Senin, 03 Agustus 2009

Tidak Ada Prajurit Yang Jelek (1)



Oleh : Harmen Batubara. Pada awal Februari 2001, waktu Kasad masih Jenderal Endriartono Sutarto, terpaksa membatalkan keberangkatan satu Batalyon ke daerah Aceh, dikarenakan ketidak siapan Batalyon tersebut, yang ketahuan pada saat dilakukan inspeksi pasukan. Apakah kondisi Batalyon tersebut masih bisa dikatakan sebagai pencerminan kondisi kesiapan Yon secara umum di jajaran TNI-AD atau hanya terbatas pada satuan itu saja ? Kalau kita realistis dan mau memahami kondisi intern kehidupan prajurit TNI-AD serta dikaitkan dengan tingkat kemampuan dukungan perekonomian Nasional, maka sesungguhnya yang terjadi dengan Yon tersebut rasanya adalah gambaran nyata dari kondisi Yon yang ada di lingkungan TNI-AD. 
Betul, masih banyak kualitas Yon yang jauh lebih baik dari Yon tersebut, akan tetapi harus diakui bahwa memang terdapat kecenderungan menurunnya etos profesionalisme di lingkungan prajurit. Sangat sulit dibayangkan untuk kebutuhan latihan kemahiran menembak saja, peluru tidak tersedia atau terpaksa merubah latihan drill di lapangan dengan latihan simulai; semuanya berujung karena keterbatasan anggaran. Bagaimana upaya yang mesti diambil untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme prajurit dilingkungan AD, di tengah-tengah kondisi perekonomian dan masalah sosial bangsa yang demikian kompleks. 
Maksud tulisan ini adalah menjelaskan bahwa pembinaan profesionalisme di lingkungan prajurit memerlukan pola pendekatan yang cerdas, tidak saja harus menyentuh keberadaan para prajurit akan tetapi juga harus mencakup lingkungannya; yakni dengan jalan memberdayakan organisasi maupun institusi di mana prajurit itu berada. Tujuannya adalah sebagai bahan masukan dan renungan bagi para pimpinan di ingkungan TNI-AD. Seorang prajurit, tidak bisa lepas dari kondisi riel lingkungannya. Hal ini bisa disamakan dengan kehidupan mahluk lainnya; misalnya seperti kehidupan ikan dengan kualitas air yang menjadi tempat hidupnya. 
Ikan yang hidup disuatu empang, akan sangat berbeda dengan ikan yang besar dan tumbuh disuatu akuarium, atau dengan seekor ikan yang hidup di sungai-sungai yang keruh akibat penggundulan hutan; atau dengan ikan yang hidup di sungai besar di lingkungan hutan Kalimantan atau Papua. Bagaimanapun lingkungan akan secara langsung berintegrasi dengan pola hidupnya. Dalam profesionalisme prajurit maka lingkungan akan secara langsung ikut memberi warna kualitas keprofesionalismeannya. Besarnya pengaruh lingkungan ditunjukkan oleh fisik dari mahluk itu sendiri.

Secara harfiah hal ini dapat kita lihat bagaimana fisik seorang pejuang Afganistan dengan fisik seorang prajurit Indonesia. Kondisi semacam ini tidak perlu diragukan; sebab untuk bisa bertahan di gurun atau gunung-gunung batu cadas Khandahar Afganistan, seseorang haruslah kuat secara fisik, baik untuk menaklukkan medannya sendiri dan juga untuk mengatasi kondisi cuaca yang begitu ekstrim. Berbeda dengan seorang prajurit Indonesia yang hidup di hutan-hutan Irian atau Kalimantan. Sudah alamnya ramah, penuh pepohonan, dan air. Hutannya nyaris, tidak mempunyai binatang yang mematikan. Kalaupun ada, jumlahnya tidaklah signifikan, kita perhalus saja, binatangnyapun sangat sopan. Secara umum para prajurit kita hidup dalam dua pola yang khas, yang pertama adalah prajurit yang tinggal di Kesatriaan, dan kedua yang hidup berbaur dengan masyarakat. 

Hidup di kestriaan, sebenarnya masih bisa dibedakan antara yang mempunyai fasilitas perumahan yang lengkap, yang memadai dan yang kurang memadai. Begitu juga dengan yang berbaur dengan masyarakat; ada yang di daerah menengah bukan real estate dan ada pula yang di daerah kumuh. Secara umum, para prajurit kita itu dapat dikatakan mewakili masyarakat kita dengan golongan menengah ke bawah. Gaji Dan Profesionalisme Jadi kalau kita hendak melihat para prajurit TNI, maka sebenarnya tidak bisa kalau kita tidak melihat keadaan masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah. Karena bagaimanapun, antara keduanya sungguh tidak bisa dipisahkan secara jelas. Interaksi diantara mereka akan saling mempengaruhi. Masalah siapa yang paling dominan dalam memberi warna, akan sangat tergantung pada kondisi dan situasinya. 
Dari awalnya, TNI memang adalah tentara rakyat atau rakyat yang dipersenjatai.Dihadapkan dengan pengembangan profesionalisme, maka perlu dilandasi oleh pemikiran tentang profesionalisme seperti apa yang akan kita kembangkan kedepan. Mengembangkan profesionalisme prajurit tanpa mempertimbangkan lingkungan dan kualitas kehidupannya sendiri; sulit untuk membayangkannya; Contoh yang tepat barangkali adalah Tentara Ghurkanya Inggeris. Disatu segi kita tahu kualitas profesionalisme keprajuritan Tentara Ghurka, dan di sisi lain kita tahu kondisi masyarakat Ghurka di tempat asalnya. Yang terjadi adalah, mereka secara sosial, memang datang dari tingkatan sosial yang tidak jauh berbeda dengan kualitas masyarakat dari dunia ketiga; tetapi Inggeris menempa mereka dengan peralatan dan lingkungan pendidikan kelas utama dunia. Hasilnya, adalah tentara Ghurka Inggeris seperti yang dikenal oleh Dunia saat ini.



Tidak ada komentar: