Membangun
Industri Pertahanan Negara Kepulauan
Oleh
harmen batubara
Rencana
dan keinginan pemerintah mandiri dalam produksi persenjataan dan memajukan
industri pertahanan nasional tentu harus dilaksanakan konsisten. Konsistensi
tersebut menjadi tuntutan karena Indonesia perlu terus mengembangkan kemampuan
industri pertahanan nasional. Faktanya kemampuan Industri kita terus membaik,
ditambah lagi dan terbukti produk alat persenjataannya juga diminati sejumlah negara. Tuntutan pada
konsistensi pemerintah terasa berbeda di tengah keputusan TNI AU kala itu untuk
membeli satu helikopter AgustaWestland (AW) 101. Alasan pembelian tersebut
adalah kebutuhan TNI AU akan helikopter multifungsi, yaitu untuk angkut berat,
evakuasi, rumah sakit bergerak, dan pertolongan pertama (SAR). Apakah kita
memilih kecanggihannya atau pada fungsinya? Suatu hal yang bisa diperdebatkan.
Membangun
industri pertahanan dalam negeri bukan hanya untuk meminimalkan ketergantungan
kepada negara lain. Namun jauh dari itu. Penguasaan industri pertahanan,
seperti di banyak negara, akan meningkatkan penguasaan teknologi yang pada
gilirannya memberikan efek berganda terhadap pengembangan industri di luar
pertahanan itu sendiri. Hal ini mengingat industri pertahanan selalu memerlukan
teknologi yang lebih maju, presisi tinggi serta inovasi. Penguasaan teknologi
seperti itu juga akan meningkatkan rasa percaya diri sebagai bangsa. Dalam
produksi pesawat, kita memiliki PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Indonesia patut
bersukur, produk PTDI telah dibeli sejumlah negara, sahabat antara lain
Thailand, Filipina, Malaysia, Brunai dan Senegal. PTDI juga memproduksi
helikopter EC725 Cougar (Super Puma) yang memiliki spesifikasi mirip dengan AW
101.
Semua
negara yang maju industrinya, termasuk industri pertahanan, pada tahap awal
hampir pasti mengandalkan pasar dalam negeri. Tujuannya, mendapat kapasitas
produksi yang memungkinkan industri tumbuh sehat berkelanjutan secara ekonomi
tanpa tambahan investasi. Karena itu, kita berharap kepada Pemerintah agar
terus mendukung dan bahkan mewajibkan pengguna, yaitu TNI, Polri, dan instansi lainnya konsisten
menggunakan produksi dalam negeri supaya kemandirian seperti yang
dicita-citakan terwujud.
Produk dan Kualitasnya Kian
Unggul
PT
Dirgantara Indonesia atau PTDI telah merampungkan hampir seluruh pesanan
pesawat udara dan helikopter dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Tinggal
satu unit heli yang rencananya akan dimodifikasi penuh dengan persenjataan.PTDI
membuat 11 unit Heli Anti Kapal Selam (AKS) dan dua unit pesawat CN235-220
Maritime Patrol Aircraft (MPA). Bayangkan harga "Heli AKS 120 juta euro
untuk MPA US$ 59 juta," ucap Kepala Staff Umum (Kasum) Panglima TNI
Laksamana Madya TNI Didit Herdyawan usai serah terima pesawat dan heli di
Gedung PTDI, Bandung, Kamis (24/1/2019).
Sementara
itu Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia, Laksamana Muda TNI Agus Setiadji tidak merinci harga per
unit dari alutista itu. Namun dia hanya membocorkan angka untuk heli AKS.
"Untuk basic (tanpa full spesifikasi) 10 juta (euro). Kalau full 17 juta
(euro)," kata dia.
Agus
mengatakan dari 11 heli tersebut, dua di antaranya akan dilengkapi dengan
teknologi canggih yang akan mendukung kebutuhan TNI AL di laut. Satu heli yang
belum diserahkan Akan dilengkapi terlebih dahulu, sementara dari heli yang
sudah diserahkan, akan dibawa kembali ke PT DI untuk dipasang peralatannya.
Heli dengan full spesifikasi ini akan dilengkapi dengan pemasangan torpedo dan
sonar varian terbaru berjenis Helicopter Long-Range Actice Sonar (Helras).
Sonar HELRAS dapat beroperasi optimal di area laut dangkal dan laut dalam.
Teknologi HELRAS menggunakan frekuensi rendah dengan resolusi tinggi pada
sistem Doppler dan rentang gelombang panjang untuk mengetahui keberadaan kapal
selam dari jarak jauh.
Helikopter
itu memiliki kemampuan untuk mendeteksi keberadaan kapal selam, serta
dilengkapi dengan dipping sonar L-3 Ocean System DS-100 Helicopter Long-Range
Active Sonar (HLRS). Sebelumnya, pada 2017-2018 TNI AL juga sudah menerima 5
unit helikopter AKS yang dipesan PT DI. Lima unit helikopter jenis Panther tipe
AS565 MBe hasil kerja sama PT DI dan perusahaan Perancis, Airbus Helicopters,
merupakan yang pertama di Indonesia. Namun, untuk fase integrasi AKS sejak
didesain hingga perakitan sepenuhnya hasil karya PT DI.
Sedangkan
pesawat udara CN 235-220 MPA dengan serial number N067 merupakan pesawat kedua
yang dipesan dari PT DI. Pesawat ini dapat digunakan untuk berbagai macam misi,
seperti patroli perbatasan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), pengawasan
pencurian ikan dan pencemaran laut, pengawasan imigrasi, penyelundupan narkoba,
serta penyelamatan korban bencana.
CN
235-220 MPA juga memiliki keunggulan, yaitu mampu lepas landas dengan jarak
yang pendek, khususunya dengan kondisi landasan yang belum beraspal dan
berumput, mampu terbang selama 10-11 jam dengan sistem abiotik full glass
cockpit yang lebih modern, autopilot, dan adanya winglet di ujung sayap agar
lebih stabil dan irit bahan bakar.
Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengemukakan penyerahan beberapa alutsista itu
merupakan salah satu program pembangunan kekuatan pertahanan yang dialokasikan
melalui pinjaman luar negeri/kredit ekspor dari dua rencana strategis (Renstra)
TA 2010-2014. "Mengingat alutsista ini merupakan salah satu senjata
strategis serta memiliki efek deterence serta mampu memberikan efek gentar
negara-negara yang mau mengganggu kedaulatan NKRI. Harapannya, dengan perawatan dan pemeliharaan
yang baik, pesawat ini mampu memiliki usia yang panjang untuk memperkuat
jajaran TNI AL ke depan,” ujar Ryamizard.
Sementara
itu Menteri Rini mengatakan hal ini terwujud atas sinergitas Kemenhan dengan
BUMN. Hal ini sejalan dengan tujuan BUMN untuk memperkuat perekonomian
sekaligus menghasilkan produk bermutu tinggi. "Ini pentingnya kerja sama
erat BUMN danln kementerian teknis paling utama Kemenhan meningkatkan kemampuan
BUMN khususnya PT DI untuk dapat memberikan atau menghasilkan produk bermutu
yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Bukan hanya dimanfaatkan, tapi kita
membuat produk bermutu tinggi dan memberikan kepercayaan ke prajurit kita kalau
mau pakai mereka merasa aman dan pasti bisa mempertahankan kedaulatan
Indonesia," kata Rini.
Harus Jadi Acuan
Dalam
bahasa sederhana, kolaborasi pengguna alat utama sistem persenjataan
(alutsista) dengan industri produsen alutsista di dalam negeri sangat penting.
Hal ini sudah bisa dirujuk pada UU
Industri Pertahanan yang mendefinisikan pengguna adalah TNI, Polri, kementerian
dan lembaga, serta pihak yang diberi izin sesuai undang-undang. Hanya dengan
cara inilah industri pertahanan dalam negeri bisa maju. “Kesempurnaan meraih
teknologi itu ada penahapannya. Di situ perlunya kerja sama antara pengguna dan
industri,” saling sinergi. Anggota
Komisi I DPR dari PDI-P, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, sikap Komisi I dari
awal adalah meminta agar UU Industri Pertahanan dijadikan acuan. Pasalnya,
negara memiliki tujuan jangka panjang agar pada saat tertentu tercapai kemandirian
dalam industri pertahanan. Pembelian dan penggunaan produksi dalam negeri oleh
institusi seperti TNI, Polri serta kementerian dan lembaga juga bisa menjadi
bentuk pemasaran. “Siapa lagi kalau bukan kita yang memakai, baru nanti negara
lain beli,” begitu katanya suatu masa
dahulu.
Program Pengembangan Pesawat
Tempur
Meski
sempat tertunda dan menghadapi kendala, program pengembangan pesawat tempur
produksi kerja sama Indonesia-Korea Selatan yang dinamakan Korean Fighter
(KF)-X/Indonesian Fighter (IF)-X terus berlanjut. Saat ini, program itu sudah
memasuki fase kedua dari tiga fase yang ada, yaitu pengembangan teknik industri
(engineering manufacture development), yang akan menghasilkan prototipe pada
2021. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Anne
Kusmayati, di Kementerian Pertahanan, Jumat (28/7/2017), mengatakan, saat ini
tahap EMD mencapai 14 persen. PT Dirgantara Indonesia (DI), telah mengirimkan
81 insinyur ke Korean Aerospace Industry (KAI). Mereka akan mendalami konfigurasi
pesawat sesuai kebutuhan Indonesia dan Korsel.
“Program
ini jadi awal kemandirian industri pertahanan karena kita akan buat pesawat
tempur,” kata Anne. Produksi itu akan memengaruhi peningkatan kemampuan sumber
daya manusia dan kemampuan PT DI secara umum. Selanjutnya akan dibutuhkan
CLUSTER-CLUSTER INDUSTRI yang memproduksi alat-alat berteknologi sesuai pesawat
generasi 4,5 ini. “Seperti alat elektronik radar dan GPS,” ucapnya. Menurut
dia, program tersebut juga harus ditopang kebijakan politik karena program ini
butuh waktu yang panjang, terutama dari segi komitmen dan pembiayaan. “Presiden
menyatakan mendukung penuh program ini. Hal itu disampaikan saat kami
presentasi,” ujar Anne waktu itu.
Sejauh
ini, fase pertama, yaitu pengembangan teknologi pesawat tempur produksi bersama
Korsel, sudah dilalui. Setelah selesainya fase kedua tahun 2021, KF-X/IF-X akan
dibuatkan prototipe yang terus diuji hingga produksi tahun 2026. Namun, baru
pada fase ketiga, tahun 2040, KF-X/IF-X akan diproduksi secara massal oleh PT
DI. Kepala Sub-Dinas Penerangan Umum Dinas Penerangan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Udara Kolonel Fajar Adriyanto mengatakan, pihaknya senang
dengan pembangunan KF-X/IF-X. Program ini tak hanya dilihat dari sisi
pertahanan udara, tetapi juga upaya pemerintah mengadopsi teknologi. “Untuk
kesiapan pesawat tempur, F16 C/D masa pakainya masih sampai 2030. Juga masih
ada Sukhoi,” kata Fajar soal kebutuhan TNI AU selama KF-X/IF-X belum ada.Kepala
Pusat Komunikasi Publik Kemhan Totok Sugiharto menambahkan, jika Indonesia
membuat sendiri, kebutuhan operasi TNI AU akan diakomodasi lewat desain
pesawat. Selain juga kebebasan menentukan konfigurasi pesawat sehingga menjamin
kemampuan pengembangan teknologi berkelanjutan.
Sumber : http://www.wilayahpertahanan.com/pertahanan-bangga-dengan-produk-alutsista-sendiri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar