Kamis, 06 Agustus 2009

Tidak Ada Prajurit Yang Jelek(2)



Disiplin dan profesionalisme adalah jalan atau napas hidup. Karena rutinitas kesehariannya telah di program dan diarahkan sedemikian rupa sehingga ia paham betul akan tuntutan tugasnya. Pertanyaan berikutnya adalah sampai sejauh mana seorang prajurit dapat dibentuk kalau sarana dan prasarana untuk itu masih sangat jauh dari katagori minimal. Terbayangkah oleh kita bagaimana bentuk prajurit itu akan jadi apa, kalau misalnya sejak jam 04.30 mereka sudah bangun, mempersiapkan diri, dan baru tiba di kantor pada jam 06.45. Setelah apel pagi maka dimulailah rutinitas latihan sampai jam 11.30 dilanjutkan istirahat; dan nanti pada jam 13.30 dilanjutkan dengan latihan berikutnya hingga jam 14,30.

Untuk selanjutnya pulang kantor dengan angkutan umum. Secara logika, tanpa suatu kalori tambahan, tidak mungkin mereka di latih secara berlanjut, dan sayangnya latihan-latihan fisik seperti itu dilakukan secara rutin tetapi dengan dukungan seadanya. Dari segi pendapatan yang mencerminkan kesejahteraan hidup,Profil prajurit kita tidak jauh berbeda dengan kehidupan buruh bulanan dengan standar gaji UMR Nasional. Kalau dilakukan penelitian posisi keuangan para prajurit kita itu, maka bayangan saya kurang lebih demikian; 5 % dari mereka mempunyai gaji negatif; artinya tidak bisa membawa pulang gajinya sama sekali. 30% dari mereka mempunyai penghasilan dengan sebesar “dibawah sepertiga gaji”; 30 % berikutnya mempunyai penghasilan 30-40 % gaji, dan sisanya barulah mereka yang mempunyai penghasilan diatas 40% gaji. 

Kita harus realistik, bahwa Prajurit dengan kondisi lingkungan dan keuangan seperti inilah yang menjadi andalan kita.... Dalam system pertahanan, philosofinya adalah pertama; mampu mengerahkan kekuatan yang unggul ; kedua dapat memproyeksikannya ke medan pertahanan yang direncanakan dan ketiga mampu menggagalkan pengerahan kekuatan lawan ke medan pertempuran yang mereka rencanakan. Yang menjadi pertanyaan mendasar disini adalah, bagaimana sebenarnya kekuatan TNI kita ? Postur TNI kita itu apakah sudah mencerminkan postur yang ideal ? Dari sekian jumlah prajurit tersebut, apakah sudah mencerminkan perimbangan yang serasi antara prajurit tempur, banpur dan banmin ? atau malah sebenarnya kita hanya tentara banmin yang besar ? kehawatiran itu sebenarnya tidak beralasan, karena tentu sudah diatur; tapi siapa tahukan? Hal berikutnya adalah mampu atau dapat memproyeksikannya ke medan pertahanan yang direncanakan; dalam hal seperti ini ada dua pertanyaan mendasar. Pertama apakah gelar “deployment” kekuatan atau pasukan TNI sudah mencerminkan pertahanan dari ancaman yang paling realistik ?

Artinya apakah “gelar” kekuatan yang ada sekarang sudah sesuai ? Apakah 12 Kompartemen strategis “Koter” kita sudah realistik? Di Sumatera ada 4 kodam, di Jawa ada 3 Kodam tapi di Papua, Kalimantan dan Sulawesi yang sebesar itu hanya ada masing-masing satu kodam. Sebab jangan lupa, ketika masalah Ambalat tempo hari, ternyata “base operasi” TNI-AU kita hanya ada di Makassar dan kalaupun di geser ke Balikpapan,tetap saja kedodoran; sebab tetap saja mereka butuh waktu 45 menit untuk bisa ke Ambalat, dan itu berarti mereka hanya punya waktu efektif untuk tarung selama 15 menit, sudah itu harus segera kembali ke “base” nya. Kedua punyakah kita Sarpras angkut personil dan alut sista yang bisa di gerakkan untuk ke medan operasi yang direncanakan? Untuk kemampuan yang ketiga, mampu menggagalkan pengerahan kekuatan lawan ke medan pertempuran yang mereka rencanakan; yakni adanya kemampuan untuk menghancurkan lawan di luar territorial sendiri, tentu masih amat jauh dari kenyataan. 

Karena itu untuk kemampuan itu kita biarkan saja dahulu. Lebih lagi kalau dikaitkan dengan kebijakan Dephan yang menerapkan “ kebijakan “Filling the gap atau minimum essensial force”; sangat jauh panggang dari api. Setelah ketiga, prasarat itu kita sesuaikan dengan kondisi TNI kita, maka yang terahir adalah system manajemennya. Artinya apakah TNI kita itu sudah dikelola secara kaidah-kaidah organisasi dengan manajemen modern? Apakah kehawatiran bapak Kiki Sahnarky ( mantan Wakasad) yang masih melihat besarnya intervensi terhadap “merit system”? yang menyebabkan munculnya pimpinan prajurit dibawah standar, hanya karena mereka punya akses nepotisme dan sebagainya? Dilingkungan TNI AD program latihan sebenarnya sudah mempunyai suatu standar serta siklus yang sudah baku. Masalah muncul, karena tradisi satuan biasanya berbeda. Sistem itu biasanya sudah merupakan suatu siklus, yang dimulai dengan Latihan Perorangan, proses ini diahiri dengan Uji Trampil Perorangan. Kemudian dilanjutkan dengan Latihan Teknis Kelompok dan juga diahiri dengan Uji Siap Kerja Tingkat Kelompok; tingkatan kelompok ini mencerminkan satuannya masing-masing, kalau dia di Batalyon, itu berarti mulai dari perorangan, regu, peleton, Kompi, dan Yon. Kalau di satuan Banpur/Banmin; maka dia berarti mulai dari perorangan, Urusan, Seksi, Bagian dan selanjutnya Pusat, Direktorat atau satu Dinas secara utuh. 

Meskipun siklusnya sama, akan tetapi dinamika antar satuan bisa sangat berbeda. Bagi satuan yang kegiatannya sering harus dilakukan di lapangan serta bergerak tidak secara utuh, tentu akan berbeda pula dengan satuan yang mempunyai tugas lain di luar Tugas Pokoknya. Ada pula satuan yang menempatkan siklus peringatan hari jadinya sebagai kesempatan untuk memperlihatkan kebolehan satuannya. Dengan demikian dinamika satuan, antara yang satu dan lainnya sangat berbeda. Bahkan tidak jarang pula, ada satuan yang tidak bisa mensikronkan antara sistem pelatihan satuan dengan pelaksanaan tugas pokoknya. Satuan-satuan seperti ini, umumnya mempunyai kinerja lemah dan sulit diharapkan bisa berkembang secara baik. Matinya Mekanisme Organisasi Demikian pula ketrampilan perorangan pada masing-masing satuan, bagi satuan yang tuntutan teknisnya cepat berubah; karena perubahan teknologi dan perlatan satuan, maka satuan seperti itu umumnya mengalami kesulitan untuk membuat suatu standar ketrampilan secara baku. Tetapi bagi satuan yang relatif tidak berubah, hal itu dapat di formalkan dalam suatu Buku petunjuk ketrampilan bagi perorangan. 

Dengan demikian mereka dapat melatihkannya secara berulang-ulang dan berlanjut. Tetapi sebaliknya, bagi mereka yang mengalami perubahan secara cepat; maka materi yang dilatihkanpun akan berubah secara cepat dan hal seperti ini sulit untuk dibakukan. Kalau satuan tersebut tidak awas, maka bukan mustahil mereka akan kesulitan memadukan antara latihan para prajuritnya dengan tugas pokok satuan. Besarnya perhatian satuan terhadap siklus latihan serta dihubungkan dengan dinamika penugasan serta tugas-tugas lain diluar tugas pokok, dengan sendirinya sangat tergantung dengan watak kepemimpinan di satuan yang bersangkutan. Salah satu kendala dan sudah menggejala adalah antara dukungan dana dan realisasinya. Intinya, dana yang direalisasikan terlalu minim; jauh dibawah standar. Bila kita hendak melihat hal mendasar lainnya adalah pada pelaksanaan Tugas Pokok, pelatihan dan penugasan dalam mekanisme organisasi. 
Kalau dilihat dengan jernih, kita harus mengakui bahwa mekanisme organisasi tidak dapat berjalan dengan semestinya. Yang sangat menonjol adalah, lemahnya kemampuan manajemen satuan. Dalam dinamikanya, yang terjadi adalah, tidak berfungsinya organisasi secara optimal. Intinya, dana yang diberikan untuk pelaksanaan tugas tidak diberikan secara memadai, kalaupun diberikan, jumlahnya terlalu minim. Hal seperti ini, bilamana tidak disikapi secara arif. Maka proses yang terjadi adalah proses penghancuran dari dalam organisasi itu sendiri. Mekanisme organisasi tidak dapat berfungsi. Kotler menyebut hal demikian sebagai “ kegagalan dalam berorganisasi”. Penyebabnya adalah, lemahnya kualitas manajerial SDM akibat matinya aliran dana. Tumpulnya mekanisme organisasi, akan mengakibatkan sistem atau siklus komando jadi terhambat dan tidak bisa optimal dan secara perlahan-lahan akan melumpuhkan organisasi. 

Yang populer adalah cara-cara membaypas tadi; dengan demikian secara perlahan-lahan pula akan muncullah pimpinan – pimpinan yang serba bisa, meski tidak didukung oleh dana sama sekali. Apakah dana diambilkan dari sektor lain atau kualitas pekerjaan yang dikorbankan. Tidak peduli macam tugas, tidak perlu mempertimbangkan pembagian tugas; namun karena sudah “ terlanjur” di percaya atasan, maka semua ditangani dengan cara apa bisanya. Mula-mula, hal seperti ini, karena memang dibutuhkan dianggap wajar-wajar saja. Tetapi karena polanya terus berulang, maka yang muncul adalah kepemimpinan “ one men show” tadi. Suatu organisasi besar yang seharusnya demikian banyak makanismenya, dan melibatkan banyak peralatan serta dengan standar prosedur tetap yang sudah ada, tokh ahirnya hanya dijalankan oleh beberapa personil saja. Untuk kepentingan sesaat, hal seperti itu akan berfungsi dan bisa menghasilkan produk, meski barangkali disadari tidak sesuai dengan yang diharapkan. 
Akan tetapi sebenarnya, kalau dilihat dari segi proses, maka yang terjadi adalah suatu organisasi yang diawaki oleh para personil yang memang sadar bahwa mekanisme oragnisasinya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Proses apatisme tumbuh tanpa disadari. Yang terjadi kemudian adalah proses pelaksanaan Tugas Pokok di suatu organisasi, berjalan dan berproses diluar mekanisme yang semestinya. Seharusnya, setiap unit organisasi sesuai dengan Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran telah mempunyai rangkaian kegiatan disertai dengan adanya dana yang diperuntukkan untuk membiayai program tersebut. Akan tetapi karena organisasinya memang tidak “sehat”, maka pemakaian dana tidak dilewatkan pada mekanisme yang semestinya. Tetapi dengan cara baypas tadi. Secara fisik pelaksanaan tugas bisa berjalan dengan apa adanya; dan tidak melewati mekanisme sebagaimana mestinya. 
Dengan kata lain, seharusnya dana yang ada dapat memutar roda organisasi secara profesional; akan tetapi yang terjadi adalah dana tidak dimanfaatkan dalam membangun kemampuan organisasi; Organisasi itu tidaklagi mampu memberikan wadah yang pantas untuk tumbuhnya suatu profesionalisme. UPAYA PENINGKATAN Bagaimanapun bentuknya, namun prajurit yang kita miliki saat ini adalah yang terbaik yang bisa kita kembangkan. Bagaimanapun kerasnya suatu uapaya akan tetapi bila kita melihat lingkupnya atau konsteknya maka penekanan yang berlebihan tanpa melihat realita maka tidak mustahil dia akan melahirkan kondisi yang lebih jelek lagi. Seperti disersi massal, hanya karena dipicu oleh masalah sepele. 
Kedepan, kalau perubahan ini tidak dicermati secara cerdas maka bukan mustahil para prajurit kita itu akan jadi tentara bayaran, yang dapat dibeli oleh lingkungannya. Barangkali bukan lagi karena uang, tetapi karena ikatan emosional, agama, etnis dll. Menurut Hantington ada tiga asfek yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan profesionalisme, pertama adalah keahlian itu sendiri; kedua adalah tanggung jawab dan yang ketiga adalah kerjasama. Dari ketiga asfek ini maka perlu dipertanyakan adalah kualitasnya sendiri. Pertama sampai sejauh mana kualitas keahlian yang bisa diberikan oleh lembaga-lembaga pusdik kepada para prajurit.Kalau jajaran Pusdik itu sendiri kinerjanya tidak optimal. Pertanyaan ini saja sudah mewajibkan kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Kondisi Pusdik jajaran TNI. 



Yakni tentang sistemnya, sarana pendukungnya, bahan ajarannya, tenaga pengajarnya; alins dan alonginnya dll. Sistemnya tentu tidak bisa dilepaskan dengan teknologi kesenjataannya sendiri. Jangan-jangan para prajurit yang mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pusdik pada saat ini bukannya akan tambah ahli tetapi malah jadi lebih “bodoh”; mati inisiatif dan kehilangan persepsi. Apalagi kalau jajaran Pusdik itu tidak mempunyai Alins dan Alongin yang sama dengan yang dipakai oleh prajurit di satuannya masing-masing. Semoga saja tidak sesuram itu. Setiap saat para pimpinan kita mengutarakan betapa pentingnya nilai peningkatan profesionalisme, maka sebenarnya kita sangat sadar dan bertanya dalam hati kita; apakah beliau-beliau yang diatas itu memahami apa sebenarnya yang terjadi di dalam organisasi yang mereka pimpin itu. 
Secara logika, mereka tahu persis, tetapi kalau proses yang seperti itu sama sekali tidak diperbaiki maka kedepan yang ada adalah organisasi yang tidak sehat, yang tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan apa-apa. Peningkatan profesional prajurit yang masih rasional bisa dilakukan dalam mekanisme dan kualitas organisasi yang kita miliki saat ini; adalah kualitas profesional yang semu. Sejauh itu dalam bentuk tulisan atau sesuatu yang cukup diungkapkan dengan kata-kata, para prajurit kita itu pasti bisa dikataggorikan hebat. Artinya, profesionalitas para prajurit kita itu, baru pada tahapan teoritis. 

Tapi kalau sudah diukur secara riel dengan ketrampilan, maka nilai keprofesionalismeannya tertinggal sama sekali. Upaya pengembangan dan peningkatan profesionalitas di kalangan para prajurit yang paling rasional dikedepankan pada saat ini adalah dengan jalan memperbaiki kinerja organisasi. Mekanisme satuan harus benar-benar diputar secara benar dan di danai secara wajar. Mekanisme organisasi harus dihidupkan sesuai dengan ciri khas satuan masing-masing. Pemutaran mekanisme organisasi tersebut, hendaknya juga membawa angin kesejahteraan pada prajurit itu sendiri. Kalau hal mendasar seperti ini tidak bisa kita upayakan; maka penulis yakin organisasi ini pada ahirnya akan merupakan bagian dari masalah bangsa. Sama sekali tidak bisa diharapkan untuk mampu ikut membangun kehidupan bangsanya. Ketika Kasad, menunda keberangkatan Batayon itu ke medan 0perasii, mungkin saja kondisi kesiapannya sudah jauh dari ambang toleransi keprofesionalismean yang paling dasar,dan agar tidak menjadi beban baru. Selamat Ulang Tahun, Dirgahayu TNI.

Tidak ada komentar: