Selasa, 18 Agustus 2009

Tanah Air Merdeka,

Oleh : Sukardi Rinakit

Malam. 11 Agustus 2009. Seorang teman mengajak menonton peluncuran film Merah Putih. Sebuah film perjuangan yang dimaksudkan untuk meneguhkan pewarisan ingatan tentang nasionalisme dan terbentuknya republik. Sebuah upaya untuk melawan lupa atas sejarah bangsa dan kebinekaan Indonesia.

Hal yang membuat saya terkejut, kognitariat (pekerja otak) di belakang pembuatan film tersebut adalah Hasyim Djojohadikusumo. Ini menambah daftar panjang ”orang-orang yang tak terduga” di dalam catatan penulis. Arifin Panigoro, misalnya, secara konsisten menjadikan rumahnya sebagai pusat persemaian intelektual dan gerakan kebangsaan ketika banyak tempat diskusi menjadi layu. Ada juga Franky Welirang yang mencoba membuat gerak kebudayaan tradisional, terutama wayang kulit, agar tetap bisa meliuk di tengah budaya instan yang ganas saat ini.

Pendeknya, ada orang-orang tak terduga di setiap profesi. Seperti ketiga pengusaha tersebut, banyak pula seniman, wartawan, militer, mahasiswa, petani, buruh, intelektual, menjadi orang-orang tak terduga. Suka atau tidak, mereka adalah bagian dari anak bangsa yang begitu mencintai kelangsungan hidup Indonesia. Mereka mencintai Tanah Air merdeka.

Tanpa bendera
Individu-individu yang tak terduga tersebut secara umum mempunyai karakteristik yang sama. Mereka tidak mempunyai bendera khusus sebagai simbol identitas. Eksistensinya tidak disandarkan pada massa golongan. Mereka hadir di ranah kebangsaan bukan karena profesi dan posisinya, tetapi karena tindakannya. Oleh sebab itu, kepemimpinannya dikenal sebagai tanpa bendera.

Idealnya, karakter seperti itu juga dipanggul oleh mayoritas elite, terutama mereka yang di ranah kekuasaan. Sebagai kelompok masyarakat yang sudah mendapatkan privilese, tanggung jawab para elite adalah ikut menegakkan konstitusi dan bukan sekadar mendaku sebagai kelompok yang paling peduli kepada demokrasi.

Sejatinya, yang paling peduli pada kelangsungan praksis demokrasi adalah rakyat dan bukan elite. Ini menyangkut mimpi dan harapan rakyat untuk bisa hidup lebih baik. Sedangkan para elite secara umum tetap bisa menikmati hak-hak istimewa apa pun kondisi politik, ideologi, dan sistem pemerintahan yang berlaku.

Tampaknya, memang diperlukan pembalikan cara pikir seperti itu—bahwa rakyatlah yang sebenarnya lebih peduli kepada demokrasi. Melalui demokrasi, mereka bukan saja mengharapkan pintu-pintu kemakmuran menjadi terbuka, tetapi juga tegaknya keadilan. Semua itu bertujuan untuk memupus kemiskinan dan ketidakadilan hidup, yang karena begitu lama mereka jalani, sampai-sampai sudah diyakini sebagai takdir.

Berbeda dengan kelompok elite tertentu yang hanya memikirkan diri sendiri sehingga seperti katak yang tidak pernah meninggalkan balongnya, para individu pemanggul kepemimpinan tanpa bendera, meminjam istilah yang sering digunakan WS Rendra, selalu berada dalam ranah manjing kahanan (kontekstualitas). Sadar atau tidak, mereka telah menempatkan pluralisme bangsa sebagai koordinat paradigma pembangunan.

Dengan demikian, kalau semua bergerak linier, bukan hanya variabel ekonomika semata yang mereka anggap penting, tetapi juga keadilan. Dalam konteks ini, indikator keberhasilan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi sebagai ”tujuan suci”, tetapi kehidupan rakyat yang tenteram, bisa tersenyum, meskipun mungkin tidak kaya raya. Inilah sebenarnya inti sari perasaan merdeka. Baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Bukan sekadar tanah

Harus diakui secara jujur bahwa sampai saat ini cita-cita proklamasi yang dirumuskan para bapak bangsa masih jauh dari terwujud. Belum semua warga negara bebas dari ketakutan, hidup sejahtera, cerdas, dan berpendidikan.

Namun, semangat dan arah kebijakan yang digariskan setiap presiden membawa perubahan yang lebih baik meskipun terbatas pada sektor-sektor tertentu, terutama menyangkut mekarnya nasionalisme, demokrasi, pluralisme, dan pemberantasan korupsi.

Hipotesis saya, lambatnya bangsa Indonesia mendekati terwujudnya cita-cita proklamasi tersebut disebabkan tidak komprehensifnya kebijakan yang diambil pemerintah. Para pengambil keputusan cenderung fokus pada program aksi kontinental dan mengabaikan maritim. Padahal, konstruksi republik adalah Tanah Air Indonesia. Wilayah, penduduk, dan jiwa kita adalah gabungan tanah dan air. Mengabaikan salah satu unsur tersebut berarti tubuh, pikiran, dan semangat dipastikan limbung. Padahal, kekayaan laut yang kita miliki melimpah, tidak kalah dengan darat.

Mungkin karena kuatnya tarikan kebijakan kontinental tersebut sejak era Mataram, membuat jiwa egaliter pesisiran secara perlahan berubah menjadi penuh tata krama, cenderung siklis, kurang disiplin, dan melodramatik. Semua ini secara alamiah menjauhkan pikiran rakyat dari memori pentingnya peran laut bagi perwujudan cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Situasi tersebut diperburuk oleh kecenderungan kita untuk menggemari slogan ”Tanah Merdeka” dan bukan ”Tanah Air Merdeka”. Akibatnya, ketika mengajari anak-anak atau mengajaknya berlibur, kita cenderung mengabaikan laut. Tidak mengherankan ketika mereka tumbuh, memorinya adalah daratan. Kalau suatu saat mereka menjadi perumus kebijakan, paradigma berpikirnya pasti kontinental.

Padahal, pada masa depan, tanpa menggabungkan unsur ”Tanah Air” pada keempat bidang utama (nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neuro sains), rasanya sulit bagi kita untuk berkompetisi secara global.

Kalah berkompetisi berarti bangsa ini akan miskin. Anda mau? Saya tidak. Merdeka Tanah Airku!

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndica,Kompas, sabtu, 15 Agustus 2009

Tidak ada komentar: