pendeknya, ada orang-orang tak terduga di setiap profesi. Seperti ketiga pengusaha tersebut, banyak pula seniman, wartawan, militer, mahasiswa, petani, buruh, intelektual, menjadi orang-orang tak terduga. Suka atau tidak, mereka adalah bagian dari anak bangsa yang begitu mencintai kelangsungan hidup Indonesia. Mereka mencintai Tanah Air merdeka.

Tanpa bendera
Individu-individu yang tak terduga tersebut secara umum mempunyai karakteristik yang sama. Mereka tidak mempunyai bendera khusus sebagai simbol identitas. Eksistensinya tidak disandarkan pada massa golongan. Mereka hadir di ranah kebangsaan bukan karena profesi dan posisinya, tetapi karena tindakannya. Oleh sebab itu, kepemimpinannya dikenal sebagai tanpa bendera.

Idealnya, karakter seperti itu juga dipanggul oleh mayoritas elite, terutama mereka yang di ranah kekuasaan. Sebagai kelompok masyarakat yang sudah mendapatkan privilese, tanggung jawab para elite adalah ikut menegakkan konstitusi dan bukan sekadar mendaku sebagai kelompok yang paling peduli kepada demokrasi.

Sejatinya, yang paling peduli pada kelangsungan praksis demokrasi adalah rakyat dan bukan elite. Ini menyangkut mimpi dan harapan rakyat untuk bisa hidup lebih baik. Sedangkan para elite secara umum tetap bisa menikmati hak-hak istimewa apa pun kondisi politik, ideologi, dan sistem pemerintahan yang berlaku.

Tampaknya, memang diperlukan pembalikan cara pikir seperti itu—bahwa rakyatlah yang sebenarnya lebih peduli kepada demokrasi. Melalui demokrasi, mereka bukan saja mengharapkan pintu-pintu kemakmuran menjadi terbuka, tetapi juga tegaknya keadilan. Semua itu bertujuan untuk memupus kemiskinan dan ketidakadilan hidup, yang karena begitu lama mereka jalani, sampai-sampai sudah diyakini sebagai takdir.

Berbeda dengan kelompok elite tertentu yang hanya memikirkan diri sendiri sehingga seperti katak yang tidak pernah meninggalkan balongnya, para individu pemanggul kepemimpinan tanpa bendera, meminjam istilah yang sering digunakan WS Rendra, selalu berada dalam ranah manjing kahanan (kontekstualitas). Sadar atau tidak, mereka telah menempatkan pluralisme bangsa sebagai koordinat paradigma pembangunan.

Dengan demikian, kalau semua bergerak linier, bukan hanya variabel ekonomika semata yang mereka anggap penting, tetapi juga keadilan. Dalam konteks ini, indikator keberhasilan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi sebagai ”tujuan suci”, tetapi kehidupan rakyat yang tenteram, bisa tersenyum, meskipun mungkin tidak kaya raya. Inilah sebenarnya inti sari perasaan merdeka. Baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Bukan sekadar tanah

Harus diakui secara jujur bahwa sampai saat ini cita-cita proklamasi yang dirumuskan para bapak bangsa masih jauh dari terwujud. Belum semua warga negara bebas dari ketakutan, hidup sejahtera, cerdas, dan berpendidikan.

Namun, semangat dan arah kebijakan yang digariskan setiap presiden membawa perubahan yang lebih baik meskipun terbatas pada sektor-sektor tertentu, terutama menyangkut mekarnya nasionalisme, demokrasi, pluralisme, dan pemberantasan korupsi.

Hipotesis saya, lambatnya bangsa Indonesia mendekati terwujudnya cita-cita proklamasi tersebut disebabkan tidak komprehensifnya kebijakan yang diambil pemerintah. Para pengambil keputusan cenderung fokus pada program aksi kontinental dan mengabaikan maritim. Padahal, konstruksi republik adalah Tanah Air Indonesia. Wilayah, penduduk, dan jiwa kita adalah gabungan tanah dan air. Mengabaikan salah satu unsur tersebut berarti tubuh, pikiran, dan semangat dipastikan limbung. Padahal, kekayaan laut yang kita miliki melimpah, tidak kalah dengan darat.

Mungkin karena kuatnya tarikan kebijakan kontinental tersebut sejak era Mataram, membuat jiwa egaliter pesisiran secara perlahan berubah menjadi penuh tata krama, cenderung siklis, kurang disiplin, dan melodramatik. Semua ini secara alamiah menjauhkan pikiran rakyat dari memori pentingnya peran laut bagi perwujudan cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Situasi tersebut diperburuk oleh kecenderungan kita untuk menggemari slogan ”Tanah Merdeka” dan bukan ”Tanah Air Merdeka”. Akibatnya, ketika mengajari anak-anak atau mengajaknya berlibur, kita cenderung mengabaikan laut. Tidak mengherankan ketika mereka tumbuh, memorinya adalah daratan. Kalau suatu saat mereka menjadi perumus kebijakan, paradigma berpikirnya pasti kontinental.

Padahal, pada masa depan, tanpa menggabungkan unsur ”Tanah Air” pada keempat bidang utama (nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neuro sains), rasanya sulit bagi kita untuk berkompetisi secara global.

Kalah berkompetisi berarti bangsa ini akan miskin. Anda mau? Saya tidak. Merdeka Tanah Airku!

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndica,Kompas, sabtu, 15 Agustus 2009

Jumat, 14 Agustus 2009

Masyarakat Kepulauan, Mereka Makin Teralienasi

Oleh FERRY SANTOSO,Kompas Jumat, 14 Agustus 2009

Pada malam hari, sinar lampu gedung-gedung tinggi menghiasi langit Singapura. Itu terlihat dari Pulau Belakang Padang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Singapura menjadi terang benderang antara lain karena adanya pasokan gas dari Natuna.

Selain itu, sinar lampu kapal-kapal ukuran raksasa dari sejumlah negara yang berlalu lalang di Selat Philips juga memantulkan cahaya di permukaan air laut yang gelap. Kondisi itu menggambarkan kemajuan Negeri Singa dengan berbagai keunggulan, seperti sumber daya manusia, ekonomi, dan teknologi.

Di belahan lain di wilayah perairan Kepulauan Riau (Kepri), Indonesia, terlihat pulau-pulau terbentang luas. Sebutlah seperti pulau-pulau di sekitar Batam, Bintan, dan Karimun.

Rumah dengan fondasi kayu dan penerangan dari genset dengan kapasitas terbatas, atau bahkan lampu teplok, masih menghiasi pinggiran pulau-pulau yang berpenghuni. Masyarakat pesisir yang sebagian besar nelayan tradisional hidup sederhana dengan segala keterbatasan.

Berbagai masalah dihadapi. Dari sarana dan fasilitas bagi nelayan tradisional yang minim, area tangkapan ikan dan budidaya ikan yang semakin sempit akibat pencemaran laut, infrastruktur dasar, pendidikan, hingga akses pekerjaan bagi anak- anak pulau di masa mendatang.

Masyarakat pesisir di wilayah Kepri—berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand—tersebar di ratusan pulau yang berpenghuni. Dari catatan yang ada, Provinsi Kepri— dengan luas laut 242.497 kilometer persegi (95 persen) dan luas darat 10.104 kilometer persegi (5 persen)—memiliki 2.408 pulau. Dari jumlah itu, hanya 366 pulau yang berpenghuni. Sebanyak 19 pulau merupakan pulau terluar.

Menunggu bantuan

Mencari hasil laut, seperti ikan dan kepiting, menjadi andalan mata pencarian masyarakat yang hidup di sejumlah pulau tersebut. Mobilitas masyarakat di pulau- pulau ini sangat mengandalkan transportasi perahu kecil (pancung) atau kapal kayu.

Alim (38) bersama rekannya yang tinggal di Pulau Siali, Batam, siang itu mengaku baru saja menangkap ikan dan kepiting di Pulau Labun dengan menggunakan perahu pancung. ”Ikan baru diambil. Sudah dua hari saya pasang bubu (alat tangkap),” kata Alim.

Hasil tangkapan mereka kemudian dijual kepada pengusaha ikan, Kamin (53). Dari hasil penjualan ikan itu, Alim mendapat selembar uang 50 dollar Singapura, dua lembar 10 dollar Singapura, dan selembar uang Rp 50.000.

Namun, Alim sendiri hanya mendapat bagian dari hasil penjualan ikan sebesar 38 dollar Singapura atau Rp 266.000. Sisanya untuk bagian rekannya yang lain.

Uang sebesar itu tak bisa membuat Alim merasa senang. Pendapatannya hari itu belum cukup untuk menutup modal pembelian solar. ”Sekali berangkat memasang bubu, saya perlu modal Rp 500.000. Solar saja sudah Rp 360.000,” kata Alim. Namun, ia masih berharap dapat menjual ikan atau kepiting lagi karena masih ada bubu yang dipasang, tetapi belum diambil.

Ada ribuan penduduk pesisir di Kepri yang berprofesi sebagai nelayan tradisional seperti Alim. Namun, sejauh mana perhatian riil pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, terhadap masyarakat pesisir seperti Alim masih jadi tanda tanya besar.

Meskipun kecewa dan terasing dari bantuan dan perhatian pemerintah, Alim tak patah arang. Ia tetap bersemangat mencari ikan dan kepiting. Bahkan, kecintaan Alim terhadap bangsa dan negara tidak luntur. Semangat keindonesiaannya belum luntur. ”Saya masih cinta Indonesia-lah. Tapi, pemerintah, tolong bantulah nelayan,” katanya.

Akan tetapi, bantuan pemerintah terhadap masyarakat pesisir masih jauh dari harapan. Bantuan yang diperoleh nelayan justru berasal dari sesama nelayan atau pengusaha ikan. Seperti peralatan penangkap ikan yang kini ia miliki didapat dari utang kepada Kamin.

”Kalau tak dibantu Pak Kamin, mana sanggup saya beli bubu Rp 850.000,” ungkap Alim.

Ironis, memang! Selama ini pemerintah selalu menggembar- gemborkan pentingnya pemberdayaan masyarakat pesisir. Namun, kebijakan dan implementasi sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.

Bahkan, orang seperti Kamin yang sukses menjadi pengusaha ikan di sana justru dapat bantuan modal dari orang asing. ”Tahun 1995 saya diberi modal oleh Amen, orang Singapura. Semua dikasih. Dari mesin kapal, jaring, hingga uang,” katanya.

Dengan bantuan itu, Kamin dapat mencari ikan, menampung ikan-ikan dari nelayan lokal, dan menjual kepada Ameng di Singapura. Saat ini Kamin menjual ikan kepada pengusaha lain karena Ameng sudah meninggal dunia.

Terpinggirkan

Mencari ikan bagi nelayan lokal di perairan pulau-pulau di Kepri kini kian sulit. Wilayah penangkapan ikan semakin terbatas. Air laut semakin tercemar oleh kapal tanker, kapal minyak, dan pengembangan industri galangan kapal....

Juga akibat pembangunan dermaga-dermaga tambang bauksit di pinggir pantai hutan bakau di wilayah ini. Taruhlah seperti yang banyak terlihat di wilayah Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan.

Area tambang bauksit tumbuh secara sporadis. Tongkang-tongkang pengangkut bauksit berlalu lalang di selat-selat kecil yang menjadi tempat penangkapan ikan.

Akibatnya, usaha tambak ikan kerapu banyak yang gulung tikar. ”Sudah banyak tambak yang kosong. Ikan banyak mati,” kata Benny yang memiliki 74 petak tambak ikan kerapu di perairan Los, Senggarang, masih di wilayah Kota Tanjung Pinang.

Jika pemerintah daerah maupun pemerintah pusat fokus dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir, usaha budidaya tambak ikan kerapu yang berorientasi ekspor itu justru seharusnya digalakkan. Dengan demikian, masyarakat pesisir memperoleh penghasilan lebih baik dan negara memperoleh devisa.

Akan tetapi, dengan maraknya eksploitasi tambang bauksit, masyarakat pesisir semakin terpinggirkan. Masyarakat pesisir atau petambak harus mencari area perairan yang lebih aman atau lebih jauh dari lokasi dermaga atau tambang bauksit.

Pencemaran air laut dari kegiatan tambang bauksit kini menjadi ”momok”. ”Katanya ini daerah maritim, namun sektor perikanan tidak diperhatikan. Air laut pun tercemar,” kata Hendra, seorang pembudidaya ikan kerapu.

Tanpa ada kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, masyarakat pesisir akan semakin terasing di daerahnya sendiri. Masyarakat pesisir sudah sulit mengandalkan laut sebagai ladang mata pencarian.

Dampaknya, masyarakat pesisir akan beralih mencari penghidupan di sektor industri, perdagangan, dan jasa. Namun, persaingan bekerja di ketiga sektor itu pun semakin ketat. Apalagi, suka atau tidak suka, kualitas pendidikan di pulau-pulau masih kurang.

Musa Jantan, Penasihat Ketua Lembaga Adat Melayu Batam, mengakui bahwa pendidikan anak-anak di pulau-pulau masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di pulau-pulau di kawasan ini.

”Kalau dulu, mereka masih bisa menangkap ikan di laut. Tapi sekarang, menangkap ikan sulit karena area tangkapan terbatas,” katanya.

Peningkatan kualitas pendidikan anak-anak pulau memang diperlukan agar anak-anak pulau pun dapat bersaing. Jika tidak, masyarakat pesisir akan semakin teralienasi. Mencari ikan di laut semakin sulit. Mencari pekerjaan di sektor industri, perdagangan, dan jasa pun sulit.

Dampaknya, masyarakat pesisir akan tetap miskin. Sebagai gambaran, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, jumlah penduduk miskin di Kepri pada Maret 2009 tercatat 128.210 orang (8,27 persen).

Jumlah penduduk miskin di Kepri pada Maret 2008 sebanyak 136.360 orang (9,18 persen). Itu berarti, jumlah penduduk miskin turun sebesar 8.150 orang atau 0,91 persen.

Penurunan jumlah kemiskinan itu memang tidak terlalu signifikan. Itu pun masih banyak pihak yang meragukan data tersebut.

Lepas dari itu semua, sesungguhnya kemiskinan akan jauh menurun jika masyarakat pesisir mampu meningkatkan pendapatan dari sektor kelautan dan perikanan. Bukankah itulah yang menjadi potensi dan sumber daya alam yang seharusnya lebih digarap di daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah laut?

Senin, 10 Agustus 2009

Kepentingan Nasional, Amanat Undang-undang


 Setiap bangsa di dunia ini pastilah mempunyai cita-cita Nasional dan Tujuan Nasional masing-masing. Namun karena di dunia ini terdapat lebih dari 200 negara, maka akan terjadi interaksi baik positif maupun negatif satu sama lain yang memunculkan adanya kepentingan nasional sesuai tahapan waktu dan perkembangan lingkungan strategis global, regional maupun nasional. 

Bangsa Indonesia yang menegara dalam wadah Negara Kesatuan RI juga mempunyai cita-cita Nasional dan tujuan Nasional sesuai tang tertera pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945 yang dapat pula disebut sebagai Kepentingan Nasional yang abadi. 

Dalam perkembangan lingkungan yang strategis global, regional maupun nasional termasuk interaksi antar negara, maka muncullah kepentingan Nasional Indonesia yang dinamis yang pada dasarnya terdiri dari tiga serangkai kata yaitu kepentingan Keamanan Nasional, kesejahteraan nasional dan ekonomi nasional. 
Sesuai analisa lingkungan strategis, maka pepentingan nasional Indonesia hingga tahun 2009 prioritasnya dapat digambarkan sebagai berikut : 

Survival. Berupa integritas territorial, Keaulatan nasional dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Vital. Berupa stabilitas regional, stabilitas politik, pembangunan ekonomi dan penegakan hukum.

Penting. Berupa keharmonisan SRA, HAM dan lingkungan hidup Marjinal. Berupa perdamaian dunia dan ketertiban meluas Indonesia. 

Selanjutnya sejalan dengan kepentingan Nasional Indonesia, maka prioritas kebijakan Nasional Indonesia adalah : Menjaga integritas territorial dan menegakan kedaulatan nasional Indonesia serta membangkitkan ekonomi nasional Indonesia yang didukung oleh politik luar negeri Indonesia dalam mewujudkan stabilitas regional. 

Memelihara reformasi menuju masyarakat madani yang demokratis, sejahtera berdasarkan hokum dan stabilitas politik. Menegakan HAM dan HAWNI, mencegah konflik sosial dan memelihara lingkungna hidup. Berpartisipasi secara terukur dalam memelihara perdamaian dunia dan keterlibatan meluas Indonesia. 
Prioritas kebijakan Nasional Indonesia dijabarkan dalam visi dan misi pembangunan Nasional Indonesia seperti yang tercantum pada rencana pembangunan jangka menengah Nasional (RJPM Nas) tahun 2004-2009 yang substansinya adalah mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratuis serta sejahtera.



Kamis, 06 Agustus 2009

Tidak Ada Prajurit Yang Jelek(2)



Disiplin dan profesionalisme adalah jalan atau napas hidup. Karena rutinitas kesehariannya telah di program dan diarahkan sedemikian rupa sehingga ia paham betul akan tuntutan tugasnya. Pertanyaan berikutnya adalah sampai sejauh mana seorang prajurit dapat dibentuk kalau sarana dan prasarana untuk itu masih sangat jauh dari katagori minimal. Terbayangkah oleh kita bagaimana bentuk prajurit itu akan jadi apa, kalau misalnya sejak jam 04.30 mereka sudah bangun, mempersiapkan diri, dan baru tiba di kantor pada jam 06.45. Setelah apel pagi maka dimulailah rutinitas latihan sampai jam 11.30 dilanjutkan istirahat; dan nanti pada jam 13.30 dilanjutkan dengan latihan berikutnya hingga jam 14,30.

Untuk selanjutnya pulang kantor dengan angkutan umum. Secara logika, tanpa suatu kalori tambahan, tidak mungkin mereka di latih secara berlanjut, dan sayangnya latihan-latihan fisik seperti itu dilakukan secara rutin tetapi dengan dukungan seadanya. Dari segi pendapatan yang mencerminkan kesejahteraan hidup,Profil prajurit kita tidak jauh berbeda dengan kehidupan buruh bulanan dengan standar gaji UMR Nasional. Kalau dilakukan penelitian posisi keuangan para prajurit kita itu, maka bayangan saya kurang lebih demikian; 5 % dari mereka mempunyai gaji negatif; artinya tidak bisa membawa pulang gajinya sama sekali. 30% dari mereka mempunyai penghasilan dengan sebesar “dibawah sepertiga gaji”; 30 % berikutnya mempunyai penghasilan 30-40 % gaji, dan sisanya barulah mereka yang mempunyai penghasilan diatas 40% gaji. 

Kita harus realistik, bahwa Prajurit dengan kondisi lingkungan dan keuangan seperti inilah yang menjadi andalan kita.... Dalam system pertahanan, philosofinya adalah pertama; mampu mengerahkan kekuatan yang unggul ; kedua dapat memproyeksikannya ke medan pertahanan yang direncanakan dan ketiga mampu menggagalkan pengerahan kekuatan lawan ke medan pertempuran yang mereka rencanakan. Yang menjadi pertanyaan mendasar disini adalah, bagaimana sebenarnya kekuatan TNI kita ? Postur TNI kita itu apakah sudah mencerminkan postur yang ideal ? Dari sekian jumlah prajurit tersebut, apakah sudah mencerminkan perimbangan yang serasi antara prajurit tempur, banpur dan banmin ? atau malah sebenarnya kita hanya tentara banmin yang besar ? kehawatiran itu sebenarnya tidak beralasan, karena tentu sudah diatur; tapi siapa tahukan? Hal berikutnya adalah mampu atau dapat memproyeksikannya ke medan pertahanan yang direncanakan; dalam hal seperti ini ada dua pertanyaan mendasar. Pertama apakah gelar “deployment” kekuatan atau pasukan TNI sudah mencerminkan pertahanan dari ancaman yang paling realistik ?

Artinya apakah “gelar” kekuatan yang ada sekarang sudah sesuai ? Apakah 12 Kompartemen strategis “Koter” kita sudah realistik? Di Sumatera ada 4 kodam, di Jawa ada 3 Kodam tapi di Papua, Kalimantan dan Sulawesi yang sebesar itu hanya ada masing-masing satu kodam. Sebab jangan lupa, ketika masalah Ambalat tempo hari, ternyata “base operasi” TNI-AU kita hanya ada di Makassar dan kalaupun di geser ke Balikpapan,tetap saja kedodoran; sebab tetap saja mereka butuh waktu 45 menit untuk bisa ke Ambalat, dan itu berarti mereka hanya punya waktu efektif untuk tarung selama 15 menit, sudah itu harus segera kembali ke “base” nya. Kedua punyakah kita Sarpras angkut personil dan alut sista yang bisa di gerakkan untuk ke medan operasi yang direncanakan? Untuk kemampuan yang ketiga, mampu menggagalkan pengerahan kekuatan lawan ke medan pertempuran yang mereka rencanakan; yakni adanya kemampuan untuk menghancurkan lawan di luar territorial sendiri, tentu masih amat jauh dari kenyataan. 

Karena itu untuk kemampuan itu kita biarkan saja dahulu. Lebih lagi kalau dikaitkan dengan kebijakan Dephan yang menerapkan “ kebijakan “Filling the gap atau minimum essensial force”; sangat jauh panggang dari api. Setelah ketiga, prasarat itu kita sesuaikan dengan kondisi TNI kita, maka yang terahir adalah system manajemennya. Artinya apakah TNI kita itu sudah dikelola secara kaidah-kaidah organisasi dengan manajemen modern? Apakah kehawatiran bapak Kiki Sahnarky ( mantan Wakasad) yang masih melihat besarnya intervensi terhadap “merit system”? yang menyebabkan munculnya pimpinan prajurit dibawah standar, hanya karena mereka punya akses nepotisme dan sebagainya? Dilingkungan TNI AD program latihan sebenarnya sudah mempunyai suatu standar serta siklus yang sudah baku. Masalah muncul, karena tradisi satuan biasanya berbeda. Sistem itu biasanya sudah merupakan suatu siklus, yang dimulai dengan Latihan Perorangan, proses ini diahiri dengan Uji Trampil Perorangan. Kemudian dilanjutkan dengan Latihan Teknis Kelompok dan juga diahiri dengan Uji Siap Kerja Tingkat Kelompok; tingkatan kelompok ini mencerminkan satuannya masing-masing, kalau dia di Batalyon, itu berarti mulai dari perorangan, regu, peleton, Kompi, dan Yon. Kalau di satuan Banpur/Banmin; maka dia berarti mulai dari perorangan, Urusan, Seksi, Bagian dan selanjutnya Pusat, Direktorat atau satu Dinas secara utuh. 

Meskipun siklusnya sama, akan tetapi dinamika antar satuan bisa sangat berbeda. Bagi satuan yang kegiatannya sering harus dilakukan di lapangan serta bergerak tidak secara utuh, tentu akan berbeda pula dengan satuan yang mempunyai tugas lain di luar Tugas Pokoknya. Ada pula satuan yang menempatkan siklus peringatan hari jadinya sebagai kesempatan untuk memperlihatkan kebolehan satuannya. Dengan demikian dinamika satuan, antara yang satu dan lainnya sangat berbeda. Bahkan tidak jarang pula, ada satuan yang tidak bisa mensikronkan antara sistem pelatihan satuan dengan pelaksanaan tugas pokoknya. Satuan-satuan seperti ini, umumnya mempunyai kinerja lemah dan sulit diharapkan bisa berkembang secara baik. Matinya Mekanisme Organisasi Demikian pula ketrampilan perorangan pada masing-masing satuan, bagi satuan yang tuntutan teknisnya cepat berubah; karena perubahan teknologi dan perlatan satuan, maka satuan seperti itu umumnya mengalami kesulitan untuk membuat suatu standar ketrampilan secara baku. Tetapi bagi satuan yang relatif tidak berubah, hal itu dapat di formalkan dalam suatu Buku petunjuk ketrampilan bagi perorangan. 

Dengan demikian mereka dapat melatihkannya secara berulang-ulang dan berlanjut. Tetapi sebaliknya, bagi mereka yang mengalami perubahan secara cepat; maka materi yang dilatihkanpun akan berubah secara cepat dan hal seperti ini sulit untuk dibakukan. Kalau satuan tersebut tidak awas, maka bukan mustahil mereka akan kesulitan memadukan antara latihan para prajuritnya dengan tugas pokok satuan. Besarnya perhatian satuan terhadap siklus latihan serta dihubungkan dengan dinamika penugasan serta tugas-tugas lain diluar tugas pokok, dengan sendirinya sangat tergantung dengan watak kepemimpinan di satuan yang bersangkutan. Salah satu kendala dan sudah menggejala adalah antara dukungan dana dan realisasinya. Intinya, dana yang direalisasikan terlalu minim; jauh dibawah standar. Bila kita hendak melihat hal mendasar lainnya adalah pada pelaksanaan Tugas Pokok, pelatihan dan penugasan dalam mekanisme organisasi. 
Kalau dilihat dengan jernih, kita harus mengakui bahwa mekanisme organisasi tidak dapat berjalan dengan semestinya. Yang sangat menonjol adalah, lemahnya kemampuan manajemen satuan. Dalam dinamikanya, yang terjadi adalah, tidak berfungsinya organisasi secara optimal. Intinya, dana yang diberikan untuk pelaksanaan tugas tidak diberikan secara memadai, kalaupun diberikan, jumlahnya terlalu minim. Hal seperti ini, bilamana tidak disikapi secara arif. Maka proses yang terjadi adalah proses penghancuran dari dalam organisasi itu sendiri. Mekanisme organisasi tidak dapat berfungsi. Kotler menyebut hal demikian sebagai “ kegagalan dalam berorganisasi”. Penyebabnya adalah, lemahnya kualitas manajerial SDM akibat matinya aliran dana. Tumpulnya mekanisme organisasi, akan mengakibatkan sistem atau siklus komando jadi terhambat dan tidak bisa optimal dan secara perlahan-lahan akan melumpuhkan organisasi. 

Yang populer adalah cara-cara membaypas tadi; dengan demikian secara perlahan-lahan pula akan muncullah pimpinan – pimpinan yang serba bisa, meski tidak didukung oleh dana sama sekali. Apakah dana diambilkan dari sektor lain atau kualitas pekerjaan yang dikorbankan. Tidak peduli macam tugas, tidak perlu mempertimbangkan pembagian tugas; namun karena sudah “ terlanjur” di percaya atasan, maka semua ditangani dengan cara apa bisanya. Mula-mula, hal seperti ini, karena memang dibutuhkan dianggap wajar-wajar saja. Tetapi karena polanya terus berulang, maka yang muncul adalah kepemimpinan “ one men show” tadi. Suatu organisasi besar yang seharusnya demikian banyak makanismenya, dan melibatkan banyak peralatan serta dengan standar prosedur tetap yang sudah ada, tokh ahirnya hanya dijalankan oleh beberapa personil saja. Untuk kepentingan sesaat, hal seperti itu akan berfungsi dan bisa menghasilkan produk, meski barangkali disadari tidak sesuai dengan yang diharapkan. 
Akan tetapi sebenarnya, kalau dilihat dari segi proses, maka yang terjadi adalah suatu organisasi yang diawaki oleh para personil yang memang sadar bahwa mekanisme oragnisasinya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Proses apatisme tumbuh tanpa disadari. Yang terjadi kemudian adalah proses pelaksanaan Tugas Pokok di suatu organisasi, berjalan dan berproses diluar mekanisme yang semestinya. Seharusnya, setiap unit organisasi sesuai dengan Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran telah mempunyai rangkaian kegiatan disertai dengan adanya dana yang diperuntukkan untuk membiayai program tersebut. Akan tetapi karena organisasinya memang tidak “sehat”, maka pemakaian dana tidak dilewatkan pada mekanisme yang semestinya. Tetapi dengan cara baypas tadi. Secara fisik pelaksanaan tugas bisa berjalan dengan apa adanya; dan tidak melewati mekanisme sebagaimana mestinya. 
Dengan kata lain, seharusnya dana yang ada dapat memutar roda organisasi secara profesional; akan tetapi yang terjadi adalah dana tidak dimanfaatkan dalam membangun kemampuan organisasi; Organisasi itu tidaklagi mampu memberikan wadah yang pantas untuk tumbuhnya suatu profesionalisme. UPAYA PENINGKATAN Bagaimanapun bentuknya, namun prajurit yang kita miliki saat ini adalah yang terbaik yang bisa kita kembangkan. Bagaimanapun kerasnya suatu uapaya akan tetapi bila kita melihat lingkupnya atau konsteknya maka penekanan yang berlebihan tanpa melihat realita maka tidak mustahil dia akan melahirkan kondisi yang lebih jelek lagi. Seperti disersi massal, hanya karena dipicu oleh masalah sepele. 
Kedepan, kalau perubahan ini tidak dicermati secara cerdas maka bukan mustahil para prajurit kita itu akan jadi tentara bayaran, yang dapat dibeli oleh lingkungannya. Barangkali bukan lagi karena uang, tetapi karena ikatan emosional, agama, etnis dll. Menurut Hantington ada tiga asfek yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan profesionalisme, pertama adalah keahlian itu sendiri; kedua adalah tanggung jawab dan yang ketiga adalah kerjasama. Dari ketiga asfek ini maka perlu dipertanyakan adalah kualitasnya sendiri. Pertama sampai sejauh mana kualitas keahlian yang bisa diberikan oleh lembaga-lembaga pusdik kepada para prajurit.Kalau jajaran Pusdik itu sendiri kinerjanya tidak optimal. Pertanyaan ini saja sudah mewajibkan kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Kondisi Pusdik jajaran TNI. 



Yakni tentang sistemnya, sarana pendukungnya, bahan ajarannya, tenaga pengajarnya; alins dan alonginnya dll. Sistemnya tentu tidak bisa dilepaskan dengan teknologi kesenjataannya sendiri. Jangan-jangan para prajurit yang mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pusdik pada saat ini bukannya akan tambah ahli tetapi malah jadi lebih “bodoh”; mati inisiatif dan kehilangan persepsi. Apalagi kalau jajaran Pusdik itu tidak mempunyai Alins dan Alongin yang sama dengan yang dipakai oleh prajurit di satuannya masing-masing. Semoga saja tidak sesuram itu. Setiap saat para pimpinan kita mengutarakan betapa pentingnya nilai peningkatan profesionalisme, maka sebenarnya kita sangat sadar dan bertanya dalam hati kita; apakah beliau-beliau yang diatas itu memahami apa sebenarnya yang terjadi di dalam organisasi yang mereka pimpin itu. 
Secara logika, mereka tahu persis, tetapi kalau proses yang seperti itu sama sekali tidak diperbaiki maka kedepan yang ada adalah organisasi yang tidak sehat, yang tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan apa-apa. Peningkatan profesional prajurit yang masih rasional bisa dilakukan dalam mekanisme dan kualitas organisasi yang kita miliki saat ini; adalah kualitas profesional yang semu. Sejauh itu dalam bentuk tulisan atau sesuatu yang cukup diungkapkan dengan kata-kata, para prajurit kita itu pasti bisa dikataggorikan hebat. Artinya, profesionalitas para prajurit kita itu, baru pada tahapan teoritis. 

Tapi kalau sudah diukur secara riel dengan ketrampilan, maka nilai keprofesionalismeannya tertinggal sama sekali. Upaya pengembangan dan peningkatan profesionalitas di kalangan para prajurit yang paling rasional dikedepankan pada saat ini adalah dengan jalan memperbaiki kinerja organisasi. Mekanisme satuan harus benar-benar diputar secara benar dan di danai secara wajar. Mekanisme organisasi harus dihidupkan sesuai dengan ciri khas satuan masing-masing. Pemutaran mekanisme organisasi tersebut, hendaknya juga membawa angin kesejahteraan pada prajurit itu sendiri. Kalau hal mendasar seperti ini tidak bisa kita upayakan; maka penulis yakin organisasi ini pada ahirnya akan merupakan bagian dari masalah bangsa. Sama sekali tidak bisa diharapkan untuk mampu ikut membangun kehidupan bangsanya. Ketika Kasad, menunda keberangkatan Batayon itu ke medan 0perasii, mungkin saja kondisi kesiapannya sudah jauh dari ambang toleransi keprofesionalismean yang paling dasar,dan agar tidak menjadi beban baru. Selamat Ulang Tahun, Dirgahayu TNI.

Senin, 03 Agustus 2009

Tidak Ada Prajurit Yang Jelek (1)



Oleh : Harmen Batubara. Pada awal Februari 2001, waktu Kasad masih Jenderal Endriartono Sutarto, terpaksa membatalkan keberangkatan satu Batalyon ke daerah Aceh, dikarenakan ketidak siapan Batalyon tersebut, yang ketahuan pada saat dilakukan inspeksi pasukan. Apakah kondisi Batalyon tersebut masih bisa dikatakan sebagai pencerminan kondisi kesiapan Yon secara umum di jajaran TNI-AD atau hanya terbatas pada satuan itu saja ? Kalau kita realistis dan mau memahami kondisi intern kehidupan prajurit TNI-AD serta dikaitkan dengan tingkat kemampuan dukungan perekonomian Nasional, maka sesungguhnya yang terjadi dengan Yon tersebut rasanya adalah gambaran nyata dari kondisi Yon yang ada di lingkungan TNI-AD. 
Betul, masih banyak kualitas Yon yang jauh lebih baik dari Yon tersebut, akan tetapi harus diakui bahwa memang terdapat kecenderungan menurunnya etos profesionalisme di lingkungan prajurit. Sangat sulit dibayangkan untuk kebutuhan latihan kemahiran menembak saja, peluru tidak tersedia atau terpaksa merubah latihan drill di lapangan dengan latihan simulai; semuanya berujung karena keterbatasan anggaran. Bagaimana upaya yang mesti diambil untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme prajurit dilingkungan AD, di tengah-tengah kondisi perekonomian dan masalah sosial bangsa yang demikian kompleks. 
Maksud tulisan ini adalah menjelaskan bahwa pembinaan profesionalisme di lingkungan prajurit memerlukan pola pendekatan yang cerdas, tidak saja harus menyentuh keberadaan para prajurit akan tetapi juga harus mencakup lingkungannya; yakni dengan jalan memberdayakan organisasi maupun institusi di mana prajurit itu berada. Tujuannya adalah sebagai bahan masukan dan renungan bagi para pimpinan di ingkungan TNI-AD. Seorang prajurit, tidak bisa lepas dari kondisi riel lingkungannya. Hal ini bisa disamakan dengan kehidupan mahluk lainnya; misalnya seperti kehidupan ikan dengan kualitas air yang menjadi tempat hidupnya. 
Ikan yang hidup disuatu empang, akan sangat berbeda dengan ikan yang besar dan tumbuh disuatu akuarium, atau dengan seekor ikan yang hidup di sungai-sungai yang keruh akibat penggundulan hutan; atau dengan ikan yang hidup di sungai besar di lingkungan hutan Kalimantan atau Papua. Bagaimanapun lingkungan akan secara langsung berintegrasi dengan pola hidupnya. Dalam profesionalisme prajurit maka lingkungan akan secara langsung ikut memberi warna kualitas keprofesionalismeannya. Besarnya pengaruh lingkungan ditunjukkan oleh fisik dari mahluk itu sendiri.

Secara harfiah hal ini dapat kita lihat bagaimana fisik seorang pejuang Afganistan dengan fisik seorang prajurit Indonesia. Kondisi semacam ini tidak perlu diragukan; sebab untuk bisa bertahan di gurun atau gunung-gunung batu cadas Khandahar Afganistan, seseorang haruslah kuat secara fisik, baik untuk menaklukkan medannya sendiri dan juga untuk mengatasi kondisi cuaca yang begitu ekstrim. Berbeda dengan seorang prajurit Indonesia yang hidup di hutan-hutan Irian atau Kalimantan. Sudah alamnya ramah, penuh pepohonan, dan air. Hutannya nyaris, tidak mempunyai binatang yang mematikan. Kalaupun ada, jumlahnya tidaklah signifikan, kita perhalus saja, binatangnyapun sangat sopan. Secara umum para prajurit kita hidup dalam dua pola yang khas, yang pertama adalah prajurit yang tinggal di Kesatriaan, dan kedua yang hidup berbaur dengan masyarakat. 

Hidup di kestriaan, sebenarnya masih bisa dibedakan antara yang mempunyai fasilitas perumahan yang lengkap, yang memadai dan yang kurang memadai. Begitu juga dengan yang berbaur dengan masyarakat; ada yang di daerah menengah bukan real estate dan ada pula yang di daerah kumuh. Secara umum, para prajurit kita itu dapat dikatakan mewakili masyarakat kita dengan golongan menengah ke bawah. Gaji Dan Profesionalisme Jadi kalau kita hendak melihat para prajurit TNI, maka sebenarnya tidak bisa kalau kita tidak melihat keadaan masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah. Karena bagaimanapun, antara keduanya sungguh tidak bisa dipisahkan secara jelas. Interaksi diantara mereka akan saling mempengaruhi. Masalah siapa yang paling dominan dalam memberi warna, akan sangat tergantung pada kondisi dan situasinya. 
Dari awalnya, TNI memang adalah tentara rakyat atau rakyat yang dipersenjatai.Dihadapkan dengan pengembangan profesionalisme, maka perlu dilandasi oleh pemikiran tentang profesionalisme seperti apa yang akan kita kembangkan kedepan. Mengembangkan profesionalisme prajurit tanpa mempertimbangkan lingkungan dan kualitas kehidupannya sendiri; sulit untuk membayangkannya; Contoh yang tepat barangkali adalah Tentara Ghurkanya Inggeris. Disatu segi kita tahu kualitas profesionalisme keprajuritan Tentara Ghurka, dan di sisi lain kita tahu kondisi masyarakat Ghurka di tempat asalnya. Yang terjadi adalah, mereka secara sosial, memang datang dari tingkatan sosial yang tidak jauh berbeda dengan kualitas masyarakat dari dunia ketiga; tetapi Inggeris menempa mereka dengan peralatan dan lingkungan pendidikan kelas utama dunia. Hasilnya, adalah tentara Ghurka Inggeris seperti yang dikenal oleh Dunia saat ini.