Minggu, 23 Agustus 2009

Tak Dihadiri Mantan Presiden, Momentum Dalam Persiapkan Kader Pemimpin

Jakarta, Kompas - Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8), tidak dihadiri para mantan presiden.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk kelima kalinya tidak hadir memenuhi undangan. Menurut Guruh Soekarnoputra yang hadir dalam acara itu, Megawati menggelar dan memimpin sendiri upacara peringatan detik-detik Proklamasi bersama Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Kebagusan, Jakarta.

Guruh datang bersama Sukmawati Soekarnoputri. Keduanya selalu hadir selama lima tahun pemerintahan Yudhoyono. Sebelumnya telah datang Dewi Soekarno (salah satu istri Presiden Soekarno), Rachmawati Soekarnoputri, dan Bayu Soekarnoputra. Rachmawati sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga selalu hadir dalam lima tahun pemerintahan Yudhoyono.

Dua mantan presiden, yaitu BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid, yang pernah beberapa kali hadir dalam upacara itu, kini berhalangan. Habibie tengah berada di Jerman, sedangkan Abdurrahman masih terbaring sakit.

Dalam kesempatan sebelumnya, Presiden Yudhoyono menegaskan, perayaan Hari Ulang Tahun Ke-64 RI diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kembali persatuan pasca-Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009.

Diguyur hujan

Pada acara malam hari, sebelum Presiden dan Wapres yang didampingi Ny Ani Yudhoyono dan Ny Mufidah Jusuf Kalla menerima ucapan selamat dari para duta besar dan perwakilan negara sahabat, hujan deras tiba-tiba turun dan membasahi seluruh areal taman tengah Istana, termasuk meja-meja dan kursi para tamu undangan serta panggung tempat pertunjukan orkestra yang dipimpin Dwiki Dharmawan.

Pemusik dan penyanyi yang tengah memainkan sejumlah lagu sebelum acara dimulai berlarian untuk berteduh.

Presiden dan Wapres berkoordinasi dengan protokol dan sejumlah ajudan untuk mempersiapkan tempat resepsi kenegaraan. Sambil tersenyum, Presiden dan Ny Ani Yudhoyono mengawasi taplak meja dan kursi diganti dengan cepat. Gelas-gelas yang bercampur dengan air hujan diganti. Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal sempat meminta maaf kepada para tamu dan meminta mereka menunggu sambil meja dan kursi kembali dipersiapkan....

Lahirkan pemimpin

Sejumlah politisi muda, yaitu Yuddy Chrisnandi (Partai Golkar), Budiman Sudjatmiko (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Lukman Hakim Saifuddin (Partai Persatuan Pembangunan), dalam perbincangan dengan Kompas, Senin (17/8), menyampaikan refleksinya terkait HUT Kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, partai politik saat ini terjebak pada kepentingan pragmatis dan melupakan tugas pentingnya untuk melakukan pendidikan politik dan membangun sistem pengaderan yang mampu melahirkan calon pemimpin berkualitas.

Yuddy mengakui, saat ini parpol belum mampu menjadi institusi yang mampu mengartikulasikan suara rakyat. Parpol juga tidak mampu menyediakan calon pemimpin nasional yang mumpuni. Bahkan, parpol juga tidak mampu melakukan pengaderan terencana untuk regenerasi kepemimpinan internalnya. ”Parpol lebih asyik berkolaborasi dengan kepentingan jangka pendek daripada memperjuangkan demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya. Parpol terjebak pada pragmatisme sempit materialistis, tidak lagi ideologis,” katanya.

Ini semua karena pemimpin parpol tidak berorientasi pada strategi mempersiapkan sumber daya manusia parpol yang berkualitas dan berintegritas. Kondisi ini pada akhirnya melemahkan daya tawar parpol sendiri di mata kekuasaan.

Lukman menilai parpol terlalu tersita perhatiannya pada upaya menggapai dan menyikapi secara kritis pemerintahan. Parpol kurang memerhatikan pendidikan politik pada rakyat, sementara rakyatnya dididik pihak lain dengan ajaran atau paham yang justru bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Pada masa mendatang, lanjutnya, parpol dan semua elemen bangsa harus lebih mengintensifkan pendidikan wawasan kebangsaan dengan bertumpu pada nilai-nilai moralitas dan spiritualitas yang benar. ”Dengan begitu, keindonesiaan kita tidak terkoyak oleh paham ekstrem garis keras,” katanya.

Budiman berpandangan, pembangunan kepartaian di Indonesia seharusnya mampu melahirkan kader-kader yang bisa menjadi pemimpin bangsa untuk menjalankan amanat tujuan dari kemerdekaan yang diamanatkan UUD 1945.

Kemerdekaan itu memberi amanat kepada bangsa Indonesia untuk membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. ”Setelah 10 tahun hidup dalam sistem multipartai, kualitas kader parpol masih dipertanyakan,” ucapnya.

Sekarang ini bahkan ada kecenderungan orang lebih memercayai apa yang disebut sebagai kaum profesional ketimbang orang partai, misalnya untuk menduduki jabatan menteri. Ada kesan kuat bahwa orang partai politik itu tidak profesional.

Karena itu, pola perekrutan dan pengaderan kepartaian harus dibenahi. ”Harus diakui sampai hari ini belum banyak prasyarat keteguhan ideologis dan keterampilan teknis itu bisa dipenuhi kebanyakan parpol kita. Ada juga orang berpartai sekadar untuk membangun jaringan bisnis tanpa visi bangsa. Logika seperti ini bukan logika seorang kader partai yang militan dan progresif,” katanya. (INU/DAY/HAR/SUT, Selasa, 18 Agustus 2009)

Tidak ada komentar: