Perbatasan Natuna, Agresivitas
China dan Kedaulatan Bangsa
Oleh harmen batubara
Kemajuan ekonomi China
telah membuat berbagai perubahan baru dalam kehidupan di kawasan. Berbagai
eskalasi ketegangan di Laut China Selatan dan sekitarnya terus meningkat. Upaya penyelesaian sengketa wilayah secara
damai di Laut China Selatan terus diupayakan. Termasuk menyusun kode etik
berperilaku untuk negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan. Tetapi
kelihatannya masih akan memerlukan waktu.
Sudah demikian, China
terus melakukan berbagai tindakan yang dianggap “tidak biasa” bahkan cenderung
sebagai provokasi oleh negara-negara yang juga mengklaim wilayahnya di Laut
China Selatan. Reklamasi besar-besaran dan pembangunan infrastruktur di gugusan
karang dan kepulauan yang disengketakan terus dilakukan China. China juga tidak
mengakui putusan Mahkamah Internasional dan menolak seluruh klaim para pihak
atas wilayah di Laut China Selatan. Putusan Mahkamah Internasional ini
dikeluarkan berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Filipina.
Indonesia meski bukan
negara yang ikut terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan juga terkena imbas oleh agresivitas China yang
cenderung ekspansif dalam mengklaim wilayah. Sembilan garis putus-putus yang
dibuat China untuk menandai wilayah teritorial berdasarkan klaim sejarah mereka
memasukkan Kepulauan Natuna. Meskipun sikap resmi China atas Kepulauan Natuna
adalah mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.
Namun, insiden antara
kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan kapal penjaga
pantai China bulan Maret tahun 2016 seperti memastikan bahwa pengakuan China
atas kedaulatan Indonesia di Natuna bisa berubah setiap saat.Insiden yang semula
berasal dari konflik perikanan kemudian mulai memanas setelah TNI Angkatan Laut
mulai ikut terlibat dan bersikap tegas dengan pelanggaran yang dilakukan kapal
nelayan China. Bulan Juni tahun 2016, KRI Imam Bonjol sempat memberikan
tembakan peringatan terhadap kapal nelayan China yang mencuri ikan di perairan
Natuna. Insiden ini sempat diprotes Kementerian Luar Negeri China. Sebaliknya,
Kementerian Luar Negeri Indonesia tahun lalu juga sempat mengeluarkan nota
protes karena kapal penjaga pantai China memasuki perairan Natuna. Seperti
biasa, China kemudian membantahnya.
China kelihatannya
akan tetap bersikukuh dan berpendapat bahwa sembilan garis putus-putus dan yang
mereka deklarasikan pada tahun 1947 adalah sah dan mereka punya hak untuk
melakukan sesuatu di sana sesuai kepentingan mereka. Masalah Nine dash line dimuat
di peta China sebagai garis 11-garis
(sebelas garis) pada tahun 1947. Ketika itu angkatan laut China sudah menguasai
beberapa pulau di Laut China Selatan, yang sebelumnya diduduki Jepang di saat
perang dunia kedua. Setelah Jepang kalah perang tahun 1949, pemerintah komunis
China menyatakan diri sebagai satu-satunya perwakilan sah China dan mewarisi
semua klaim maritim di wilayah tersebut. Dalam perjalanan waktu, dua buah
“garis” telah dihapus pada awal 1950-an di kawasan Teluk Tonkin, sehingga
tinggal sembilan garis. Garis inilah yang dijadikan China sebagai dasar klaim China untuk “hak
historis” di wilayah tersebut.
Bakal Menjadi Sengketa Perbatasan
Bahwa China semakin
yakin dengan klaim 9-garis nya kian menjadi-jadi terutama setelah Presiden
Amerika Serikat terpilih Donald Trump tak lagi menjadikan isu keamanan regional
sebagai prioritas pemerintahannya. Hal itu terlihat dari cara China makin
memperkuat provokasinya di kawasan. Agresivitas China juga dirasakan oleh Jepang.
Kehadiran kapal penjaga pantai, kapal perang, bahkan pesawat udara China di
Laut China Timur, dekat perairan Kepulauan Senkaku (China menyebutnya Diaoyu), juga
meningkat, dan menimbulkan kekhawatiran bagi Jepang. China sampai saat ini
masih mengklaim Kepulauan Senkaku sebagai wilayah teritorialnya. Bahkan,
sebagian kalangan di Jepang menilai bahwa agresivitas China, baik di Laut China
Selatan maupun di Laut China Timur, bisa memicu perang terbuka dengan negara
lain.
Apa yang dilakukan
oleh China di perairan ZEE Indonesia di wilayah Natuna nampaknya akan terus
berulang. Tiongkok dipercaya tidak akan mengindahkan hak berdaulat atau hak-hak
negara lain. Faktanya bisa dilihat pada saat Kementerian Perikanan dan Kelautan
(KKP) berhasil menangkap basah pelaku illegal fishing China KM Kway Fey 10078
di Perairan Natuna Indonesia. Penangkapan kapal ini sempat dihalangi oleh Kapal
Penjaga Pantai (coastguard)nya. KP Hiu 11 hanya berhasil menangkap awak kapal
tersebut, sementara itu KM Kway Fey 10078 dipertahankan oleh Coastguardnya pada tanggal 19 Maret 2016. Hal yang sama
terulang lagi pada tanggal 17 Juni 2016, kali ini dengan KRI Imam Bonjol-383
dari 12 Kapal hanya berhasil menangkap Satu Kapal berikut awaknya. Sebelumnya
KRI Oswald Siahaan-354 juga telah berhasil menangkap kapal nelayan China yang
juga melakukan aksi pencurian ikan di wilayah perairan yang sama.
China ternyata masih
punya agenda lain. Pada tanggal 3 Januari 2020
terdeteksi sekitar 30 kapal nelayan China yang dikawal tiga kapal coast
guard atau penjaga pantai. Berada di wilayah ZEE Indonesia perairan Natuna.
Saat itu, belum ada kapal nelayan Indonesia ataupun kapal perang RI (KRI) di
lokasi. Pada hari berikutnya, kapal-kapal China sudah bergeser ke selatan,
makin mendekati Ranai. Pelanggaran ini telah jauh melewati batas Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Indonesia yang merentang dari garis pangkal pantai hingga 200
mil ke arah laut. Tiongkok memang punya niat yang kurang baik, serta tidak peka
dengan garis perbatasan dengan Negara lain, meski sesama warga di kawasan.
Untungnya kita sudah
punya Kogabwilhan. Kogabwilhan merupakan organisasi yang mendapat mandat
kendali utama dari Panglima TNI untuk melaksanakan operasi gabungan darat,
laut, dan udara di wilayahnya. Kogabwilhan posisi dan tupoksinya jelas, mereka
punya mandat kendali utama untuk melakukan operasi yang melibatkan komando
utama TNI AL, yaitu Armada I dan Komando Operasi TNI AU (Koopsau) I. Cara
kerjanya tentu sesuai kebutuhan. Pesawat intai strategis TNI melakukan operasi
pengamatan dan pengintaian; Armada I mengerahkan kapal perang. Kendali operasi
ada di masing-masing Panglima Armada I dan Pangkoops I.
Masalahnya China
mendatangkan 30 Kapal pencuri ikan serta tiga kapal pengawalnya dari Coast
Guard atau penjaga Pantai yang secara resmi diawaki oleh petugas-petugas sipil.
Dalam kondisi seperti ini, tentu Kogabwilhan tidak bisa berbuat banyak kecuali
melakukan langkah-langkah persuasip, sipatnya hanya sekedar menghalang-halangi.
Idealnya itu kapal-kapal Bakamla dan KKP yang maju, dengan atau tanpa
perlindungan KRI Kogabwilhan di situ. KKP bisa langsung menangkapi kapala-kapal
pencuri ikan itu dan Bakamla baku hantam dengan kapal Coast Guardnya China. Kapal-kapal
yang ketangkap kemudian di bawa ke wilayah teritori Indonesia untuk kemudian di
proses secara hukum yang berlaku di Indonesia.
Jadikan Natuan Kapal Induk Nusantara
Kini Indonesia mau
tidak mau harus berbenah diri, memperkuat kemampuan pertahanannya. Sesuai amanat UU harus memperkuat kemampuan
aparatnya untuk menjaga dan mengawal kedaulatan dan hak berdaulatnya di manapun
itu adanya. Tiongkok sebagai negara sahabat, kita harapkan sebenarnya berkenan
dan mau menghormati hak berdaulat
Indonesia atas ZEE kita di wilayah tersebut. Kalau mereka tidak mau. Ya
kita lawan. Kalau China mau membicarakannya sesuai aturan yang ada. Kita layani
lewat cara-cara Diplomasi. Kalau Kogabwilhan tidak bisa melakukan sesuatu atas
pelanggaran Negara lain karena mereka sebagai petugas sipil. Maka posisi yang
pas untuk menegakkan kedaulatan kita di wilayah ZEE itu adalah Bakamla dan KKP.
KKP sebagai penangkap Kapal - kapal Pencuri Ikannya dan Bakamla yang menghadang
kapal-kapal Coast Guard nya. Indonesia harus segera melengkapi perangkat Bakamla
dan KKP dengan kelengkapan yang mampu menangkap kapal, meski mereka adalah
petugas sipil, tetapi diberi kemampuan dan kekuatannya setara dengan yang bisa
dilakukan oleh petugas prajurit. Sasarannya jelas, tangkap para pencuri ikan di
wilayah ZEE.
Ke depan Indonesia
sepertinya sudah perlu mempersiapkan senjata penghancur Kapal Induk, khususnya
untuk menghadapi Kapal Induk China. Sama seperti Taiwan yang terus
mengembangkan kemampuan membuat rudal yang diklaim sebagai ”pembunuh kapal
induk” yakni Rudal Hsiung Feng III. Sebagai Negara non blok kita bisa melakukan
kerja sama seperti itu dengan Negara yang kita suka. Di sisi lain, Indonesia
juga perlu terus mempersiapkan agar pulau Natuna kelak bisa jadi pulau yang
berpungsi sebagai “Kapal Induk”. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto
menegaskan, bakal mengerahkan kekuatan penuh di Laut Natuna Utara. Menurut Panglima
TNI kepada media[1] di
kantor Panglima TNI di Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (7/1/2020) mengatakan,
sejak dua tahun terakhir pangkalan kekuatan laut, darat, dan udara dibangun di
Natuna yang terus diperkuat hingga saat ini. “Patroli agenda setahun siaga
tempur laut itu sudah berlangsung dan ditambah kekuatan dari empat kapal
menjadi delapan kapal perang berikut kapal logistik. Keberadaan kapal logistik
membuat kapal perang tidak usah kembali ke pangkalan di Natuna dan dapat terus
berada di lautan menjaga wilayah kedaulatan, landas kontinen, dan Zona Ekonomi
Eksklusif,” kata Hadi.
Jauh sebelum ada
insiden pelanggaran ZEE akhir Desember 2019 dan awal Januari 2020, lanjut
Panglima TNI, berbagai sarana sudah disiapkan TNI di Natuna. Pangkalan kapal
permukaan, pangkalan kapal selam, dua stasiun radar, fasilitas lapangan udara
berupa hanggar pesawat tempur, rumah sakit tentara, Batalyon Komposit TNI AD,
Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Arhanud), dan Kompi Marinir TNI AL.
Tiongkok diyakini akan
terus mengendors konsep 9 Garis Putus-putusnya, dan Indonesia harus bisa
mengamankan wilayahnya. Kalau mau cara damai, ya bisa dilakukan lewat
Diplomasi. Kalau main secara faksa ya Indonesia harus siap dan berani menerima
tantangannya. Kalau mau lewat jalan diplomasi, maka Tiongkok harus jelas
posisinya. Yakni dengan menjawab pertanyaan Indonesia terkait konsep tersebut
dan konsekwensinya terhadap wilayah laut ke dua negara. Kalau semuanya jelas,
Indonesia kedua Negara dapat melakukan Kerja Sama. Berbagai kerja sama bisa
dilakukan di wilayah tersebut mulai dari penangkapan Ikan, eksplorasi Gas,
minyak Dll. Hal seperti ini malah akan mendatangkan kemaslahatan bagi
kepentingan bersama.
Kalau hal seperti ini
ternyata tidak juga di Indahkan oleh Tiongkok. Maka ada baiknya Indonesia
melakukan evaluasi atas keberadaannya sebagai mediator yang tidak berpihak di
konflik Laut Tiongkok Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai
negara yang bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Namun demikian Indonesia harus tetap
konsisten dengan bagian lainnya yakni tetap mempertahankan kerja sama ekonomi,
khususnya dalam pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia.
Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu tetap dipelihara. Tidak jadi
masalah kalau suatu saat kapal TNI dan Tiongkok baku hantam di perairan Natuna,
tetapi hubungan baik yang ada tetap dipelihara. Untuk itu TNI AL perlu didukung
dengan kapal yang lebih kuat dan modern serta buatan sendiri. Kita ingin jadi
suatu negara yang tegas, berani tetapi juga tidak emosional.
Sumber : Wilayahpertahanan Dot Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar